Sabtu, 31 Desember 2011

Renungan Hati Di Akhir Tahun

“Wahai manusia…jangan engkau menjadi orang yang terlambat dalam bertaubat, membumbung angan-angan dan mengharap kenikmatan hidup di akhirat tanpa amal.
Berkata seperti ahli ibadah, beramal seperti orang munafik…
Jika diberi karunia tidak pernah mau menerima apa adanya. Jika tidak diberi tidak mau bersabar.
Mengajak berbuat baik pada orang lain tapi ia sendiri mengabaikannya. Mencegah orang lain agar tidak berbuat nista, sementara ia sendiri melakukannya.
Mencintai orang yang suka berbuat baik, namun ia sendiri tidak termasuk di dalamnya. Membenci orang yang bersikap hipokrit, padahal ia termasuk di dalamnya.
Mengatakan sesuatu yang tidak ia perbuat dan melakukan apa yang ia cegah. Menuntut orang lain memenuhi janji, namun ia sendiri mengkhianatinya.
Wahai manusia! dalam setiap pergantian hari, sesungguhnya bumi selalu berkata kepadamu.
Wahai manusia! Engkau berjalan di atas punggungku. Kemudian jenazahmu ditaruh di dalam perutku. Engkau makan sesuka hatimu di atas punggungku dan setelah itu ulat-ulat memakan bangkaimu di dalam perutku.
Wahai manusia! sungguh aku ini adalah sarang binatang buas, rumah saling menuntut, rumah tempat tinggal bersama, rumah kegelapan, sarang ular dan kalajengking. Maka hendaknya engkau membangun diriku, bukan justru memporak-porandakan diriku.”
Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000 apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan!
Betapa lamanya melayani Allah selama lima belas menit namun betapa singkatnya kalau kita melihat film.
Betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan) namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.
Betapa asyiknya apabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra namun kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa. Betapa sulitnya untuk membaca satu lembar Al-qur’an tapi betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.
Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun lebih senang berada di saf paling belakang ketika berada di Masjid
Betapa Mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 30 hari ketika berpuasa.
Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk sholat 5 waktu; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saatterakhir untuk event yangmenyenangkan.
Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam al qur’an; namun betapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.
Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran namun betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci AlQuran.
Betapa setiap orang ingin masuk sorga seandainya tidak perlu untuk percaya atau berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau berbuat apa-apa.

Dikutip dari berbagai sumber.

DOA AKHIR TAHUN

Bismillaahirrahmaanirraahiim, wa shollalloohu’alaa sayyididinaa muhammaadin wa’alaa aalihi wa shohbihii wa sallama, Alloohumma maa’amiltu fii hadzihis sanati mimmaa nahaitanii’anhu falam atub minhu wa lam tardhohu wa lam tansahu wa hamiltu ‘alayya ba’da qudrotika ‘uquubati wa da’autanii ilattaubati minhu ba’da jiroo-atii ‘alaa ma’shiyatika fa-innii astaghfiruka faghfirlii bifadhlika wa maa’amiltuhu fiiha mimma tardhoohu wa wa’adtanii ‘alaihits tsawaba wa as-aluka. Alloohumma yaa kariimu yaadzal jalaali wal ikroomi antaqobbalahu minnii walaa taqtho’ rojaa-i minka yaa kiriimu wa shollalloohu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihii wa sallama.

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau. Wahai Tuhanku, apa yang hamba perbuat sepanjang tahun ini berupa perbuatan perbuatan yang Paduka larang hamba melakukannya, sedangka hamba belum bertaubat dari padanya dan Paduka tidak meridhainya dan tidak melupakannya, dan Padukapun telah menyayangi hamba setelah Padukapun kuasa untuk menyiksa hamba, kemudian Paduka menyeru hamba untuk bertaubat setelah hamba bermaksiat kepada Paduka. Karena itu, hamba mohon ampunan dari Paduka, maka ampunilah hamba dengan Anugerah-Mu.
Dan apa yang telah hamba kerjakan ditahun ini adalah berupa perbuatan yang Paduka ridhai dan Paduka janjikan pahala atasnya, Hamba mohon pada-Mu wahai Tuhanku, Dzat Yang Maha Mulia, yang memiliki Kebesaran dan Kemuliaan, agar Paduka terima amalan hamba dan jangan hendaknya Paduka putuskan harapan hamba dari-Mu, wahai Dzat Yang Maha Mulia. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau.”
*********

DOA AWAL TAHUN

Bismillaahirohmaanirrohiim. wa shollalloohu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihii wa sallama. Allohumma antal abadiyyul qodiimul awwalu wa ‘alaa fadhlikal ‘adliimi wujuudikal mu’awwali wahaadza’aamunjadiidun qod aqbala nas-alukal ‘ishmata fiihi minasysyaithooni wa auli yaa-ihi wa junuudihi wal ‘auni ‘alaa haadzihil ammaaroti bissuu-i wal istighooli bimaa yuqorribunii ilaika zulfa yaa dzal jallali wal ikroom. wa shollalloohu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihii wa sallama.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau.
Wahai Tuhanku, Paduka adalah Dzat Yang Maha Kekal, dahulu dan Awal. Hanya denga anugrah dan kemurahan-Mu yang agung, telah datang tahun baru. Di tahun ini kami memohon pemeliharaan-Mu dari Syetan, kekasihnya dan balatentaranya, dan kami memohon pertolongan-Mu atas hawa nafsu yang mengajak kepada kejelekan, dan kami memohon kesibukan dengan perbuatan yang dapat mendekatkan diri kami kepada-Mu wahai Dzat yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau.”
Amiin ya robbal ‘alamiin…
Wallohua’laam bishshowab…

Selasa, 27 Desember 2011

Label Jelek Beras Bulog Merupakan Ulah Sejumlah Pedagang

PENILAIAN masyarakat akan kualitas beras yang dijual Perum Bulog kerap keliru. Banyak pandangan yang menggap beras yang disalurkan Bulog merupakan beras beras berkualitas rendah dan jelek dengan harga murah untuk kalangan masyarakat miskin (raskin). Padahal, sejatinya beras yang di tangan Bulog berkualitas baik. Label jelek yang selama ini ada merupakan ulah pada pedagang. ’’Beras bulog itu tak seperti beras 3-4 tahun yang lalu.
Kesannya beras Bulog itu kan jelek, sekarang tidak begitu. Bahwa sejak 2010 lalu kami sudah mulai melakukan perubahan cara berpikir, kalau dulu sigle kualitas sekarang multi kualitas. Bulog mengarah ke sana,” kata Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso saat berkunjung ke INDOPOS Selasa (20/12). Anggapan inilah, kata Sutarto, secara perlahan akan diubah.
Karena multi kualitas, maka beras yang dijual Bulog tak hanya beras dengan kualitas 20 persen, yang biasa disalurkan pada operasi pasar untuk raskin. Namun, Bulog juga memiiki beras dengan kualitas 5,10, dan 15 persen. Bervariasinya beras Bulog membuat masyarakat memiliki banyak pilihan. ’’Ini yang kita minta supaya jangan sampai ada monopoli-monopoli atau kartel-kartel di bidang perberasan,’’ ungkapnya.
Bahkan untuk pengadaan beras raskin, Bulog juga tak bisa sembarangan. Menurutnya, volume memang penting tetapi kualitas juga tetap menjadi prioritas. Tanpa mengutamakan kualitas pengadaan beras raskin kualitasnya bisa buruk. Sehingga dia mewant-wanti anak buahnya, pihaknya bakal menerapkan sanksi tegas bagi pegawainya yang bermain-main dalam menerima kualitas beras.
Sutarto mengaku, pusat penjualan beras di Pasar Induk Cipinang belakangan juga mengambil beras dari Bulog. Dari 370 ribu ton beras yang diserap secara nasional, sekitar 100 ribu ton diserap pedagang Pasar Induk Cipinang. Di Cipinang ini, terdapat rumah beras Bulog sebagai tempat untuk memudahkan penyaluran beras Bulog ke pasar-pasar.
Pada rumah beras Bulog disediakan dua merek yang dikeluarkan, yakni ‘Beras Kita’ dan ‘Berindo’. ’’Ini beras komersial Bulog,” ujarnya. Beras Bulog di gudang dihargai Rp 6.100 per kg hingga Rp 7 ribu untuk kelas premium. Dia mengungkapkan, beras Bulog dianggap beras berkualitas buruk oleh sebagian kalangan, itu ternyata hanyalah ulah sebagian pedagang yang terkena imbas dari operasi pasar yang dilakukan pemerintah.
Namun demikian, terkadang bukan hanya pedagang saja yang menolak operasi pasar Bulog. Pemerintah daerah juga ada yang menolak Bulog menyalurkan raskin, seperti yang terjadi di Jawa Timur. Pemda berbeda-beda, ada yang ketika Bulog menawarkan operasi, mereka langsung mengiyakan, tapi ada juga yang menolaknya. Menghadapai situasi demikian, Sutarto menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. ’’Kasus seperti ini menang sulit, tapi bagi kami itu challenge,” katanya. (lum)

Sumber : JPNN

HKTI Berharap Pemerintah Naikkan HPP 2012

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) mengharapkan pemerintah untuk menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras pada 2012.
"Harapan kita tentunya HPP 2012 mengalami kenaikan tetapi tidak terlalu signifikan," kata Ketua HKTI Kabupaten Cilacap, Sudarno, di Cilacap, Sabtu (24/12).

Ia mengatakan, HPP harus dinaikkan karena tidak sesuai lagi dengan kondisi pasar yang saat ini banyak dipengaruhi oleh para tengkulak. "Pasar saat ini, seperti di Cilacap, banyak dimainkan oleh para tengkulak, sehingga pemerintah pun harus tegas," katanya.

Menurut dia, kenaikan HPP yang diharapkan tidak terlalu signifikan tersebut juga untuk mengantisipasi permainan para tengkulak. Dalam hal ini, para tengkulak akan selalu memasang harga di atas HPP sehingga jika hal itu terjadi, bakal memengaruhi program pengadaan beras dan gabah yang dilaksanakan pemerintah melalui Bulog. Oleh karena itu, HPP 2012 diharapkan bersifat fleksibel sehingga dapat mengikuti harga pasar.

Secara terpisah, Kepala Bulog Subdivisi Regional IV Banyumas Witono mengatakan, pihaknya mengharapkan HPP 2012 dapat segera dikeluarkan sehingga penyerapan beras atau gabah dari petani dapat berjalan maksimal. "Jika HPP yang baru sudah ada maka kita bisa secara optimal menyerap hasil panen petani, karena Bulog juga harus berkejaran dengan para tengkulak," katanya.

Selain itu, kata dia, prognosa pengadaan beras dan gabah oleh Bulog Banyumas pada 2012 juga mengalami peningkatan dari 2011. Dalam hal ini, lanjutnya, prognosa 2012 untuk Bulog Banyumas telah ditetapkan sebesar 135 ribu ton setara beras atau naik dari 2011 sebesar 70 ribu ton setara beras setelah mengalami revisi (sebelum direvisi sebesar 95 ribu ton setara beras- red).

Terkait hal itu, pihaknya mengharapkan HPP 2012 dapat segera diterbitkan sehingga Bulog dapat segera melakukan pembelian gabah dan beras petani karena panen raya di wilayah Banyumas diperkirakan akan berlangsung pada Maret mendatang. (ant)
Sumber : Medan Bisnis

Sabtu, 24 Desember 2011

Analisis==> HPP Gabah Jongkok Oleh : M Maksum Maqfuedz
DUA tahun lalu, tepatnya 29 Desember 2009, Inpres 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan yang mengatur Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ditandatangani dan berlaku efektif 1 Januari 2010. Inpres ini memperbaiki HPP dengan rerata kenaikan 10% dibanding Inpres yang digantikan, yaitu Inpres 8/2008 yang diundangkan Desember 2008. Yang tidak pernah diduga selepas dua tahun terbitnya Inpres 7/2009, dinamika pangan dan perekonomian global sungguh bergejolak. Gejolak perekonomian terjadi akibat krisis ekonomi beberapa negara Eropa yang berinteraksi dengan krisis politik Timur Tengah dan Afrika Utara. Politik pangan global juga mengalami perubahan nyata karena konflik peruntukan produk pertanian bagi pangan, pakan dan energi. Yang terakhir ini terasa semakin ketat ketika perubahan iklim global tidak mudah dijinakkan. Eskalasi harga pangan tentu merupakan satu dari implikasi serius dinamika tersebut. Tidak mengherankan kalau persoalan * Bersambung hal 7 kol 5 harga diangkat oleh FAO dan seluruh penjuru dunia sebagai persoalan bersama dalam peringatan Hari Pangan Sedunia dua bulan lalu dengan gerakan bersama menuju stabilisasi harga. Menarik sekali tema stabilisasi ini. Sayangnya pengertian yang intinya memperkecil selisih antara harga murah dan harga mahal hanya secara parsial dijabarkan menjadi waton murah. Akibatnya, Inpres 7/2009 yang mengamanatkan HPP murah itupun urung disesuaikan meski kedaluwarsa, dan hanya diganjal Inpres 8/2011 tentang kebijakan pengamanan cadangan beras yang dikelola pemerintah dalam menghadapi kondisi iklim ekstrem, diterbitkan 15 April 2011, dan memberi keleluasaan harga beli. Tetapi, ternyata tidak efektif sebagai basis pengadaan cadangan beras Bulog. Akhirnya, petani dipaksa ikhlas melihat Republik ini keblinger impor beras. Keblinger karena hakikat masalahnya adalah HPP gabah dan beras yang teramat jongkok, sama sekali tidak rasional dan semakin rendah dibandingkan harga pasar. Ini masalahnya dan harus diperbaiki dengan adil dan seksama dengan mempertimbangkan banyak hal. Pertama, fakta lapangan membuktikan bahwa HPP sudah kelewat rendah dibandingkan harga pasar pada saat panen raya sekalipun. Karena itu, kenaikan HPP mutlak adanya. Kedua, secepat-cepatnya kerja Pemerintah, HPP baru yang efektif berlaku 2012 apapun skenario perhitungannya harus memperhatikan kemerosotan nilai uang yang dua tahun terakhir lebih dari 12%. Inilah angka indikatif dan proxi eskalasi beaya produksi. Ketiga, Inpres 7/2009 memiliki cacat akademik yang tidak bisa ditolerir. Cacat ini menuntut Inpres dicabut demi rasionalitas akademik. Cacat tersebut terdapat pada proporsionalitas HPP yang berimplikasi bahwa rendemen perberasan adalah 65%. Ini tidak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium. Keempat, perlu disadari HPP baru adalah antisipasi masa depan yang jelas sekali inflationary. Karenanya HPP baru harus prospektif untuk masa depan. Bukan hanya kompensasi masa lalu dengan dua tahun inflasi. Kelima, kecuali nalar prospektif, HPP yang baru harus memiliki nalar stimulatif karena beras akan semakin strategis sesuai dengan target Republik ini yang ingin berkemandirian dan berkedaulatan pangan. Berdasarkan beberapa catatan tersebut, bisa diusulkan bahwa persentase kenaikan HPP harus berbeda antara gabah dan beras, serta mengandung makna stimulatif. Untuk HPP Gabah Kering Panen (GKP): Persentase kenaikan disarankan sekurangnya 17.5% dari angka yang diamanatkan Inpres 7/2009 sebesar Rp 2.640 dan Rp 2.685 per kilogram menjadi Rp 3.100 dan Rp 3.155 pada tingkat lapangan dan gudang. Dengan rerata kenaikan 17.5%, HPP untuk Gabah Kering Giling (GKG), diusulkan berubah dari Rp 3.300 dan Rp 3.345 menjadi Rp 3.880 dan Rp 3.930 per kilogram. Sementara itu, karena adanya tuntutan kelayakan proporsionalitas teknis dalam perberasan, diusulkan bahwa kenaikan HPP beras sekurang-kurangnya sebesar 20%. Akibatnya, HPP beras sudah waktunya dinaikkan dari angka lama menurut Inpres 7/2009 sebesar Rp 5.060, berubah menjadi Rp 6.075 per kilogram. Angka HPP baru ini niscaya akan menyelamatkan pendapatan petani sekaligus mengamankan upaya pengadaan cadangan dalam negeri. HPP ini juga lebih menjamin watak keterjangkauan oleh daya beli masyarakat karena kemudahan cadangan dan kapasitas pengendalian harga melalui operasi pasar.                                                                                    (Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PBNU)

Rabu, 21 Desember 2011

RUU Pangan: Kriminalisasi Nahdliyin

Beberapa hari terakhir ini banyak pihak sibuk mencermati RUU Pangan yg baru diluncurkan oleh DPR. Tidak dipungkiri bahwa semangat RUU ini sedikit lebih maju dari UU Pangan yang akan digantikannya. Sekurang-kurangnya, hal tersebut nampak dari: (i) orientasi kedaulatan dan kemandirian pangan, (ii) semangat otonomi daerah, keragaman pangan dan potensi lokalita, (iii) pembenahan kelembagaan pangan berbasis multidimensi, dan (iv) standarisasi keamanan pangan.

Setelah mencermati pasal demi pasal, keberadaan pasal-pasal sebagai jabarannya ternyata nuansa yang tersurat maupun yang tersirat sangat jauh dari semangat reorientasi tersebut. Itu kalau tidak boleh dikatakan justru berbau penjajahan dan kolonialisasi terhadap sistem pangan nasional RI.

Dalam bahasa Bung Karno, BK, hal seperti  itulah yang 1960an BK sebut sebagai NEKOLIM: neokolonialisme dan neoimperialisme. BK juga menyindir mereka yang membuka diri bagi maraknya penjajahan baru dalam urusan ekonomi politik sebagai Antek Nekolim.

Dewasa ini sungguh tidak mudah membedakan antara pemikiran Nekolim, Antek Nekolim dan Negarawan. Itu yang bisa dilihat terkait dengan beberapa permasalahan besar di balik urusan importasi beras, kedele, daging sapi sampai garam dapur. Itu pula yang mewarnai investasi persawitan nusantara. Keabu-abuan yang sama juga potensial muncul dalam nuansa RUU Pangan yang penuh ambigu. Sekurang-kurangnya, terdapat beberapa fatalitas serius tersirat dari rumusan para Negarawan dalam RUU yang berbau Nekolim ini, antara lain dalam urusan: kelembagaan pangan (Pasal 105 RUU) dan aturan peralihan, investasi pangan (Pasal 118), dan desentralisasi pangan (banyak pasal). Yang paling parah, RUU pangan ini kecuali menggusur nasib petani nahdliyin vis-à-vis pelaku usaha kapitalistik, RUU ini sangat besar potensi kriminalisasinya terhadap petani Nahdliyyin.

Masalah pertama adalah kelembagaan pangan yang kelewat powerrful. Harus diakui bahwa kekuatan otoritas pangan RI memang kini sedang memble. Dewan Ketahanan Pangan yang operasional dijalankan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian RI sangat banci kekuatan politiknya. BKP ini bahkan nyaris tidak terdengar di kementerian lain padahal tugas koordinatifnya sangat penting dan harus serbacakup. Kapasitas BKP dalam memperpadukan kelautan, kesehatan, kehutanan, industri dan perdagangan sangat minim. Sementara itu,  Bulog sebagai buffer system juga mandul adanya. Why? Karena tidak punya power politik dan didekte banyak pihak.

Solusinya: Bubarkan BKP! Bentuk otoritas baru yg bukan dibawah Kementan tetapi lebih koordinatif dengan power politik pangan paripurna. Sementara itu, buffer system yang selama ini dijalankan Bulog akan menjadi salah satu instrumennya. Bentuk otoritasnya ada beberapa pilihan. Dalam hal ini bisa Badan yang setingkat kementerian, kementerian, Kemenneg, atau bahkan Kemenko pangan. Persoalannya, ketika membaca aturan peralihan, otoritas ini ternyata memiliki kapasitas operasi seperti Bulog. Apa jadinya? Pasti otoritas ini menjadi gudang moral hazard, aib administratif birokrasi yang senantiasa mengedepankan pendekatan importasi dengan segala upeti operasionalnya.

Fatalitas kedua, terbukanya sektor pangan bagi asing. Meski disyaratkan bahwa bentuknya adalah PMDN, penanaman modal dalam negeri, keterbukan ini sepenuhnya adalah ketersesatan dan keterjebakan dalam Nekolim. Cermati misalnya Pasal 5 ayat 4 yang menyebutkan bahwa importasi dibenarkan ketika produksi dalam negeri kurang atau tidak diproduksi dalam negeri. Kelihatannya sangat rasional, tetapi jelas sekali ini jebakan untuk menghalalkan importasi yang berlebihan.

Untuk urusan pangan, utamanya pangan strategis, sepatutnya diharamkan investasi neolib. Kita harus belajar dari Doha Round, yang dilawan oleh Menteri Perdagangan India dengan dalih: I'm not Risking for the livelihood of millions of farmers. Seharusnya kita belajar dari ajaran Kamal Nath ini, bukan malah menggelar karpet merah bagi importasi yang sangat menyebarkan marjinalisasi petani sendiri.

Soal ketiga adalah bingkai nasional terhadap keragaman, lokalita dan desentralisasi pangan.  Lokalita dan desentralisasi Tentu ini adalah wajib yang mutlak sifatnya dalam perkembangan politik RI. Hanya saja harus diingat bahwa desentralisasi tentu harus terkoordinasi. Bukan desentralisasi semau gue yang 'sak karepe udele dewe': jalan dewek. Soal diversifikasi, benih, exportasi, importasi, proteksi, dsb pada level desentralisasi ini sangat memerlukan payung koordinatif dan protektif oleh Pemerintah Pusat. Bukan semaunya daerah sendiri. RUU ini tidak cukup menjamin langkah koordinatiof bagi urusan desentralisasi dalam hal pangan ini. Dengan gerak tidak koordinatif ini potensi neoliberalnya niscaya akan menjadi solusi bnagi masing-masing daerah otonom.

Yang paling merisaukan PBNU adalah fatalitas ke-empat, yaitu, potensi RUU dalam marjinalisasi dan kriminalisasi kehidupan Nahdliyyin pada tingkat basis yang notebene adalah mayoritas Nahdliyyin dan sekaligus mayoritas warga bangsa RI. Tiga fatalitas tersebut pada akhirnya merupakan jerat nyata pola pikir neoliberal yang tidak pernah menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi rakyat Nahdliyyin pada tingkat akar rumput. Otoritas yang berorientasi impor, terbukanya pasar bagi siapapun, dan desentralisai tanpa kendali, pada akhirnya akan menempatkan petani dan usaha kecil dan mikro pangan matu kuti tanpa daya dalam permainan pasar pangan yang super neolib.

Sementara itu, pola piklir nekolim yang tersurat dalam pasal-pasal keamanan pangan, standarisasi mutu, pemenuhan gisi, dan sebagainya, jelas sekali menempatkan rakyat NU yang sama tidak mampu memenuhinya dan karenanya, rakyat Nahdliyyin hanya punya pilihan: melanggar UU Pangan atau exit, keluar dari pasar sebagai produsen maupun penjual pangan segar maupun olahan. Berbagai pasal RUU ini yang menyebutkan beragam sanksi dalam pelanggaran pemenuhan standard tentu merupakan proses kriminaklisasi terhadap rakyat kecil dan fakir-miskin pelaku ekonomi, yang adalah Nahdliyyin.

Melihat banyak kedaruratan yang disebutkan dalam empat fatalitas di atas, maka sudah tidak bisa ditawar lagi bahwa berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, al-adalah dan at-ta’awun, PBNU segera mengerahkan segala kekuatan dakwah dan advokasinya melalui seluruh kader Bangsa menyerukan dan pimpinan RI untuk melakukan pembenahan RUU pangan ini dengan cermat agar supaya UU pangan menjadi masuk akal, berkedaulatan, berkeadilan, tidak pernah dlalim dan membunuh rakyat kecil, serta tidak sarat dengan kriminalisasi rakyat kecil.

Seharusnya senantiasa diingat bahwa pangan bukanlah sekedar komoditas ekonomis, apalagi finansial. Sepenuhnya harus disadari bahwa sebutir pangan itu multidimensional, penuh dengan urusan politik, HAM, keadilan, kebangsaan dan spiritualas. Karenanya, segala fatalitas  harus ditinjau ulang berdasar multidimensi watak pangan demi kedaulatan dan keadilan bagi mayoritas Nahdliyyin, …..insya Allah...




Oleh Muhammad Maksum Mahfudh


Harga beras miskin naik maksimal Rp 900 per kg

JAKARTA. Usulan kenaikan harga tebus (beras miskin (raskin) akan meningkatkan kewajiban rumah tangga miskin (RTM) membayar raskin lebih mahal Rp 400-Rp 900 per kilogram (kg) dari harga saat ini.

Tahun ini sebanyak 17,5 juta RTM mendapatkan 15 kg per bulan per RTM dengan harga tebus Rp 1.600 per kg. Angka itupun bahkan hanya patokan harga penyaluran Badan Urusan Logistik (Bulog) hingga titik distribusi. Untuk sampai di tangan penerima, raskin akan dikenai biaya angkut dari titik distribusi hingga titik bagi.

Rencana peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) yang akan dirilis pemerintah pada tahun depan menjadi pertimbangan bakal naiknya harga tebus raskin. Bulog mengklaim harga rasional itu bakal berdampak pada kuantum raskin per bulan.

Direktur Utama Bulog, Sutarto Alimoeso, menuturkan, harga tebus raskin usulan itu berpotensi meningkatkan kuantum ideal raskin. Apabila harga tebus dinaikkan menjadi Rp 2.000-Rp 2.500 per kg, pemerintah bisa menggeser alokasi subsidi raskin untuk menambah besaran raskin per bulannya menjadi 20 kg per RTM.

Dia meyakini, kenaikan harga tebus yang bakal meningkatkan kuantum raskin lebih banyak itu bakal disambut baik oleh penerima raskin. "Sebab, alokasi 10 kg-15 kg per bulan dinilai kurang bisa memenuhi kebutuhan sebulan terutama bagi RTM beranggota keluarga banyak," ujarnya, Rabu (21/12).

Pada 2010, produksi beras nasional sebanyak 40,716 juta ton. Sementara Bulog mendapat tugas pengadaan beras sebanyak 3,2 juta ton. Khusus untuk penyaluran raskin pada tahun lalu sebesar 2,157 juta ton.

Senin, 19 Desember 2011

Pemerintah Kaji Kenaikan Harga Beras dan Gabah

Kementerian Pertanian tengah mengkaji kemungkinan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Menurut Menteri Pertanian Suswono, hal ini dilakukan karena harga yang berlaku di tingkat petani sudah jauh melampui HPP yang ditetapkan.

“Karena itu, plus-minusnya akan dilihat, berapa kenaikan yang ideal dan jangan sampai memicu inflasi,” kata dia dalam seminar "Isu Perbatasan dalam Rangka Kesejahteraan Rakyat" di kantor Kementerian Pertanian, Senin, 19 Desember 2011.

Saat ini, pemerintah menetapkan HPP gabah kering panen Rp 2.640 per kilogram dan Rp 2.685 per kilogram di penggilingan. Sedangkan HPP gabah kering giling mencapai Rp 3.300 per kilogram dan Rp 3.345 per kilogram di gudang Perum Bulog. Untuk HPP, beras dipatok Rp 5.060 per kilogram.

Namun, meski pemerintah tak menaikkan HPP, Suswono meminta Bulog tetap menyerap beras petani dengan maksimal. Sebab, pemerintah sudah mengeluarkan Instruksi Presiden tentang kebijakan pengamanan cadangan beras untuk menghadapi kondisi iklim ekstrem. Beleid itu memberi Bulog keleluasaan untuk menyerap beras dan gabah petani sesuai harga pasar.

Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimeso mengatakan kenaikan HPP harus mengacu pada 4 faktor, yakni kenaikan kesejahteraan petani, tidak mengakibatkan inflasi, perhitungan harga beras dunia, dan acuan harga pembelian beras oleh Bulog saat ini. “Secara internal, kami sudah dapat angkanya,” katanya.

Sumber : Tempo

Pemerintah Diminta Tetapkan HPP Beras

Bulog Subdivisi Regional (Subdivre) IV Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) mengharapkan agar pemerintah pusat segera menerbitkan patokan harga pembelian pemerintah (HPP) beras dan gabah untuk pengadaan pangan 2012. Pembaharuan HPP mendesak dilakukan agar Bulog bisa bekerja secara maksimal.
Kepala Bulog Subdivre IV Banyumas, Witono, menyatakan, HPP diharapkan bisa dikeluarkan sebelum 2012. "Dengan adanya HPP yang baru maka kita bisa menyepar beras atau gabah petani secara maksimal. Sebab Bulog juga harus berkejaran dengan para tengkulak," Jika HPP yang baru sudah ada maka kita bisa secara optimal menyerap hasil panen petani," kata Witono Minggu (18/12).
Gubernur Jawa Tengah juga sudah mendesak pemerintah pusat agar segera menerbitkan ketatuan patokan HPP perberasan sebelum Januari 2012. HPP juga penting bagi petani untuk kepastian hargal.
HPP baru tersebut untuk merevisi HPP lama, agar pembelian bisa disesuaikan kondisi dan harga di pasaran saat ini, yang kecenderungannya terus meningkat. Sebab menurutnya, HPP lama yang diatur dengan Instruksi Presiden (Inpres) no 7 tahun 2009 sudah tidak sesuai dengan harga di pasaran.
Dalam Inpres tersebut mengatur HPP untuk gabah kering giling (GKG) hanya Rp3.345 per kilogram (kg), sedangkan beras hanya Rp5.060 per kg.
Sementara saat ini harga beras lokal di tingkat konsumen sudah mencapai Rp7.600 hingga Rp7.800 per kg. "Pembaharuan patokan HPP mendesak dilakukan agar kita bisa bekerja sekarang ini," ujarnya.
Witono berharap patokan HPP pengadaan pangan 2012 harus bisa ditertibkan awal tahun 2012. Jika dengan menggunakan standar lama maka Bulog kalah dengan para tengkulak beras yang sangat agresif dalam mencari gabah atau beras.
Selaian itu Bulog juga bisa langsung bekerja sebab panen di Jawa Tengah bagian selatan sifatnya lumintu artinya panen masih berlangsung secara sporadis di sejumlah tempat meski dalam skala kecil.
Panen raya diperkirakan akan berlangsung pada Maret sampai April tahun mendatang. "Dengan kondisi demikian Bulog masih bisa leluasa melakukan penyerapan,"jelas Witono.
Mengingat prognosa yang ditetapkan untuk wilayah Sub Divre IV Banyumas pada 2012 kata Witono, sebanyak 135 ribu ton setara beras, kuatonya lebih besar dari prognosa pada 2011 yang sudah direvisi sebesar 70.000 ton setara beras.
Saat ini, stok yang ada di Bulog Banyumas sudah mencapai 26.000 ton atau mampu melayani sampai tiga bulan mendatang. "Stok kita sebenarnya sudah aman, akan tetapi kita terus berusaha untuk melaksanakan penyerapan untuk menambah stok,” tambah Witono.
Dengan prognosa sebesar 135.000 ton menurutnya diperlukan percepatan penyerapan pangan. Langkah yang sudah ditempuh Sub Divre tidak hanya akan merangkul mitra usaha dan koperasi yang sudah ada.
Namun Bulog juga akan merangkul kelompok tani dan gabungan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan di wilayah kerjanya, Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara.

Sumber : Pikiran Rakyat

Minggu, 18 Desember 2011

Tahun 2012 Tak Perlu Lagi Impor Beras?

  Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso berharap pada tahun 2012 pihaknya tidak perlu lagi mengimpor beras. Hal ini bisa terjadi jika  perkiraan produksi padi nasional naik 13%, dari 65 juta ton tahun ini menjadi 74 juta ton tahun depan.
“Dengan adanya peningkatan produksi padi sebesar itu Bulog bisa melakukan pengadaan beras dari petani sebesar  3,5 juta-3,6 juta ton dari total proyeksi pengadaan beras 4 juta ton pada tahun 2012,” katanya dalam acara Media Gathering Forum Wartawan Bulog dengan tema Produksi padi dan Tantangan Perubahan Iklim 2012 di Bogor, hari ini.
Adanya berbagai  cara dan upaya yang dilakukan berbagai instansi terkait diyakini produksi beras dalam negeri akan meningkat. Dengan demikian impor tidak perlu lagi dilakukan. Apalagi   jika produksi padi naik menjadi 74 juta ton.
Target pengadaan beras Bulog sebanyak  4 juta pada tahun depan menurut Sutarto bisa dilakukan dari dalam negeri sekitar 3,5 juta-3,6 juta ton. Sedangkan yang  500.000 ton berasal dari sisa  impor beras pada 2011.
Pengadaan beras Bulog dari petani yang jumlahnya mencapai  3,5 juta berdasarkan skenario optimistis produksi padi dalam negeri  naik 13%. Sementara pihaknya juga menetapkan skenario pesimistis dan moderat yang tidak semuanya dibuka ke ranah publik.
Untuk scenario pesimistis memang sengaja tidak dibuka ke public mengingat kondisinya sangat sensitif. Pernah suatu saat pemerintah Philipina mengumumkan akan mengimpor beras hingga 2 juta ton.
“Ternyata mendengar adanya rencana tersebut harga beras dunia langsung melonjak dari $ 400  US menjadi 600 $ US. Tentu hal ini tidak diinginkan jika sampai membuat Bulog kesulitan.
Kendati demikian pihaknya  tidak mengharapkan terlaksananya skenario pesimistis yang memaksa Bulog mengimpor beras. Kendati demikian jika memang terpaksa harus mengimpor beras dia meminta pemerintah secepatnya memutuskan, jangan berlarut seperti pada tahun ini baru ditetapkan pada September.
Dia juga mengungkapkan bahwa pihaknya  akan menyalurkan raskin ke-13 pada tahun ini. Jumlah  raskin yang akan disalurkan pada tahun ini jumlahnya sekitar  3,4 juta ton.

Sumber : Pos Kota

Jumat, 16 Desember 2011

Nasihat Untuk Jamaah Haji

 Nasihat Bagi Jamaah Haji :

Sebelas Alasan Untuk Tidak Umrah Berulang Kali Saat Berada Di Mekkah

Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal (di luar tanah haram), seperti Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala.

Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh dengan penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa’i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh ‘Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]

SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH

Suatu ibadah agar diterima oleh Allâh, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Di samping itu, juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.

Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari’at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allâh Ta'ala.

Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida‘ (melampaui batas) terhadap hak Allâh Ta'ala, dalam aspek penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allâh Ta'ala dalam hukum-Nya.

Allâh Ta'ala berfirman :

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh?
Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allâh) tentulah mereka telah dibinasakan.
Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih."
(QS asy Syura /42: 21)[2]

JUMLAH UMRAH RASÛLULLÂH SHALLALLÂHU 'ALAIHI WASALLAM

Sepanjang hidupnya, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melakukan umrah sebanyak 4 kali.

hadist

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata :
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan umrah sebanyak empat kali.
(Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji’ranah,
dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau”. [3]

Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat.[4] Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.

Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan. Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha‘[5] pada tahun 7 H. Selama tiga hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa‘dah.[6]


SEBELAS ALASAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI

Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dalam Fatawanya. Pendapat beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullâh dalam Syarhul Mumti’.[7]

Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas– tidak disyariatkan.

Pertama. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullâh menyimpulkan, setiap umrah mempunyai safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja.[8] Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah.

Kedua. Tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari para sahabat yang menyertai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam haji Wada’ yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Mereka juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah.

Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan syariat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.[9]

Ketiga. Umrah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di sana.

Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah.

Dalam hal ini beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]

Keempat. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam.

Padahal thawaf di Ka’bah sudah masyru’ (disyariatkan) sejak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam diutus, dan bahkan sejak Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Mereka mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu. Hal ini mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah.

Tidak mungkin Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul (yang nilainya kurang) dibandingkan amalan yang lebih afdhal (nilainya lebih utama) dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk melakukan umrah berulang-ulang saat berada di Mekkah.[11]

Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata,

”Tidak ada umrah yang beliau lakukan dengan cara keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah. Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali ‘Aisyah semata…"[12]

Kelima. Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallâhu'anha pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliau mengizinkannya setelah ‘Aisyah memohon dengan sangat.[13]

Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Aisyah radhiyallâhu'anha mendapatkan haidh. Karena ‘Aisyah radhiyallâhu'anha menyangka, bahwa umrah yang ia lakukan bersamaan dengan haji (haji qiran) batal, ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengijinkan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha melakukan umrah lagi dan memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah radhiyallâhu'anha ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah di sana.

Umrah yang dilakukan ‘Aisyah radhiyallâhu'anhaini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.

Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan, (Umrah ‘Aisyah radhiyallâhu'anha) dijadikan dasar tentang umrah dari Mekkah. Dan tidak ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) masyru’ (disyari'atkan) selain riwayat tersebut. Sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]

Imam asy-Syaukani rahimahullâh berkata,

”Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang. Dan tidak ada riwayat, yang menerangkan sahabat Nabi melakukan yang demikian itu”.[15]

Keenam. Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak mewajibkannya atas penduduk Mekkah.

Imam Ahmad rahimahullâh pernah menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:

“Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”.

‘Atha bin Abi Rabah rahimahullâh[16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah– berkata :

“Tidak ada manusia ciptaan Allâh kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan itu sudah mencukupi”.

Thawus rahimahullâh[17] berkata:

“Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)

Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup, kecuali ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja (Kisah ini sudah dijelaskan di atas).

Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah radhiyallâhu'anha saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]

Ketujuh. Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa’i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan).[19]

Kedelapan. Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut.

Kesembilan. Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah.

Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al-Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama.[20]

Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya. Sa’id bin Manshur rahimahullâh meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus rahimahullâh, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu mengatakan :

hadist

“Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa”.
Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?”
Beliau menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang dari menempuh jarak empat mil tersebut, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21]

‘Atha` pernah berkata :

“Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”.[22]

Kesepuluh. Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam.

Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum. [23]

Di antara dalil yang umum, hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:

hadist

Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya.[24]

Tentang hadits ini, Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullâh mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim.[25]

Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang.

Kesebelas. Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26]

LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF

Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Ibadah yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menambahkan :

“Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.

Alasannya, kata beliau rahimahullâh, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allâh) yang paling afdhal yang telah Allâh tetapkan di dalam Kitab-Nya, berdasarkan keterangan Nabi-Nya.

Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnya. Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu.

Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

"Wahai Bani Abdi Manaf,
janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka’bah
dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang. [27]

Allâh Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Ismail 'alaihissalam dengan berfirman :

(QS al-Baqarah/2:125)

Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf,
yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.
(QS al Baqarah/2:125)

Dalam ayat yang lain:

(QS al-Hajj/22:26)

Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf,
dan orang-orang yang beribadah dan orangorang yang ruku’ dan sujud.
(QS al Hajj/22:26)

Pada dua ayat di atas, Allâh Ta'ala menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka’bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku’ dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja.

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallambersabda:

hadist

Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat penyuci bagi diriku.
(HR. al Bukhari-Muslim)

Maksudnya, Allâh Ta'ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu.

Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat yang tempat pelaksanaannya lebih umum. Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28] Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

hadist

Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali,
seperti membebaskan satu budak belian.[29]

Kesimpulannya, memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[30]

Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan umrah berulangkali saat berada di Mekah, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat radhiyallâhu'anhum. Dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Yaitu dalam sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:

"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu."
(Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.)’. 31

Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallâhu a’lam bish-shawab.

Maraji :

Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul ‘Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi.
Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M.
Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit.
Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M.
Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma’arif, Cet. I, Th. 1419H – 1998M.


[1]
Fatawa al ‘Utsaimin, 2/668.
[2]
Lihat penjelasan Dr. Muhammad bin Abdir Rahman al-Khumayyis dalam adz-Dzikril Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’, halaman 7-8.
[3]
Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 816; Shahih Sunan Ibni Majah, no. 2450.
[4]
Zadul Ma’ad, 2/89.
[5]
Umrah ini dikenal dengan nama umrah Qadha‘ atau Qadhiyah, karena kaum muslimin telah mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy. Bukan untuk meng-qadha (menggantikan) umrah tahun sebelumnya yang dihalangi oleh kaum Quraisy. Karena umrah tersebut tidak rusak sehingga tidak perlu diganti. Buktinya, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak memerintahkan para sahabat yang ikut serta dalam umrah pertama untuk mengulanginya kembali pada umrah ini. Oleh sebab itu, para ulama menghitung jumlah umrah Nabi sebanyak empat kali saja. Demikian penjelasan as-Suhaili rahimahullâh. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Zadul Ma’ad, 2/86.
[6]
Majmu al Fatawa, 26/253-254; Zadul Ma’ad, 2/86.
[7]
Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy -Syarhul Mumti’, 7/407.
[8]
Fatawa al-‘Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[9]
Majmu’ al Fatawa, 26/252.
[10]
Majmu’ al Fatawa, 26/254.
[11]
Lihat Majmu’ al Fatawa, 26/256. 273.
[12]
Zaadul Ma’ad, 2/89.
[13]
Majmu’ al Fatawa, 26/252.
[14]
Zaadul Ma’ad, 2/163.
[15]
Dikutip dari al Wajiz, halaman 268.
[16]
Atha bin Abi Rabah Aslam al Qurasyi al Fihri rahimahullâh, dari kalangan generasi Tabi'in. Berguru kepada sejumlah sahabat Nabi. Di antara mereka, Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id al Khudri, 'Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash dan Abdullah bin Zubair radhiyallâhu'anhum. Seorang mufti Mekah di zamannya dan dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang manasik haji. Wafat tahun 114 H.
[17]
Thawus bin Kaisan al Yamani rahimahullâh, berdarah Persia, dari kalangan generasi Tabi'in. berguru kepada sejumlah sahabat. misalnya, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Muad bin Jabal radhiyallâhu'anhum. Seorang ahli fiqh di zamannya. Wafat tahun 106 H.
[18]
Majmu’ al Fatawa, 26/256-258.
[19]
Ibid, 26/262.
[20]
Ibid, 2/264.
[21]
Ibid, 26/264.
[22]
Ibid, 26/266.
[23]
Ibid, 26/270.
[24]
HR al Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349.
[25]
Asy Syarhul Mumti’, 7/408.
[26]
Fatawa al ‘Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[27]
Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254.
[28]
Majmu’ al Fatawa, 26/250-252 secara ringkas.
[29]
Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[30]
Majmu’ al Fatawa, 26/290.
[31]
Al Wajiz, halaman 268.