Selasa, 20 November 2012

Pekerjaan Besar Bidang Pangan

Setelah mengalami penantian cukup panjang, RUU Pangan akhirnya disahkan menjadi UU. Mencermati naskah UU Pangan terbaru ini, ternyata kita masih dihadang pekerjaan rumah yang besar dan berat.
UU Pangan versi baru cakupannya sangat luas. Agar lebih jelas ruang lingkupnya, maka diuraikan terlebih dahulu perbedaan antara pangan dan pertanian.
Pangan merupakan hasil dan atau produk olahan dari hasil pertanian. Sementara cakupan pertanian itu meliputi pertanian pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan serta air. Pengaturan yang berkaitan dengan pertanian lebih menyangkut budidayanya (on farm), sedangkan untuk pangan lebih menyangkut penyediaan, pengolahan, distribusi, keamanan, kesehatan, dan konsumsinya (off farm).
Bagi negara yang menganut paham pasar bebas, UU Pangan lebih banyak mengatur keamanan pangan saja. Urusan lain diatur oleh pasar. Berbeda dengan UU Pangan yang lama (UU No 7/1996). Selain mengatur keamanan pangan, juga mengatur tentang ketahanan pangan, stabilisasi harga pangan, label dan iklan pangan, dan lain-lain. Jadi sudah lebih komprehensif.
Dulu dan kini
Dari pemahaman di atas, maka tidak mudah membuat peraturan pemerintah (PP) dari UU Pangan yang baru disahkan ini mengingat ruang lingkupnya sangat luas dan banyak yang sudah diatur berbagai UU dan PP sebelumnya secara sektoral. Pertanyaannya, UU Pangan baru ini akan jadi ”komandan” dalam arti UU lain harus menyesuaikan atau jadi koordinator saja.
UU Pangan yang lama hanya bersifat mengoordinasikan dan mengisi pengaturan pangan yang belum ada atau belum diatur secara jelas. Untuk UU Pangan baru, landasannya adalah kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan dan keadilan. Dengan demikian, logikanya, UU lain harus menyesuaikan UU ini. Maka, hal ini mungkin akan menjadi persoalan tersendiri.
Dalam mengajukan RUU Pangan tahun 1976 diperlukan persetujuan tertulis dari Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri Kehakiman, serta Menteri Sekretaris Negara yang mengoordinasikan semua legislasi saat itu. Adapun RUU-nya disiapkan selama tiga tahun, konsepnya dibahas dengan tim antardepartemen dan sudah disosialisasikan bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional. Selain itu, untuk menyusun rancangan PP tentang pangan, kita masih harus melibatkan instansi terkait sehingga diperlukan waktu yang cukup lama. Sekarang ini ego sektoral tampak lebih menonjol sehingga penyelesaian RPP-nya diperkirakan akan lebih alot.
Pada saat ini GBHN sudah tidak ada lagi dan sebagian besar kewenangan mengenai pangan sudah diserahkana kepada daerah. Dahulu, untuk membuat PP tentang label dan iklan pangan perlu tiga tahun dan terjadi perdebatan publik yang keras tentang label halal. Untuk menyelesaikan PP tentang keamanan dan mutu gizi pangan butuh tiga tahun lebih, bolak-balik masuk Sekretariat Negara. Namun, sebelum disetujui oleh Sekretariat Negara terjadi kecelakaan. Kantor Menteri Pangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Alhasil, PP tentang Keamanan, Mutu. dan Gizi Pangan diselesaikan oleh Departemen Kesehatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada 2004. Pada 2002, PP tentang Ketahanan Pangan diselesaikan oleh Departemen Pertanian (Badan Ketahanan Pangan).
Hal yang akan menjadi ganjalan dalam penyelesaian RPP UU Pangan yang baru adalah faktor kelembagaannya. Pertama, lembaga tersebut diharapkan yang akan menjadi inisiator dan atau koordinator penyusunan RPP.
Kedua, bentuk lembaga dalam UU Pangan tak diatur eksplisit, hanya memerintahkan kepada Presiden membentuk ”lembaga pemerintah” untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Apabila tugasnya seperti ini, lembaganya akan jadi ”lembaga super”, harus adi komandan lembaga di bawah urusan pangan. Tidak mungkin hanya berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Bentuk Kementerian Pangan sekalipun tidak cukup. Apalagi sekarang tak ada GBHN lagi dan kewenangan urusan pangan sudah diserahkan kepada daerah.
Ketiga, masalah anggaran akan menjadi kendala karena untuk lembaga yang baru belum dapat berbuat apa-apa lantaran belum ada anggarannya. Selain itu, masalah pengisian staf dengan kualifikasi seperti yang diinginkan juga tak mudah.
Keempat, untuk lembaga baru akan ada kendala kantor, membangun kantor yang baru perlu waktu dan biaya, untuk persetujuan anggaran perluasan kantor KPK saja menjadi persoalan. Kelima, apabila tugas perencanaan dari lembaga ini tidak disertai anggaran untuk pelaksanaannya di daerah, nasibnya akan sama dengan yang sekarang ini alias tidak jalan.
Jalan keluar
Pekerjaan rumah yang diberikan UU Pangan kepada pemerintah cukup pelik dan sulit. Dibentuk kementerian pangan baru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkendala jumlah kementerian yang sudah dibatasi. Apalagi bentuk yang diinginkan super kementerian, hal ini tidak ada kamusnya di negeri ini. Dibentuk ”Badan Otoritas Pangan” yang memiliki kewenangan luas, seperti dikemukakan penggagas RUU Pangan, SBY menghadapi aturan bahwa LPNK itu hanya lembaga pusat, tidak punya tangan di daerah. Dalam praktiknya nanti, LPNK Pangan akan kesulitan mengoordinasikan para direktur jenderal di kementerian, apalagi pejabat tingkat menteri.
Dari semua urusan pangan, sebenarnya yang belum ada pengaturan yang jelas tentang cadangan pangan nasional. Untuk itu, disarankan dibentuk Badan Koordinasi Cadangan Pangan Nasional (BKCPN). Badan ini bertugas melaksanakan urusan cadangan pangan pemerintah (pusat), mengoordinasikan dan membina cadangan pangan pemerintah daerah, monitoring cadangan pangan masyarakat, serta secara berkala melakukan stok opname posisi persediaan yang ada di masyarakat.
Karena merupakan lembaga pusat dan menggunakan anggaran APBN, BKCPN dapat memberikan tugas kepada BUMN (Perum Bulog) untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan distribusi cadangan pangan sebagaimana diatur dalam UU Pangan. BKCPN nantinya tinggal mengeluarkan perintah logistik kepada Perum Bulog untuk mengeluarkan cadangan pangan untuk keperluan tertentu di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan koordinasi, sebaiknya BKCPN berkantor di Perum Bulog. Sebagian staf dari BKCPN juga dapat menggunakan staf Perum Bulog karena sudah terbiasa dengan tugas-tugas seperti ini.
Namun, saya khawatir UU ini tak segera ditandatangani karena konsekuensinya berat. Sasaran UU ini, pemerintah wajib mencukupi pangan sampai tingkat perorangan, sedangkan UU Pangan lama hanya sampai tingkat rumah tangga. Ini akan menjadi persoalan karena data yang ada hanya berbasis rumah tangga. Pertanyaan sederhana, sudah siapkah penyaluran raskin berbasis perorangan? Tampaknya hanya Indonesia yang bunyi UU Pangan-nya begitu ideal seperti Indonesia.
Sebenarnya, bila revitalisasi Perum Bulog segera direalisasikan, kebutuhan lembaga seperti disebut di atas tak mendesak walaupun terasa ada yang hilang setelah Bulog yang LPND/LPNK dibubarkan. Namun, tugas-tugas pemerintahan di bidang stabilisasi harga pangan dapat terpenuhi dengan kelembagaan yang ada saat ini. Membentuk lembaga baru juga belum tentu efektif, malah dapat menimbulkan birokrasi baru. Hanya perlu diingat, operasi stabilisasi harga itu ada biayanya, pasti mengalami kerugian, di mana pun di dunia ini yang menjalankan kebijakan stabilisasi harga. Oleh karena itu, segala risiko harus ditanggung pemerintah.

 Sapuan Gafar Sekretaris Menteri Pangan 1993-1999

http://cetak.kompas.com/read/2012/11/19/02153783/pekerjaan.besar.bidang.pangan

Senin, 05 November 2012

Subdivre Banyumas Lampaui Target Pengadaan Pangan 2012


Bulog Subdivisi Regional IV Banyumas, Jawa Tengah, hingga awal November telah melampaui target pengadaan pangan 2012.

"Hingga saat ini, penyerapan gabah dan beras petani yang kami laksanakan telah mencapai 108,9 ribu ton atau melampaui prognosa yang sebesar 108 ribu ton setara beras," kata  Humas Bulog Subdivre IV Banyumas M. Priyono di Purwokerto, Jumat.

Menurut dia, penyerapan yang melebihi target tersebut tidak lepas dari penerapan sistem "dorong tarik jaringan semut" yang dijalani Bulog.

Bahkan, kata dia, sistem "dorong tarik jaringan semut" ini dapat memangkas dominasi pedagang beras bermodal besar maupun pedagang luar daerah yang datang ke wilayah Banyumas.

Dengan demikian, lanjutnya, Bulog Banyumas mampu mencapai target penyerapan beras dengan cepat.

"Coba saja di lapangan, saat ini jarang pedagang luar daerah yang membeli beras dari petani di Banyumas. Dengan sistem 'dorong tarik jaringan semut' ini, kami melalui unit pengolahan gabah dan beras (UPGB) turun langsung ke lapangan untuk membeli beras dari petani," katanya.

Dalam hal ini, dia mencontohkan UPGB berani membeli beras dengan harga Rp6.500 perkilogram, namun pedagang dari luar daerah tidak berani karena mereka harus mengeluarkan ongkos angkut sehingga harga yang ditawarkan jauh di bawah harga Bulog.

Menurut dia, sistem "dorong tarik jaringan semut" juga mampu meredam gejolak harga beras sehingga harganya relatif stabil meskipun sempat terjadi kemarau panjang.

Ia mengatakan, hingga saat ini sistem "dorong tarik jaringan semut" tetap dilaksanakan Bulog Banyumas meskipun target penyerapan telah melampaui prognosa.

"Kalau mitra kerja sudah tidak beroperasi," katanya.

Menurut dia, musim panen di wilayah eks Keresidenan Banyumas bersifat "lumintu" atau terus menerus karena hampir setiap bulan ada daerah yang memasuki masa panen.

"Sebentar lagi sebagian areal persawahan di Kecamatan Maos, Cilacap, memasuki masa panen. Wilayah lainnya ada yang sudah selesai tanam, baru mulai tanam, bahkan ada yang baru mengolah sawah," katanya.

Sumber : Antara