Kamis, 27 September 2012

Dukungan Bulog Harus Total



Dukungan terhadap Bulog sebagai penyangga pangan nasional harus total, baik sisi kebijakan maupun anggaran. Karena itu, pemerintah berniat mengembalikan Bulog sebagai lembaga stabilisasi pangan.
Kebijakan ini tidak lepas dari gejolak harga pangan di dunia yang berdampak terhadap kondisi di dalam negeri. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan sudah menegaskan akan merevitalisasi fungsi Bulog. Badan ini tidak lagi hanya menangani komoditas beras saja, tapi juga komoditi pangan strategis lainnya seperti jagung, kedelai dan gula.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah telah menyiapkan dana untuk peningkatan kapasitas Bulog sebanyak Rp 1,4 triliun. ”Bahkan, untuk menjaga stabilitas harga beras, gula, dan kedelai, peran Bulog akan ditingkatkan dengan menaikkan cadangan ketiga komoditas tersebut sampai sekitar tujuh persen dari kebutuhan nasional,” ujarnya.
Nah agar selaras dengan kebijakan itu, CBP (Cadangan Beras Pemerintah) di Bulog yang kini baru 500.000 ton akan dinaikkan menjadi 2 juta ton atau 5-6 persen kebutuhan beras nasional yang mencapai 37 juta ton. Untuk kedelai, cadangan Bulog harus 162 ribu ton dari total kebutuhan 2,7 juta ton. Sementara gula untuk konsumsi rumah tangga, Bulog harus memiliki cadangan 156 ribu ton dari total kebutuhan 2,7 juta ton.
Menteri Pertanian Suswono dalam berbagai kesempatan mengungkapkan mendukung peran Bulog sebagai lembaga penyangga pangan, terutama beras dan kedelai.  Untuk beras, selama ini pemerintah sudah mempunyai CBP, sehingga jika terjadi gejolak harga, maka pemerintah bisa melakukan operasi pasar. Sementara komoditi yang lain, terutama kedelai, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi pasar, karena tidak mempunyai cadangan. 
”Kalau melihat situasi ke depan, dengan volatilitas harga yang cukup tajam dan kemungkinan antisipasi berbagai macam perubahan iklim, memang penting ada stok pangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk menstabilkan harga melalui operasi pasar. Bulog dimungkinkan untuk itu,’’ kata Suswono kepada wartawan.
Wakil Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Rachmat Pambudi mengatakan, agar Bulog bisa berperan sebagai stabilisator, lembaga itu harus memiliki stok yang cukup untuk operasi pasar jika terjadi gejolak harga. Bulog harus diberi kewenangan penuh untuk mengelola persediaan pangan nasional.
”Jangan seperti sekarang ini, Bulog diberikan tugas tersebut, tapi tidak didukung dana yang cukup. Bahkan, dananya harus mencari sendiri. Yang lebih penting Bulog perlu dukungan kebijakan makro, di bawah payung kebijakan pangan nasional,” katanya.
Siswono Yudho Husodo, Anggota Komisi IV DPR mengatakan, langkah berani pemerintah yang menetapkan Bulog sebagai stabilisator harga beras, kedelai, dan gula sangat bagus. Langkah merevitalisasi Bulog tersebut patut diapresiasi. Namun untuk mengembalikan fungsi Bulog menjadi stabilisator harga tidak perlu dibuat undang-undang (UU) lagi. UU tentang Pangan dapat menjadi dasar membuat kebijakan.
”Pemerintah harus segera mengeluarkan payung hukumnya. Harus ada Inpres atau Perpres yang mengatur secara jelas harga beli dan harga jual, serta hubungan Bulog dan BUMN gula,” tegasnya.
Apalagi lembaga tersebut diharapkan mampu menjadikan lembaga pangan plat merah ini sebagai penyangga stabilitas harga pangan dalam rentang harga yang ditetapkan pemerintah. Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah menetapkan berapa batasan tingkat harga komoditas pangan tertinggi dan terendah yang harus dijaga Bulog.
”Batas harga yang ditetapkan bisa saja berubah sesuai kebijakan pemerintah. Tatapi, semangatnya harus tetap untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri menuju kemandirian pangan,” katanya.
Harga beras kualitas medium saat ini yang harus dijaga Bulog dalam kisaran Rp 6.800 per kg untuk batas bawah dan Rp 7.600 per kg batas atas. Harga gula pada kisaran Rp 9.500–10.000 per kg, harga kedelai Rp 6.500–7.500 kg, harga jagung Rp 2.300-2.900 kg dan harga daging sapi yang harus dijaga bulog pada kisaran Rp 23.000-28.000 kg.
Sumber :  http://www.indopos.co.id

Senin, 17 September 2012

Manufacturing Hope 43 Pasukan Semut untuk Target Balas Dendam Bulog



MESKI pengadaan beras tahun ini sudah mencapai 3,1 juta ton, Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso masih terus keliling daerah. Hari Minggu kemarin, misalnya, Sutarto masih "liburan" di sawah-sawah di sekitar Jogja. "Tahun ini, target kami 3,6 juta ton," katanya. Sebuah target yang ambisius yang membuat seluruh jajaran Bulog kerja keras tanpa weekend.

Bulog memang seperti sedang "balas dendam": target satu tahun itu dibuat sama dengan hasil pengadaan beras selama dua tahun sebelumnya dijadikan satu. Bulog pun mengerahkan "pasukan semut" yang merayap ke desa-desa dan ke sawah-sawah di seluruh Indonesia.

Seluruh jajaran pemerintah memang terlihat all-out tahun ini. Besarnya impor beras tahun lalu (dan tahun sebelumnya) memang cukup membuat kita malu. Menko Perekonomian Hatta Rajasa hampir tiap minggu mengadakan rapat pengadaan beras. Menteri Keuangan Agus Martowardojo tahun ini mencairkan uang muka pengadaan beras lebih cepat dari biasanya.

Dan Tuhan memberikan iklim yang luar biasa. Tahun ini iklim sangat bagus bagi seluruh petani beras, tebu, dan tembakau. Hujan tahun ini sangat deras di awal tahun, berkurang di pertengahan, dan kering di musim kemarau. Panen padi melimpah di mana-mana. Panen tembakau mencapai puncak panen rayanya. Dan panen tebu menghasilkan rendemen yang luar biasa.

Di tengah krisis pangan dunia saat ini, iklim yang begitu bagus yang diberikan Tuhan tahun ini memang harus disyukuri dengan kerja keras. Apalagi kalau bulan depan Tuhan sudah memberikan hujan untuk Jawa. Saat ini hujan memang sudah sampai di Sumatera dan semoga, seperti diramalkan ahli cuaca, bulan depan sudah tiba di Jawa.

"Kalau sampai akhir Oktober belum ada hujan, kita memang harus waspada. Pengadaan beras bisa-bisa tidak mencapai target," kata Sutarto.

Itu karena petani sudah sangat pandai. Begitu pertengahan Oktober belum ada hujan, petani tidak akan jual gabah lagi. Gabah tersebut akan ditahan di rumah masing-masing untuk cadangan pangan. Itu karena petani tahu, kalau hujannya mundur, musim tanamnya juga akan mundur, yang berarti musim panen berikutnya juga mundur. Mereka perlu cadangan pangan lebih banyak di rumah masing-masing.

Saat ini seluruh gudang Bulog penuh dengan beras. "Hari ini, beras kami yang ada di gudang mencapai 2,1 juta ton," ujar Sutarto. Angka tersebut perlu dikemukakan karena Bulog belum pernah memiliki beras dari pengadaannya sendiri sebanyak itu. "Entah sudah berapa tahun kami belum pernah mencapai angka rata-rata setinggi ini," katanya.

Kalau begitu, apakah tahun ini Indonesia sudah terbebas dari keharusan impor beras" Teoretis, beras memang sudah cukup. Impor tidak perlu lagi. Namun, keputusan untuk tidak impor beras sebaiknya juga tidak perlu kesusu. Kalaupun Indonesia perlu impor beras, tujuannya tidak lagi untuk mencukupi kebutuhan, melainkan sekadar untuk "jaga-jaga".

Jumlahnya pun tentu tidak akan besar. "Jaga-jaga" itu juga penting mengingat kecukupan beras tidak bisa disepelekan "misalnya, sekadar karena untuk gagah-gagahan.

Semangat petani menanam padi memang menyala-nyala. Dengan harga beras sekarang ini, petani "lupa" menanam yang lain. Misalnya, kedelai. Sepanjang harga kedelai hanya sedikit di atas harga beras (apalagi sama dengan harga beras), tidak akan ada petani yang mau menanam kedelai.

Saat ini tanaman yang bisa bersaing dengan padi hanyalah tebu. Dengan perbaikan manajemen di seluruh pabrik gula BUMN, hasil gula yang diraih petani saat ini sangat memuaskan.

BUMN sendiri akan terus meningkatkan bantuannya untuk dua komoditas itu. Bahkan, pada musim tanam mendatang, program BUMN yang disebut Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K), dengan program yarnen alias bayar setelah panen, dinaikkan dua kali lipat. Dalam program yarnen itu, BUMN memberikan pinjaman bibit unggul dan pupuk yang semuanya tepat waktu.

Dengan demikian, petani tidak asal membeli benih (misalnya, cari benih yang murah yang disesuaikan dengan kemampuan keuangannya). Demikian juga, petani tidak asal membeli pupuk, bahkan kadang tertipu pupuk palsu.

Mengingat hasil program yarnen tahun ini sangat menggembirakan, BUMN meningkatkan program yarnen hingga 3,2 juta hektare. Dengan program itu, sawah yang semula hanya menghasilkan 5,5 ton/ha bisa menghasilkan 7 ton/ha. Di atas kertas, program tersebut akan menyumbangkan kenaikan produksi beras hingga 1,5 juta ton setahun (dua kali panen).

Seluruh BUMN bidang pangan (PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Pupuk Indonesia, dan Perum Bulog) terjun secara "total-football". Masing-masing mendapat jatah "yarnen" sekian ratus ribu hektare. Lengkap dengan kewajiban pembinaannya.

Manajemen di masing-masing perusahaan itu (termasuk anak-anak perusahaan mereka) memang sudah selesai ditata. Sudah siap terjun ke sawah lebih dalam. Konsep dream team tidak hanya berlaku untuk masing-masing perusahaan, tapi juga untuk seluruh klaster BUMN bidang pangan.

Tidak boleh lagi ada di antara perusahaan itu yang, misalnya, senggol-senggolan. Apalagi sikut-sikutan. Semua harus menyatu untuk kesuksesan program pemerintah di bidang pangan.

Bentuk kekompakan itu juga harus bisa dilihat di lapangan. Mereka sudah memutuskan untuk melakukan rayonisasi. Tidak akan ada lagi istilah "rebutan" lahan. Kalau di satu kecamatan sudah ada PT Sang Hyang Seri, misalnya, tidak boleh lagi PT Pertani masuk ke kecamatan itu. Apalagi dengan program yang berbeda. Itu akan membuat petani bingung.

Maka, minggu-minggu ini akan ada "serah terima" wilayah. Siapa yang harus mundur dari kecamatan tertentu dan siapa yang harus maju di kecamatan tersebut. Satu perusahaan punya tanggung jawab wilayah yang jelas.

Pemetaan sudah selesai. Terkomputerisasi. Bagi yang ingin tahu kecamatan apa di bawah binaan perusahaan yang mana, bisa dilihat di database BUMN bidang pangan. Lengkap dengan data kios-kios pertaniannya.

Perkiosan itu juga ditata ulang. Tidak berjalan sendiri-sendiri dengan modelnya sendiri-sendiri. Kios milik PT Sang Hyang Seri, misalnya, harus juga menjual produk PT Pertani, PT Pupuk Indonesia, dan Perum Bulog. Demikian juga sebaliknya.

Tidak boleh lagi petani dibuat mondar-mandir. Misalnya, untuk membeli bibit unggul harus mencari kios SHS. Lalu, untuk membeli pembasmi hama harus lari ke kios PT Pertani. Dan untuk membeli pupuk harus mencari kios PT Pupuk Indonesia. Semua barang harus ada di semua kios. BUMN mana pun pemiliknya.

Karena penataan tersebut menyangkut seluruh infrastruktur di seluruh kabupaten di Indonesia, pelaksanaannya perlu juga dikontrol. Mana yang sudah sempurna dan mana yang masih belum berjalan. Seluruh direksi BUMN pangan sudah all-out mengusahakannya, tapi siapa tahu masih ada yang terlena.

Arifin Tasrif, Dirut PT Pupuk Indonesia yang menjadi "ketua kelas" kelompok itu, juga sudah menyiapkan pasukan khusus: brigade hama. Di setiap kabupaten disiapkan satu brigade hama. Dilengkapi dengan sarana dan bahan-bahan yang diperlukan. Termasuk, data jenis-jenis hama yang biasa muncul di suatu kawasan.

Brigade hama tersebut sudah terlatih. Nama-nama anggota brigade pun sudah ditentukan untuk setiap kabupaten lengkap dengan nomor handphone mereka. Mereka juga wajib tinggal di kabupaten itu dan aktif memonitor lapangan.

Pembagian yang jelas tidak hanya menyangkut wilayah binaan, tapi juga bidang usaha. Dirut Sang Hyang Seri yang baru, Kaharuddin, memilih mengkhususkan diri di bidang penyediaan benih unggul. Titik. Tidak akan main-main di pupuk. Untuk 3,2 juta hektare program yarnen tersebut, misalnya, semua benihnya dicukupi SHS.

PT Pertani konsentrasi di bidang pascapanen. Dirut PT Pertani yang baru, Eddy Budiono, tidak perlu lagi berebut dan jegal-jegalan untuk memenangi proyek benih, misalnya. Atau memenangi proyek pupuk. PT Pertani akan konsentrasi pada penanganan gabah. Gedungnya yang baru di daerah Pasar Minggu nanti pun diberi nama Graha Gabah. Sedangkan PT Pupuk Indonesia akan sepenuhnya bertanggung jawab atas penyediaan pupuk dan brigade hamanya.

Ditingkatkannya program yarnen secara drastis itu sekalian untuk mengompensasi kemungkinan mundurnya program pencetakan sawah baru karena lahan yang dicadangkan di Kaltim ternyata tidak tersedia.

Program pangan ini memang besar, menantang, dan mulia. Manajemen yang diperlukan juga amat khas dan njelimet. Tapi, pengalaman menarik dalam menangani yarnen tahun ini telah menimbulkan optimisme yang besar untuk mampu melipatduakannya tahun depan.

Melihat senangnya para petani yang terlibat dalam program ini menimbulkan gairah untuk terus dan terus meningkatkannya. Deputi menteri BUMN bidang itu, M. Zamkhani, juga masih sangat muda dan energik untuk mengoordinasi semua itu. Musim tanam yang akan datang, insya Allah dua bulan lagi, adalah kickoff yang sebenarnya. 

 Dahlan Iskan
 Menteri  BUMN
Sumber : Jpnn.com

Tata Niaga Beras Dipersempit, Optimalkan Jaringan Semut



Untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan mempersingkat tata niaga pembelian gabah
dan beras, Bulog Sub Divre Banyumas melakukan program on farm yang sinergi dengan jaringan semut.

“Dalam program ini Bulog langsung beli gabah dan beras ke petani secara langsung. Sehingga petani bisa menikmati
harga tinggi sesuai standar harga pembelian pemerintah (HPP),” kata Kepala Bulog Sub Divre Banyumas Chairil Anwar
yang didampingi Humas Priyono kepada KRjogja.com, Minggu (16/9).

Menurutnya dengan program on farm yang sinergi dengan jaringan semut, Bulog bisa membeli gabah dan beras langsung
ke petani tanpa lewat pihak ketiga seperti pedagang atau kontraktor. Dengan program ini petani sangat diuntungkan
karena bisa menikmati harga yang tinggi. Selain itu pembayaran dilakukan secara kontan melalui Unit Pengelolaan
Gabah dan Beras (UPGB) Bulog yang merupakan kepanjangan tangan dari Bulog.

Chairil Anwar menambahkan dengan program on farm yang sinergi dengan jaringan semut, Bulog Banyumas sudah melakukan kontrak kerja atau kesepakatan dengan ribuan petani di Banyumas, Cilacap dan Purbalingga melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Setelah ada kesepakatan, maka para petani bisa menjual langsung ke UPGB Bulog yang merupakan kepanjangan tangan Bulog. 

Sumber : Kedaulatan Rakyat

Jumat, 14 September 2012

Dirut Bulog: Monopoli Komoditas Strategis Wajar

Pemerintah harus mulai mempertimbangkan pengaturan impor dengan swasta.

Direktur Utama (Dirut) Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso menyatakan, tidak salah jika hak monopoli diterapkan untuk mengamankan komoditas strategis sebuah negara.
Apalagi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengisyaratkan memberikan hak bagi setiap negara, khususnya negara sedang berkembang dan miskin, untuk memakai hak monopoli kepada BUMN pangannya dalam melaksanakan monopoli perdagangan bahan pangan pokok, demi alasan ketahanan pangan.
Hal itu diungkapan Sutarto Alimoeso ketika berkunjung ke redaksi Sinar Harapan di Jakarta, Rabu (12/9) sore. Ia didampingi sejumlah pejabat teras Bulog.
Mengutip salah satu klausul dalam kesepakatan WTO terbaru di Doha Commitment Agenda 2008, dia mengatakan, kebijakan perdagangan monopoli memberikan hak monopoli pada perdagangan bahan pangan pokok untuk BUMN pangannya.
Sebelumnya, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Gusmardy Bustami menjelaskan, Dirjen WTO Pascal Lamy dalam pertemuan WTO di Doha kala itu menyebutkan isu penting yang disepakati anggota-anggota organisasi ini mengenai ketahanan pangan sebagai kebijakan penting bagi setiap pemerintah, dan WTO menghormatinya.
Pemerintah suatu negara memiliki hak berdaulat untuk menciptakan kebijakan agar negerinya mencapai ketahanan pangan dalam kewajiban internasional mereka.
Anggota WTO dalam sidang Perjanjian tentang Pertanian/Agreement of Agriculture (AoA) dan Negosiasi Doha Development Agenda (DDA) menyebutkan bahwa ketentuan liberalisasi pasar yang disepakati lembaga ini boleh dikecualikan bagi negara yang harus mempertimbangkan masalah ketahanan pangannya.
Oleh karena itu, lanjut Sutarto, kebijakan tata niaga perdagangan ekspor impor, dan pemberian hak monopoli bagi BUMN pangan, diperkenankan WTO.
Pemerintahnya harus intervensi pasar, dan Bulog juga harus monopoli. Pasalnya, ketahanan pangan suatu negara menghendaki BUMN pangan harus memiliki cadangan komoditas pangan dalam jumlah memadai.
Untuk itu, dalam hal komoditas kedelai, kata dia, pemerintah harus mulai mempertimbangkan pengaturan impor antara pemerintah dan swasta.
Dengan pertimbangan jumlah importir kedelai yang sedikit, pemerintah semestinya membatasi impor kedelai oleh swasta melalui sistem kuota, dan memberikan posisi tawar ketersediaan kedelai di tangan Bulog dengan hak kuota impor 50 persen. Artinya, kuota impor kedelas setidaknya 50 persen Bulog dan 50 persen swasta.
”Tujuannya agar Bulog memiliki cadangan kedelai yang cukup untuk mengantisipasi kondisi kelangkaan maupun lonjakan harga. Di WTO monopoli untuk ketahanan pangan itu tidak masalah. Untuk kedelai, jika Bulog hanya mendapatkan kuota impor 10 persen pasti kalah.
Bulog harus menguasai perdagangan kedelai impor, minimal 50 persen. Namun, kalau beras, mengingat pedagang beras jumlahnya sangat banyak, Bulog menguasai perdagangan beras 8 persen saja. Bulog itu sudah kuat,” tuturnya.
Kekhawatiran mengenai liberalisasi perdagangan dapat mengurangi ketahanan pangan suatu negara karena akan mengurangi tingkat lapangan kerja pertanian menyebabkan negara-negara anggota WTO kala itu merekomendasikan negara-negara berkembang boleh mengevaluasi dan menaikkan tarif pada produk kunci untuk melindungi ketahanan pangan nasional dan lapangan kerja.
Perjanjian WTO, yang mendorong liberalisasi pasar, ternyata mengancam ketahanan pangan masyarakat secara keseluruhan.
Terganjal Aturan
Pada kesempatan tersebut Dirut Bulog Sutarto Alimoeso juga mengatakan rencana Perum Bulog untuk merevitalisasi diri hingga kini masih terganjal aturan kelembagaan yang membatasi ruang gerak mereka.
Meskipun secara status Bulog merupakan perusahaan umum (perum) milikhttp://www.shnews.co negara yang bergerak di bidang logistik pangan, aktivitasnya masih terikat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perum Bulog yang membatasi ruang lingkup logistiknya pada komoditas beras.
Pemerintah sendiri dalam rapat koordinasi pangan di kantor Menko Perekonomian awal September lalu telah memutuskan kembali menugasi Perum Bulog menjaga stabilisasi harga tiga komoditas pangan, yakni beras, gula, dan kedelai. Namun, khusus untuk komoditas gula dan kedelai, tugas Perum Bulog sebagai penyangga, untuk tahap awal hanya diberikan waktu hingga enam bulan ke depan.
Menurutnya, dengan aturan kelembagaan yang diatur dalam PP Nomor 7 Tahun 2003 tersebut, aktivitas Perum Bulog memang menjadi sangat terbatas. Terlebih lagi dalam rangka penyediaan beras, selama ini Perum Bulog mengandalkan pendanaan dari kredit komersial perbankan.
Diakuinya, dengan status perum yang disandang saat ini, Bulog menjalankan dua aktivitas yang saling bertolak belakang. "Kalau untuk aktivitas PSO kami boleh rugi tetapi ditutup pemerintah, sementara di sisi lain, yakni aktivitas komersial, kami dituntut harus untung," ucapnya.
Padahal, melihat potensi infrastruktur dan SDM yang dimiliki Perum Bulog, Sutarto optimistis peran Bulog ke depan bisa jauh lebih besar dibandingkan aktivitas yang mereka jalani saat ini.
Dalam kesempatan itu, diungkapkan pula bahwa pihaknya kini memang tengah mengusung agenda revitalisasi Perum Bulog yang akan dituangkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP). Sebagai rintisan awal, secara komersial Perum Bulog kini mulai mengembangkan sayap usaha mereka melalui tiga unit usaha yang bergerak di bidang hulu (on-farm), distribusi, dan hilir.
Pada sektor hulu, Perum Bulog mengandalkan unit pengolahan beras dan gabah plus serta berencana menyediakan alat-alat mesin pertanian, sehingga Bulog bisa mendapat gabah dan beras langsung dari petani.
Sementara itu, untuk mendukung aktivitas distribusi, Perum Bulog juga telah membentuk unit jasa yang terdiri atas jasa pemberdayaan aset (seperti gudang, kantor, tanah kosong, dan aset lainnya), jasa angkutan dan jasa survei, perawatan kualitas, dan pemberantasan hama. 

Sumber :  http://www.shnews.co