Minggu, 20 Oktober 2013

Tanggulangi Kartel, Peran Bulog Harus Dikembalikan

Pemerintah harus mengembalikan fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog) seperti semula guna menanggulangi kartel bahan pangan. Sebab menurunnya daya beli masyarakat antara lain merupakan dampak terburuk dari mekanisme kartel di pasar pangan strategis.
“Sistem dan kebijakan pemerintah dalam tata niaga yang berlaku saat ini mendorong terciptanya kartel pangan,” kata Direktur Institute for Development of Economics dan Finance (INDEF), Enny Sri Hartati dalam Diskusi Publik Tinjauan Historis dan Prilaku Kartel Pangan Strategis, yang diadakan atas kerjasama Pemuda Tani Indonesia, Bincang Bincang Agribisnis (BBA), dan Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), kemarin.
Menurut dia, saat ini pasar memainkan perannya sendiri. Pasalnya pasar tidak memiliki penengah antara produsen dengan konsumen dalam kebijakan penentuan harga. Bargaining power antara produsen dengan distributor juga tidak berbanding lurus. Dengan demikian, mekanisme kartel sangat terbuka lebar terjadi di pasar pangan strategis yang menciptakan keuntungan besar bagi para penyalur besar.
Akibatnya, perlahan tapi pasti, daya beli masyarakat semakin menurun yang mengancam tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. “Kartel ini bukan hanya tata niaga, akan tetapi juga masalah yang memiliki efek domino,” katanya.
“Kita butuh yang netral. Kalau pemain yang jadi wasit yang terjadi adalah terbentuknya kartel,” katanya.
Untuk mencegahnya, kata Eny, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah karena merupakan regulator. Seharusnya Bulog memiliki dua fungsi strategis yakni penyangga stok kebutuhan dalam negeri dan stabilisasi harga. “Kalau hanya memikirkan harga tanpa ada stok juga timpang,” tegasnya.
Direktur Centre for Agricultural Policy Studies Tito Pranolo mengatakan fungsi Bulog saat ini sudah berubah jauh. Sejak berubah menjadi perusahaan umum aktivitasnya tidak sejalan dengan namanya sehingga patut untuk dibubarkan.
“Harusnya Bulog itu merupakan badan negara yang menjadi eksekutor bukan business oriented,” paparnya.

http://www.poskotanews.com/2013/10/19/tanggulangi-kartel-peran-bulog-harus-dikembalikan/

Selasa, 01 Oktober 2013

Syariah Mengatasi Krisis Pangan



Indonesia Negeri subur pangannya banyak bergantung kepada import. Krisis melonjaknya harga bahan pangan menguak fakta itu. Kenapa seperti itu? Bagaimana pertanian kita? Bisakah syariah menyelesaikan permasalahan itu? Untuk mendiskusikannya, redaksi mewawancarai Ir. Anwar Iman, Direktur Agricultural Policy Watch yang juga DPP HTI. Berikut petikannya:
Terkait isu krisis pangan, seberapa gawat kondisinya saat ini?
Sangat gawat, baik dalam konteks Indonesia maupun Dunia. Untuk Indonesia, menurut sumber World Development Indicator 2007, jumlah penduduk yang dinyatakan rawan pangan mencapai 13.8 juta jiwa (6%). Data ini diperkuat dengan kasus kelaparan di beberapa tempat, bahkan ada yang sampai meninggal akibat gizi buruk. Ada juga masyarakat yang terpaksa makan nasi aking, dll. Tentu itu semua baru sebagian kecil yang terekspos oleh media massa. Untuk Dunia, dalam laporan Unicef disebutkan bahwa setiap menit ada 10 anak meninggal akibat kekurangan gizi.
Kapan suatu negara dikatakan mengalami rawan pangan?
Kalau menurut ukuran FAO, suatu negara dikatakan rawan pangan jika 30% lebih penduduknya mengalami kekurangan gizi. Ukuran ini tentu sangat tidak manusiawi. Bayangkan saja, kalau penduduk Indonesia 225 juta, maka baru dikatakan rawan pangan jika dijumpai 67 juta penduduknya mengalami kekurangan gizi.
Kalau dalam pandangan Islam bagaimana?
Dalam pandangan Islam, meskipun hanya satu atau dua orang saja yang kelaparan, sudah bisa dikatakan terjadi krisis pangan. Sebab, Islam memandang bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan primer (pokok), di mana negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya secara merata individu-perindividu. Jadi, negara tidak boleh memandang pemenuhan kebutuhan pangan ini secara kolektif; kalau jumlah produksi dan stok beras, misalnya, sudah sama atau melebihi kebutuhan kolektif masyarakat, lalu dikatakan tidak ada masalah. Ini cara pandang kapitalis namanya. Padahal ketika produksi dan stok beras cukup atau tersedia, tidak otomatis setiap orang bisa mendapatkannya.
Apa yang menyebabkan krisis pangan terjadi?
Ada 3 kemungkinan penyebab krisis pangan. Pertama: distribusi pangan yang buruk. Ini terjadi ketika produksi pangan di suatu negara sebenarnya cukup secara kolektif, atau surplus. Namun, karena sistem distribusinya buruk, beberapa orang tidak bisa mendapatkannya. Distribusi yang buruk ini terjadi ketika harga dijadikan sebagai unsur tunggal pengendali distribusi. Artinya, orang dipaksa mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli; tidak ada mekanisme lain kecuali dengan cara membeli. Kalau dia tidak mampu membeli berarti dia tidak berhak mendapatkan bahan pangan tersebut.
Kedua: produksi pangan yang minus. Artinya, jumlah produksi pangan lebih kecil daripada jumlah kebutuhan untuk seluruh rakyat. Ini bisa terjadi karena adanya musibah seperti kekeringan, banjir, serangan hama, dan lain-lain, yang menyebabkan terjadinya kegagalan panen. Bisa juga terjadi karena kondisi pertanian di suatu negara memang lemah sehingga tingkat produksi pertaniannya rendah.
Ketiga: karena kombinasi dari dua kemungkinan di atas, yaitu distribusinya buruk dan produksinya juga minus.
Untuk krisis pangan di Indonesia lebih disebabkan oleh kemungkinan yang mana?
Untuk komoditi beras, jika dilihat dari data-data produksi yang resmi dari BPS, sebenarnya tidak ada masalah. Pada tahun 2007 produksi beras Indonesia mencapai 33 juta ton. Jumlah ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat yang mencapai sekitar 30 juta ton, dengan standar konsumsi beras 133 kg/kapita/tahun. Jika dalam kondisi surplus semacam ini ternyata masih dijumpai kasus kelaparan, berarti penyebabnya adalah distribusi pangan yang buruk.
Bukankah Pemerintah sudah menjalankan program raskin?
Masalahnya, raskin itu gratis atau harus beli? Raskin itu kan tetap harus beli meskipun dengan harga yang murah. Jadi, tetap saja tidak bisa menyelesaikan masalah. Kalau rakyat itu tidak punya penghasilan, meskipun murah, tetap saja tidak sanggup membeli. Apalagi jika pembelian raskin itu harus dalam bentuk paket 10 atau 15 kg langsung, tidak bisa diecer perkilo. Ini makin memberatkan rakyat. Makanya wajar jika di beberapa tempat jatah raskin tidak habis terjual.
Kalau dalam Islam bagaimana solusinya?
Islam mewajibkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat, di antaranya adalah kebutuhan pangan. Mekanismenya, negara wajib menyediakan lapangan perkerjaan dan mendorong rakyat untuk bekerja. Dengan cara ini diharapkan rakyat mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, jika karena satu dan lain hal, ada di antara rakyat yang tidak bisa bekerja, karena cacat, tua renta, dll, maka keluarganyalah yang wajib menanggung kebutuhannya. Itu pun jika keluargannya mampu. Jika tidak mampu maka negaralah yang wajib memberi makan kepada mereka secara gratis.
Yang sering menjadi pertanyaan adalah dari mana uangnya untuk itu?
Kekayaan alam Indonesia ini luar biasa besarnya. Kalau itu dikelola dengan benar, yaitu dengan menggunakan sistem syariah, maka pasti negara akan punya banyak dana untuk membantu rakyat. Masalahnya, sekarang ini kekayaan alam tesebut dikelola dengan cara-cara kapitalistik. Akibatnya, yang menikmati hasilnya hanya segelintir pengusaha lokal ataupun asing. Selain itu, secara taktis, sebenarnya Pemerintah Indonesia saat ini juga mampu untuk memberi makan rakyat yang miskin. Bisa kita hitung, kalau rakyat miskin Indonesia diasumsikan sebanyak 126 juta, dengan standar Bank Dunia USD 2/hari/kapita, maka untuk menjamin kebutuhan pangan mereka dibutuhkan beras sebanyak 17 ton/tahun, dengan standar konsumsi beras 133 kg/kapita/tahun. Jika harga beras Rp 4500/kg maka dibutuhkan dana sekitar Rp. 75 triliun. Dana sejumlah itu, jika Pemerintah mau bertanggung jawab terhadap rakyatnya, bisa diambil dari pos pembayaran utang di APBN, misalnya, yang nilainya lebih dari Rp 150 triliun. Jadi, aneh sekali jika Pemerintah justru mendahulukan bayar utang termasuk bunga ribawinya daripada memberi makan rakyatnya yang kelaparan.
Apakah Indonesia sudah berhasil mewujudkan swasembada?
Bergantung pada jenis komoditinya. Untuk beras, seperti sudah disinggung sebelumnya, berdasarkan data resmi BPS, bisa dikatakan sudah swasembada. Hanya perlu diketahui, swasembada tidak menjamin semua rakyat Indonesia sudah tercukupi kebutuhan pangannya orang-perorang selama sistem distribusinya masih buruk. Untuk komoditi yang lain, kondisinya masih jauh dari swasembada.
Sektor komoditi apa saja yang Indonesia masih impor?
Masih banyak sekali. Kedelai, Indonesia impor sebesar 70% dari kebutuhan nasional. Jagung 10%, Kacang Tanah 15%, Bawang Putih 90%, Gula 30%, Susu 70%, dan Daging Sapi 25%. Perlu saya tambahkan bahwa yang dimaksud swasembada adalah jika produksi pertanian suatu negara sudah berhasil memenuhi 90% kebutuhan dalam negerinya. Jadi, tidak harus mencapai 100%. Ini kriteria yang baru. Kriteria ini tampaknya terkait dengan ketentuan WTO bahwa setiap negara wajib membuka impor sebesar 10%. Ini salah satu bahaya pasar bebas.
Kalau swasembada dalam Islam bagaimana?
Swasembada dalam Islam adalah jika negara mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan memiliki stok atau cadangan yang cukup untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendesak. Sebab, Islam mewajibkan kaum Muslim untuk bisa mandiri dan mencegah hal-hal yang bisa menciptakan ketergantungan pada negara luar. Ekstremnya, andaikan negara luar mengembargo, maka kaum Muslim harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebenarnya hal ini tidak sulit, karena sumberdaya alam negeri kita sangat besar.
Belum lama ini kita dikejutkan dengan kenaikan harga tahu dan tempe akibat krisis kedelai. Mengapa hal ini terjadi?
Betul. Banyak orang menyangka bahwa tahu dan tempe yang mereka konsumsi sehari-hari merupakan makanan tradisional Indonesia yang teknologi dan bahan bakunya berasal dari Indonesia. Ternyata sangkaan itu keliru. Saat ini, tahu dan tempe sudah menjadi makanan “elit” produk impor. Memang, tidak diimpor secara langsung, tapi bahan bakunya, yaitu kedelai, sebagian besar diimpor dari luar negeri, khususnya dari Amerika. Kebutuhan kedelai dalam negeri Indonesia mencapai 1,6 juta ton/tahun, sementara produksi kedelainya hanya 620 ton/tahun. Jadi minusnya sangan besar. Ketika harga kedelai di Amerika mengalami lonjakan, otomatis harga kedelai di Indonesia juga naik. Kenaikan harga kedelai di Amerika sendiri disebabkan oleh menurunnya luas tanam kedelai karena digunakan untuk tanaman biofuel.
Mengapa Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai sendiri?
Memang, ini ironis. Indonesia punya potensi lahan yang sangat luas, juga iklim tropis yang sangat mendukung, tapi faktanya kedelai saja masih harus impor. Ini terjadi karena Pemerintah tidak memberi support secara memadai kepada petani kedelai. Akibatnya, petani kita tidak mampu bersaing dengan petani Amerika, apalagi di era perdagangan bebas saat ini. Bayangkan, dengan kenaikan harga pupuk, pestisida, dll, biaya produksi kedelai di tingkat petani kita bisa mencapai Rp 4500/kg. Padahal harga kedelai impor hanya sekitar Rp 3000/kg. Kondisi seperti ini jelas tidak menguntungkan petani, karena konsumen kedelai pasti lebih senang membeli kedelai impor yang lebih murah. Celakanya, kondisi ini tidak segera diatasi oleh Pemerintah. Bahkan Pemerintah cenderung berpikir, untuk apa susah-susah menanam kedelai sendiri, toh impor lebih murah. Inilah yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan.
Mengapa kedelai di Amerika bisa lebih murah?
Begini. Petani kedelai di negeri Paman Sam itu mendapatkan full-support dari pemerintah. Para petani kedelai di sana tergabung dalam asosiasi kedelai (American Soybean Association), yang memiliki kekuatan lobi politik kepada pemerintah. Sebaliknya, petani kedelai kita tidak punya bergaining semacam ini, di samping pemerintahnya juga tidak memiliki keperpihakan kepada mereka. Jadi, di era pasar bebas saat ini, petani kita disuruh ‘terjun bebas” berkompetisi sendiri dengan petani asing yang notabene banyak disupport oleh pemerintahnya. Jadi, Indonesia ini lebih kapitalis daripada negara kapitalis. Kalau negara-negara kapitalis seperti Amerika dan Eropa saja masih menerapkan subsidi untuk pertani mereka, justru subsidi di Indonesia dicabut satu-persatu. Di Eropa, misalnya, subsidi untuk petani saja bisa mencapai US$ 53 triliun, melalui program subsidi yang disebut common agricultural budget.
Bagaimana strategi swasembada pertanian dalam Islam?
Pertama: negara harus memberikan supor penuh dalam pembangunan pertanian; misalnya dengan memberikan modal, lahan, sarana produksi pertanian, dll kepada petani.
Kedua: dilakukan kebijakan ekstensifikasi; dibuka lahan-lahan baru untuk pertanian. Lahan-lahan yang tidak produktif dan menganggur selama 3 tahun diambil oleh negara dan diberikan kepada mereka yang siap menggarap. Lahan pertanian yang subur harus tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian, tidak dikonversi untuk keperluan lain.
Ketiga: dilakukan intensifikasi dengan penemuan bibit unggul, sistem budidaya, penyediaan pupuk, dan obat pembasmi hama yang efektif.
Keempat: dilakukan restrukturisasi pertanian. Misalnya, petani-petani gurem yang tidak efisien dengan lahan hanya 0,2-0,3ha harus ditingkatkan skala usahanya dengan lahan yang lebih luas.
Kelima: dilakukan penanganan yang baik pada sektor pemasaran produk pertanian. Misalnya, rantai pemasaran yang merugikan petani harus dihapus; disiapkan infrastruktur pendukung yang memadai seperti jalan, alat transportasi, pasar, dll; juga dibangun industri-industri yang dapat menyerap hasil pertanian.
Jika kita mampu mewujudkan swasembada dengan pengelolaan sektor pertanian secara baik, maka “gonjang-ganjing” pangan dunia dengan berbagai faktor penyebabnya niscaya tidak akan berpengaruh negatif. [Ir. Anwar Iman]

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/05/31/syariah-mengatasi-krisis-pangan/

Kebijakan Khilafah dalam Mengatasi Kelangkaan Pangan



Negeri subur ternyata tidak selamanya makmur. Kebijakan pertanian dan perdagangan yang amburadul terbukti telah membuat Indonesia sebagai negara agraris ini terus menerus dihantui krisis kelangkaan pangan. Rakyat kembali jadi korban, terutama mereka para perajin dan pemilik industri kecil, sebagaimana terjadi dalam kasus tempe-tahu belakangan ini. Jika ini terus terjadi dalam jangka panjang, tentu akan memengaruhi pertumbuhan dan kualitas hidup rakyat.
Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Program swasembada hanyalah isapan jempol semata. Sementara permainan kartel benar-benar telah membuat harga terus melambung tinggi, meski harga internasional menurun.
Mewujudkan Swasembada
Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan oleh Khilafah  sebagai berikut:
Pertama: kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.  Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atho (biro subsidi) dalam baitul mal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitul mal. Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga arus distribusi lancar.
Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Di antaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khaththab di Irak.
Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian. Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut dirampas oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR. Bukhari).
Kedua: Kebijakan di sektor industri pertanian.  Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas.  Dengan kebijakan seperti ini maka masyarakat atau para investor akan terpaksa ataupun atas kesadaran sendiri akan berinvestasi pada sektor riil baik industri, perdagangan ataupun pertanian.  Karena itu sektor riil akan  tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
Menjaga Kestabilan Harga
Khilafah akan menjaga kestabilan harga dengan dua cara: Pertama: menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariah yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga, dsb. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata: “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).  Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai  dengan kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya. Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda: “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Adanya asosiasi importir, pedagang, dsb, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang.
Kedua:  menjaga keseimbangan supply dan demand.
Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain. Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khatab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru Radhiyallahu ‘anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Mekah (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).
Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam Radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik(Lihat: Akhbârul-Madînah, Karya Abu Zaid Umar Ibnu Syabbh, Juz 2, hal 745). Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah.  (Lihat Târîkhul Umam wal Muluk, Karya Imam ath-Thobariy, Juz 4, hal. 100).
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan  tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Perajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.
Demikianlah sekilas bagaimana syariah Islam mengatasi masalah pangan.  Masih banyak hukum-hukum syariah lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]



Oleh: Abu Muhtadi
 

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/01/kebijakan-khilafah-dalam-mengatasi-kelangkaan-pangan/