Percayalah, kartel sudah lama menjadi “panglima” di negeri ini. Praktik kartel mungkin sudah seusia NKRI. Para pelaku kartel, kartelis, menjalankan siasat patgulipat, kongkalikong, dan hanky-panky  untuk memainkan harga beras, kedelai,  gula, minyak goreng, daging, dan komoditas pangan lainnya  di dalam negeri.

Kartelis telah menjerumuskan  rakyat Indonesia pada kegiatan ekonomi yang  distortif  dan struktur pasar yang timpang, monopolistik, serta oligopolistik. Merekalah yang kerap membuat harga bahan kebutuhan pokok langka dan harganya bergejolak tanpa sabab-musabab  yang jelas. Mekanisme  pasar kerap lumpuh, hukum penawaran dan permintaan (supply and demand) tak berfungsi.

Para kartelis tak punya nurani. Mereka tak peduli jeritan rakyat. Mereka tak ambil pusing pada besarnya dana yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai operasi pasar (OP) bahan kebutuhan pokok atau stabilisasi moneter.

Bagi para kartelis, yang penting untung. Maka, tak perlu heran jika ada yang menyebutkan keuntungan kartelis dari bisnis komoditas pangan strategis mencapai belasan triliun rupiah per tahun. Tak aneh pula jika kemudian muncul kasus suap-menyuap dari  kegiatan bisnis tercela itu.

Gonjang-ganjing kasus dugaan suap yang melibatkan importir daging sapi, PT Indoguna Utama, adalah serpihan puzzle dari kegiatan kartel pangan yang sudah menggurita dan berurat-berakar di negeri ini.

Tentu saja kartel bisa diberantas. Lewat payung hukum, kartelis bisa dijerat UU  Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lewat aktivitas bisnis, kartel bisa dibuat tak berkutik jika negara memiliki  lembaga pangan yang andal, kuat, profesional, dan independen.

Kita menyambut baik wacana  mengembalikan fungsi Perum Bulog sebagai stabilisator harga komoditas pangan strategis selain beras, di antaranya  gula, kedelai, minyak goreng, dan daging sapi. Sebelum  tugas dan kewenangannya dipreteli Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998, Bulog terbukti efektif menjadi penyangga harga komoditas pangan strategis.

Wacana mengembalikan fungsi Bulog mengemuka setelah DPR, akhir tahun silam, mengesahkan UU Pangan yang baru sebagai revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU ini mengamanatkan pembentukan  lembaga khusus - biasa disebut badan otoritas pangan (BOP) - di bawah presiden langsung guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.

Rasa-rasanya, sangat beralasan jika pemerintah menjadikan Perum Bulog  sebagai BOP. Selain lebih simpel, perubahan status Bulog menjadi BOP akan menghemat biaya, tenaga, dan waktu. Penunjukan Bulog juga  tidak menciptakan rantai birokrasi baru, mengingat BOP dapat mengusulkan penugasan khusus kepada  BUMN pangan  untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pangan.

Yakinlah, para kartelis pangan bisa dilumpuhkan jika Bulog menjadi BOP dan kembali diberi mandat mengelola banyak  komoditas strategis seperti dulu. Apalagi  jika Bulog memperkuat  jaringan di  kalangan pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi.

Jika itu bisa diwujudkan, bangsa ini bukan saja terbebas dari belenggu kartel, tapi juga  bakal menikmati harga pangan  yang stabil dan terjangkau. Berkat mekanisme pasar yang sehat, adil, dan bebas distorsi, petani di dalam negeri  bisa sejahtera.

Kita tak bisa  memungkiri  bahwa Bulog di masa lalu punya banyak noda.  Namun, kita juga tak bisa menafikan fakta bahwa  Bulog terus berbenah dan memperbaiki diri. Buktinya, kinerja Bulog terus meningkat.

Kita sepakat bahwa untuk bertarung dengan para kartelis di dalam maupun luar negeri, Bulog harus menjadi lembaga yang tangguh. Kita perlu mendorong Bulog menjadi  lembaga  yang  profesional dan independen,    dengan mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola  perusahaan yang baik  (good corporate governance/GCG).

Terlepas dari itu, kartelis tetap harus diberantas. Walau bagaimana pun,  kartel  merupakan perbuatan melawan hukum. Pelakunya bisa dijerat sanksi administratif berupa pembatalan perjanjian, ganti rugi, atau denda Rp  1 miliar   hingga  Rp 25 miliar, serta pidana denda  Rp 25 miliar sampai Rp 100 miliar.

Kartelis bahkan bisa dijatuhi  pidana kurungan pengganti denda maksimal  enam bulan serta pidana tambahan  berupa pencabutan izin usaha atau  larangan kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar, untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris minimal dua tahun dan  maksimal lima tahun.

UU  Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara terang-benderang menggariskan  bahwa antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian  untuk  mempengaruhi harga dengan mengatur produksi  atau pemasaran suatu barang  atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli  atau persaingan usaha tidak sehat.

Di sinilah pentingnya kita terus mendorong Komisi  Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menegakkan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara konsisten, tegas, tanpa pandang bulu. Sebab, boleh jadi, semua lini  bisnis di negeri ini sudah dijamah praktik kartel.

Sumber :  http://www.beritasatu.com