Senin, 16 September 2013

Negara Kalah Melawan Kartel Kedelai?

Penetapan harga khusus kedelai oleh Kementerian Perdagangan dalam bentuk harga jual pemerintah sebesar Rp 8.490 per kilogram (11/9) menunjukkan bahwa negara kalah melawan kartel kedelai. Harga ini masih terlalu tinggi dan sangat memberatkan perajin tahu tempe.

Sebelumnya menurut Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini (Rabu, 11/9), kartel kedelai menangguk untung yang luar biasa. Hanya dalam dua bulan, kartel penghisap ini untung lebih dari Rp 1 triliun.

Kedelai yang sekarang mereka jual itu dibeli dua bulan lalu dengan harga lama, sekitar Rp 5.600 - Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan harga khusus kedelai ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan sebesar Rp 8.490/kg. Dengan menjual kedelai Rp 8.490/kg, dipotong biaya pengapalan dan asuransi, kartel kedelai mengantongi untung minimal Rp 2.000 per kilogram.

Dengan stok yang mereka miliki sebanyak 500.000 ton, kartel ini menangguk untung minimum 1 triliun Rp. Ini hanya keuntungan minimum, karena hanya 11.900 ton kedelai dijual dengan harga khusus Rp 8.490/kg. Lebih dari 488.000 ton dijual dengan harga pasar yang lebih tinggi.

Berkebalikan dari kartel kedelai yang menangguk untung luar biasa besar, pedagang tahu dan tempe bermodal kecil terancam bangkrut karena mahalnya kedelai. Dari Bandung, Ketua Kopti Jabar, Asep Nurdin mengatakan sebanyak 4000 perajin (40 persen) perajin tahu tempe masih menghentikan aktivitasnya dan terancam bangkrut (Pikiran Rakyat, 28/8/2013). Dari Wonogiri, sekitar 300 perajin tahu dan tempe (10 persen dari total perajin tahu tempe di Kabupaten Wonogiri) mulai gulung tikar (Solopos.com, 3/9/2013). Begitu juga berita dari Palembang, Bekasi, Banyumas, Kudus, Madura, Mataram, Kotawaringin, dan berbagai daerah lain di seluruh Indonesia.

Di sisi lain, tingginya harga kedelai memaksa pedagang menaikkan harga sekaligus memperkecil ukuran. Mahalnya tahu tempe bisa mengancam gizi masyarakat bawah yang selama ini mengandalkan tahu tempe untuk memenuhi kecukupan gizinya karena telur dan daging tidak terjangkau. Efek lanjutannya, bayi dan anak-anak yang tidak memperoleh asupan gizi yang baik dapat terhambat pertumbuhan otaknya secara optimal. Hal ini dapat menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa (lost generation).

Meroketnya harga kedelai disinyalir sebagai ulah kartel yang ingin menangguk untung besar di tengah masalah harga kedelai dunia yang naik dan terus melemahnya kurs Rupiah terhadap dollar. Ulah kartel ini sangat merugikan para perajin tahu tempe. Patut diduga bahwa kartel ini memang sengaja menimbun pasokan agar harga kedelai melonjak. "Selain melemahnya nilai tukar rupiah, ada upaya spekulan atau importir yang sengaja menahan barang dan mengeluarkan sedikit demi sedikit sehingga harga kedelai melonjak," kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu/Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin (2/9/2013).

Dengan data yang lebih kuantitatif, adanya kartel kedelai ini diungkap Direktur INDEF Enny Sri Hartati. Dari data yang ada, terdapat tiga besar perusahaan importir kedelai yang mendapatkan kuota impor kedelai besar, yaitu PT FKS Multi Agro dengan kuota impor 210.600 ton (46,7 persen), PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,3 persen), dan PT Budi Semesta Satria 42.000 ton (9,3 persen). "Total pengajuannya mencapai 886.200 ton, sedangkan total kuota impor kedelai tiga perusahaan tersebut mencapai 66,33 persen atau cenderung membentuk kartel," ujar Enny, Selasa (10/9/2013).

Masalah tingginya harga kedelai sebenarnya tidak hanya terjadi sekarang, tapi hampir setiap tahun terulang. Tahun 2008 perajin tahu tempe juga mogok produksi karena mahalnya kedelai sehingga ongkos produksinya naik. Mengapa kasus tingginya harga kedelai terulang setiap tahun? Di mana peran pemerintah sebagai stabilisator harga dan pelindung masyarakat? Mengapa komoditas penting ini diserahkan pada swasta yang menjelma menjadi kartel yang mengeruk keuntungan setinggi-tingginya dengan mengorbankan masyarakat banyak? Kita pantas menggugat Pemerintah, terutama Presiden SBY dan Menteri Perdagangan yang gagal menjalankan fungsi negara dalam kasus ini.

Tingginya harga kedelai akibat ulah kartel, menurut ekonom Didik J. Rachbini, menunjukkan bahwa pemerintah kalah dari pelaku usaha. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan Kemendag memaksa importir mengatur stoknya supaya harga tidak bergejolak. Menurut Didik, pemerintah seharusnya tahu siapa yang menguasai stok, toh tidak ada lonjakan permintaan kedelai yang berlebihan. Apalagi ada kabar bahwa pemerintah sampai melobi importir supaya menjual kedelai dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Ketidakmampuan negara melindungi masyarakat miskin dari gejolak harga kedelai menyiratkan ciri negara gagal. Menurut Muhammad Syarkawi Rauf (Bisnis Indonesia, 12/9/2013), negara gagal karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif, hanya menguntungkan segelintir orang. Rauf mengutip buku berjudul Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty karya Daron Acemoglu (MIT) dan James A. Robinson (Harvard). Kedua profesor tersebut berkesimpulan bahwa kemiskinan yang dialami oleh negara miskin bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat dan mengutamakan kepentingan publik.

Kasus carut marut harga kedelai ini menyiratkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara gagal. Hal ini karena negara tidak bisa mengatasi dan “kalah” melawan praktik bisnis kartel yang mengeksploitasi dan mengorbankan masyarakat miskin. Namun  kekalahan ini tampaknya terjadi bukan karena telah terjadi pertarungan yang sengit, tetapi justru karena adanya konspirasi, KKN dan kepentingan oknum-oknum penguasa yang memang berburu rente melalui praktik kartel ini.

Kasus gonjang-ganjing kedelai membuktikan bahwa kartel kedelai telah membuat skenario bersama oknum penguasa untuk menangguk keuntungan jumlah luar biasa besar dalam waktu singkat. Tak heran, menurut Rauf, pengalaman internasional pun menunjukkan bahwa kartel termasuk kejahatan ekonomi luar biasa yang dampak negatifnya jauh lebih buruk dibandingkan dengan kejahatan korupsi.

Karena kartel ini termasuk kejahatan luar biasa, maka untuk memberantasnya, kita pantas mendukung pendapat dan usulan Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini untuk menerapkan undang-undang subversif bagi para pelakunya. Selain itu, guna menuntaskan masalah ini Pemerintah perlu juga melibatkan Direktorat Ekonomi Khusus Mabes Polri dan BIN di bawah kordinasi Menko Perekonomian.

Kita meminta gonjang-ganjing kedelai cepat diselesaikan. Karena kedelai merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, harganya tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah harus hadir menjalankan seluruh peran negara untuk melindungi kepentingan rakyat, termasuk dalam menjamin pasokan, menstabilkan harga, memberi subsidi, mengendalikan distribusi, mengamankan tata niaga dan sistem informasi harga.

Karena kedelai termasuk unsur food/pangan yang merupakan salah satu dari tiga isu strategis global  saat ini (food, energy dan water, FEW), maka Pemerintah DPR harus menuntaskan permasalahannya secara menyeluruh dan berkelanjutan. Peran Bulog harus direvitalisasi dan dioptimalkan, lahan pertanian kedelai diperluas secara massif, harga kedelai bagi petani distabilkan, koperasi untuk pertanian dan distribusi dihidupkan, liberalisasi pertanian dan pangan diperbaiki. Dalam rangka pengamanan pangan nasional, Pemerintah dan DPR harus segera membentuk lembaga yang khusus menangani masalah pangan. Praktek kartel harus dihilangkan dan pelakunya dihukum berat. Sedangkan pejabat negara yang membiarkan terjadinya kartel kedelai harus dituntut bertanggungjawab.  (US)

Sumber: Satunegeri

Kamis, 12 September 2013

Reformasi Peran Bulog

Kerinduan untuk mengembalikan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai stabilisator harga pangan, merupakan harapan masyarakat Indonesia untuk meredam gejolak harga pangan. Di mana harga pangan akhir-akhir ini semakin berfluktuatif, sehingga meresahkan masyarakat baik sebagai konsumen ataupun produsen pangan. Karena harus menanggung mahalnya beban ekonomi, disebabkan ketidak stabilan harga pangan yang terjadi setiap saat.
Salah satu contoh pangan yang mengalami ketidakstabilan adalah kedelai. Harga kedelai mencapai Rp 9.000 hingga Rp 10.000 per kilogram (kg). Begitu juga turunan dari kedelai seperti tahu dan tempe. Harga keduanya meroket dari yang semula Rp 1.000 per biji menjadi Rp 1.500 per biji. Kenaikan harga yang terjadi pada tahu dan tempe, ternyata berbanding terbalik dengan ukurannya. Karena para produsen tahu dan tempe mengurangi ukurannya, yang dilakukan agar produksi tahu dan tempe tidak mengalami kerugian.
Kenaikan harga juga terjadi pada bahan pangan yang menggunakan tepung terigu. Turunan dari tepung terigu seperti roti dan kue. Tentunya harga roti dan kue akan mengalami kenaikan seperti yang terjadi pada kasus tahu dan tempe. Jika pun produsen roti dan kue tak ingin menaikkan harga, tentu yang terjadi adalah memperkecil ukurannya.
Itulah mengapa masyarakat merindukan reformasi peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan yang ada di Indonesia. Sebelum mereformasi, maka yang harus direformasi adalah badan hukum dari Perum Bulog tersebut. Karena Perum Bulog yang berbadan hukum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti sekarang ini, seolah-olah cenderung mencari keuntungan dari nilai harga yang terjadi. Hal tersebut merupakan tuntutan sebagai lembaga bisnis yang mencari keuntungan dari setiap transaksi.
Sebab itu, adanya reformasi badan hukum yang semula BUMN akan membuat Bulog semakin independen. Untuk menjaga independensi tersebut, tentu lembaga ini harus berada di bawah Presiden. Sehingga Presiden dapat mengawasi secara langsung dan memberikan arahan kepada Perum Bulog.
Evaluasi

Adanya kenaikan harga pangan yang terjadi setiap saat, merupakan salah satu evaluasi yang bisa dijadikan dasar bahwa Bulog memang tidak memiliki peran yang signifikan dalam mengatur pangan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah badan hukum BUMN yang ada pada Bulog. Sehingga mencari keuntungan merupakan sebuah kepastian dari setiap kegiatan yang dilakukan.
Tentu untuk mendapatkan keuntungan, tak heran jika Bulog sering lebih memilih bekerja sama dengan perusahaan besar ketimbang bekerja sama dengan koperasi. Karena bekerja sama dengan koperasi dipandang kurang menguntungkan, dan hanya akan membuang-buang waktu saja.
Selain itu, masyarakat pun sudah menilai negatif terhadap Bulog. Karena disinyalir Bulog menjadi tempat kongkalikong mafia pangan di Indonesia. Sehingga tak heran jika pangan yang ada di Indonesia gampang dipermainkan oleh para spekulan.
Sebab itu, salah satu keuntungan reformasi di Bulog yang berada di bawah kordinasi langsung presiden, berpotensi mencegah gejolak pangan yang setiap hari berfluktuatif. Selain itu, dengan adanya peran stabilisasi yang berada di bawah kordinasi langsung presiden, akan ada perlindungan bagi konsumen sekaligus dapat melindungi kepentingan produsen pangan, yaitu para petani. Sehingga bukan saja pedagang yang akan mengalami keuntungan ketika harga pangan naik, petani pun akan merasakan kenaikan harga tersebut.
Memang hal ini sangat dilematis bagi Bulog. Karena adanya peran ganda sebagai pemegang fungsi stabilisasi dan juga fungsi komersial inilah yang membuat Perum Bulog menjadi mandul, ketika dihadapkan pada penentuan harga kala pangan di pasaran menjadi berkurang. Longgarnya impor pangan yang dilakukan pengusaha, ternyata malah membuat harga pangan semakin naik melonjak.
Sebab itu, harus ada political will dari pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden yang mengambil alih secara langsung Bulog. Hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan pangan yang ada di Indonesia. Sehingga masyarakat tidak akan menjadi tumbal kepentingan segelintir elit spekulan yang mencari keuntungan.
Kemandirian Pangan

Ketika Bulog berada di bawah kordinasi Presiden, tentu hal tersebut akan menjauhkan lembaga ini dari intervensi kepentingan elit. Sehingga akan mempermudah fungsi utama Bulog, yaitu sebagai stabilisator harga pangan dan juga penyelamatan pangan di Indonesia. Dalam pengertian, ketika harga pangan melonjak naik disebabkan kurangnya pangan di pasar, maka Bulog yang berada di bawah Presiden segera membuat kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah memberikan insentif kepada para petani untuk menggenjot produktifitas pangannya, agar ketersediaan pangan di pasaran dapat segera ditenangkan. Sehingga pasar tidak mengalami gejolak seperti sekarang ini.
Jika pun mengharuskan untuk mengimpor, maka impor yang dilakukannya pun tidak terlalu besar. Akan tetapi sedikit saja dengan tujuan untuk menenangkan harga yang terjadi di pasaran. Namun ini berbeda, impor yang dilakukan malah berimplikasi pada terhadap harga pangan tersebut. Dalam arti bahwa impor malah menjadikan harga pangan semakin melambung, yang pada akhirnya importir yang diuntungkan.
Ketikan Bulog mengambil kebijakan memberikan insentif kepada petani untuk menggenjot produktivitas pertanian, maka keuntungan yang diperoleh antar lain, dapat menyelamatkan dan meningkatkan pangan dalam negeri. Petani pun akan menuai kesejahraan dari kebijakan pemerintah. ***

Oleh Hamli Syaifullah
Penulis adalah peneliti di Islamic Banking FAI-UMJ.
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=334396

Rabu, 11 September 2013

Kartel Kuasai Impor Kedelai



- Picu Kenaikan Harga

Kenaikan harga kedelai tak semata-mata disebabkan kemelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi tersebut diduga juga akibat praktik kartel oleh beberapa importir.
Hal itu diungkapkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini dalam jumpa pers “Gejolak Harga Kedelai: Analisis Kartel dan Monopoli” di Jakarta, Selasa (10/9). Menurut dia, kartel kedelai tersebut membuat kesepakatan-kesepakatan untuk memainkan harga.
“Saya katakan ada indikasi kartel (kedelai). Penyebabnya, pemegang pasokan yang memiliki kekuatan sebagai price maker (penentu harga) membuat kesepakatan horisontal,” jelasnya.
Menurut Didik, pada Februari 2013 Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan, termasuk kedelai.
Presiden bahkan telah memerintahkan KEN dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki kemungkinan tersebut.
Namun di sisi lain, Kementerian Perdagangan justru memberikan izin impor kedelai kepada perusahaan-perusahaan yang terindikasi kartel dengan kuota sangat besar.
Berdasarkan data penelitian Indef, ada tiga importir yang mendapat kuota terbesar, yakni PT FKS Multi Agro sebesar 210.600 ton (46,71 persen dari total alokasi impor), PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,31 persen), dan PT Budi Semesta Satria 42.000 ton (9,31 persen). Mereka menguasai 299.100 ton atau 66,33 persen dari total kuota 450.900 ton.
“Kalau importir terbesar itu menutup gudang sepekan saja, maka harga sudah pasti naik, karena 70 persen kebutuhan kedelai kita tergantung impor. Jadi kalau sekarang kenaikan harga kedelai dibilang akibat depresiasi nilai tukar rupiah, itu tidak betul. Indikasinya karena kartel,” ujar Didik, tanpa spesifik menuding ketiga importir besar tersebut.
Dia menekankan bahwa Kementerian Perdagangan tidak pernah memberikan informasi transparan mengenai kuota impor kedelai. Akibatnya, kemungkinan terjadi praktik monopoli dan kartel sangat besar. Didik menilai, semestinya kenaikan harga kedelai tidak sebesar saat ini yang berkisar Rp 10 ribu per kilogram, bahkan di beberapa daerah mencapai Rp 11.000/kg. Apalagi, yang dijual adalah stok lama yang tidak kena imbas depresiasi rupiah.
Dalam jangka pendek, Didik menyarankan agar pemerintah memanggil para importir, lalu memerintahkan mereka membuka stok dan segera membanjiri pasar agar harga turun. Direktur Indef Enny Sri Hartati menambahkan, timnya menginvestigasi Surat Persetujuan Impor (SPI) kedelai dari pemerintah pada 28-30 Agustus 2013.
SPI menunjukkan importir terdaftar (IT) yang mendapat persetujuan dari pemerintah terdiri atas 14 perusahaan dengan kuota 450.900 ton. Adapun jumlah pengajuan dari importir 886.200 ton. Dari 14 perusahaan itu, tiga di antaranya mendapat kuota terbesar. “Ini cenderung membentuk kartel,” ungkapnya.
Enny menambahkan, terdapat indikasi ke- salahan desain kebijakan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/KEP/8/2013 yang dirilis pada 29 Agustus lalu tentang Ketentuan Impor Kedelai. Peraturan itu diduga menjadi penyebab harga kedelai bergejolak. Permen tersebut mewajibkan importir menjadi importir terdaftar (IT), sehingga mengakibatkan penerbitan SPI molor.
  “Pengeluaran izin impor yang terlalu lama itu memberi ruang kepada spekulan di pasaran. Apalagi struktur pemegang kuota impor cenderung dikuasai kartel. Jika pemegang persetujuan impor terbesar menahan stok, maka besar kemungkinan terjadi kelangkaan dan akan berujung pada melejitnya harga kedelai, seperti pernah terjadi pada kasus bawang putih,” jelasnya.
Insentif Petani
Menurut dia, tren harga kedelai di pasar internasional sebenarnya relatif stabil, bahkan turun dari 577,40 dolar AS per ton pada Juli 2013 menjadi 523,63 dolar AS per ton pada Agustus 2013. Demikian juga pada Juni-Agustus 2012 rata-rata kenaikan harga di pasar internasional hanya 7%. Namun pada saat yang sama di Indonesia harga justru naik 30%.
Pada Juli tahun lalu, harga kedelai melonjak dari Rp 6.000 per kilogram menjadi Rp 8.500 per kilogram. Kali ini, pada September menyentuh Rp 10 ribu per kilogram. Enny menambahkan, pemicu kenaikan harga tahun lalu adalah menurunnya produksi kedelai di negara pengekspor, Amerika Serikat.
Penurunan produksi terjadi akibat perubahan iklim yang ekstrem di negara penghasil kedelai terbesar di dunia itu. Di sisi lain, gejolak depresiasi rupiah dari kisaran 9.700 menjadi 11.600 per dolar AS turut menjadi pemicu.
Tidak Ada Masalah
“Kenaikan harga itu pasti karena supply (pasokan) atau demand (permintaan). Dari sisi demand tidak ada masalah. Walaupun inflasi tinggi, membeli tempe hampir tak ada masalah. Berarti masalahnya di pasokan. Pemerintah tahu betul pemegang pasokan kedelai,” tandasnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah memberi peringatan kepada  importir untuk melepas stok ke pasar agar harga turun. Dia juga memaparkan persoalan fundamental kedelai, yakni ketergantungan impor lebih dari 70% dan khusus dari AS 66%. “Peningkatan produksi dan swasembada kedelai sebatas wacana, tidak ada upaya konkret untuk meningkatkan produksi dalam negeri,” ujarnya.
Enny menilai pemerintah selalu berlindung pada persoalan keterbatasan lahan dan produktivitas kedelai lokal yang rendah. Padahal hal itu terjadi karena tidak ada insentif bagi petani lantaran rendahnya harga jual kedelai dibanding komoditas lain. Selain itu, banyak lembaga riset menghasilkan berbagai varietas kedelai unggulan, tapi tidak pernah dibudidayakan secara massal oleh petani.
“Pemerintah justru membuka keran impor saat petani panen raya. Akibatnya para pedagang/teng- kulak mengambil kesempatan untuk menekan harga di tingkat petani,” ungkapnya.
Menurutnya, petani tidak pernah mendapat keuntungan dari kenaikan harga pangan di Tanah Air. “Semestinya kenaikan harga pangan jadi berkah, bukan malapetaka seperti sekarang.”
Indef menilai kebijakan pemerintah tidak konsisten. Misalnya, kebijakan penghapusan bea masuk saat harga kedelai impor tinggi. Hal ini kontraproduktif dengan upaya peningkatan kedelai lokal. “Kebijakan hanya berorientasi jangka pendek dengan mengatasnamakan stabilisasi harga. Kebijakan ini hanya menguntungkan pemburu rente dan orientasi kebijakan cuma bersifat populis,” tambahnya.
Enny menyoroti kebijakan pangan yang diserahkan pada pasar. Hal ini bermula dari konsekuensi letter of intent dengan IMF yang menyebabkan Bulog melepas komoditas pangan kepada mekanisme pasar. “Mekanisme pasar memang tidak salah jika telah tercipta iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif,” ujarnya.
Indef menawarkan beberapa rekomendasi, antara lain memanfaatkan lahan suboptimal untuk mendorong produktivitas kedelai. Hal ini dibarengi dengan pemberian subsidi pupuk langsung kepada petani, pembudidayaan dan pemberian benih varietas unggul, serta optimalisasi tenaga penyuluh lapangan. Tak kalah penting, petani harus diberi insentif pembiayaan.
Selain itu, tambah Enny, Indef merekomendasikan pembangunan sarana logistik dan sarana perdagangan di pedesaan untuk menjamin keberlanjutan produksi dan rantai distribusi. Dia menekankan agar komoditas pangan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itu, perlu dibentuk badan yang berfungsi sebagai penyangga stok dan penjaga stabilisasi harga.
Hal yang juga penting, lanjutnya, adalah menciptakan sistem tata niaga yang sehat dan kompetitif dengan mereformasi berbagai kebijakan yang berpeluang menyuburkan terjadinya kartel, seperti sistem kuota. “KPPU harus memberi sanksi tegas kepada pelaku persaingan usaha yang tidak sehat,” tandasnya.
Manajemen Lemah
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, stok kedelai nasional saat ini 300 ribu ton. Jumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Namun, harga dipengaruhi oleh kemelemahan nilai tukar rupiah karena kedelai didapat dari importir.
“Solusi jangka pendek yang akan kami lakukan adalah memastikan para pengusaha importir bekerja sama dengan koperasi tahu-tempe untuk menyuplai kedelai kepada para perajin dengan harga khusus,” katanya.
Ia berjanji segera menuntaskan masalah itu dengan menjembatani importir dan perajin. Gita menekankan pentingnya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sebagai solusi jangka panjang. “Jangan sampai kita tergantung sama impor,” katanya.
Menanggapi usulan agar tata niaga kedelai di- kembalikan ke Perum Bulog, Gita mengatakan, perusahaan negara itu dilibatkan untuk menstabilisasi harga.“Kami telah memberikan izin impor 100 ribu ton kedelai untuk Bulog,” ujarnya.
Di lain pihak, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan, kartel terjadi akibat kelemahan penataan pangan nasional dari hulu hingga hilir.  “Itu diakibatkan penataan manajemen pangan nasional yang lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangan,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansyur.
Menurut Natsir, data Kadin menyebutkan bahwa potensi kartel pada enam komoditas pangan strategis mencapai Rp 11,34 triliun per tahun. Keenam komoditas tersebut adalah daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras impor.
Karena itu, Kadin meminta pemerintah merombak tata niaga impor nasional yang disebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sehingga rentan spekulasi dan kartel. (bn,J10,viva-59)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/11/236478

Senin, 09 September 2013

Berjaya di Zaman Orba, Terpuruk di Era Perdagangan Bebas



Kisah Kedelai di Negeri Agraris

Tiga minggu terakhir, para perajin tahu dan tempe menjerit. Mereka kebingungan karena bahan baku utama usaha mereka, kedelai, harganya melejit. Kedelai tercatat sebagai komoditas yang kerap mengalami fluktuasi harga.
PERTENGAHAN tahun lalu, harga kedelai juga naik pada kisaran Rp 8.000 per kilogram. Angka itu naik signifikan dibandingkan harga pada awal 2012 yang hanya Rp 5.300 per kilogram. Sementara pada 2007 lalu gejolak harga kedelai hanya mencapai Rp 7.000 per kilogram.
Tapi kali ini, harga kedelai mencapai level tertingginya pada kisaran Rp 9.000 per kilogram. Bahkan, di beberapa daerah menyentuh Rp 10.000 per kilogram.  Yang membuat harga kedelai meroket karena dipicu nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS yang melemah hingga tembus Rp 11.000. Aki­bat­nya, kedelai yang hampir sepenuhnya diimpor dari Amerika Serikat pun ikut terkena imbas.
Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan menyatakan produksi kedelai di Tanah Air hanya cukup memenuhi kebutuhan nasional 25-30%. ”Luas lahan kedelai sekitar 500 ribuan hektare, produksinya kira-kira 800 ribu ton. Sementara kebutuhannya 2,4-2,5 juta ton,” tu­turnya kepada Suara Merdeka.
Dia pun mengisahkan keja­yaan kedelai di masa Orde Baru (Orba).
Sebelum 2000, kata Rusman, kedelai adalah komoditas yang menarik bagi petani. Terbukti, luas lahan kala itu mencapai sekitar 1,5 juta hektare dan total produksi mencapai 1,5 juta ton. Namun, pada 1998 atas saran IMF, Indonesia membuka keran impor kedelai.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin saat ditemui di Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menceritakan, mulai 1998, kebijakan distribusi tunggal kedelai diubah karena pemerintah menuruti saran IMF. Hal itu sebagai bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Maka turut sertalah Indonesia membuka akses perdagangan bebas.
Sejak itulah Bulog, kata Aip, tidak lagi menangani kedelai dan negara membebaskan siapa pun yang ingin mengimpor bahan baku tahu tempe itu. Akibatnya meski pasokan tetap terjaga, namun harga lebih fluktuatif, sehingga merugikan pengusaha.
”Kedelai diatur pemerintah sejak 1979-1998, hampir 20 tahun dikelola dan dimonopoli oleh Bulog. Selama 20 tahun kehidupan petani dan perajin baik. Pada 1992-1993, kami sudah swasembada kedelai. Itu zaman ke­emas­an kami,” katanya.
Terus Turun
Dalam sensus pertanian yang dilakukan setiap 10 tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan ada tren pengurangan lahan tanam antara 2013 dibanding 2003 dan 1993.  Kepala BPS Suryamin menyatakan tidak tertutup kemungkinan ada kecenderungan petani beralih dari tanam kedelai ke jenis tanaman lain.
BPS menyebutkan produksi kedelai pada 2012 sebesar 853.500 ton biji kering. Angka ini turun 0,96% dibanding 2011 yang sebesar 851.286 ribu ton biji kering. Untuk 2013 berdasarkan angka ramalan I, BPS memperkirakan produksi kedelai mencapai 847.160 ribu ton biji kering atau naik 0,47% dibanding 2012.
”Dibandingkan dengan kebutuhan memang masih jauh, sehingga masih harus impor. Kalau yang terjadi sekarang BPS update angka dan diberikan ke pemerintah sebagai landasan perbaikan,” kata Suryamin.
Adapun luas panen kedelai, pada 2011 sebesar 622.254 hektare dengan produktivitas 13,68 ki­logram per hektar. Lalu pada 2012, luas panen turun menjadi 567.624 hektare dengan produktivitas 14,85 kilogram per hektare. Untuk 2013, angka ramalan I, luas panen kedelai diperkirakan sebesar 571.564 hektare dengan produktivitas 14,82 kilogram per hektare.
Wamentan Rusman menambahkan setelah 2000, produksi kedelai di Tanah Air terus turun, stagnan, dan ada peningkatan sedikit pada tahun ini. Menurut­nya, penyebab turunnya produksi adalah harga kedelai yang tidak menarik.
”Pada 2000-an, posisinya harga kedelai 1,5 kali harga beras, masih menarik orang tanam kedelai. Jadi sekarang orang lebih se­nang menanam beras daripada kedelai, lebih menguntungkan,” ungkapnya.
Namun, Rusman membantah jika kedelai impor bersaing dengan kedelai lokal. Menurut­nya, kedelai impor sudah melalui lompatan jauh dalam dunia pertanian, sedangkan kedelai lokal tidak. ”Kedelai di AS atau Brasil sudah melalui genetic modified organism (GMO) atau transgenik. Itu masih kontroversial, jadi nggak bisa kami lakukan juga,” kata mantan kepala BPS ini.
Kedelai impor adalah kedelai GMO yang sudah dimodifikasi atau disisipkan gen tertentu dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, seperti meningkatkan resistensi terhadap pestisida, hama, kekeringan. Pro­duk transgenik ini kemudian menjadi kontroversial karena dinilai memicu masalah kesehatan. Namun, hal ini belum bisa dibuktikan secara menyeluruh.
 Swasembada
Lantas bagaimana dengan target swasembada kedelai di tahun depan ? Rusman mengatakan, kecil kemungkinan hal itu tercapai. Pihaknya sebenarnya menargetkan produksi kedelai tahun ini bisa mencapai 1,5 juta ton. Ke­nyataannya, kedelai yang diha­silkan hanya 800 ribu-an ton.
Dia menyatakan pemerintah terus mendorong petani untuk menanam kedelai dengan perluasan lahan untuk tanaman kedelai.  Selain itu, pemerintah juga mendorong petani supaya beban produksinya lebih murah melalui subsidi benih kedelai.
Sementara itu, Ketua Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini sejak awal menilai swasembada kedelai tidak mungkin terealisasi mengingat minimnya produksi. Dia meyakini produksi kedelai tahun ini mengalami penurunan dari target semula sekitar 800 ribu ton menjadi hanya 600 ribu ton.
Kegagalan panen tersebut, kata dia, selain karena musim yang tidak menentu juga karena faktor bibit kedelai yang tidak bagus.”Ini harus dilakukan investigasi. Ha­rusnya KPPU turun, in­telijen turun, kenapa ada permainan harga kedelai. Ada kartel? Apa ada permainan dalam swa­sem­bada, se­hingga clear,” katanya.
Dia meminta pemerintah dapat memegang penuh kendali stok bahan pangan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
Benny berasumsi stok kedelai yang dirilis Menteri Perdagangan se­besar 350 ribu ton seharusnya cu­kup sampai November. Adapun pe­lemahan rupiah yang terjadi se­jak pertengahan Agustus dinilainya belum dirasakan dampak­nya terhadap harga di dalam negeri.
”Dari harga kedelai Rp 7.000 jadi Rp 10 ribu kan lumayan ada selisih Rp 3.000. Stok kedelai kita ada 350 ribu ton di importir kali saja Rp 3.000 sudah untung Rp 1 triliun, lumayan. Ini situasi kacau,” ungkapnya.
Namun, Benny tidak menutup kemungkinan Indonesia bisa lepas dari ketergantungan impor itu. Dia menyarankan pemerintah menggunakan BUMN, seperti Perum Bulog, PT RNI, Pusri, dan PTPN sebagai pengimpor agar tidak ada spekulan yang meng­ambil keuntungan.
Secara jangka panjang, pemerintah bisa memperluas lahan tanam dan menyerahkan penanaman ke BUMN. Selain itu harus ada pembangunan cluster lahan kedelai di daerah-daerah seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Uta­ra, dan sebagainya. (Kartika Ru­niasari-71)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/09/236240

Senin, 02 September 2013

Impor Kedelai Bulog Tiba Bulan Depan

TEMPO.CO, Jakarta - Perum Bulog akhirnya mendapat izin impor 20 ribu ton kedelai dari Kementerian Perdagangan. Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha Bulog Rito Angky Pratomo menyatakan telah menerima surat pemberitahuannya pada Jumat, 30 Agustus 2013 lalu.

"Kami sudah melakukan koordinasi dan pemesanan. Pengiriman pertama dari Amerika Serikat akan tiba dalam 45-48 hari," ujar Angky dalam konferensi pers bersama Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) di Gedung Pusdiklat Bulog, Kuningan, Jakarta, Ahad, 1 September 2013.

Dengan harga kedelai internasional berada di kisaran US$ 500 per ton, maka untuk mengimpor sebanyak 20 ribu ton kedelai Bulog harus menyiapkan dana US$ 50 juta atau hampir setara Rp 110 miliar. "Kami siap dananya," kata Angky.

Angky juga menyatakan bahwa sesuai Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang penugasan Bulog untuk pengamanan harga dan distribusi kedelai, perusahaannya juga telah berusaha menyerap hasil panen petani lokal sesuai harga yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja, jumlah kedelai yang tersedia memang tak banyak. "Kami kemarin baru dapat dari Aceh 17 ton," ujarnya.

Tak hanya itu, Angky juga telah berkoordinasi dengan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) untuk membeli kedelai hasil impor dan pembelian lokalnya.

Ketua Gakoptindo Aip Syarifuddin pun menyatakan, ia siap menyerap seluruh kedelai Bulog. "Berara pun (kedelai) Bulog, kami siap," ujarnya.

Aip menyatakan, gabungan koperasi yang dipimpinnya beranggotakan 115 ribu perajin tahu tempe di seluruh Indonesia. Mereka membutuhkan 135 ribu ton kedelai tiap bulan. "Jadi, Bulog jangan takut tidak ada yang beli," katanya.

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebelumnya juga telah menetapkan dua harga patokan untuk kedelai. Harga beli dari petani oleh Bulog ditetapkan sebesar Rp 7 ribu per kilogram sejak bulan Juli 2013 dan akan berlaku selama tiga bulan hingga September. Sementara harga jual pada perajin Agustus ditetapkan Rp 7.700 per kilogram dan akan diperbarui setiap bulan.

"Harga jual ke perajin untuk bulan September akan kita tetapkan besok," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina

PINGIT ARIA

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/01/090509194/Impor-Kedelai-Bulog-Tiba-Bulan-Depan