Jumat, 28 Februari 2014

KPK Didesak Ungkap Penyimpangan Kuota Ekspor Impor Perdagangan Di Kemendag

Partai Golkar meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa proses pembagian kuota ekspor dan impor yang dijalankan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Selain itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi diminta untuk berani mengambil langkah tegas dalam membersihkan birokrasi menyimpang di instansinya.

“Kami minta KPK untuk segera memeriksa proses pembagian kuota ekspor impor perdagangan yang dijalankan oleh Kemendag. Karena kami menengarai masih terjadi praktik penyimpangan kuota yang hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan negara,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo, di Jakarta, Kamis  (27/2/2014).

Firman menjelaskan, berdasarkan beberapa peristiwa impor ilegal yang terjadi di dalam negeri, sudah cukup menjadi alasan kuat KPK untuk mengusut tuntas proses pembagian kuota impor perdagangan yang dijalankan Kemendag. Pertama, kasus impor daging beberapa waktu lalu yang melibatkan banyak pihak. Kedua, impor gula rafinasi yang seharusnya menjadi konsumsi di dunia internasional dan industri, merembes masuk ke pasar umum atau rumah tangga.

Ketiga, lanjut Firman, adalah impor beras ilegal asal Vietnam yang masuk ke pasar induk Cipinang. Kasus ini, kata Firman, bahkan sudah dianggap selesai oleh pemerintah. Padahal, masih banyak terdapat bukti-bukti kuat penyelewengan yang terjadi dalam kasus beras ilegal asal Vietnam itu. Keempat, kasus impor ilegal garam yang ditemukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebanyak 225 ribu ton garam selama 2013.

“Belum lagi penyalahgunaan pupuk subsidi dan kasus-kasus impor ilegal lainnya yang disalahgunakan. Kami menduga, hasil praktik penyelewengan dan ilegal itu, juga diberikan kepada pejabat negara. Dan itu jelas merupakan gratifikasi, yang harus segera diselidiki KPK,” ungkapnya.

Firman mengingatkan, agar KPK juga segera memeriksa para pejabat yang berkompeten dalam merumuskan skema kuota impor perdagangan. Sehingga terlihat jelas kebijakan apa saja yang salah dan pihak-pihak yang harus bertanggungjawab. Pasalnya, kasus impor ilegal hampir selalu terjadi dengan skema kuota yang diterapkan Kemendag.

“Kami mensinyalir, skema kuota ini penuh dengan permainan kotor aparat pemerintah, khususnya Kemendag. Bahkan kami mendorong agar KPK memeriksa pejabat yang bertanggungjawab dalam pengaturan skema kuota ekspor dan impor tersebut. Karena kerugian negara mencapai angka yang triliunan rupiah. Apalagi mayoritas komoditas yang diimpor ilegal adalah komoditas utama masyarakat Indonesia, seperti beras, garam dan gula, sehingga dipastikan merugikan petani dalam negeri. Masa sih pemerintah tidak belajar dari kesalahan yang lalu? Kasus impor ilegal selalu berulang. Tentu hal ini harus jadi pelajaran,” papar dia.

Firman menambahkan, pihaknya mendorong KPK untuk menuntaskan pembagian skema kuota ekspor dan impor agar tercipta stabilitas bagi petani Indonesia. Sekaligus memberikan perlindungan bagi petani untuk mengembangkan usahanya, khususnya berbagai komoditas yang selama ini diimpor. Dengan demikian, Indonesia bisa mencapai target swasembada pangan sesuai target yang direncanakan.

Firman menambahkan, Partai Golkar juga akan memberikan dukungan penuh pada Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi untuk melakukan terobosan dan perombakan signifikan. Khususnya dalam membenahi kementerian yang dipimpinnya dari aparat Kemendag yang selama ini tidak becus menjalankan tugasnya.

Upaya pembenahan itu, kata dia, bisa dilakukan dengan mempersilahkan KPK untuk masuk dan melakukan penyelidikan terkait kebijakan pembagian skema kuota ekspor impor. Sebab, selama ini kebijakan kuota kerapkali menyebabkan terjadinya potensi kerugian negara.

“Jadi Saudara Lutfi kami dukung untuk segera melakukan pembenahan internal dengan membuka pintu bagi KPK untuk masuk menyelidiki skema kuota. Agar peristiwa yang sama, tidak lagi terulang di masa depan, khususnya bagi komoditas-komoditas utama yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan terpenting adalah, jangan sampai kasus impor ilegal ditutup hanya untuk pencitraan pemerintah semata, tanpa tuntas!” tegas Firman.

http://www.sindotrijaya.com/news/detail/5986/kpk-didesak-ungkap-penyimpangan-kuota-ekspor-impor-perdagangan-di-kemendag#.Uw_tMaIQ-1s

Demonstran Tuntut Dirjen Perdagangan Luar Negeri Ditangkap




Sejumlah massa yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Lembaga Advokasi Pemuda Anti Korupsi (Lapak) berunjuk rasa di depan Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (27/2) siang. Mereka menuntut penegak hukum menangkap dan mengadili Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Bachrul Choir.

Mereka menuding Bachrul Choir melanggar peraturan yang membuat negara merugi. Tudingan terkait dengan impor beras Vietnam secara ilegal.

“Impor beras Vietnam yang ilegal sebanyak 16 ribu ton sudah barang tentu ada oknum yang bermain di balik layar kekuasannya sebagai pemerintah, yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Bachrul Choir yang telah melanggar aturannya sendiri,” ujar Koordinator Lapangan aksi, Yovi Deviansyah.

Mereka juga menuntut pemerintah membersihkan mafia importir besar. Sebab, tindak tanduk para mafia menyengsarakan petani beras lokal.

“Aksi kami ini merupakan yang perdana, nanti akan kami turunkan aksi yang lebih besar lagi. Yang kedua, kami akan berdemo di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan yang paling utama di Kemendag,” ancam Yovi.

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2014/02/27/1/219381/Demonstran-Tuntut-Dirjen-Perdagangan-Luar-Negeri-Ditangkap

Rabu, 26 Februari 2014

Moratorium Impor dan Statistik Beras

Silang sengkarut impor beras asal Vietnam masih belum jelas ujung pangkalnya. Bagaimana hasil akhir juga belum bisa ditebak.
Di tengah ketidakpastian itu, pemerintah membuat keputusan penting: moratorium impor beras. Moratorium diberlakukan hingga tata kelola beras tuntas dibenahi. Tentu tujuannya agar kisruh impor beras tidak kembali berulang.Keputusan pemerintahpatutdiapresiasi. Namun, dalam masa moratorium tidak cukup hanya membenahi tata kelola impor/ekspor beras. Yang tidak kalah mendesak dan penting adalah membenahi data-data tentang beras, terutama data produksi padi/beras. Pembenahan data beras, terutama produksi, merupakan keniscayaan.
Karena dari data produksi inilah keputusan impor/ ekspor diambil. Kita tidak mungkin membiarkan silang sengkarut data terus terjadi. Karena dari data itulah keputusan- keputusan penting dibuat. Silang sengkarut data sebenarnya bukan hal baru. Sudah begitu lama kita abai dan ceroboh dengan angka-angka. Produksi beras setiap tahun dilaporkan selalu naik. Kita menganggap sudah surplus beras dengan cara otak-atik data. Tapi klaim itu di masa lalu tidak pernah terbukti. Tiap tahun kita impor beras.
Wajar jika impor selalu menimbulkan resistensi, pro-kontra, dan penentangan karena basis data batu pijak impor tidak kukuh. Produksi padi tahun 2013 adalah 70,87 juta ton gabah atau setara 40,39 juta ton beras (dengan angka konversi 0,57). Jika konsumsi beras 113,5 kg/kapita, total konsumsi 250 juta penduduk: 28,25 juta ton. Jadi, sudah surplus lebih 10 juta ton beras. Artinya, target surplus 10 juta ton beras tahun 2014 sudah tercapai. Bahkan, surplus 10 juta ton sudah tercapai sejak 2010.
Jika memakai angka konsumsi yang tinggi, 139 kg/kapita, konsumsi total hanya 34,75 juta ton beras. Jadi, masih surplus sekitar 5,5 juta ton beras. Kenyataannya, tiap tahun ada impor beras. Rata-rata impor rentang 2009–2011 sekitar 2 juta ton per tahun. Bahkan, tahun 2011 jumlahnya 2,7 juta ton beras. Tahun 2012 jumlah impor beras 1,9 juta ton dan tahun 2013 sebesar 0,4 juta ton. Kalau benar surplus, mestinya tidak impor tetapi ekspor. Mengapa ini terjadi? Ada dua kemungkinan. Pertama, meraih rente ekonomi yang besar dengan cara mudah lewat lisensi impor.
Sampai sekarang harga beras domestik masih lebih tinggi dari beras impor. Pada 2010, selisih harga beras lokal dan impor mencapai Rp1.000 per kg. Dengan izin impor beras saat itu 1,95 juta ton ada keuntungan Rp1,95 triliun (kurs Rp10.000 per dolar AS)? Pertanyaannya, ke mana larinya uang itu? Siapa saja yang menikmati? Benarkah ada yang lari ke politikus dan birokrat (selain dinikmati pengusaha)? Kemungkinan ini terjadi bukan hanya karena keuntungan impor besar, tapi menggaruk fee dari lisensi impor tidak banyak mata yang memelototi.
Apalagi, tidak banyak juga pihak yang mengerti soal ekspor-impor ini. Sebaliknya, apabila menggaruk dana dari APBN banyak pihak yang mengawasi. Bukan hanya DPR, BPK dan LSM/warga, melainkan juga KPK. Kedua, data padi/beras tidak benar. Data statistik produksi padi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini tidak layak dijadikan landasan (Suwito, 2007). Statistik produksi padi dihasilkan dari perkalian dua komponen utama: luas panen padi kali rata-rata hasil per hektare.
Sistem penghitungan itu kini disebut “angka BPS”, hasil kompromi dua sistem berbeda: sistem yang digunakan Kementerian Pertanian dan BPS. Kompromi dua sistem perhitungan sejak 1973 itu nyaris tanpa perbaikan berarti. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari ubinan ukuran 2,5x2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektare. Hasil panen pada ubinan langsung ditimbang.
Jadi, diterapkan sistem objective measurement. Separuh dari sampel ubinan ini dikerjakan mantri statistik BPS, dan separuh sisanya dikerjakan mantri pertanian. Jadi, untuk memperoleh data yield rate, BPS hanya mengerjakan separuh dari seluruh sampel. Luas panen sepenuhnya dikumpulkan mantri tani dengan cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan data luas panen ini tidak berdasarkan survei statistik, tidak ada objective measurement di lapangan.
Dalam teori statistik data ini, termasukcatatanadministrasi sehingga akurasinya sulit diuji secara statistik. Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi saat ini. Menurut berbagai studi BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002), besarnya overestimate mencapai 17%. Artinya, jika tahun 2013 menurut BPS produksi beras 40,39 juta ton, masih harus dikurangi 6,87 juta ton beras. Itu berarti bukan surplus (dengan konsumsi per kapita 139 kg beras), kita minus beras 1,37 juta ton beras.
Laporan produksi berlebih itu terasa masuk akal. Konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan industri, dan infrastruktur terus berlangsung tanpa jeda. Ada yang menyebut 70.000, 110.000, bahkan 145.000 ha per tahun (Sapuan, 2006). Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya 35.000 ha per tahun. Anehnya, laporan luas panen tidak menurun. Pada 1996 luas panen padi sawah/ ladang dilaporkan 11.569.000 ha, lima tahun kemudian (2001) jadi 11.500.000 ha, dan 2013 seluas 13.769.000 ha. Dibandingkan 2012, pada 2012 terjadi kenaikan luas panen 324.389 ha.
Dari jumlah itu, 259.915 ha di antaranya disumbang dari Jawa. Padahal, di Jawa praktis tak ada pencetakan lahan baru. Data hanya deretan angka. Data hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan lewat cara yang tidak reliable lalu dijadikan batu pijak kebijakan, output-nya tak hanya menyesatkan tapi juga menyengsarakan. Sudah saatnya data atau statistik padi/beras dibenahi. Ini dimulai dengan data konsumsi beras per kapita. Sampai sekarang pemerintah memakai data konsumsi per kapita 139 kg beras per tahun, padahal data ini tak jelas asalusulnya.
Data itu merupakan kesepakatan politik. Anehnya, sejak 1996 data konsumsi beras per kapita ini tidak berubah. Di sisi lain, ada data konsumsi per kapita yang valid: 113 kg beras per tahun. Ini hasil survei Badan Ketahanan Pangan Kementan dengan BPS pada 2012. Anehnya, data ini tidak pernah dipublikasikan untuk umum. Lalu membenahi data luas panen. Data luas panen harus dikumpulkan lewat survei statistik. Teknologi pengumpulan data berdasarkan objective measurement telah berkembang pesat. Indonesia dipastikan bisa melakukannya.
Jika data statistik produksi padi itu dipakai terus, berasnya hanya di atas kertas (semu), riil di lapangan tidak ada. Kalau ada berasnya, penduduk miskin tidak mungkin harus makan nasi aking dan kelaparan. Keengganan mengubah data berikut metode pengumpulannya sama artinya membiarkan kesalahan (data) terus berulang tanpa jeda. Atau memang ada pihak yang kehilangan proyek dan kedoknya terbongkar karena tidak bisa lagi menipu (dengan) data?.

Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras (2008)
KORAN SINDO,  25 Februari 2014

Beras Impor dan Kegagalan Revitalisasi Pertanian

TERUNGKAPNYA praktik mafia pangan yang mengimpor beras secara ilegal mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.

Implikasinya kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bak sebuah mimpidisiangbolong. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan masuknya beras impor asal Vietnam.

Pemerintah selama ini selalu ”bernyanyi” tentang keberhasilan program pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras yang meningkat setiap tahun. Bahkan, produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras. Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik kampanye menjelang Pemilu 2014. Niat yang seakan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat dan masuknya beras impor secara ilegal.

Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati. Program dan gerakan revitalisasi pertanian hanya kuat di atas kertas namun lemah diimplementasikan. Sudah 10 tahun pemerintahan SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan dengan maksud supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor. Kenyataannya lain, revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru malah makin meminggirkan petani.

Harga Murah

Sektor pertanian selama ini selalu diposisikan untuk menyediakan beras dengan harga murah untuk mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan). Sektor pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota.

Sementara itu, keseriusan pemerintah untuk membangun pertanian pangan yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama kian melemah. Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden SBY pada tahun 2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani kini roh dan semangatnya terasa kian menjauh. Indonesia yang kini berada di ambang pintu krisis pangan membuat kita prihatin dan hati miris. Sementara itu, pemerintah negara maju amat melindungi petaninya.

Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh tergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangannya, dalam arti luas, dan terjadi surplus produksi. Kelebihan panganinimemungkinkanmereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar. Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus lagi.

Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat sebesar 2,62% dibanding tahun produksi 2012. Peningkatan produksi yang signifikan ini seakan abai terhadap sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai. Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi lahan yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare.

Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, bagaimana mungkin mengharapkan peningkatan produksi padi yang signifikan. Upaya pemerintah kabupaten untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan otonomi daerah menetaskan pencapaian kedaulatan pangan semakin kehilangan arah. Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi kawasan nonpertanian pangan. Ini menjadi ancaman serius bagi pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 semakin jauh dari harapan.

Objek Pembangunan

Secara gradual, produksi beras Indonesia selama beberapa tahun terakhir memang meningkat, walau tidak mampu menutup kran impor. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mendekati 250 juta jiwa mengindikasikan pertumbuhan penduduk sudah beradu cepat dengan produksi pangan yang secara alamiah bergerak melambat. Konsekuensi logisnya keran impor beras akan selalu dibuka. Implikasinya, petani semakin susah karena kebijakan politik impor itu memicu pemiskinan petani dan mengganggu mekanisme pasar.

Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan, mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus rugi setiap siklus tanam. Harga produk pangan domestik dipaksa turun sebab kalah bersaing dengan produk impor.

Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang semakin merajalela. Jika angka produksi GKG tahun 2013 bisa dipercaya 70,87 juta ton, kebutuhan konsumsi 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan, Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog. Lantas, mengapa di tahun 2013 pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani kita.

Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Sudah bukan rahasia lagi urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) di tahun politik ini. Indonesia sudah lama masuk dalam perangkap pangan impor, karena perilaku semacam ini.

Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya, menjadikan ”tradisi impor” itu seakan legal sebagai pilihan yang tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri. Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Jika impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnan proses produksi perberasan dalam negeri. Patut disadari karakteristik pasar beras global sangat tipis.

Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4 persen dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar, keempat terbesar setelah China, India, dan AS, dan sekitar 60 persen dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25 persen untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional. Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi kemiskinan.

Dengan mengatur tata niaga beras sehingga harganya tetap rendah, pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya. Presiden SBY yang melontarkan gagasan revitalisasi pertanian misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas di bidang apakah sektor pertanian yang sedang dan telah direvitalisasi yang mampu mengatrol kesejahteraan petani.

Dari pengalaman negara maju yang menyubsidi pertaniannya secara besar-besaran, bisa ditarik pelajaran bahwa pertanian monokultur berbasis padi (beras) tidak pernah akan memakmurkan petani.

Sudah saatnya mengakhiri politik beras murah dengan mendorong pembangunan pertanian yang berkelanjutan seraya memperluas diversifikasi produk pangan olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan pangan guna memutus mata rantai beras impor.

POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan. Direktur dan Pendiri Center for National Food Security Research (Tenfoser)

(Koran SINDO//wdi)

Kemenkeu Cairkan Dana Raskin Rp1,5 T ke Bulog

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelontorkan dana Beras Miskin (Raskin) sebesar Rp1,5 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Askonali mengatakan anggaran tersebut yang mengelola adalah Badan Urusan Logistik (Bulog). "Iya, anggarannya Rp1,5 triliun kepada Bulog," ujar Askolani di Jakarta, Rabu (26/2/2014).

Askolani menjelaskan pihaknya mempercepat dana Raskin agar Bulog dapat segera menyalurkanya. Rencananya Raskin dibagikan November-Desember 2014, namun dimajukan Maret-April 2014. Bahkan akan ada penambahan Raskin dengan Anggaran Pendapatan Belaja Negara Perubahan (APBNP) 2014 pada bulan tersebut.

Setelah ada kepastian keputusan pemajuan penyaluran Raskin, Bulog masih akan menuggu Surat Keputusan (SK) Gubernur. Untuk membagikan di masing-masing provinsi itu harus ada SK gubernur.

"Bulog ini bertugas sampai titik distribusi. Penerimanya Pemda yang bertanggung jawab. Sehingga mereka harus menunggu penetapan," paparanya.

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2077650/kemenkeu-cairkan-dana-raskin-rp15-t-ke-bulog#.Uw2JRqIQ-1s

Profesionalisme Akan Menang

Dirut Bulog Saat Di Subdivre Bms


Sutarto Alimoeso memulai karier di birokrasi. Ia bahkan menghabiskan separuh usianya di pemerintahan. Toh, Sutarto jauh dari kesan birokrat kebanyakan. Setidaknya hal itu tercermin pada gaya bicaranya yang lugas, tegas, dan blak-blakan.

“Saya bekerja secara profesional. Saya juga tidak mau ditekan atau didikte siapa pun. Saya yakin profesionalisme akan menang,” ujar Direktur Utama Perum Bulog itu di Jakarta, baru-baru ini.

Demi menjadikan Perum Bulog profesional, Sutarto berani mendobrak tradisi lama yang dianggapnya menyimpang atau berseberangan dengan visi dan misi Bulog. Terobosan yang dilakukannya tak hanya menyangkut perbaikan internal, tapi juga yang terkait dengan pengadaan pangan.

Pria yang menakhodai Perum Bulog sejak November 2009 ini pun gencar menanamkan pemahaman tentang perlunya perubahan di setiap karyawan. Ia memulai perubahan dari hal-hal kecil, misalnya membatasi operasional lift serta melaksanakan tertib administrasi dan tertib jam kerja.

“Perubahan harus dilakukan dari masing-masing individu. Saya dikomentari, dirut kok mengurusi yang kecil-kecil. Saya bilang, tersandung itu oleh batu yang kecil. Kalau batu besar, itu namanya nabrak,” katanya.

Di balik sikapnya yang tegas dan berani, Sutarto Alimoeso adalah seorang "penurut" Ia tak pernah menolak bertugas.

“Di mana pun ditugaskan, saya akan memberikan yang terbaik. Tugas merupakan amanah, sehingga harus dilaksanakan secara ikhlas. Bekerja itu kan bagian dari ibadah. Jadi, saya tidak pernah menggerutu,” tandasnya. Berikut wawancara dengannya.

Bagaimana perjalanan karier Anda hingga bisa menjabat sebagai dirut Perum Bulog?
Saya memulai karier di Kementerian Pertanian (Kemtan) sejak November 1974. Saya lulus sarjana pada 31 Agustus 1974. Saya sempat bingung mau bekerja di mana, tapi akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke Kemtan. Karier saya hampir 35 tahun dihabiskan di Kemtan. Saya memulainya sebagai tenaga honorer. Pada Maret 1976, saya baru diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Begitu diangkat, pada 1977 saya mendapat tugas sebagai kepala seksi di Kemtan.

Saya sudah berganti-ganti menjadi kepala seksi, sampai empat kepala seksi. Pada 1986, saya diangkat menjadi kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura VIII di Banjarmasin, persisnya di Bajarbaru hingga awal 1989. Kemudian saya pindah 1 April 1989 ke Sumatera Utara. Saya menjabat sebagai kepala Balai Poteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura I. Pada 1995, saya ditarik ke Jakarta sebagai kepala Subdirektorat Pengendalian Hama.

Pada akhir 1996, saya diminta menjadi penjabat kepala Dinas Pertanian Kalimantan Barat. Pada 1997, saya diangkat menjadi kepala Dinas Pertanian Kalimantan Barat. Kemudian pada 1998 saya ditarik ke Jakarta untuk menempati posisi sebagai direktur perlindungan tanaman pangan sampai 2003. Lalu saya mendapat tugas sebagai Setditjen Tanaman Pangan sampai 2006. Pada April 2006, saya diangkat menjadi dirjen tanaman pangan Kemtan sampai April 2010. Pada 1 Maret 2010, saya pensiun. Saya ditarik ke Bulog pada 23 November 2009.

Apa yang Anda lakukan untuk bertransformasi dari seorang birokrat menjadi eksekutif?
Selama saya menjadi PNS, prinsip saya sampai sekarang adalah di mana pun bertugas, saya akan melaksanakannya. Tugas merupakan amanah dan bagian dari ibadah, sehingga harus dilaksanakan secara ikhlas. Saya tidak pernah menggerutu. Misalnya saat saya dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan, saya tetap berangkat. Sebab, niat saya seperti itu. Niat akan mewarnai sikap, tindakan, maupun perilaku yang keluar atau dilakukan seseorang.

Saya berupaya bekerja secara profesional, mengikuti aturan yang ada. Saya juga tidak mau ditekan siapa pun. Kalau ada intervensi dari siapa pun dan dari mana pun, tidak saya layani. Di mana pun bertugas, saya selalu berupaya melakukan perubahan-perubahan. Saya selalu berupaya profesional. Saya tidak bekerja atas dasar karena ditaruh di situ, karena utang budi, atau bagian dari suatu kelompok. Saya tidak pernah punya kelompok-kelompok tertentu. Kelompok saya adalah di mana saya menjadi satu unit. Saya tidak mau didikte.

Beberapa kali Anda dikabarkan akan diganti, tapi batal. Apa yang Anda rasakan?
Jabatan adalah amanah. Kalau mau dicabut, itu merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Contohnya pada awal 2011 saya diarahkan bakal diganti, tapi saya tetap bekerja. Ada faktor lain. Mestinya saya pensiun, tapi karena saya dianggap berhasil, presiden bilang ada perpres yang bisa memperpanjang hingga usia 62 tahun. Saya dinilai berhasil sampai diberi bintang jasa utama dari pemerintah.

Saya dari dulu tidak pernah minta jabatan. Ditempatkan di mana pun, saya tidak pernah menolak. Saya ikuti saja seperti air mengalir. Waktu di Madinah, umroh, ada sahabat yang menginformasikan bahwa saya akan diganti. Reaksi saya waktu itu biasa saja. Orang lain mungkin kaget. Itu karena sejak awal saya tahu bahwa presiden akan memperpanjangnya. Saya sudah berupaya sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Baik itu kan belum tentu benar.

Waktu itu teman saya berseloroh, mumpung dekat dengan Tuhan, berdoalah agar tidak jadi diganti. Saya bilang, saya memang mau berdoa. Doa saya, ya Allah ya Tuhan kami. Kalau amanah ini dicabut demi kebaikan bangsa, negara, dan masyarakat, maka cabutlah. Tapi kalau saya masih diberikan amanah, maka berikanlah petunjukMu. Berilah saya petunjuk yang baik dan benar di Bulog.

Waktu pulang, saya diberitahu Seskab Dipo Alam, bahwa saya akan diganti. Bagi saya tidak apa-apa. Tapi Tuhan menghendaki lain. Ada yang bertanya, Pak Tarto berdoa apa waktu di Mekah, kok batal diganti? Saya bilang, saya tidak pernah mendoakan orang lain jelek. Dan, saya tidak pernah takut diganti.

Perubahan apa yang Anda lakukan di Bulog?
Saat saya masuk pertama kali di Bulog, pada bulan pertama, saya ikuti irama mereka. Tapi saya tidak masuk iramanya. Pada bulan berikutnya, saya mulai perubahan itu. Saya mulai dari persoalan mendasar, yaitu jiwa korps yang tidak kokoh. Makanya saya perkenalkan Bulog Incorporated. Misalnya, dulu masalah kecil saja, beras kualitas jelek dikirim dari divre satu ke divre lain, tetapi duitnya tidak jelas ke mana. Ternyata duitnya diberikan ke mitra atau kepala gudang. Dengan adanya Bulog Incorporated tidak ada tawar-menawar. Semua itu harus diubah karena membuka peluang terjadinya kecurangan.

Kemudian, prinsip saya, perubahan harus dilakukan dari masing-masing individu. Maka konsep yang saya buat adalah saya harus bekerja secara detail agar menyangkut individu, mulai dari menulis surat dan efisiensi. Di sini, dulu, penutup surat saja tidak ada. Penggunaan fasilitas umum boros. Contohnya lift. Saya bilang, kalau pukul 08.30 WIB lift jangan dinyalakan semua karena yang memakainya sudah berkurang. Saya minta tertib administrasi dan jam kerja.

Saya bilang, kita jangan terlambat dua kali, nanti salah dua kali. Kalau datang terlambat, salah. Tapi atasan tidak berani ambil tindakan karena takut bawahan bernyanyi. Saya bilang, biarkan dia nyanyi, nanti terbuka semua.

Anda memilih perubahan secara radikal?
Saya bisa dikatakan radikal jika dikaitkan dengan budaya waktu itu. Saya juga dikomentari, dirut kok mengurusi yang kecil-kecil. Saya bilang, tersandung itu oleh batu yang kecil. Kalau batu besar, itu namanya nabrak. Kenapa mulai dari yang kecil-kecil? Karena yang kecil itu urusan di bawah, sedangkan yang bawah tidak mengurusnya.

Kesimpulan saya, kalau mau melakukan perubahan, tantangan terbesar ada di internal. Eksternal tentunya ada. Tapi tantangan terbesarnya dimulai dari internal. Mau tidak mau, internal harus dibereskan.

Saya minta teman-teman lebih profesional, tidak boleh berkelompok. Ada orang yang tidak punya kesempatan, tapi ada orang yang naik luar biasa karena punya jalur itu. Bulog memiliki dewan pengawas. Saat ada kekosongan jabatan, ada yang sudah tahu jabatan itu untuk siapa. Saya minta semua yang punya potensi dibuka, sehingga sekarang tidak lagi beredar nama saat ada yang kosong. Siapa yang berprestasi untuk memimpin, akan dikasih kesempatan.

Anda juga melakukan perubahan di sisi kebijakan perusahaan?
Ada paradigma lama yang saya ubah. Khitah Bulog, kalau harga beras atau gabah jatuh, Bulog harus beli. Kalau harga bagus pun beli. Kalau tidak, tidak apa-apa. Kalau harga terlalu tinggi, Bulog melakukan operasi pasar. Kalau stok kurang, Bulog impor. Saya diomeli kiri-kanan, seolah-olah Bulog suka impor. Makanya paradigma itu saya ubah. Yang kita kejar adalah pengadaan dalam negeri dengan stok yang cukup sesuai kebutuhan pemerintah, yaitu pada akhir tahun harus dua juta ton. Akhirnya pada 2012-2013 kita tidak impor. Pada 2010 banyak persoalan di dalam negeri, sehingga harus impor. Pada 2011 lebih parah karena produksi minus 1,07 persen, sehingga kita masih impor. Tapi pada 2012, produksi tumbuh 5 persen.

Ada aksioma di Bulog bahwa kalau kenaikan produksi di bawah 5 persen, Bulog tidak mampu melakukan pengadaan beras di atas dua juta ton. Makanya, pada tahun pertama dan kedua, berat. Tapi saya tidak percaya itu. Saya bilang, kejar dulu. Saya ingin pecahkan aksioma bahwa pertumbuhan produksi tidak harus di atas 5 persen agar dapat menyerap di atas dua juta ton. Pada 2012, saat produksi relatif bagus, kami bisa melakukan pengadaan tertinggi.

Pada 2013, saya tidak mau tergantung pada produksi. Waktu itu diumumkan bahwa produksi naik 2 persen. Ternyata pengadaan tercapai 3,55 juta ton, sehingga kita tidak impor. Pada 2013 terjadi bencana banjir. Ada aksioma lagi. Kalau pengadaan tahun sebelumnya tinggi, tahun berikutnya rendah. Padahal, tidak boleh seperti itu.

Bagaimana Anda menanamkan nilai-nilai positif dan menerapkan law enforcement?
Ada falsafah Jawa, hati-hati terhadap mo limo, yaitu madat (narkoba), mabuk (minum minuman keras), main (judi), maling (mencuri), dan madon (main wanita). Ini harus dihindari.

Dulu, di Bulog, kalau ada yang merampok tidak diberhentikan, hanya tidak diberi tugas dan tanggung jawab. Mereka hanya disuruh menyicil. Namanya tuntutan ganti rugi. Sekarang tidak, merampok berapa oun akan dipecat, kemudian diserahkan ke pihak berwajib. Kami sekarang tegas. Kalau ada yang korupsi atau maling, kami berhentikan. Sudah puluhan orang diberhentikan.

Cara Anda menyelaraskan misi komersial dan PSO?
Misi utama Bulog adalah sebagai stabilisator pangan. Tapi di lain pihak, Bulog juga harus mampu menjalankan misi komersial. Jadi, ada dua sisi, sehingga public service obligation (PSO) harus tetap dikerjakan. Tapi fungsi komersial bisa dihubungkan dengan fungsi Bulog. Orang bilang, tidak mudah dilaksanakan karena harus bekerja dari hulu hingga hilir. Hulu bekerja sama dengan produsen, hilir bekerja dengan konsumen. Bulog juga punya jaringan distribusi melalui kerja sama langsung dengan produsen. Kami punya unit usaha yang bergerak di bidang distribusi.

Apa filosofi hidup Anda?
Ikut saja seperti air mengalir. Saya kan tidak tahu mau di mana dan mau apa. Makanya saya tidak pernah menolak. Di mana pun dan kapan pun harus memberikan yang terbaik.

Obsesi Anda yang belum tercapai?
Cita-cita saya waktu kecil adalah ingin menjadi insinyur. Tapi kemudian saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Waktu menjadi PNS, cita-cita saya ingin menjadi pejabat eselon satu. Dari aspek itu sudah tercapai. Sekarang, saya ingin pensiun dengan selamat dan tidak ada macam-macam. Kalau tidak ada halangan, saya ingin menulis pengalaman tentang hal-hal yang bersifat filosofis untuk ditularkan kepada orang lain. Misalnya, kita bisa bekerja secara profesional karena hal itu nanti berguna. Kesimpulan saya, profesionalisme akan menang.

Dukungan keluarga?
Anak dan istri saya sudah terbiasa dan tahu persis bahwa sebagian besar hidup saya dihabiskan untuk bekerja. Tahun ini merupakan tahun ke-40 saya bekerja. Kami selalu berkomunikasi secara intens, minimal melalui telepon seluler.

http://www.beritasatu.com/figur/167966-profesionalisme-akan-menang.html

Selasa, 25 Februari 2014

Mau Jadi Perempuan Hebat? Yuk Tutup Aurat

Perempuan mana yang tidak ingin menjadi pribadi yang hebat? Perempuan mana yang tidak ingin menjadi pribadi yang dipandang mulia? Perempuan mana yang tidak ingin dihargai? Perempuan mana yang tidak ingin dihormati? Tidak ada! dengan yakin saya ingin menjawab bahwa secara fitrah tidak ada satu pun perempuan yang ingin dipandang rendah, dilecehkan, tidak dihargai dan tidak dihormati. Karena memang sejatinya setiap jiwa tidak dicipta oleh Allah untuk sia-sia, tapi penuh makna dan berharga.

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“…Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Ali-Imran: 191)

Di ayat lain Allah berfirman

 وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Isra’: 70)

Ya, Allah swt telah memuliakan kita dan telah menundukkan segala yang ada di bumi dan di langit untuk kita. Hanya saja, kita sering menjatuhkan diri pada kehinaan. Mengundang manusia untuk memandang rendah dan hina terhadap diri kita sendiri. Sebab apa? Sebab kita sendiri yang melupakan seperangkat hukum Allah.

Sebab kita sering melepaskan diri dari tingkah laku islami yang telah Allah garis dengan rapi dalam kitab suci. Atau bahkan kita tidak begitu mengenali sosok pribadi mulia yang harus kita teladani sepenuhnya. Ya, Rasulullah Saw, sosok pemuda yang menjadi teladan utama dalam segala bidang tersebut tidak kita jadikan idola dalam kehidupan kita. Kita masih berkiblat pada sikap para artis yang sering tayang di layar lebar dalam tanyangan yang tidak bermoral.

Perlu kita ketahui bahwa pada dasarnya seluruh perangkat aturan dari Allah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan atau maqashid al-syari’ah yaitu untuk memelihara agama (hizh din), memelihara jiwa (hifz nafs), memelihara keturunan (hifz nashl), memelihara harta (hifz mal) dan memelihara akal (hifz aql).

Sebagaimana firman Allah:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

Pun, begitu juga dengan seperangkat peraturan tentang perempuan. Fakta di sekeliling kita membuktikan bahwa kesadaran perempuan untuk melaksanakan peraturan Allah Swt masih sangat minim. Tanpa menafikan bahwa juga banyak perempuan yang sangat patuh dengan peraturan Islam. Contohnya peraturan tentang menutup aurat. Sederetan alasan pun sering terdengar untuk membenarkan sikap kengganannya dalam menutup aurat. ‘Ah, aku belum siap pakai jilbab, sikapku masih hancor buuaanget, jilbabi hati aja dulu deh, ntar baru jilbabi tubuh”. Atau ada lagi yang berdalih “aku kan bukan anak pesantren, buka anak dayah, bukan kuliah di universitas Islam, ya gak pa-pa dong kalau nggak berjilbab.

Bahkan, terkadang lingkungan sekitar pun ikut mendukung seseorang untuk tidak menutup aurat dengan memberikan dukungan-dukungan sesat. Seperti yang sering saya dengar “pakai jilbab itu ribet, kek mamak-mamak, nggak usah pakai aja.”.

Saudaraku, kemarilah. Kita simak dengan baik penjelasan saya berikut ini. Semoga dapat menambah keyakinan kita tentang pentingnya menutup aurat.

Mengapa Harus Menutup Aurat?
Mungkin, kita pernah bertanya “mengapa perempuan dikekang oleh berbagai macam aturan? Harus pakai jilbab lah, kaus kaki, manset dst. Terus, bajunya nggak boleh tipis, nggak boleh menerawang, nggak boleh membentuk tubuh, nggak boleh menyerupai laki-laki dan seperangkat aturan lainnya. Kenapa? Ada yang tahu?

Saudaraku, ternyata Allah telah menjawab kebingungan kita ini di dalam Al-Qur’an.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)

Menguraikan tafsir ayat di atas tentu sangat menarik. Akan tetapi, kapasitas ilmu saya belum cukup untuk menjelaskan tafsir ayat tersebut dengan mendetail. Namun, yang saya pahami dari terjemahan ayat di atas adalah bahwa Allah swt menciptakan perempuan dengan keindahan. Dan Allah telah menanamkan ke dalam jiwa manusia cinta akan keindahan.

Perempuan adalah salah satu bagian dari keindahan tersebut. Bahkan, di ayat tersebut Allah menyebutkan kata wanita (perempuan) sebagai keindahan pertama yang dicenderungi oleh manusia sebelum menyebutkan anak-anak, harta dsb. Dan keindahan itu sering sekali menyilaukan mata yang memandang, melemahkan iman, memudarkan pesona cinta kita kepada Allah Swt. Sebab itulah Allah memerintahkan perempuan untuk menjaga keindahannya, untuk membantu kaum adam agar tidak tersilaukan oleh pandangan keindahan perempuan.

Di ayat lain, Allah mengatakan bahwa menutup aurat itu bertujuan untuk menjaga kaum perempuan agar tidak diganggu.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

Ada kisah menarik yang terjadi di masa Rasulullah Saw berkaitan dengan poin di atas. Kisah ini tentang seorang muslimah yang diganggu oleh Yahudi Bani Qainuqa’. Peristiwa ini terjadi setelah perang Badar di mana kaum muslimin meraih kemenangan dan kaum musyrikin mengalami kekalahan besar. Kekalahan ini ternyata membuat kaum Yahudi Bani Qainuna’ semakin membenci Rasulullah Saw dan kaum muslimin.

Mereka pun berkeinginan untuk kembali menyerang umat Islam. Sikap mereka pun semakin lancang, semakin berani mengolok-olok, mengganggu kaum muslim yang datang ke pasar, bahkan juga menganggu wanita-wanita muslimah.

Namun, Rasulullah Saw mampu menahan kemarahannya dan orang-orang muslim pun mampu bersabar atas sikap Yahudi Bani Qai’nuqa’. Hingga tibalah suatu hari di mana kemarahan Rasulullah mulai memuncak.

Betapa tidak? Seorang Yahudi Bani Qainuqa’ menganggu seorang wanita Arab yang datang ke pasar dengan mengenakan jilbabnya. Dengan diam-diam Yahudi tersebut mengikat ujung baju sang muslimah, sehingga tersingkaplah auratnya tatkala ia bangkit. Dan wanita ini berteriak. Para Yahudi yang berada di sekitar pasar itupun ikut tertawa ria melihat keberhasilan Yahudi ini dalam menganggu wanita muslimah tersebut. Seorang laki-laki muslim yang melihat kejadian ini langsung melompat ke arah Yahudi tersebut dan membunuhnya.

Dan orang-orang Yahudi lainnya mengikat laki-laki muslim itu lalu membuhnya.
Tibalah berita kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Maka, Rasulullah pun mengerahkan tentara Allah menuju Bani Qainuqa’ untuk berperang melawan kaum musyrikin. Dalam sejarah Islam, perang ini dinamakan dengan perang Bani Qainuqa’.

Cerita di atas menjadi salah bukti cintanya Rasulullah Saw kepada kaum perempuan. Menjadi bukti dari sekian banyak bukti lainnya bahwa betapa Islam sangat menghargai dan menghormati kaum perempuan.

Hanya karena perempuan muslimah yang diganggu oleh Yahudi, Rasulullah Saw mengumandangkan perang untuk membela kaum perempuan. Bukankah itu pembelaan yang sangat luar biasa?

Menjadi Pribadi Hebat dengan Menutup Aurat
Tentu setiap kita ingin menjadi pribadi hebat dan bermanfaat. Terutama Hebat di mata Allah Swt. Dan juga kita ingin menjadi pribadi yang bermanfaat untuk Allah dan untuk manusia. Untuk menjadi pribadi hebat di mata manusia terkadang harus memenuhi sederetan syarat yang bermacam-macam. Karena penilaian hebat dari kacamata manusia itu sangatlah relatif, sesuai dengan keinginan manusia yang berbeda-beda. Namun, untuk menjadi perempuan hebat di mata Allah itu hanya punya satu syarat yaitu menjadi “wanita shalihah”.

Sebagaimana hadits Rasulullah Saw,

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah .” (Hadits Riwayat. Muslim no. 1467).

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda kepada Umar ibnul Khathab RA:

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang apabila dipandang akan menyenangkannya, apabila diperintah akan mentaatinya, dan apabila ia bepergian si istri ini akan menjaga dirinya.” (Hadits Riwayat Abu Dawud no. 1417.

Asy-Syaikh Muqbil t berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Ya, menjadi pribadi shalihah adalah syarat utama untuk menjadi perempuan hebat. Karena perempuan shalihah adalah perhiasan dunia yang paling baik, paling hebat di antara perhiasan-perhiasan lainnya. Yang kemilauan cahayanya tiada tandingan. Sampai, bidadari-bidadari surga pun cemburu dengan kemilauan cahayanya.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”

Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.” Kemudian, Ummu Salamah kembali bertanya “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”. Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali.

Adapun syarat utama menjadi perempuan shalihah adalah dengan mengikuti perintah Allah, melaksanakan segala peraturan Allah dan Rasulullah Saw. Bukan sekadar mengetahui teori, tapi juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tentunya, menutup aurat adalah bagian dari kepatuhan kita kepada peraturan—peraturan Allah. Dan ini juga merupakan bagian dari kecintaan kita kepada Allah dan kepada diri kita sendiri. Maka, seorang perempuan itu belum bisa dikatakan hebat kalau belum menutup aurat, sekalipun telah bergelar doktor ataupun profesor.

Karena tetap saja, menutup aurat adalah syarat untuk menjadi perempuan hebat di mata Allah.
Sebab, di pundak perempuan Allah titipkan amanah besar. Dan perempuan memainkan peranan penting dalam kehidupan. Sebagai anak, istri, ibu dan juga bagian dari masyarakat. Kehebatan perempuan sangat mempengaruhi kehidupan ini. Tegak atau runtuhnya negeri ini tergantung pada hebat atau rapuhnya perempuan dalam menjalankan amanah ini. Jikalau menutup aurat yang merupakan salah satu bagian dari peraturan Allah berani dilanggar, maka bagaimanakah seorang perempuan mampu tunduk dengan baik kepada orang tua? Bagaimana seorang perempuan mampu patuh kepada suami? Dan bagaimanakah seorang perempuan mampu mengabdi kepada masyarakat dan negeri ini? Sedangkan ia telah mengotori agama dan negeri ini dengan tidak menutup aurat. Karena menutup aurat bukan hanya sekadar peraturan agama, tetapi juga bagian dari membangun peradaban dunia.

Karena itu, tutup aurat sekarang juga, jangan tunda-tunda. Jangan pernah ragu dan takut. Sekalipun kita masih banyak kekurangan dari segi akhlak dan ilmu agama. Biarlah kita perbaiki secara berbarengan.

Menutup tubuh dengan pakaian syar’i dan memperbaiki akhlak kita ke arah lebih islami. Semoga, hati, jiwa, dan pikiran kita ikut terjilbabi dengan balutan iman seiring bersama menutup diri dengan pakaian islami. Wallahu A’lam.

Kedaulatan Pangan Makin Jauh

Praktik impor beras secara ilegal yang terungkap baru-baru ini mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.

Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan belum terwujud. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 

Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa dengan masuknya beras impor asal Vietnam. Pemerintah selalu "bernyanyi" tentang keberhasilan program pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras meningkat setiap tahun. Bahkan produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras. 

Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik kampanye menjelang Pemilu 2014. Niat yang seakan-akan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat dan masuknya beras impor secara ilegal. 

Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati. Program dan gerakan revitalisasi pertanian hanya kuat di atas kertas namun lemah di implementasi. Sudah 10 tahun pemerintahan SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor. 

Kenyataannya lain. Revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru makin meminggirkan petani.

Kian Lemah

Sektor pertanian harus menyediakan beras dengan harga murah guna mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan). 

Pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota. Sementara keseriusan pemerintah membangun pertanian yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama semakin lemah. 

Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden SBY pada tahun 2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani kini roh dan semangatnya terasa kian jauh. Indonesia yang berada di ambang krisis pangan membuat bangsa prihatin dan miris.
 
Padahal pemerintah negara maju amat melindungi petaninya. Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangan dan terjadi surplus produksi. 

Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar.

Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus.

Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat 2,62 persen dibanding tahun 2012. Peningkatan produksi yang siginifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras. 

Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai. 

Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare. Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi signifikan. 

Upaya pemerintah kabupaten meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan otonomi menetaskan pencapaian kedaulatan pangan yang semakin kehilangan arah. 

Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi kawasan non pertanian pangan. Ini menjadi ancaman serius pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 semakin jauh dari harapan.

Kalah

Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik.

Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus merugi. Harga produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor. Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang merajalela.
Patut disadasri, karakteristik pasar beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4 persen dari total produksi global.

Dengan jumlah penduduk besar dan sekitar 60 persen dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25 persen untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional.

Jila angka produksi GKG tahun 2013 bisa dipercaya sebanyak 70,87 juta ton, kebutuhan konsumsi sebesar 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog. 

Lantas, mengapa pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani.

Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada tahun 2014, patut diacungi jempol sebagai propetani!

Sudah bukan rahasia, urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) di tahun politik. 

Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya menjadikan "tradisi impor" seakan-akan legal sebagai pilihan tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri.

Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnan proses produksi perberasan dalam negeri. 

Namun, jika pemerintah masih mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, jangka panjangnya menyimpan bom waktu. 

Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi kemiskinan dengan mengatur tata niaganya. Dengan begitu, harganya tetap rendah. Pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya. 

Presiden SBY yang melontarkan gagasan revitalisasi pertanian, misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas bidang yang sedang dan telah direvitalisasi.  
  
Pemerintah patut belajar dari Thailand dan Korsel yang menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan. Sudah saatnya memperluas diversifikasi produk pangan olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan guna memutus mata rantai impor beras sekaligus mengakhiri politik beras murah.

Oleh Posman Sibuea
Penulis adalah Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan
http://www.koran-jakarta.com/?6623-kedaulatan%20pangan%20makin%20jauh

Senin, 24 Februari 2014

PPh Final 1 Persen PP 46 Tahun 2013: 8 Hal Yang Perlu Diketahui



Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final dengan tarif 1 persen—untuk pendapatan tidak melebihi 4.8 miliar setahun—sudah diberlakukan sejak 1 Juli lalu dan katanya harus sudah mulai dibayar paling lambat 15 Agustus ini. Namun sampai hari ini belum ada petunjuk pelaksanaan yang jelas. Sosialisasipun belum kunjung dilakukan.

Di sisi lainnnya, menurut seorang Accounts Representative (AR) yang sempat penulis ajak berbincang kemarin, sampai saat ini belum ada pemberitahuan untuk menunda. Artinya tenggat waku 15 Agustus sampai saat ini belum berubah. Katanya, kemungkinan besar akan disosialisasikan dalam minggu depan. Jika terlaksana, maka waktu yang tersisa akan sangat sempit.

Sambil menunggu petunjuk teknis penghitungan, pembayaran dan pelaporan, yang katanya akan diatur dengan peraturan menteri keuangan, mungkin ada baiknya jika wajib pajak tahu informasi dasarnya terlebih dahulu.

Sebagai pemahaman awal, berikut ini adalah 8 hal yang perlu diketahui mengenai Pengenaan PPh bersifat final dengan tarif 1 persen sesuai dengan PP No.46 Tahun 2013.

1. Siapa Yang Dikenakan PPh Final Sesuai PP ini?
Pada dasarnya, semua wajib pajak—baik perorangan maupun badan (kecuali yang berbentuk Badan Usaha Tetap/BUT—dengan “peredaran bruto” yang memenuhi kriteria di bawah ini dikenakan PPh Final sesuai PP 46:
“Wajaib pajak Non-BUT yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak rnelebihi Rp 4.8 miliar dalam 1 tahun fiskal.”
Apa itu peredaran bruto? Dalam bahasa dagang umum sering disebut “omzet”, sedangkan dalam akuntansi disebut “pendapatan” (revenue) saja.

2. Bagaimana Caranya Menentukan Peredaran Bruto?
Sudah disebutkan di atas bahwa WP yang dikenakan PPh Final sesuai dengan PP 46/2013 ini adalah “Pendapatan bruto tidak melebihi 4.8 miliar.”

Pertanyaannya: bagaimana caranya menentukan besarnya “peredaran bruto” yang akan dijadikan dasar perhitungan?
Menurut PP ini, pendapatan yang dihitung sebagai dasar untuk menentukan 4.8 miliar adalah semua pendapatan termasuk pendapatan perusahaan cabang (bila ada), namun TIDAK TERMASUK pendapatan yang telah dikenakan PPh final dan pendapatan yang berupa jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Misalnya:
(a) Data pendapatan (revenue) PT. JAK pada tahun fiskal 2012 nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 4,778,000,000
Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 25,000,000
Total = Rp 4,803,000,000

Simpulan: Dilihat dari totalnya, pendapatan PT. JAK sudah di atas 4.8 miliar. Namun karena yang 25 juta berupa pendapatan jasa giro dan telah dikenakan PPh final oleh pihak bank, maka peredaran bruto yang diperhitungkan hanya Rp 4,778,000,000, sehingga masuk kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen, sesuai dengan PP 46/2013 ini.

(b) Tahun fiskal 2012, data pendapatan PT. ABC yang berkantor pusat di Tangerang memiliki data pendapatan sebagai berikut:
Penjualan di Kantor Pusat = Rp 2,800,000,000
Penjualan di Cabang Daan Mogot = Rp 1,200,000,000
Penjualan di Cabang Pal Merah = Rp 1,795,000,000
Total = Rp 5,795,000,000

Simpulan: Total pendapatan PT ABC termasuk cabang melebihi 4.8 miliar, sehingga TIDAK memenuhi kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
(c). Tahun fiskal 2012, data pendapatan Tuan Hartono Budhi, pemilik Minimarket UD Kencana dan Toko Bangunan UD Makmur, adalah sbb:
Penjualan Minimarket UD. Kencana = Rp 2,100,000,000
Penjualan Toko Bangunan Minimarket = Rp 2,650,000,000
Pendapatan dari Pekerjaan Bebas = Rp 250,000,000
Total = Rp 5,000,000,000

Simpulan: Total pendapatan Tuan Hartono Budhi memang melebihi 4.8 miliar dalam satu tahun fiskal. Namun karena pendapatan dari pekerjaan bebas tidak dihitung, jadinya belum melewati Rp 4.8 miliar, sehingga memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.

Lebih jauh mengenai “Jasa Sehubungan Dengan Pekerjaan Bebas”, PP 46/2013 ini juga merinci jasa pekerjaan apa saja yang tergolong sehubungan dengan pekeraan bebas dan jasa apa yang tidak.

Yang disebut dengan “jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas” dalam hal ini adalah jasa yang dihasilkan oleh seorang:
  • Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
  • Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan Zperagawati, pemain drama, dan penari.
  • Olahragawan.
  • Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
  • Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
  • Agen iklan.
  • Pengawas atau pengelola proyek.
  • Perantara (makelar/calo).
  • Petugas penjaja barang dagangan.
  • Agen asuransi.
  • Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Pendapatan jasa di atas TIDAK DIPERHITUNGKAN dalam menentukan apakah peredaran bruto WP melebihi atau tidak melebihi 4.8 miliar.
Sedangkan pendapatan yang diperhitungkan dalam menentukan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” adalah penadapatan yang berupa:
  • Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain sebagainya.
  • Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
  • Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.
  • Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Menurut AR yang sempat penulis ajak berbincang, untuk menentukan apakah WP memenuhi atau tidak memenuhi kriteria “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” yang dipersyarakatkan oleh PP 46/2013 ini, pihak Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan evaluasi terhadap peredaran bruto WP terlebih dahulu.

Masalah yang membuat penentuan peredaran bruto ini akan menjadi sedikit rumit adalah PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah tahun fiskal (1 Juli 2013), sementara batasan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” yang digunakan adalah total peredaran selama satu tahun fiskal (alias 12 bulan). Belum lagi kalau WP terdaftar sebagai wajib pajak di tengah-tengah tahun fiskal.

Nah, bagaimana caranya menentukan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar”?
Dalam evaluasi, peredaran bruto yang digunakan adalah sebagai berikut:

(a) Dalam hal tahun fiskal terakhir sebelum tahun fisakal berlakunya PP ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto tahun fiskal terakhir sebelum tahun fiskal berlakunya PP ini, lalu disetahunkan (lihat contoh di bawah). Misalnya:
PT. Untung Abadi rnenggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto tahun 2013 yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/5 = Rp 360,000,000

Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp 4,800,000,000, rnaka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalarn PP ini.
(b) Dalam hal WP terdaftar pada tahun fiskal yang sama dengan diberlakukannya PP ini namun terjadi pada bulan sebelumnya, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto dari bulan saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PP ini, lalu disetahunkan. Misalnya:
PT. Emas Permata terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya PP ini pada tahun fiskal yang sama dengan tahun berlakunya PP ini. Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto selama 3 bulan yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/3 = Rp 600,000,000

Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 bulan tersebut tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya PP ini sampai dengan akhir tahun fiskal bersangkutan, dikenai PPh bersifat final sesuai ketentuan dalam PP ini.
(c) Dalam hal WP baru terdaftar sejak berlakunya PP ini, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha, lalu disetahunkan. Misalnya:
PT. Maju Selalu terdaftar sebagai WP baru pada bulan November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15,000,000. Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah:
12/1 x Rp 15,000,000 = Rp 180,000,000

Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai PPh bersifat final sesuai dengan PP ini.

3. Siapa Yang Tidak Dikenakan PPh Final Sesuai PP ini?
WP orang pribadi (WPO) yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan PP ini adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya:
  • Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  • Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Misalnya: Pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya.
Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai PPh Final sesui ketentuan dalam PP ini, melainkan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana biasanya.

Sedangkan WP Badan yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan ketentuan PP ini adalah:
  • WP Badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
  • WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.8 miliar.
WP yang masuk kriteria ini TIDAK DIKENAKAN PPh Final sesuai dengan ketentuan dalam PP ini, melainkan dikenakan PPh sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana biasanya.

4. Berapa Besarnya Tarif PPh Final Yang Dikenakan?
Besarnya tarif PPH Final adalah 1% (satu persen).

5. Bagaimana Caranya Meghitung PPh Final Sesuai PP 46 ini?
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan, sesuai dengan PP 46/2013 ini, adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Sedangkan besarnya PPh final dihitung dengan cara mengalikan DPP dengan 1 persen.

Misalnya:
Menggunakan contoh (a) sebelumnya, dimana PT. JAK telah diketahui memiliki peredaran bruto Rp 4,778,000,000 (artinya belum melebihi 4.8 miliar setahun). Jika pendapatan PT JAK di bulan Juli 2013 sebesar Rp 315,000,000, sementara ada pendapatan jasa giro sebesar Rp 5,000,000 di dalamnya, maka:
PPh Final = DPP x Tarif
PPh Final = (Rp 315,0000,000 – Rp 5,000,000) x 1%
PPh Final = Rp 310,000,000 x 1%
PPh Final = Rp 3,100,000

Apa yang terjadi jika pada suatu bulan ternyata pendapatan WP telah melebihi 4.8 miliar?
Misalnya: Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh pihak DJP pada tahun 2013, peredaran bruto PT. XYZ belum mencapai 4.8 miliar, sehingga mulai Januari 2014 dikenakan PPh Final tarif 1 persen. Nah, apa yang terjadi jika total pendapatan kumulatif PT. XYZ di bulan Juni 2014 ternyata telah melebihi 4.8 miliar?
Menurut PP 46/2013 ini, PT. XYZ tetap dikenakan PPh Final tarif 1 persen hingga tahun fiskal 2014 berakhir. Baru akan dikenakan PPh sesuai dengan UU PPh di tahun fiskal berikutnya, yakni 2015.

6. Bagaimana Dengan Pajak Yang Terutang dan Dibayar di Luar Negeri?
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP tetap DAPAT DIKREDITKAN terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.

7. Apakah Bisa Melakukan Kompensasi Kerugian?
WP yang dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan menyelenggarakan pembukuan, dapat melakukan kompensasi kerugian (Lost Carry Forward) dengan penghasilan yang TIDAK DIKENAKAN PPh Final, dengan ketentuan sebagai berikut:
  • Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun fiskal. Misalnya: Jika PT. JAK mengalami kerugian pada tahun fiskal 2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada tahun fiskal 2011 sampai dengan 2015.
  • Tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas. Misalnya: Jika PT. JAK pada tahun fisal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan ketentuan PP ini, maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.
  • Kerugian pada suatu tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tidak dapat dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Misalnya: Jika PT. JAK pada tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan tahun fiskal berikutnya.
8. Bagaimana Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporannya?
Dalam PP ini belum diatur secara rinci. Katanya, akan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Sayangnya, penulis belum menemukan peraturan tersebut sampai saat artikel ini dipublikasikan.
Begitu tersedia, JAK sudah pasti akan publikasikan di sini. Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 ini sangat penting untuk diketahui oleh WP, orang accounting, terlebih-lebih konsultan pajak, mengingat jumlah WP jenis UKM (berpenghasilan tidak melebihi 4.8 miliar) terhitung mayoritas di negeri kita.

Jika sampai dengan tanggal 15 Agustus belum ada sosialisai maupun petunjuk penghitungan, pembayaran dan pelaporan, JAK berharap pemerintah (DJP dalam hal ini) mau sedikit lebih bijak dengan menunda pemberlakuan PP 46/2013 ini.  Bagaimanapun juga, sejak rencana pemberlakuan peraturan ini sudah banyak memperoleh penolakan, khususnya dari UKM, karena dianggap memberatkan. Jangan sampai sudah berat masih harus ditindih dengan penerapan aturan yang belum cukup jelas. Semoga.

http://jurnalakuntansikeuangan.com/2013/08/pph-final-1-persen-pp-46-tahun-2013-8-hal-yang-perlu-diketahui/