Rabu, 06 April 2016

Harga Turun, Penanam Simpan Gabah



HARGA gabah di sejumlah wilayah bervariasi, Selasa (5/4). Di Temanggung, Jawa Tengah, memasuki musim panen, harga gabah melorot hingga Rp3.500 dari sebelumnya Rp4.000 per kilogram.

Akibatnya, sejumlah petani enggan menjual gabah. “Saya simpan dulu. Kalau harganya naik lagi, saya baru akan menjualnya,” kata Suwarti, 40, petani di Kelurahan Madureso, Temanggung.

Keputusan yang sama juga dipilih Safaul, 45, petani di Desa Balerejo, Kecamatan Tlogomulyo. “Saya tidak mau rugi lantaran harga gabah sekarang tengah menurun.”

Pria yang memiliki 1 hektare lahan itu pada musim panen kali ini hanya bisa membawa 4,8 ton gabah karena curah hujan yang masih tinggi. Padahal, jika cuaca mendukung, biasanya ia bisa panen hingga 7 ton gabah kering panen.

Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Harga gabah terus meningkat.
“Harga gabah mencapai Rp4.200 per kilogram. Bahkan, ada petani yang menawarkan harga Rp4.700,” ungkap Sekretaris Kelompok Tani Nelayan Andalan Indramayu, Sutatang.

Ia menambahkan, tahun ini luas tanaman padi yang panen bertambah dari 30 ribu hektare menjadi 35 ribu hektare. “Cuaca sangat mendukung sehingga petani tidak terburu-buru menjual gabah ke tengkulak. Dengan kadar air yang lebih baik, gabah pun bisa dilego lebih tinggi,” tandas Sutatang.

Kabar gembira datang dari Banyumas, Jawa Tengah. Bulog setempat terus menggenjot penyerapan beras saat memasuki musim panen raya. Sampai kemarin, ada kontrak 4.500 ton dan beras masuk ke gudang mencapai 3.500 ton.

“Stok untuk melayani program beras sejahtera bisa mencukupi. Setiap hari ada 400 ton beras yang bisa diserap,” ungkap Humas Bulog Banyumas, M Priyono.

Sebaliknya, di Klaten, Bulog kesulitan menyerap gabah dan beras. Para tengkulak berani membeli gabah dan beras di atas harga patokan pemerintah.

Dari Surakarta, PT Perkebunan Nusantara IX berencana memperluas lahan khusus tanaman tebu hingga 1.000 hektare. “Perluasan lahan akan dijalankan tahun ini,” kata Direktur Keuangan PTPN IX, Herry Triyatno.

http://www.mediaindonesia.com/news/read/38523/harga-turun-penanam-simpan-gabah/2016-04-06

Daftar Harga Beras yang Dibeli Bulog dari Petani

Memasuki musim panen, harga gabah dan beras pada tingkat petani mulai mengalami penurunan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata harga gabah kering panen pada tingkat petani mencapai Rp4.703 per kg atau mengalami penurunan sebesar 9,76 persen dibandingkan pada bulan sebelumnya.

Sedangkan pada tingkat penggilingan, harga gabah kering panen tercatat mencapai Rp4.783 per kg atau mengalami penurunan sebesar 9,72 persen.

Untuk mencegah penurunan harga ini, Bulog telah menetapkan standar harga agar harga para petani tidak mengalami kerugian pada saat memasuki panen raya. Sebab, Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti memperkirakan bahwa Indonesia mulai memasuki puncak musim panen raya. Sehingga butuh standar harga yang dapat digunakan untuk mencegah kerugian bagi para petani.

Menurut Djarot, saat ini Bulog mematok harga beras sebesar Rp7.300 per kilogram (kg). Sedangkan harga gabah kering giling dipatok sebesar Rp4.600 per kg. Untuk gabah kering panen, Bulog mematok harga sebesar Rp3.000 per kg.

Namun, dengan penetapan harga ini bukan berarti Bulog tidak sanggup untuk membeli harga beras dan gabah di atas harga standar. Menurut Djarot, Bulog masih dapat melakukan pembelian gabah dan beras kepada petani di atas harga standar dalam batas harga yang wajar.

"Misalnya ada yang menyatakan, 'Pak kami menjual (gabah kering panen) Rp3.750 (per kg) apakah Bulog tidak bisa membeli,' bisa," kata Djarot saat ditemui usai rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/4/2016).

Untuk diketahui, saat ini petani harus menanggung penurunan harga gabah dan beras pada saat memasuki musim panen raya. Hal ini bahkan juga menyebabkan tingkat kesejahteraan petani menurun. Berdasarkan data BPS, nilai tukar petani (NTP) pada Maret 2016 turun 0,89 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
NTP Maret tercatat sebesar 101,32 atau lebih kecil dibanding NTP Februari 2016 sebesar 102,23.

http://economy.okezone.com/read/2016/04/06/320/1355537/daftar-harga-beras-yang-dibeli-bulog-dari-petani



Bulog Janjikan Perbaikan Infrastruktur Pascapanen

Perum Bulog mengupayakan untuk melakukan perbaikan infrastruktur pasca panen. Sebab pemerintah disebut masih belum peka atas infrastruktur pasca panen.

Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, saat ini semua pihak masih membicarakan permasalahan pada saat panen. Untuk itu kedepannya pemerintah juga akan memerhatikan pascapanen.

"Jadi setelah panen, lahan ini akan diperbaiki kembali sehingga produktivitas panen di waktu berikutnya menjadi lebih baik," ujar Djarot di kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, Rabu (6/4).

Djarot menyebut, perbaikan ini nantinya akan menyasar dari bagaiamana alat panen yang bagus, mekanisasi, pengering gabah yang efisien dan ideal, sehingga mampu berdampak untuk mengurangi jatuhnya mutu produksi. Selain itu, Bulog juga berharap bisa memperbaiki sistem penyimpan beras agar bisa tahan lama dengan kualitas bermutu.

Untuk anggaran perbaikan infrastruktur pascapanen, Djarot belum bisa memprediksi dan menyebut angkanya. Sebab pihaknya baru mempersiapkan tim antar departemen dari Kementerian seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan) hingga Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

"Ini (anggaran) tergantung nanti targetnya akan seperti apa. Tapi kalau ini berjalan, pasti hasilnya baik," jelas Djarot.

 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/06/o57w5v219-bulog-janjikan-perbaikan-infrastruktur-pascapanen

Senin, 04 April 2016

Langkah Mentok Perum Bulog

Dengan nada bicara yang tenang dan tersenyum ramah, Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti tidak menganggap begitu soal  terkait adanya petani yang lebih merelakan gabahnya diangkut para tengkulak ketimbang diserap oleh lembaga yang dipimpinnya sekarang. Menurut dia,  keberanian swasta untuk menawarkan harga beli lebih tinggi dibanding penetapan harga pembelian pemerintah (HPP)  akan menguntungkan pihak petani.

Ketentuan HPP termaktub dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015 yang  memuat tentang kebijakan pengadaan gabah dan beras serta penyalurannya yang dilakukan pemerintah. Dalam Inpres tersebut dicantumkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP) adalah sebesar Rp3.700 per kilo gram, Gabah Kering Giling (GKG) Rp4.600 per kilo gram, dan beras ditetapkan Rp7.300 untuk setiap kilo gramnya.

Sementara dalam praktiknya, seperti dikutip dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 April 2016,  selama Maret 2016 harga rata-rata GKP di petani mencapai Rp 4.703 per kilo gram dan di penggilingan Rp 4.783 per kilo garam. Untuk komoditas beras di tingkat petani Rp8.800 per kilo gram dan di tingkat penggilingan Rp8.850 per kilo gram. Sedangkan harga terendah di tingkat petani dan penggilingan masing-masing Rp2.700 dan 2.770 per kilo gram.

“Itu memang kondisi pasar. Untuk petani yang bisa mendapatkan harga di atas HPP ya untung alhamdulillah. Sementara bagi petani yang tidak bisa di atas HPP, ya kami beli. Tapi yang jelas kami mengerahkan satker (satuan kerja) untuk lekas menyerap gabah dari petani,” ujar Djarot saat ditemui Metrotvnews.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (1/4/2016).

Didorong Inpres, tersandera HPP

Tujuan diterbitkannnya Inpres Nomor 5 Tahun 2015 sudah barang tentu didorong keinginan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Di dalam instruksi tersebut dijelaskan bahwa kepentingan munculnya panduan ini dalam rangka stabilisasi ekonomi nasional, melindungi tingkat pendapatan petani, stabilisasi harga beras, pengamanan cadangan beras pemerintah, dan penyaluran beras untuk keperluan yang ditetapkan pemerintah serta sebagai kelanjutan dari kebijakan perberasan.

Menurut Djarot, Bulog bermain di dua sisi itu. Pertama, melakukan penyerapan gabah petani untuk menjaga stabilisasi harga pangan, yakni beras. Kedua, melindungi tingkat pendapatan petani.

“Maka, ketika harga gabah di lapangan berada di atas ketentuan HPP, Bulog tidak bisa apa-apa,” kata Djarot.

Dalam menentukan HPP, pemerintah mengajak banyak pihak,  meskipun diktum kedua dalam inpres tersebut dikatakan bahwa penentuan HPP  ditetapkan oleh Kementerian Pertanian. Sementara Bulog, dalam posisi ini hanya ditempatkan sebagai pelaksana penyerapan gabah.

Bulog tidak dalam posisi yang berhak menentukan HPP. Djarot menjelaskan, itu tanggungjawab regulator. Banyak pihak yang dilibatkan. Antara lain Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Penentuan HPP juga berdasarkan pertimbangan dan masukan beberapa ahli.

Kondisi harga gabah di lapangan yang terkadang melebihi HPP ini membuat Bulog harus bekerja keras. Meskipun begitu, penjualan gabah petani ke pihak lain juga tidak mesti ditafsirkan secara berlebihan.

Istilah tengkulak itu tidak bisa dipahami sebagai pihak yang akan menimbun dan mengambil keuntungan berlebihan dan mengganggu stabilisasi harga. Ia menyebut tengkulak tidak banyak. Tengkulak pun diyakini tidak bisa bersaing dengan pemerintah.

“Bayangannya begini, kalau dia (tengkulak) harus beli satu juta ton setara beras, itu kan setara dengan 1,7 triliun rupiah. Tidak banyak orang memiliki uang segitu,” kata Djarot.

Bulog beranggapan bahwa transaksi penjualan gabah yang dilakukan petani di atas HPP dan diberikan kepada pihak lain masih di batas wajar. Untuk saat ini, Bulog masih berkeyakinan bisa mencapai target yang diharapkan pemerintah, yakni memenuhi perolehan beras sebanyak dua sampai empat juta ton selama panen raya Maret – Juni 2016.

“Untuk saat ini saja sudah diperoleh 1,5 juta ton lebih. Kan ini panen raya,” kata Djarot.

Persoalan HPP yang terkesan jomplang dengan kondisi lapangan ini masih dianggap wajar di mata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Menurut dia, belum dibutuhkan adanya perubahan angka HPP mengingat biaya operasional produksi pertanian pun menurun.

“Hal terpenting, petani mendapatkan harga yang wajar seperti HPP gabah saat ini," ujar Amran kepada awak media saat melakuka kunjungan di Desa Bungo, Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah pada Jumat (1/4/2016).

Terbentur minimnya sarana

Awal Maret memberikan catatan penting bagi Bulog untuk secara total melaksanakan secara serius tanggungjawabnya dalam penyerapan gabah petani. Masalah lain yang terdapat dalam lembaga yang pernah menjadi “anak emas” pemerintahan era Orde Baru ini adalah terbatasnya sarana dan prasarana pengolahan gabah dan beras.

Dalam inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan di gudang Bulog Triyagan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada 11 Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengeluhkan mangkraknya tiga mesin pengering gabah. Menurut perhitungan Presiden, kerusakan mesin dengan kapasitas 80 ton sehari ini cukup mengganggu proses penyerapan gabah petani yang sedang menjadi pekerjaan rumah Perum Bulog.

“Ini yang mau kami cari tahu, kendalanya di mana. Karena duitnya ada lho atau ada sesuatu yang lain,” ujar Presiden Joko Widodo kepada sejumlah awak media.

Menanggapi hal ini, menurut Djarot, keterbatasan sarana prasarana dan kerusakan mesin-mesin pengolah gabah di daerah menjadi objek penanganan serius yang dilakukan pihaknya sejak Januari 2016. Kata dia, seiring memasuki masa panen raya, persoalan itu sedikit demi sedikit bisa Bulog tertangani.

Sewaktu disidak Presiden, sebenarnya Bulog juga sedang melakukan peremajaan mesin. Untuk kasus di Jawa Tengah misalnya, Bulog memiliki 14 unit rice mill yang kini telah diremajakan dari berbahan bakar minyak tanah dan solar dialihkan ke bahan bakar gas. Tiap unit menghabiskan sekitar 30 sampai 40 juta rupiah untuk bisa berfungsi kembali.

Penanganan sarana prasarana ini menambah beban kerja Bulog di samping waktu penyerapan gabah petani yang terbatas mengingat hanya bisa dimaksimalkan pada masa panan raya.

“Ya ini juga menjadi bahan evaluasi yang menjadi perhatian kami untuk terus memperbaiki kinerja,” kata Djarot.

Tugas yang tak kian jelas

Djarot menerangkan, Bulog yang kini hanya mencakup pada kewenangan sebagai operator guna menjaga kestabilan pangan nasional tidak bisa berbuat banyak. Karena harus menunggu instrumen pelaksanaan tugas dari berbagai pihak terkait. Selain penentuan HPP dalam program penyerapan gabah petani misalnya, wacana Bulog yang akan diposisikan sebagai lembaga pangan nasional juga belum mendapatkan kejelasan.

“Apakah kami hanya berkewenangan pada komoditi beras, atau tiga komoditi lain seperti jagung dan kedelai. Atau muncul juga wacana kewenangan terhadap 11 komoditi. Kami masih menunggu hasil rapat koordinasi di pemerintah,” kata dia.

Sebagaimana yang ditekankan dalam bentuk Inpres, Djarot mengaku masih mengerahkan konsentrasi penuh pada penyerapan gabah petani di masa panen raya. Selebihnya, Bulog menunggu arah kebijakan lanjutan sembari terus memperbaiki kinerja perusahaan.

“Bulog ini kan Perum. Jadi selain memiliki tugas sebagai tangan pemerintah di lapangan untuk stabilisasi pangan, kami juga memiliki pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri sebagai perusahaan. Soal kesiapan, kami juga telah melakukan berbagai usaha perbaikan, termasuk kesiapan sumberdaya manusia di lapangan. Kami merekrut tenaga-tenaga muda yang berpengalaman agar mampu melakukan pekerjaan secara lebih cepat,” kata Djarot.

Terkait stabilisasi tiga komoditi pangan yang diwacanakan menjadi tanggungjawab Bulog, Djarot menjelaskan untuk beras dan jagung pihaknya optimis tidak sampai melakukan impor. Lain lagi untuk kedelai, berbagai faktor yang menyertai satu jenis pangan ini menjadikannya harus ekstra dalam melakukan stabilisasi.

“Stok beras saat ini di gudang mencapai 1,5 juta ton lebih dan akan ada tambahan selama musim panen. Jagung juga masih aman, sekarang ada 250 ribu ton. Tidak perlu impor. Sementara kedelai ketersediaan di dalam negeri menurun berbanding terbalik dengan permintaan yang tidak bisa turun. Faktornya banyak, salah satunya sisi produksi di mana kedelai bukan tanaman tropis dan lahan yang terus berkurang,” ujar Djarot.

Bulog memahami ketahanan pangan nasional terlebih terwujudnya swasembada merupakan cita-cita yang sedang didorong secara total oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Hanya saja, kata Djarot, jika berkaca dari masa lalu, keberhasilan swasembada pangan  juga didukung oleh kesepakatan instrumen yang dipakai sebagai titik awal pelaksanaan pencapaian target.

“Kalau melihat kejayaan swasembada dulu, saya kira di sana terdapat satu kesepakatan instrumen dan data yang dipakai. Semisal, berapa luas total lahan pertanian kita? Berapa jumah sumberdaya manusia tani Indonesia? Itu memakai satu sumber. Sehingga kita berangkat dari tolok ukur yang sama,” kata Djarot.

Kondisi saat ini, kata Djarot, masing-masing yang terlibat bisa memakai data yang cenderung berbeda. “Ya itu, jumlah luas lahan pertanian kita sekarang saja masih ada  perbedaan pendapat,” kata Djarot.

http://telusur.metrotvnews.com/read/2016/04/04/508213/langkah-mentok-perum-bulog

Bulog dan Swasembada Pangan Era Orba

Mendengar istilah swasembada barangkali akan melemparkan ingatan ke masa-masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Betapa tidak, hampir sepanjang 32 tahun masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menjadikan program swasembada pangan, terutama beras, sebagai daya tawar utama dan indikator keberhasilan tahapan rencana pembangunan lima tahun (Repelita)  yang menjadi garis acuan penerbitan dan pelaksanaan setiap kebijakan ekonomi.

Terlepas dari pro-kontra gaya kepemimpinan sosok kelahiran 18 Juni 1921 ini, Indonesia pernah berbusung dada di hadapan dunia karena berhasil menyandang predikat sebagai salah satu negara yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Padahal sebelumnya, yakni sejak 1966 hingga 1970-an, Indonesia justru dikenal sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia.

Dalam buku Kembali ke Jalan Lurus (Esai-Esai 1966-99), Emil Salim menilai keberhasilan Soeharto dalam mendorong terwujudnya swasembada pangan pada 1984 bukan terletak pada luasnya lahan pertanian yang dimiliki Indonesia. Akan tetapi, pola dan strategi justru muncul dari kebaikan komunikasi dan kerjasama antarpihak yang terkait dalam menekankan pentingnya pembangunan sektor pertanian secara menyeluruh, termasuk kesiapan para petani hingga di pelosok daerah.

“Hasil (swasembada) ini dicapai bukan dengan menggunakan ‘perkebunan sawah’ yang besar, tetapi dihasilkan oleh jutaan petani dengan lahan yang kecil,” tulis Emil.

Atas kuatnya kerjasama yang melibatkan banyak pihak tersebut, Orde baru berhasil memproduksi 12,2 juta ton beras pada 1969, sementara puncaknya pada 1984 pasokan komoditas pangan pokok tersebut terproduksi sebanyak 25,8 juta ton.

“Hasil kerja pertanian yang bermultidimensi mencakup peranan besar petani di Indonesia dalam swasembada beras, mendorong ekspor, mengentaskan kemiskinan, mendorong pertumbuhan industri, dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia,” lanjut  Emil.

Selain peran kuat petani, keterlepasan Indonesia dari jeratan status sebagai negara pengimpor beras masa itu juga dipengaruhi gagasan pendirian lembaga yang berkewenangan menjaga stabilitas harga pangan dalam negeri. Melalui Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967, maka dibentuklah Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 10 Mei 1967 sebagai Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden yang bertugas mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, daging sapi dan bahan pangan lainnya.

Bulog pada awal berdirinya juga diposisikan sebagai importir tunggal yang bertugas membatasi impor pangan agar tidak dikendalikan mafia kartel pangan.

“Sekali lagi saya tekankan, bahwa Badan ini bertugas membantu pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran bahan pokok dengan pengarahan secara cepat dan tepat sesuai dengan dan kepada mereka yang membutuhkan,” ucap Soeharto saat melantik Mayor Jenderal Achmad Tirtosoediro sebagai Kepala Bulog pertama pada 17 Mei 1967.

Kestrategisan peran dan kewenangan Bulog pada urusan pangan ini pada perkembangan selanjutnya justru menimbulkan kontroversi. Ia tidak lagi hanya menjadi badan pengendalian pangan, akan tetapi menjelma sebagai lingkaran usaha yang memonopoli impor dan cenderung membawa kerugian bagi negara akibat berbagai praktik korupsi yang menjamur di dalam Badan tersebut.

Strategi Bulog masa lampau

Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti mencoba mengamati keberhasilan Bulog era Orde baru dalam mewujudkan ketahanan pangan dan swasembada beras. Menurut dia, salah satu faktor penting yang dapat mendukung peningkatan produksi pertanian masa itu adalah komunikasi yang baik yang dilakukan oleh antarpihak yang terlibat, serta penggunaan instrumen dan data yang terintegrasi  dalam melakukan kerja-kerja peningkatan produksi pertanian.

“Kalau melihat kejayaan swasembada dulu, saya kira di sana terdapat satu kesepakatan instrumen dan data yang dipakai. Semisal, berapa luas total lahan pertanian kita? Berapa jumah sumberdaya manusia tani Indonesia? Itu memakai satu sumber. Sehingga kita berangkat dari tolok ukur yang sama,” kata Djarot kepada Metrotvnews.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (1/4/2016).

Hal itu, kata Djarot, berbeda dengan kondisi sekarang ini. Di mana masing-masing yang terlibat bisa memakai data yang cenderung berbeda.

“Ya itu, jumlah luas lahan pertanian kita sekarang saja masih ada perbedaan pendapat,” ujar Djarot.

Keunggulan lain program ketahanan pangan era Orde Baru, terutama terkait Bulog, kata Djarot, ialah dikembangkanya institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnis. Pada posisi ini, selain bertugas menampung hasil pertanian, Bulog juga dilibatkan untuk berkomunikasi dengan institusi penelitian seperti Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) untuk menghasilkan inovasi pengembangan pertanian.

“Pada masa Presiden Soeharto, salah satu produk  yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Juga berbagai bentuk kerjasama antarlembaga terkait penyediaan sarana prasarana yang mendukung pertanian,” kata Djarot.

Namun perlu juga diakui, kata Djarot, Bulog era Orde Baru juga membuka peluang penyelewengan kewenangan dan tugas. Hal ini, menurut dia, terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang mengiringi sepanjang sejarah keberadaan Bulog di Indonesia.

“Soal Bulog zaman dulu sebenarnya saya tidak bisa berbicara banyak. Itu bisa dilihat dari catatan-catatan sejarah. Bulog sebagai bagian dari penguat kekuasaan Orde Baru juga menimbulkan banyak persoalan,” ujar dia.

Keberhasilan mencapai swasembada era 1980-an juga dianggap Djarot  sebagai potensi yang disalahgunakan oleh pejabat terkait masa itu. Puncaknya, di akhir kekuasaan Orde Baru pada 1997, Indonesia tampak kewalahan dalam menghadapi ancaman elnino hanya dengan modal bayang-bayang kejayaan swasembada pada satu dekade sebelumnya.

“Pada saat terjadi elnino waktu itu, pejabat menyatakan bahwa Indonesia baru swasembada dan tidak akan terdampak elnino. Namun fakta mengatakan lain, elnino memukul mundur jumlah produksi pertanian masa itu,” kata Djarot.

Penyerapan hasil pertanian untuk ketahanan pangan

Tugas penyerapan gabah yang diemban Bulog dalam panen raya Maret-Juni merupakan bagian penting dalam terwujudnya cita-cita ketahanan pangan nasional. Meskipun begitu, menurut Djarot, Bulog harus melakukan penyerapan sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditunjukkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015.

“Dalam Inpres tersebut dicantumkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP) Rp3.700 per kilo gram, Gabah Kering Giling (GKG) Rp4.600 per kilo gram, dan beras Rp7.300. Sehingga jika harga di lapangan berada di atas HPP, maka Bulog tidak bisa apa-apa,” ujar Djarot.

Bulog, yang dalam hal ini sebagai pelaksana penyerapan produksi pertanian yang diembankan pemerintah tidak bisa memaksakan para petani untuk menyerahkan gabah hasil panennya hanya kepada Bulog. Menurut Djarot, Bulog sekarang tentu berbeda dengan saat Orde Baru yang juga dilakukan melalui pendekatan yang berbeda.

“Kalau kita memaksakan bisa-bisa petani unjuk rasa,” kata Djarot sambil terkekeh.

Teknik penyerapan gabah ini juga tidak bisa disamakan dengan peraturan yang diberlakukan di berbagai negara. Menurut Djarot, penyerapan gabah petani yang dilakukan di Indonesia tentu tidak akan bisa dikerjakan secara maksimal seperti di Tiongkok. Di mana masyarakat di sana, menurut Djarot, menyerahkan hasil pertaniannya 100 % kepada pemerintah.

“Pokoknya tradisi kita berbeda dari tiap ruang dan waktu. Di Tiongkok paham yang dianut juga berbeda. Paham yang dianut di sana mewajibkan pemerintah menangani secara total segala hal yang dibutuhkan masyarakat,” ujar Djarot.

Perubahan-perubahan peraturan yang mengiringi sepanjang sejarah perjalanan Bulog juga dalam rangka menuju kebaikan dan kemajuan. Saat ini, kata Djarot, Bulog masih berperan sebagai operator yang bertugas menjaga stabilitas harga pangan, salah satunya melalui penyerapan gabah dari petani.

“Hari ini juga kami menunggu hasil rapat, apakah kami hanya berkewenangan pada komoditi beras, atau tiga komoditi lain seperti jagung dan kedelai. Atau muncul juga wacana kewenangan terhadap 11 komoditi. Kami masih menunggu hasil rapat koordinasi di pemerintah,” ujar dia.

 http://telusur.metrotvnews.com/read/2016/04/04/508198/bulog-dan-swasembada-pangan-era-orba

Minggu, 03 April 2016

Begini Saran Komisi IV Agar Serapan Bulog Maksimal

Agar penyerapan beras oleh Bulog berjalan maksimal, Komisi IV DPR RI mendorong BUMN tersebut diberikan kewenangan supaya bisa membeli beras di luar Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron mengatakan, Bulog jangan terpaku pada HPP, tapi Bulog berpatokan yang besarannya ditetapkan pemerintah. Nanti pembayarannya audited BPK sehingga riil berapa yang dibeli sesungguhnya.

"Tapi, pemerintah mengeluarkan policy atas batas anggaran yang disiapkan. Kurangnya pembayaran akan dibayar pada tahun berikutnya," katanya, kepada Bisnis, Minggu (3/4/2016).

Menurutnya, dengan sistem tersebut Bulog bisa membeli lebih banyak beras maupun gabah dari petani dalam negeri. Pembelian harga bulog kepada pemerintah dan kekurangan anggarannya audited tergantung dari perkembangan harga di pasar.

Sedangkan apabila, harga beras maupun gabah nasional melebihi harga referensi dan psikologis yang menyulitkan konsumen, tentu Bulog harus mencari dari luar. Sehingga intervensi harga internasional berlaku di pasar.

Dia menyebutkan, sebenarnya produktifitas padi Indonesia sudah tinggi. Produksi beras nasional pada tahun 2015 mencapai 42 juta ton dengan tingkat konsumsi 34 juta ton atau surplus 8 juta ton.

"Kenapa Indonesia harus impor karena 8 juta ada di pedagang dan masyarakat. Bulog sebagai institusi negara yang ditugaskan untuk mempersiapkan pangan nasional tentu tidak bisa berebut stok yang pas-pasan berada di masyarakat dan pedagang,"ujarnya.

Untuk itu Bulog selalu mencari pada HPP. Selama ini Bulog harus mencari beras hingga ke luar negeri yang surplusnya banyak seperti Thailand.

"Saya kira hukum ekonomi berlangsung. Ketahanan pangan, produktifitas Indonesia lebih baik dari Thailand dan Malaysia. Masalahnya, konsumsi di negara lain lebih rendah dari pada negara kita," ujarnya.

Selain itu, dirinya berpandangan semestinya pemerintah berpikir jangan fokus pada nilai konsumsi yang akan naik terus dan dikejar oleh produksi. Menurutnya, kurang tepat apabila tanpa memikirkan bagaimana memberikan pangan alternatif bagi masyarakat yang basisnya kekuatan lokal.

"Seperti Cimahi makan beras singkong lantas dipaksa dikasi beras. Papua Sagu. Pemerintah menetapkan standar kesejahteraan juga beras kenapa tidak dikonversi ke pangan lokal. Dengan beras sekian kilo, pangan lokal sekian kilo dengan protein sekian," paparnya.

http://bandung.bisnis.com/read/20160403/5/552705/begini-saran-komisi-iv-agar-serapan-bulog-maksimal