Setelah menyampaikan kalimat pembuka,
beliau mengatakan : Amma ba'du, berikut ini uraian singkat tentang beberapa
masalah yang berkait dengan bulan Sya'ban.
Pertama, Tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya'ban
Kedua, Tentang Puasa Nisfu (Pertengahan) Sya'ban
Ketiga, Tentang Keutamaan Malam Nisfu Sya'ban
Keempat, Tentang Shalat Pada Malam Nisfu Sya'ban
Kelima. Tersebar Kabar Di Masyarakat Bahwa Pada
Malam Nisfu Sya'ban Itu Ditentukan Apa Yang Akan Terjadi Tahun Itu
Keenam. Ada Sebagian Orang Membuat Makanan Pada
Hari Nisfu Sya'ban Dan Membagikannya Kepada Fakir Miskin
Pertama, Tentang Keutamaan Puasa Bulan
Sya'ban
Dalam shahih Bukhari dan Muslim,
diriwayatkan bahwa Aisyah رضي
الله عنها menceritakan:
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah صلي الله
عليه وسلم puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan
Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau puasa lebih banyak dalam sebulan
dibandingkan dengan puasa beliau صلي
الله عليه وسلم
pada bulan Sya'ban.”
Dalam riwayat Bukhari, ada riwayat
lain:
"Beliau صلي الله
عليه وسلم berpuasa penuh pada bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat lain Imam Muslim:
"Beliau صلي الله
عليه وسلم berpuasa pada bulan Sya'ban kecuali
sedikit."
Imam Ahmad dan Nasa'i meriwayatkan
sebuat hadits dari Usamah bin Zaid , beliau رضي الله
عنهما mengatakan,
"Rasulullah tidak pernah berpuasa dalam
sebulan sebagaimana beliau صلي
الله عليه وسلم
berpuasa pada bulan Sya'ban. Lalu ada yang berkata, 'Aku tidak pernah melihat
anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’ban.' Rasulullah صلي الله
عليه وسلم menjawab: “Banyak orang melalaikannya
antara Rajab dan Ramadhan. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk
diangkat kehadirat Rabbul Alamin, maka saya ingin amalan saya diangkat saat
saya sedang puasa”
Kedua, Tentang Puasa Nisfu
(Pertengahan) Sya'ban
Ibnu Rajab رحمه الله
menyebutkan dalam al-Latha'if, (hlm. 143, cet. Dar Ihya' Kutubil Arabiyah)
dalam Sunan Ibnu Majah dengan sanad yang lemah dari 'Ali رضي الله
عنه bahwa Nabi صلي الله
عليه وسلم bersabda, "Jika malam nisfu Sya'ban,
maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allah
turun pada saat matahari tenggelam, lalu berfirman, "Adakah orang yang
memohon ampun lalu akan saya ampuni? adakah yang memohon rizki lalu akan saya
beri ? ..."
Saya mengatakan, "Hadits ini
telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab al Mannar. Beliau
mengatakan (Majmu' Fatawa beliau 5/622), 'Yang benar, hadits itu maudhu'
(palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang
dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad رحمه الله
dan Yahya bin Ma'in رحمه
الله mengatakan,
'Orang ini pernah memalsukan hadits."
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa
khusus pada pertengahan Sya'ban itu bukan amalan sunat. Karena berdasarkan
kesepakatan para ulama', hukum syari'at tidak bisa ditetapkan dengan
hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau
kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan
riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits
Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali
kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).
Ketiga, Tentang Keutamaan Malam Nisfu
Sya'ban
Ada beberapa riwayat yang dikomentari
sendiri oleh Ibnu Rajab رحمه
الله setelah
membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para
ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibban menilai sebagiannya shahih dan
beliau membawakannya dalam shahih Ibnu Hibban. Diantara contohnya, dalam sebuah
riwayat dari Aisyah رضي
الله عنها, "Sesungguhnya Allah akan turun ke
langit dunia pada malam nisfu Sya'ban lalu Allah memberikan ampunan kepada
(manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani
Kalb." Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Tirmidzi menyebutkan bahwa Imam Bukhari menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu
Rajab menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan,
"Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki kelemahan.
"
As-Syaukani رحمه الله
menyebutkan bahwa dalam riwayat Aisyah رضي
الله عنها tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus.
Syaikh Bin Baz رحمه الله menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah
yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya'ban.
Keempat, Tentang Shalat Pada Malam
Nisfu Sya'ban
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan:
Tingkatan pertama, shalat yang dikerjakan oleh orang yang
terbiasa melakukannya diluar malam nisfu Sya'ban. Seperti orang yang terbiasa
melakukan shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa
dilakukannya diluar malam nisfu Sya'ban pada malam nisfu Sya'ban tanpa
memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini
memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa.
Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allah.
Tingkatan kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam
nisfu Sya'ban. Ini termasuk bid'ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi صلي الله
عليه وسلم yang menyatakan Nabi صلي الله
عليه وسلم memerintahkan, atau mengerjakannya begitu
juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali صلي الله
عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah , "Jika
malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya."
Diatas sudah dijelaskan bahwa Ibnu Rajab رحمه
الله menilainya
lemah, sementara Rasyid Ridha رحمه
الله menilainya
palsu. Hadits seperti ini tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum
syar'i. Para Ulama memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah
dalam masalah fadhailul a'mal, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus
terpenuhi, diantaranya, (syarat pertama) kelemahan hadits itu tidak parah.
Sementara kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya'ban) ini sangat parah. Karena
diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana kami
nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha. (syarat kedua), hadits yang lemah itu
menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya
lalu ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak
parah, maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk
melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya
sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya,
sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil
lain yang dijadikan landasan utama. Dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam
dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya'ban, syarat-syarat
ini tidak terpenuhi. Karena perintah ini tidak memiliki dalil yang shahih dari
Nabi صلي الله عليه
وسلم sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya. Dalam al-Lathaif (hlm. 145) Ibnu
Rajab mengatakan, "Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu
Sya'ban, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi صلي الله
عليه وسلم maupun dari shahabat. Muhammad Rasyid Ridha
mengatakan, "Allah سبحانه
و تعالي tidak mensyari'atkan bagi kaum Mukminin satu
amalan khusus pun pada malam nisfu Sya'ban ini, tidak melalui kitabullah,
ataupun melalui lisan Rasulullah صلي
الله عليه وسلم
juga tidak melalui sunnah beliau صلي
الله عليه وسلم."
Syaikh Bin Baz رحمه الله
mengatakan, "Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu
Sya'ban adalah riwayat palsu."
Keterangan terbaik tentang shalat
malam nisfu Sya'ban yaitu perbuatan sebagian tabi'in, sebagaimana penjelasan
Ibnu Rajab dalam al-Lathaif (him. 144), "Malam nisfu Sya'ban diagungkan
oleh tabi'in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam
itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil. Ada yang
mengatakan,, 'Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya'ban itu
adalah riwayat-riwayat isra'iliyyat.' Ketika kabar ini tersebar diseluruh
negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat
untuk mengagungkan malam nisfu Sya'ban, sedangkan Ulama Hijaz mengingkarinya.
Mereka mengatakan, 'Semua itu perbuatan bid'ah.'
Tidak diragukan lagi, pendapat ulama
Hijaz ini adalah pendapat yang benar. Karena Allah berfirman:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu." (Qs al-Maidah/5:3).
Seandainya shalat malam nisfu Sya'ban
itu bagian dari agama Allah, tentu Allah سبحانه
و تعالي jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan
oleh Rasulullah صلي
الله عليه وسلم
melalui ucapan maupun perbuatannya صلي
الله عليه وسلم.
Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian
dari agama Allah عزّوجلّ. Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama
Allah سبحانه و تعالي
adalah bid'ah, sementara ada dalil shahih dari nabi صلي الله
عليه وسلم, bahwa beliau صلي الله
عليه وسلم bersabda:
"Semua bid'ah itu sesat." (HR.
Muslim)
Tingkatan ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus
dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah
daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah. Riwayat-riwayat yang
menjelaskan keutamaannya adalah hadits palsu. As-Syaukani mengatakan
(al-Fawaidul Majmu'ah, hlm. 15), "Semua riwayat tentang shalat malam nisfu
Sya'ban ini adalah riwayat bathil dan palsu."
Kelima. Tersebar Kabar Di Masyarakat
Bahwa Pada Malam Nisfu Sya'ban Itu Ditentukan Apa Yang Akan Terjadi Tahun Itu
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan
takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam qadar (lailatul Qadar). Allah
berfirman:
"Haa miim. Demi Kitab (al Qur'an) yang
menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi
dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah. (Qs ad-Dukhan/44:1-4).
Malam diturunkannya al-Qur'an adalah lailatul
qadar. Allah berfirman:
"Sesungguhnya kami telah menurunkannya
(al-Quran) pada malam kemuliaan. (Qs al-Qadr/97:1)
yaitu pada bulan Ramadhan. Karena
Allah عزّوجلّ menurunkan
al-Qur'an pada bulan itu. Allah عزّوجلّ berfirman:
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) al Qur'an." (Qs al-Baqarah/2:185)
Orang yang mengira bahwa malam nisfu
Sya'ban merupakan waktu Allah عزّوجلّ menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun
itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur'an.
Keenam. Ada Sebagian Orang
Membuat Makanan Pada Hari Nisfu Sya'ban Dan Membagikannya Kepada Fakir Miskin
Ini yang mereka namakan 'asyiyatul
walidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari Nabi صلي الله
عليه وسلم. Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu
Sya'ban termasuk amalan bid'ah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah صلي الله
عليه وسلم dengan sabda beliau صلي الله
عليه وسلم:
"Semua bid'ah itu sesat." (HR.
Muslim)
Ketahuilah, orang yang membuat
kebid'ahan dalam agama Allah عزّوجلّ ini berarti dia telah terjerumus dalam
beberapa larangan :
a. Perbuatannya menyiratkan pendustaan
terhadap kandungan firman Allah عزّوجلّ:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu." (Qs al-Maidah/5:3).
Karena apa yang dibuat-buat ini dan
diyakini sebagai bagian dari
agama ini tidak termasuk agama ketika
agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid'ahan ini berarti
agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red)
b. Membuat-buat suatu yang baru
menyiratkan kelancangan terhadap Allah dan RasulNya.
c. Orang yang membuat-buat suatu yang
baru berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allah عزّوجلّ dalam menghukumi manusia. Allah berfirman,
yang artinya:
"Apakah mereka mempunyai sembahan-
sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah ?" (Qs-as-Syuura/42:21)
d. Membuat-buat suatu baru
berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi صلي الله
عليه وسلم tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama
dan kedua, Nabi tahu namun beliau صلي
الله عليه وسلم
menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi صلي الله
عليه وسلم karena yang pertama menuduh beliau صلي الله
عليه وسلم tidak tahu syari'at dan kedua menuduh beliau
menyembunyikan bagian dari agama Allah yang beliau صلي الله
عليه وسلم ketahui.
e. kebid'ahan menyebabkan manusia
berani terhadap syari'at Allah عزّوجلّ. Ini sangat dilarang oleh Allah عزّوجلّ.
f. Kebid'ahan ini akan memecah belah
umat. Karena masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih
kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allah
dalam firmanNya:
dalam firmanNya:
"Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka, mereka Itulah orang- orang yang mendapat
siksa yang berat, (Qs Ali lmran/3:105) dan dalam firman-Nya:
" Sesungguhnya orang-orang yang memecah
belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong- golong, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah
kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka perbuat." (Qs al-An'am/6:159)
g. Kebid'ahan ini membuat pelakunya
tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyariatkan. Para pembuat bid'ah
itu, tidaklah membuat suatu kebid'ahan kecuali pada saat yang sama dia telah
menghancurkan syariat yang sepadan dengannya.
Sesungguhnya apa yang tercantum dalam
kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang
mendapat hidayah dari Allah سبحانه
و تعالي. Allah سبحانه
و تعالي berfirman:
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah, "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka
bergembira dengannya, karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan". (Qs Yunus/10:57-58)
dan firmanNya:
"Barangsiapa yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Qs Thaha/20:123)
Akhirnya saya memohon kepada Allah عزّوجلّ agar senantiasa memberikan petunjuk kepada
kita dan kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin menuju shiratul mustaqim dan
saya memohon kepada Allah عزّوجلّ agar senantiasa menolong kita di dunia dan
akhirat. Sesungguhnya Allah عزّوجلّ Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
Hukum Menyiapkan Makanan Pada Tanggal
Dua Puluh Tujuh Rajab, Nisyfu Sya'ban Dan Hari Asyura
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
ditanya : Kami memiliki banyak kebiasaan yang kami warisi (dari orang tua kami)
dalam hal perayaan pada waktu-waktu tertentu, seperti : membuat kue-kue dan
biscuit ketika hari raya Idul Fithri, menyiapkan makanan dan buah-buahan pada
malam dua puluh tujuh bulan Rajab atau pada malam pertengahan Sya’ban, serta
beberapa jenis makanan pada hari raya Asy-Syura. Apa hukumnya menurut syariat?
Jawaban:
Menunjukkan kebahagian dan kesenangan
pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha tidak apa-apa bila masih dalam
batas-batas syari’at. Misalnya kedatangan orang-orang untuk makan-makan dan
minum-minum atau yang sejenisnya, berdasarkan dalil dari Rasulullah صلی الله
عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
“Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum
dan dzikir kepada Allah”. (HR. Muslim dan lainnya)
Yaitu pada tiga hari setelah hari raya
Idul Adha, yang pada saat itu manusia menyembelih binatang dan memakan
dagingnya serta menikmati rizki yang diberikan oleh Allah. Demikian pula pada
hari raya Idul Fithri, tidak dilarang untuk menunjukkan kegembiraan dan
kesenangan selama tidak melewati batas yang ditetapkan syariat.
Adapun merayakan hari kedua puluh
tujuh bulan Rajab atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau hari Asyura,
perbuatan itu tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan terlarang. Bagi setiap
muslim tidak wajib hukumnya untuk menghadiri perayaan semacam itu apabila
diundang.
Rasulullah صلی الله
عليه وسلم telah bersabda:
“Hendaklah kalian menghindari perkara baru
dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat.”
Malam kedua puluh tujuh bulan Sya’ban
dikira banyak orang sebagai malam di mana Rasulullah صلی الله
عليه وسلم di mi’rajkan oleh Allah. Ini semua tidak ada
dasarnya menurut sejarah. Setiap yang tidak berdasar adalah bathil, dan semua
yang didasarkan kepada kebathilan adalah bathil. Meski misalnya peristiwa itu
terjadi pada malam dua puluh tujuh, maka tetap saja tidak boleh bagi kita untuk
menjadikannya sebagai perayaan atau bentuk ibadah, karena hal itu tidak pernah
ditetapkan oleh Nabi صلی
الله عليه وسلم
maupun para sahabatnya, padahal mereka adalah manusia yang paling gemar
mengikuti sunnahnya dan melaksanakan syari’atnya. Bagaimana mungkin
diperbolehkan bagi kita untuk menetapkan apa yang tidak pernah ada pada zaman
Nabi صلی الله عليه
وسلم maupun pada
zaman sahabat ?
Demikian juga malam nisfu Sya’ban,
tidak ada ketetapan dari Nabi صلی
الله عليه وسلم
untuk merayakan atau mengagungkannya. Akan tetapi yang ada adalah
menghidupkannya dengan dzikir dan shalat, tidak dengan makan-makan, bersuka
cita atau merayakannya. Sedangkan pada hari Asyura, Nabi صلی الله
عليه وسلم ditanya tentang puasa pada hari itu, beliau
mengatakan bahwa puasa pada hari itu menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.
Tidak diperbolehkan pada hari tersebut untuk mengadakan semacam perayaan atau
menunjukkan kesedihan, karena bersenang-senang maupun menunjukkan kesedihan
pada hari ini bertentangan dengan sunnah. Tidak ada riwayat dari Nabi selain
untuk mengerjakan puasa pada hari itu, juga diperintahkan untuk berpuasa sehari
sebelumnya atau setelahnya untuk menyelisihi apa yang dilaksanakan oleh
orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja
Syaikh Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله