Minggu, 30 Desember 2012

Beberapa Kemungkaran di Akhir Tahun



Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar kepada umat Islam sebagaimana firman-Nya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepada kalian, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama kalian.” [Al-Mâ`idah: 3]
Dari kesempurnaan nikmat-Nya, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ tidaklah meridhai, kecuali agama Islam,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari (agama) selain agama Islam, sekali-kali tidaklah (agama itu) akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” [Âli ‘Imrân: 85]
Oleh karena itu, kewajiban seorang muslim adalah menjaga diri di atas nikmat Islam yang agung ini sebagaimana perintah-Nya,
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu) maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” [Al-Jâtsiyah: 18]
Demikian pula firman-Nya,
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ. وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ
“Maka berpegang-teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar merupakan suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu, serta kelak kamu akan dimintai pertanggungajawaban.” [Az-Zukhruf: 43-44]
Hendaknya seorang muslim senantiasa berbangga dengan agamanya,
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
 Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.” [Al-Munâfiqûn: 8]
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ juga berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” [Fâthir: 10]
Seorang muslim tidak diperbolehkan memandang orang-orang kafir dengan pandangan pengagungan dan pembesaran karena Allah ‘Azza Wa Jalla telah menghinakan mereka dengan kekafiran,
وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
“Dan barangsiapa yang Allah hinakan, tiada seorang pun yang memuliakannya.” [Al-Hajj: 18]
Pun seorang muslim tidak diperkenankan untuk menatap kehidupan orang-orang yang penuh dengan kemegahan dan perhiasan dunia dengan tatapan kekaguman karena hal tersebut hanya kesenangan yang berakhir kepada neraka,
قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ
 “Katakanlah, ‘Bersenang-senanglah kalian karena sesungguhnya tempat kembali kalian ialah neraka.’.” [Ibrâhîm: 30]
Saudaraku seiman,
Pergantian tahun -sebagaimana halnya pergantian hari dan bulan- adalah suatu hal yang bermakna bagi seorang muslim dan muslimah. Waktu yang terus bergulir dan umur yang terus berkurang adalah renungan untuk memperbaiki lembaran-lembaran yang telah berlalu dan untuk menata masa mendatang. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
يُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِأُولِي الْأَبْصَارِ
“Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” [An-Nûr: 44]
Untuk selalu meningkatkan perbaikan kepada-Nya.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
 “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” [Âli ‘Imrân: 190-191]
Namun, perlu diingat bahwa memperingati akhir tahun atau tahun baru tidaklah dikenal dalam Islam. Tidak dikenal pada tahun Hijriyah mereka, apalagi pada tahun Masehi orang-orang kafir.
Banyaknya kemungkaran pada akhir tahun mengharuskan adanya tulisan-tulisan seperti ini guna menasihati dan saling mengajak kepada jalan yang lurus.
Saudaraku seiman,
Allah ‘Azza Wa Jalla melarang kita untuk menyerupai orang-orang zhalim dari kalangan kuffar dan selainnya.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ mengingatkan,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” [Al-Hasyr: 19]
Kecondongan kepada mereka adalah suatu hal yang sangat berbahaya sebagaimana firman-Nya,
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
 “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zhalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” [Hûd: 113]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk ke dalam kaum tersebut.” [1]
Juga dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhû, sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى! قَالَ: فَمَنْ.
“Sungguh kalian betul-betul akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga, andaikata mereka masuk ke lubang dhab[2], niscaya kalian akan mengikutinya,” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab, “(Ya), siapa lagi (kalau bukan mereka)?” [3]
Larangan menyerupai orang-orang kafir adalah dalam segala hal, baik dalam perkara zhahir maupun batin. Adanya keserupaan pada hal yang zhahir menunjukkan kesamaan pada hal yang batin. Hal tersebut bukanlah sifat seorang Mukmin. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, (tetapi) saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan (Allah) memasukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalam (surge) itu. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun merasa puas akan (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah, merekalah golongan yang beruntung.” [Al-Mujâdilah: 22]

Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ menegaskan pula,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin (kalian); yang sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sesungguhnya orang itu termasuk ke dalam golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” [Al-Mâ`idah: 51]
Berikut beberapa kemungkaran yang perlu diingatkan.
Pertama, keharaman merayakan hari Natal dan Tahun Baru.
Umat Islam tidaklah mengenal hari raya, kecuali tiga hari: Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jum’at. Perayaan hari raya, selain tiga hari raya ini, adalah bentuk penyerupaan terhadap kaum kuffar dan perkara baru dalam agama. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak memiliki tuntunan dari kami, amalan itu tertolak.” [4]
Tidak ada silang pendapat di kalangan ulama akan keharaman hal di atas.
Kedua, penetapan kalender dengan perhitungan Masehi.
Bagi umat Islam, telah berjalan di tengah mereka penetapan bulan berdasarkan ketetapan Islam. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu.” [At-Taubah: 36]
Penyebutan nama-nama bulan telah masyhur dalam berbagai hadits Nabi. Demikian pula, umat Islam telah bersepakat bahwa penanggalan mereka berdasarkan pada hijrah Nabi sehingga mereka hanya mengenal Kalender Hijriyah.
Ketiga, berpartisipasi dalam hari raya mereka.
Imam Malik rahimahullâh berkata, “Hal yang kubenci (yaitu) ikut bersama mereka pada perahu yang mereka tumpangi, dalam rangka hari raya mereka, karena dikhawatirkan bila kemungkaran dan laknat terhadap mereka turun.” [5]
Ibnul Hajj rahimahullâh berkata, “Seorang muslim tidak halal menjual suatu apapun kepada orang Nashrani menyangkut keperluan hari raya mereka. Tidak daging, tikar, tidak pula pakaian. Juga tidak menimpahkan suatu apapun, walau hanya seekor kendaraan, karena hal tersebut tergolong membantu mereka di atas kekafirannya. Para penguasa memiliki kewajiban untuk melarang kaum muslimin dari hal tersebut.” [6]
Keempat, memberi hadiah atau ucapan selamat.
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Adapun memberi ucapan selamat kepada simbol-simbol khusus kekafiran, (hal tersebut ) adalah haram menurut kesepakatan (ulama) ….” [7]
Bahkan Abu Hafs Al-Hanafy rahimahullâh berlebihan dengan berkata, “Barangsiapa yang memberi hadiah telur kepada seorang musyrik untuk mengagungkan hari (raya mereka), sungguh dia telah kafir kepada Allah Ta’âlâ.” [8]
Kelima, berpakaian dengan pakaian mereka.
Telah sah dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan celaan terhadap memakai pakaian orang-orang kafir. Juga terhadap para perempuan, Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” [Al-Ahzâb: 33]
Keenam, menerima hadiah dari perayaan mereka.
Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh dan Al-Lajnah Ad-Dâ`imah memfatwakan,
“Seorang muslim tidak boleh memakan (makanan) apapun yang dibuat oleh orang-orang Yahudi, Nashrani, atau musyrikin berupa makanan-makanan hari raya mereka. Seorang muslim juga tidak boleh menerima hadiah hari raya mereka karena (penerimaan) tersebut merupakan bentuk memuliakan mereka, tolong-menolong bersama mereka dalam menampakkan simbol-simbol mereka, dan melariskan bid’ah-bid’ah mereka, serta berserikat bersama mereka pada hari-hari raya mereka, yang terkadang hal tersebut menyeret (seorang muslim) untuk menjadikan hari-hari raya mereka sebagai hari raya kita atau, paling tidak, terjadi pertukaran undangan untuk mengambil makanan atau hadiah pada hari raya kita dan hari raya mereka. Hal ini merupakan bentuk-bentuk fitnah dan perbuatan bid’ah dalam agama.
Telah sah dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami hal yang bukan dari agama, hal tersebut tertolak.”
Juga tidak diperbolehkan untuk memberi hadiah kepada mereka perihal hari raya mereka.” [9]
Ketujuh, ikut andil dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.
 “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” [10]
Hendaknya setiap hamba bertakwa kepada Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ serta menjaga diri dan keluarganya terhadap segala hal yang mendatangkan kemurkaan Allah ‘Azza Wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian terhadap api neraka.” [At-Tahrîm: 6]
Wallahu A’lam.
Catatan kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhû. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwâ`ul Ghalîl no. 1269.
[2] Dhabb adalah hewan yang mirip biawak, tetapi bukan biawak seperti sangkaan sebagian orang..
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.
[4] Diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.
[5] Sebagaimana dalam Al-Luma’ Fi Al-Hawâdits wa Al-Bida’ 1/294 Karya At-Turkumâny melalui perantara makalah Nahyu Ahlil Islâm ‘An Tahni`ah Ahlil Kuffâr bi A’yâdihim.
[6] Sebagaimana dalam Fatawa Ibnu Hajar Al-Haitamy (Al-Fatâwâ Al-Fiqhiyah Al-Kubrâ) 4/329.
[7] Ahkâm Ahl Ad-Dzimmah 1/441.
[8] Fathul Bâry 3/263 cet. Dâr Thaibah
[9] Fatâwâ Al-Lajnah 22/399.
[10] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan selainnya dari Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhû. Dishahihkan oleh Albany dalam Ash-Shahih no. 1574, 3353.

Minggu, 02 Desember 2012

TIGA SKENARIO LEMBAGA PANGAN

Komisi IV DPR telah mendorong pemerintah untuk menyiapkan skenario pembentukan lembaga pangan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan. Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron, ada tiga skenario yang mesti dikocok dan dipilih oleh pemerintah.
"Saat ini ada 3 lembaga pangan yakni Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang diketuai Presiden, Badan Ketahanan Pangan (BKP) di bawah Kementerian Pertanian dan Perum Bulog. Yang pasti, ketiganya akan dilebur menjadi lembaga pangan yang terintegrasi. Nantinya lembaga pangan tersebut harus berada di bawah langsung dan bertanggung jawab kepada presiden," katanya saat menghadiri pertemuan rutin tahunan Forum Wartawan Bulog (Forwabul) di Bogor, Sabtu (1/12/2012) hingga Minggu (2/12/2012).
Skenario pertama meleburkan DKP, BKP dan Bulog menjadi satu lembaga pangan setingkat kementerian. Lembaga pangan tersebut nantinya menjadi regulator (pengambil kebijakan) sedangkan sebagai operator (pelaksana kebijakan) pemerintah bisa menunjuk ke Bulog. "Untuk nama lembaga, kami mempersilahkan pemerintah memberikan. Apakah badan kemandirian pangan, atau badan kedaulatan pangan," katanya.
Skenario Kedua, lanjutnya, pemerintah bisa membentuk holding pangan yang mana posisi Bulog tetap seperti saat ini yakni sebagai penyedia, pendistribusi, pergudangan dan stabilisator pangan. Sementara itu, lanjutnya posisi BKP ditingkatkan menjadi badan atau lembaga yang mengurusi bidang pangan dan bertangung jawab langsung kepada presiden sedangkan DKP dibubarkan.
Skenario ketiga, Herman mengusulkan, pemerintah membubarkan DKP dan BKP, sementara posisi Bulog dinaikkan pangkatnya setingkat kementerian yang bertangung jawab langsung ke presiden. Lembaga pangan tersebut, katanya saat nantinya fokus menangangi lima komoditi yakni beras, jagung, kedelai, gula dan daging.
"Kami memberikan waktu kepada pemerintah untuk berpikir secara mendalam agar lembaga tersebut bisa terwujud dengan baik. Karena itu waktu yang diberikan tiga tahun untuk membentuk lembaga pangan. Kami juga mempertimbangkan situasi politik tahun 2014," katanya.
Tidak dapat diintervensi
Politisi dari Partai Demokrat itu mengatakan, dengan posisi lembaga pangan yang berada langsung di bawah presiden, lembaga tersebut tidak dapat diintervensi instansi lainnya seperti Menko Perekonomian.Karena itu, harus ada lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, dan bertugas melaksanakan tugas pemerintah bidang pangan. "Bulog tidak akan mampu menangani hal tersebut jika hanya sebatas Perum," katanya.
Untuk itu, Komisi IV memberikan mandat penuh kepada pemerintah, terutama Presiden membentuk lembaga pangan tersebut. Namun Herman menegaskan, lembaga tersebut sifatnya struktural, bukan fungsional, sebab jika fungsional, maka lembaga itu tidak bertanggung jawab ke presiden, tapi ke kementerian yang membawahi lembaga itu.
"Kami inginkan badan struktural yang melaporkan langsung ke presiden. Jadi presiden tidak kami berikan 'cek kosong', tapi sudah diberikan pilihan," katanya.
Potensi anggaran untuk berjalannya lembaga tersebut, memang cukup besar. Misalnya, jika pemerintah mengambil pilihan peleburan BKP sebagai regulator dan Bulog sebagai operator, maka potensi anggarannya cukup besar.
BKP setiap tahun mendapat anggaran sebanyak Rp650 miliar, sedangkan Bulog memiliki omset sebesar Rp 24 triliun"Jadi dari sisi anggaran tidak akan sulit. Sudah ada energi untuk bekerja," tegasnya.
Perkuat Posisi Bulog
Sementara itu, Staf Ahli Dewan Pengawas Bulog, Edi Santosa mengatakan, jika pemerintah menjadikan Bulog sebagai lembaga stabilisator, maka pemerintah harus memperkuat posisi kelembagaan Bulog.
Caranya, menurut dia, pemerintah harus menempatkan Bulog sebagai operator pemerintah yang lebih dinamis dan memperkuat dukungan regulasi untuk penguatan peran dan fungsi Bulog. "Bulog juga harus mendapat dukungan anggaran yang memadai," katanya.
Pengurus DPP Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Suryo Bawono mengatakan, bagi petani yang terpenting bukan pada nama lembaga, tapi hak lembaga pangan tersebut. Lembaga tersebut, menurut dia, harus bisa menentukan kebijakan dan melaksanakan kebijakan sendiri, terutama dalam menangani lima produk pangan.
Dikatakan oleh Suryo, kalau kebijakan masih ada di tempat lain, maka lembaga tersebut tidak mempunyai kewenangan apa-apa. Jadi, lembaga otoritas pangan tersebut harus bisa menentukan otoritas, bukan sekadar menghimbau atau rekomendasi. "Justru lembaga baru untuk menyederhanakan prosedur. Jadi saya setuju ada lembaga pangan yang bertugas sebagai regulator dan operator," katq Suryo.

Sumber : www.gatra.com

Selasa, 20 November 2012

Pekerjaan Besar Bidang Pangan

Setelah mengalami penantian cukup panjang, RUU Pangan akhirnya disahkan menjadi UU. Mencermati naskah UU Pangan terbaru ini, ternyata kita masih dihadang pekerjaan rumah yang besar dan berat.
UU Pangan versi baru cakupannya sangat luas. Agar lebih jelas ruang lingkupnya, maka diuraikan terlebih dahulu perbedaan antara pangan dan pertanian.
Pangan merupakan hasil dan atau produk olahan dari hasil pertanian. Sementara cakupan pertanian itu meliputi pertanian pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan serta air. Pengaturan yang berkaitan dengan pertanian lebih menyangkut budidayanya (on farm), sedangkan untuk pangan lebih menyangkut penyediaan, pengolahan, distribusi, keamanan, kesehatan, dan konsumsinya (off farm).
Bagi negara yang menganut paham pasar bebas, UU Pangan lebih banyak mengatur keamanan pangan saja. Urusan lain diatur oleh pasar. Berbeda dengan UU Pangan yang lama (UU No 7/1996). Selain mengatur keamanan pangan, juga mengatur tentang ketahanan pangan, stabilisasi harga pangan, label dan iklan pangan, dan lain-lain. Jadi sudah lebih komprehensif.
Dulu dan kini
Dari pemahaman di atas, maka tidak mudah membuat peraturan pemerintah (PP) dari UU Pangan yang baru disahkan ini mengingat ruang lingkupnya sangat luas dan banyak yang sudah diatur berbagai UU dan PP sebelumnya secara sektoral. Pertanyaannya, UU Pangan baru ini akan jadi ”komandan” dalam arti UU lain harus menyesuaikan atau jadi koordinator saja.
UU Pangan yang lama hanya bersifat mengoordinasikan dan mengisi pengaturan pangan yang belum ada atau belum diatur secara jelas. Untuk UU Pangan baru, landasannya adalah kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan dan keadilan. Dengan demikian, logikanya, UU lain harus menyesuaikan UU ini. Maka, hal ini mungkin akan menjadi persoalan tersendiri.
Dalam mengajukan RUU Pangan tahun 1976 diperlukan persetujuan tertulis dari Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri Kehakiman, serta Menteri Sekretaris Negara yang mengoordinasikan semua legislasi saat itu. Adapun RUU-nya disiapkan selama tiga tahun, konsepnya dibahas dengan tim antardepartemen dan sudah disosialisasikan bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional. Selain itu, untuk menyusun rancangan PP tentang pangan, kita masih harus melibatkan instansi terkait sehingga diperlukan waktu yang cukup lama. Sekarang ini ego sektoral tampak lebih menonjol sehingga penyelesaian RPP-nya diperkirakan akan lebih alot.
Pada saat ini GBHN sudah tidak ada lagi dan sebagian besar kewenangan mengenai pangan sudah diserahkana kepada daerah. Dahulu, untuk membuat PP tentang label dan iklan pangan perlu tiga tahun dan terjadi perdebatan publik yang keras tentang label halal. Untuk menyelesaikan PP tentang keamanan dan mutu gizi pangan butuh tiga tahun lebih, bolak-balik masuk Sekretariat Negara. Namun, sebelum disetujui oleh Sekretariat Negara terjadi kecelakaan. Kantor Menteri Pangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Alhasil, PP tentang Keamanan, Mutu. dan Gizi Pangan diselesaikan oleh Departemen Kesehatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada 2004. Pada 2002, PP tentang Ketahanan Pangan diselesaikan oleh Departemen Pertanian (Badan Ketahanan Pangan).
Hal yang akan menjadi ganjalan dalam penyelesaian RPP UU Pangan yang baru adalah faktor kelembagaannya. Pertama, lembaga tersebut diharapkan yang akan menjadi inisiator dan atau koordinator penyusunan RPP.
Kedua, bentuk lembaga dalam UU Pangan tak diatur eksplisit, hanya memerintahkan kepada Presiden membentuk ”lembaga pemerintah” untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Apabila tugasnya seperti ini, lembaganya akan jadi ”lembaga super”, harus adi komandan lembaga di bawah urusan pangan. Tidak mungkin hanya berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Bentuk Kementerian Pangan sekalipun tidak cukup. Apalagi sekarang tak ada GBHN lagi dan kewenangan urusan pangan sudah diserahkan kepada daerah.
Ketiga, masalah anggaran akan menjadi kendala karena untuk lembaga yang baru belum dapat berbuat apa-apa lantaran belum ada anggarannya. Selain itu, masalah pengisian staf dengan kualifikasi seperti yang diinginkan juga tak mudah.
Keempat, untuk lembaga baru akan ada kendala kantor, membangun kantor yang baru perlu waktu dan biaya, untuk persetujuan anggaran perluasan kantor KPK saja menjadi persoalan. Kelima, apabila tugas perencanaan dari lembaga ini tidak disertai anggaran untuk pelaksanaannya di daerah, nasibnya akan sama dengan yang sekarang ini alias tidak jalan.
Jalan keluar
Pekerjaan rumah yang diberikan UU Pangan kepada pemerintah cukup pelik dan sulit. Dibentuk kementerian pangan baru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkendala jumlah kementerian yang sudah dibatasi. Apalagi bentuk yang diinginkan super kementerian, hal ini tidak ada kamusnya di negeri ini. Dibentuk ”Badan Otoritas Pangan” yang memiliki kewenangan luas, seperti dikemukakan penggagas RUU Pangan, SBY menghadapi aturan bahwa LPNK itu hanya lembaga pusat, tidak punya tangan di daerah. Dalam praktiknya nanti, LPNK Pangan akan kesulitan mengoordinasikan para direktur jenderal di kementerian, apalagi pejabat tingkat menteri.
Dari semua urusan pangan, sebenarnya yang belum ada pengaturan yang jelas tentang cadangan pangan nasional. Untuk itu, disarankan dibentuk Badan Koordinasi Cadangan Pangan Nasional (BKCPN). Badan ini bertugas melaksanakan urusan cadangan pangan pemerintah (pusat), mengoordinasikan dan membina cadangan pangan pemerintah daerah, monitoring cadangan pangan masyarakat, serta secara berkala melakukan stok opname posisi persediaan yang ada di masyarakat.
Karena merupakan lembaga pusat dan menggunakan anggaran APBN, BKCPN dapat memberikan tugas kepada BUMN (Perum Bulog) untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan distribusi cadangan pangan sebagaimana diatur dalam UU Pangan. BKCPN nantinya tinggal mengeluarkan perintah logistik kepada Perum Bulog untuk mengeluarkan cadangan pangan untuk keperluan tertentu di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan koordinasi, sebaiknya BKCPN berkantor di Perum Bulog. Sebagian staf dari BKCPN juga dapat menggunakan staf Perum Bulog karena sudah terbiasa dengan tugas-tugas seperti ini.
Namun, saya khawatir UU ini tak segera ditandatangani karena konsekuensinya berat. Sasaran UU ini, pemerintah wajib mencukupi pangan sampai tingkat perorangan, sedangkan UU Pangan lama hanya sampai tingkat rumah tangga. Ini akan menjadi persoalan karena data yang ada hanya berbasis rumah tangga. Pertanyaan sederhana, sudah siapkah penyaluran raskin berbasis perorangan? Tampaknya hanya Indonesia yang bunyi UU Pangan-nya begitu ideal seperti Indonesia.
Sebenarnya, bila revitalisasi Perum Bulog segera direalisasikan, kebutuhan lembaga seperti disebut di atas tak mendesak walaupun terasa ada yang hilang setelah Bulog yang LPND/LPNK dibubarkan. Namun, tugas-tugas pemerintahan di bidang stabilisasi harga pangan dapat terpenuhi dengan kelembagaan yang ada saat ini. Membentuk lembaga baru juga belum tentu efektif, malah dapat menimbulkan birokrasi baru. Hanya perlu diingat, operasi stabilisasi harga itu ada biayanya, pasti mengalami kerugian, di mana pun di dunia ini yang menjalankan kebijakan stabilisasi harga. Oleh karena itu, segala risiko harus ditanggung pemerintah.

 Sapuan Gafar Sekretaris Menteri Pangan 1993-1999

http://cetak.kompas.com/read/2012/11/19/02153783/pekerjaan.besar.bidang.pangan

Senin, 05 November 2012

Subdivre Banyumas Lampaui Target Pengadaan Pangan 2012


Bulog Subdivisi Regional IV Banyumas, Jawa Tengah, hingga awal November telah melampaui target pengadaan pangan 2012.

"Hingga saat ini, penyerapan gabah dan beras petani yang kami laksanakan telah mencapai 108,9 ribu ton atau melampaui prognosa yang sebesar 108 ribu ton setara beras," kata  Humas Bulog Subdivre IV Banyumas M. Priyono di Purwokerto, Jumat.

Menurut dia, penyerapan yang melebihi target tersebut tidak lepas dari penerapan sistem "dorong tarik jaringan semut" yang dijalani Bulog.

Bahkan, kata dia, sistem "dorong tarik jaringan semut" ini dapat memangkas dominasi pedagang beras bermodal besar maupun pedagang luar daerah yang datang ke wilayah Banyumas.

Dengan demikian, lanjutnya, Bulog Banyumas mampu mencapai target penyerapan beras dengan cepat.

"Coba saja di lapangan, saat ini jarang pedagang luar daerah yang membeli beras dari petani di Banyumas. Dengan sistem 'dorong tarik jaringan semut' ini, kami melalui unit pengolahan gabah dan beras (UPGB) turun langsung ke lapangan untuk membeli beras dari petani," katanya.

Dalam hal ini, dia mencontohkan UPGB berani membeli beras dengan harga Rp6.500 perkilogram, namun pedagang dari luar daerah tidak berani karena mereka harus mengeluarkan ongkos angkut sehingga harga yang ditawarkan jauh di bawah harga Bulog.

Menurut dia, sistem "dorong tarik jaringan semut" juga mampu meredam gejolak harga beras sehingga harganya relatif stabil meskipun sempat terjadi kemarau panjang.

Ia mengatakan, hingga saat ini sistem "dorong tarik jaringan semut" tetap dilaksanakan Bulog Banyumas meskipun target penyerapan telah melampaui prognosa.

"Kalau mitra kerja sudah tidak beroperasi," katanya.

Menurut dia, musim panen di wilayah eks Keresidenan Banyumas bersifat "lumintu" atau terus menerus karena hampir setiap bulan ada daerah yang memasuki masa panen.

"Sebentar lagi sebagian areal persawahan di Kecamatan Maos, Cilacap, memasuki masa panen. Wilayah lainnya ada yang sudah selesai tanam, baru mulai tanam, bahkan ada yang baru mengolah sawah," katanya.

Sumber : Antara

Rabu, 24 Oktober 2012

Revitalisasi Bulog



Sekalipun RUU Pangan belum ditetapkan menjadi Undang Undang (UU), namun sinyal untuk merevitalisasi Bulog, sudah mulai digaungkan oleh Presiden SBY, terutama setelah kita dihebohkan dengan tingginya harga kedelai dalam negeri, yang melahirkan aksi mogok kerja para perajin tahu dan tempe. Isyarat penting yang dapat kita catat adalah ada kemauan politik pemerintah untuk menjadikan Bulog sebagai lembaga stabilisasi pangan, memperbanyak komoditas yang ditangani Bulog dan efesiensi dalam pengelolaan kinerjanya.
Dalam RUU Pangan ini tersirat bahwa Perum Bulog (Badan Urusan Logistik) tetap akan diberi kewenangan yang lebih luas untuk melakukan pengadaan beberapa komoditas pangan strategis dalam negeri, guna mengelolanya sebagai cadangan. Padahal, usulan awalnya, peran itu rencananya bakal diberikan kepada para pedagang, bahkan para pedagang ini pun diberi keleluasaan penuh untuk mengelola cadangan pangan. Namun, DPR dan pemerintah akhirnya sepakat bahwa peran Bulog-lah yang akan diperkuat.
Walau fenomena ini masih sebatas prediksi, namun tidak ada salahnya apabila nasib Perum Bulog paska RUU Pangan ini sudah kita perbincangkan sedini mungkin. Ini penting dipahami, karena sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau, kita tetap masih membutuhkan lembaga distribusi yang handal dan berada dalam kelembagaan pemerintahan. Perum Bulog memiliki pengalaman soal logistik. Masalahnya, apakah dalam era otonomi daerah sekarang masih terbuka peluang bagi "negara" untuk menugasi Pemerintah Pusat menangani hal-hal yang strategis?
"Bulog harus jadi perusahaan besar". Itulah pernyataan Dahlan Iskan, Menteri BUMN kepada Perum Bulog yang menurut sejarahnya memiliki andil besar dalam menciptakan stabilitas harga pangan, khususnya beras. Benarkah Bulog bakalan mampu tumbuh dan berkembang menjadi sebuah perusahaan besar, padahal kalau kita amati status yang dilekatkan kepadanya, Bulog tetap harus menjalankan fungsi PSO-nya? LebIh parah lagi, kondisi Bulog saat ini, hampir 90 persen kegiatannya memang berkonsentrasi pada pengadaan produksi beras di dalam negeri dan pengelolaan program beras untuk masyarakat miskin atau lebih akrab dengan sebutan program Raskin. Boleh jadi, hanya 10 persen saja kiprah Perum Bulog dalam menjalankan fungsi komersialnya.
Penetapan harga dasar (floor price) sendiri, pada intinya merupakan wujud pembelaan pemerintah terhadap para petani padi, yang dari berbagai pengalaman sering dijadikan "komoditas" para pedagang di saat masa panen raya berlangsung. Tanpa adanya patokan harga dasar, dapat dibayangkan bagaimana nasib para petani bila harga yang terjadi dimainkan oleh para tengkulak atau pedagang.
Untuk itu, dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan petani, maka setiap tahun pemerintah selalu menaikan harga dasar gabah guna menyesuaikan dengan peningkatan inflasi. Sedangkan harga atap (ceiling price), memang sebuah pola yang mempertontonkan keberpihakan pemerintah terhadap konsumen. Itulah sebabnya, tatkala harga beras di pasar sulit dikendalikan, maka tidak ada langkah lain yang dapat digarap terkecuali menyelenggaran operasi pasar beras. Walau operasi pasar beras dianggap tidak signifikan lagi dalam menurunkan harga beras yang terjadi di pasar, namun secara psikologis operasi pasar beras, dapat mengerem laju kenaikan harga beras itu sendiri.
Menampilkan Bulog menjadi perusahaan besar, rupanya bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Yang menginginkan agar Bulog mampu tumbuh dan berkembang ibarat "konglomerat", juga telah diutarakan oleh mantan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo. Sebagai orang yang layak dapat apresiasi, Widjanarko adalah sosok petinggi Perum Bulog yang terlihat getol merevitalisasi Bulog dari statusnya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perum Bulog (BUMN). Di bawah kepemimpinannya, Perum Bulog berusaha untuk muncul menjadi sebuah perusahaan besar yang berkiprah dalam pembangunan pangan. Sayang, sebelum cita-cita tersebut dapat diwujudkan, Widjanarko dan beberapa orang petinggi Perum Bulog tersandung masalah hukum yang ujung-ujungnya menyebabkan mereka terpaksa harus menghuni hotel pordeo.
Untuk menjadikan Perum Bulog sebagai perusahaan besar maka "mental" pegawainya yang umumnya dicetak untuk tidak tumbuh dan berkembang ke arah sosok pengusaha, perlu mendapatkan perhatian serius. Rata-rata di antara mereka ditempa untuk menjadi birokrat yang memiliki tupoksi guna memberi pelayanan prima kepada masyarakat. Pengalaman hampir 10 tahun, mengantarkan status Bulog dari LPND menjadi Perum Bulog, menjelaskan kepada kita bahwa sangat tidak gampang mencetak pegawai berkelas pengusaha tatkala para pegawai itu dicetak untuk menjadi para birokrat.
Bulog masa depan, memang sebuah persoalan yang perlu dicari solusi terbaiknya. Perdebatan panjang apakah Bulog lebih pas diarahkan sebagai lembaga parastatal yang dalam kelembagaannya harus berstatus "plat merah" atau Bulog lebih tepat dijadikan sebagai badan usaha milik negara, sehingga kelembagaan nya memiliki dua peran yang melekat sekaligus (fungsi PSO dan fungsi bisnis); pada hakikatnya sudah saat nya kita simpulkan secara cerdas.
Apabila sekarang ini Perum Bulog hanya berkiprah dalam melakukan pengadaan gabah/beras dalam negeri dan sesekali ditugasi untuk impor beras serta diminta mengelola program raskin, maka apa-apa yang diinginkan Dahlan Iskan agar Bulog dapat menjadi perusahaan besar, ada baiknya diperdalam lebih lanjut. Apalagi kalau hal ini kita kaitkan pula dengan semangat UU Pangan yang baru, dimana ada kehendak untuk mereduksi peran kelembagaan pangan ke arah yang lebih senafas dengan tuntutan yang ada.
Semoga dalam perkembangannya, Bulog akan semakin ajeg dan benar-benar kehadiran nya dapat memberi berkah bagi kehidupan bersama.

Oleh Entang Sastraatmadja
Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.



Kamis, 27 September 2012

Dukungan Bulog Harus Total



Dukungan terhadap Bulog sebagai penyangga pangan nasional harus total, baik sisi kebijakan maupun anggaran. Karena itu, pemerintah berniat mengembalikan Bulog sebagai lembaga stabilisasi pangan.
Kebijakan ini tidak lepas dari gejolak harga pangan di dunia yang berdampak terhadap kondisi di dalam negeri. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan sudah menegaskan akan merevitalisasi fungsi Bulog. Badan ini tidak lagi hanya menangani komoditas beras saja, tapi juga komoditi pangan strategis lainnya seperti jagung, kedelai dan gula.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah telah menyiapkan dana untuk peningkatan kapasitas Bulog sebanyak Rp 1,4 triliun. ”Bahkan, untuk menjaga stabilitas harga beras, gula, dan kedelai, peran Bulog akan ditingkatkan dengan menaikkan cadangan ketiga komoditas tersebut sampai sekitar tujuh persen dari kebutuhan nasional,” ujarnya.
Nah agar selaras dengan kebijakan itu, CBP (Cadangan Beras Pemerintah) di Bulog yang kini baru 500.000 ton akan dinaikkan menjadi 2 juta ton atau 5-6 persen kebutuhan beras nasional yang mencapai 37 juta ton. Untuk kedelai, cadangan Bulog harus 162 ribu ton dari total kebutuhan 2,7 juta ton. Sementara gula untuk konsumsi rumah tangga, Bulog harus memiliki cadangan 156 ribu ton dari total kebutuhan 2,7 juta ton.
Menteri Pertanian Suswono dalam berbagai kesempatan mengungkapkan mendukung peran Bulog sebagai lembaga penyangga pangan, terutama beras dan kedelai.  Untuk beras, selama ini pemerintah sudah mempunyai CBP, sehingga jika terjadi gejolak harga, maka pemerintah bisa melakukan operasi pasar. Sementara komoditi yang lain, terutama kedelai, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi pasar, karena tidak mempunyai cadangan. 
”Kalau melihat situasi ke depan, dengan volatilitas harga yang cukup tajam dan kemungkinan antisipasi berbagai macam perubahan iklim, memang penting ada stok pangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk menstabilkan harga melalui operasi pasar. Bulog dimungkinkan untuk itu,’’ kata Suswono kepada wartawan.
Wakil Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Rachmat Pambudi mengatakan, agar Bulog bisa berperan sebagai stabilisator, lembaga itu harus memiliki stok yang cukup untuk operasi pasar jika terjadi gejolak harga. Bulog harus diberi kewenangan penuh untuk mengelola persediaan pangan nasional.
”Jangan seperti sekarang ini, Bulog diberikan tugas tersebut, tapi tidak didukung dana yang cukup. Bahkan, dananya harus mencari sendiri. Yang lebih penting Bulog perlu dukungan kebijakan makro, di bawah payung kebijakan pangan nasional,” katanya.
Siswono Yudho Husodo, Anggota Komisi IV DPR mengatakan, langkah berani pemerintah yang menetapkan Bulog sebagai stabilisator harga beras, kedelai, dan gula sangat bagus. Langkah merevitalisasi Bulog tersebut patut diapresiasi. Namun untuk mengembalikan fungsi Bulog menjadi stabilisator harga tidak perlu dibuat undang-undang (UU) lagi. UU tentang Pangan dapat menjadi dasar membuat kebijakan.
”Pemerintah harus segera mengeluarkan payung hukumnya. Harus ada Inpres atau Perpres yang mengatur secara jelas harga beli dan harga jual, serta hubungan Bulog dan BUMN gula,” tegasnya.
Apalagi lembaga tersebut diharapkan mampu menjadikan lembaga pangan plat merah ini sebagai penyangga stabilitas harga pangan dalam rentang harga yang ditetapkan pemerintah. Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah menetapkan berapa batasan tingkat harga komoditas pangan tertinggi dan terendah yang harus dijaga Bulog.
”Batas harga yang ditetapkan bisa saja berubah sesuai kebijakan pemerintah. Tatapi, semangatnya harus tetap untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri menuju kemandirian pangan,” katanya.
Harga beras kualitas medium saat ini yang harus dijaga Bulog dalam kisaran Rp 6.800 per kg untuk batas bawah dan Rp 7.600 per kg batas atas. Harga gula pada kisaran Rp 9.500–10.000 per kg, harga kedelai Rp 6.500–7.500 kg, harga jagung Rp 2.300-2.900 kg dan harga daging sapi yang harus dijaga bulog pada kisaran Rp 23.000-28.000 kg.
Sumber :  http://www.indopos.co.id