Sekalipun RUU Pangan belum ditetapkan menjadi Undang Undang
(UU), namun sinyal untuk merevitalisasi Bulog, sudah mulai digaungkan oleh
Presiden SBY, terutama setelah kita dihebohkan dengan tingginya harga
kedelai dalam negeri, yang melahirkan aksi mogok kerja para perajin tahu
dan tempe. Isyarat penting yang dapat kita catat adalah ada kemauan politik
pemerintah untuk menjadikan Bulog sebagai lembaga stabilisasi pangan,
memperbanyak komoditas yang ditangani Bulog dan efesiensi dalam pengelolaan
kinerjanya.
Dalam RUU Pangan ini tersirat bahwa Perum Bulog (Badan Urusan
Logistik) tetap akan diberi kewenangan yang lebih luas untuk melakukan
pengadaan beberapa komoditas pangan strategis dalam negeri, guna
mengelolanya sebagai cadangan. Padahal, usulan awalnya, peran itu
rencananya bakal diberikan kepada para pedagang, bahkan para pedagang ini
pun diberi keleluasaan penuh untuk mengelola cadangan pangan. Namun, DPR
dan pemerintah akhirnya sepakat bahwa peran Bulog-lah yang akan diperkuat.
Walau fenomena ini masih sebatas prediksi, namun tidak ada
salahnya apabila nasib Perum Bulog paska RUU Pangan ini sudah kita
perbincangkan sedini mungkin. Ini penting dipahami, karena sebagai negara
yang terdiri dari ribuan pulau, kita tetap masih membutuhkan lembaga
distribusi yang handal dan berada dalam kelembagaan pemerintahan. Perum
Bulog memiliki pengalaman soal logistik. Masalahnya, apakah dalam era
otonomi daerah sekarang masih terbuka peluang bagi "negara" untuk
menugasi Pemerintah Pusat menangani hal-hal yang strategis?
"Bulog harus jadi perusahaan besar". Itulah
pernyataan Dahlan Iskan, Menteri BUMN kepada Perum Bulog yang menurut
sejarahnya memiliki andil besar dalam menciptakan stabilitas harga pangan,
khususnya beras. Benarkah Bulog bakalan mampu tumbuh dan berkembang menjadi
sebuah perusahaan besar, padahal kalau kita amati status yang dilekatkan
kepadanya, Bulog tetap harus menjalankan fungsi PSO-nya? LebIh parah lagi,
kondisi Bulog saat ini, hampir 90 persen kegiatannya memang berkonsentrasi
pada pengadaan produksi beras di dalam negeri dan pengelolaan program beras
untuk masyarakat miskin atau lebih akrab dengan sebutan program Raskin.
Boleh jadi, hanya 10 persen saja kiprah Perum Bulog dalam menjalankan
fungsi komersialnya.
Penetapan harga dasar (floor price) sendiri, pada intinya
merupakan wujud pembelaan pemerintah terhadap para petani padi, yang dari
berbagai pengalaman sering dijadikan "komoditas" para pedagang di
saat masa panen raya berlangsung. Tanpa adanya patokan harga dasar, dapat
dibayangkan bagaimana nasib para petani bila harga yang terjadi dimainkan
oleh para tengkulak atau pedagang.
Untuk itu, dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan
petani, maka setiap tahun pemerintah selalu menaikan harga dasar gabah guna
menyesuaikan dengan peningkatan inflasi. Sedangkan harga atap (ceiling
price), memang sebuah pola yang mempertontonkan keberpihakan pemerintah
terhadap konsumen. Itulah sebabnya, tatkala harga beras di pasar sulit
dikendalikan, maka tidak ada langkah lain yang dapat digarap terkecuali
menyelenggaran operasi pasar beras. Walau operasi pasar beras dianggap
tidak signifikan lagi dalam menurunkan harga beras yang terjadi di pasar,
namun secara psikologis operasi pasar beras, dapat mengerem laju kenaikan
harga beras itu sendiri.
Menampilkan Bulog menjadi perusahaan besar, rupanya bukan hal
yang mudah untuk diwujudkan. Yang menginginkan agar Bulog mampu tumbuh dan
berkembang ibarat "konglomerat", juga telah diutarakan oleh
mantan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo. Sebagai orang yang layak dapat
apresiasi, Widjanarko adalah sosok petinggi Perum Bulog yang terlihat getol
merevitalisasi Bulog dari statusnya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen
(LPND) menjadi Perum Bulog (BUMN). Di bawah kepemimpinannya, Perum Bulog
berusaha untuk muncul menjadi sebuah perusahaan besar yang berkiprah dalam
pembangunan pangan. Sayang, sebelum cita-cita tersebut dapat diwujudkan,
Widjanarko dan beberapa orang petinggi Perum Bulog tersandung masalah hukum
yang ujung-ujungnya menyebabkan mereka terpaksa harus menghuni hotel
pordeo.
Untuk menjadikan Perum Bulog sebagai perusahaan besar maka
"mental" pegawainya yang umumnya dicetak untuk tidak tumbuh dan
berkembang ke arah sosok pengusaha, perlu mendapatkan perhatian serius.
Rata-rata di antara mereka ditempa untuk menjadi birokrat yang memiliki
tupoksi guna memberi pelayanan prima kepada masyarakat. Pengalaman hampir
10 tahun, mengantarkan status Bulog dari LPND menjadi Perum Bulog,
menjelaskan kepada kita bahwa sangat tidak gampang mencetak pegawai
berkelas pengusaha tatkala para pegawai itu dicetak untuk menjadi para
birokrat.
Bulog masa depan, memang sebuah persoalan yang perlu dicari
solusi terbaiknya. Perdebatan panjang apakah Bulog lebih pas diarahkan
sebagai lembaga parastatal yang dalam kelembagaannya harus berstatus
"plat merah" atau Bulog lebih tepat dijadikan sebagai badan usaha
milik negara, sehingga kelembagaan nya memiliki dua peran yang melekat sekaligus
(fungsi PSO dan fungsi bisnis); pada hakikatnya sudah saat nya kita
simpulkan secara cerdas.
Apabila sekarang ini Perum Bulog hanya berkiprah dalam
melakukan pengadaan gabah/beras dalam negeri dan sesekali ditugasi untuk
impor beras serta diminta mengelola program raskin, maka apa-apa yang
diinginkan Dahlan Iskan agar Bulog dapat menjadi perusahaan besar, ada
baiknya diperdalam lebih lanjut. Apalagi kalau hal ini kita kaitkan pula
dengan semangat UU Pangan yang baru, dimana ada kehendak untuk mereduksi
peran kelembagaan pangan ke arah yang lebih senafas dengan tuntutan yang
ada.
Semoga dalam perkembangannya, Bulog akan semakin ajeg dan
benar-benar kehadiran nya dapat memberi berkah bagi kehidupan bersama.
Oleh Entang Sastraatmadja
Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar