Konsentrasi Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK dalam
mendorong pembangunan infrastruktur sangat besar. Namun, tak semua
proyek infrastruktur tersebut bisa dibiayai oleh dana APBN.
Perlu dukungan dari berbagai lembaga pembiayaan untuk mendorong
pembangunan infrastruktur, salah satunya dari lembaga keuangan domestik,
PT Indonesia Infrastruktur Finance (IIF). Dalam rangka membiayai
proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, FII menggaet PT Kompelindo
Infrastruktur yang merupakan anak usaha dari koperasi pegawai dan
pensiunan Bulog Seluruh Indonesia (Kopindo) untuk melakukan pembiayaan
bersama (co-financing).
Kerja sama tersebut diwujudkan dalam bentuk penandatanganan perjanjian
yang dilakukan Presiden IIF Arisudono Soerono dengan Direktur Utama
Kopelindo Infrastruktur Herianto Pribadi. Kegiatan tersebut disaksikan
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Direktur Utama Bulog yang juga
sebagai Penasihat Kopelindo Djarot Kusumayakti dan Ketua Kopelindo Deddy
SA Kodir.
"Kerja sama ini merupakan tonggak sejarah bagi kami. Dengan kerja sama
ini menjadi perwujudan dari aspirasi kita semua untuk membantu
pemerintah dalam membangun infrastruktur tanpa menggantungkan pada
APBN," kata Arisudono dalam sambutannya di Hotel Santika Premier, Slipi,
Jakarta Barat, Jumat (3/6/2016).
Menurut Arisudono, pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh
Indonesia akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dirinya yakin,
dengaan kemampuan yang IIF miliki saat ini dan dengan bermitra dengan
Kopelindo Infrastruktur Indonesia, tentunya bisa menujudkan percepatan
dan pemerataan pembanginan infrastruktur di Indonesia.
Sementera itu Herianto menambahkan, kerja sama ini sangat strategis.
Pihaknya memang memfokuskan pada tiga pembangunan infrastruktur yakni
pada sektor transportasi terutama jalan tol, energi yakni pembangkit,
dan energi dari sisi oil and gas.
Lebih jauh, tambah Herianto, berdasarkan amanah yang diberikan, Kopel
Infrastruktur menargetkan investasi sebesar USD1 miliar dalam lima tahun
ke depan, yang mana telah dianggarkan dana sebesar USD125 juta untuk
mendukung rencana ini.
"Untuk titik awal dari kerja sama ini kami menyiapkan ekuitas USD500 miliar, dan target financing USD125 juta," jelas Herianto.
http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/gNQYGJqN-bantu-pemerintah-biayai-infrastruktur-iif-gandeng-anak-usaha-koperasi-bulog
Jumat, 03 Juni 2016
Infrastruktur Bulog Sudah Tidak Memadai
Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengakui bahwa infrastruktur badan urusan logistik itu, kini sudah tidak ideal lagi dengan perkembangan kota di mana bangunan tersebut berdiri.
Untuk pergudangan misalnya, Djarot mengatakan, banyak gudang yang dibangun 15-20 tahun silam, kini letaknya tepat di jalan-jalan arteri.
Mobilitas barang dari dan menuju gudang tentu sulit di jalan-jalan arteri yang umumnya dipadati kendaraan umum maupun pribadi.
"Kita punya gudang di jalan-jalan utama. Kan sudah tidak cocok lagi untuk gudang. Artinya sudah mengganggu kota itu. Kan harus diubah, apakah menjadi fungsi perkantoran atau pasar modern," kata Djarot di Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Tak mau aset Bulog terbengkalai, Djarot mendorong koperasi pegawai dan pensiunan Bulog, Kopelindo, untuk bisa memanfaatkan aset-aset tersebut secara optimal.
"Infrastruktur Bulog dibangun 15-20 tahun yang lalu. Pada saat itu cocok. Tapi dengan berjalannya waktu kan mungkin butuh perubahan, modernisasi maupun jumlahnya," imbuhnya.
Selain pemanfaatan aset secara optimal, Kopelindo juga diminta untuk ikut membangun infrastruktur pangan seperti pergudangan, silo, dan fasilitas pengolahan (processing).
Pasalnya, kata Djarot, sejauh ini Kopelindo baru bermain di infrastruktur bangunan seperti hunian bertingkat (residence).
"Kita juga ingin mereka membangun itu (infrastruktur pangan) untuk dimanfaatkan Bulog secara komersial. Sehingga Bulog tertolong, dan mereka (Kopelindo) juga mendapatkan margin," ujar mantan direktur BRI itu.
http://medan.tribunnews.com/2016/06/03/infrastruktur-bulog-sudah-tidak-memadai
Untuk pergudangan misalnya, Djarot mengatakan, banyak gudang yang dibangun 15-20 tahun silam, kini letaknya tepat di jalan-jalan arteri.
Mobilitas barang dari dan menuju gudang tentu sulit di jalan-jalan arteri yang umumnya dipadati kendaraan umum maupun pribadi.
"Kita punya gudang di jalan-jalan utama. Kan sudah tidak cocok lagi untuk gudang. Artinya sudah mengganggu kota itu. Kan harus diubah, apakah menjadi fungsi perkantoran atau pasar modern," kata Djarot di Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Tak mau aset Bulog terbengkalai, Djarot mendorong koperasi pegawai dan pensiunan Bulog, Kopelindo, untuk bisa memanfaatkan aset-aset tersebut secara optimal.
"Infrastruktur Bulog dibangun 15-20 tahun yang lalu. Pada saat itu cocok. Tapi dengan berjalannya waktu kan mungkin butuh perubahan, modernisasi maupun jumlahnya," imbuhnya.
Selain pemanfaatan aset secara optimal, Kopelindo juga diminta untuk ikut membangun infrastruktur pangan seperti pergudangan, silo, dan fasilitas pengolahan (processing).
Pasalnya, kata Djarot, sejauh ini Kopelindo baru bermain di infrastruktur bangunan seperti hunian bertingkat (residence).
"Kita juga ingin mereka membangun itu (infrastruktur pangan) untuk dimanfaatkan Bulog secara komersial. Sehingga Bulog tertolong, dan mereka (Kopelindo) juga mendapatkan margin," ujar mantan direktur BRI itu.
http://medan.tribunnews.com/2016/06/03/infrastruktur-bulog-sudah-tidak-memadai
Kamis, 02 Juni 2016
Operasi Bulog Keluar dari Pakem (SAPUAN GAFAR)
Kekisruhan operasi pasar Bulog dalam
rangka stabilisasi harga pangan terus dikeluhkan. Sebenarnya sejak 2011 operasi
Bulog sudah keluar dari pakem yang biasa dipakai sebagai pedoman dasar sejak
1970.
Mengapa hal itu terjadi dan apa
konsekuensinya?
Operasi Bulog didasarkan pada
teoribufferstock yang diadopsi dari operasibufferstock untuk karet. Untuk beras
dikenal sebagai "teori waduk", pada saat musim hujan menampung air
yang berlebih, kemudian dialirkan pada musim kemarau. Untuk penerapan teori
waduk diperlukan tiga instrumen pokok.
Pertama, kebijakan harga dasar
(floor price) yang harus dijaga oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Bulog.
Apabila harga cenderung turun di bawah harga dasar, diperlukan intervensi untuk
menyerap surplus musiman sampai harga dasar aman.
Kedua, kebijakan harga batas atas
(ceiling price) untuk ancar- ancar kapan diperlukan operasi pasar apabila harga
cenderung naik di atas harga yang dikendalikan.
Ketiga, antara harga batas bawah dan
harga batas atas harus ada selisih harga yang cukup merangsang perdagangan
antarmusim dan antardaerah dengan memperhitungkan ongkos simpan, susut, dan
biaya angkut. Oleh karena sistem operasi Bulog berdasarkan teori waduk,
terdapat ciri-ciri khas yang membedakan dengan perusahaan pada umumnya.
Pertama, tak mengenal target jumlah
yang akan dibeli, perencanaan didasarkan pada prognosis. Jika harga gabah/beras
sudah di atas harga pembelian pemerintah (HPP), tak ada kewajiban untuk membeli
(intervensi pasar). Prognosis dapat berubah di tengah jalan, misalnya terjadi
kekeringan atau perubahan kebijakan pemerintah.
Kedua, tidak berebut barang di pasar
apabila harga gabah/beras sudah di atas HPP.
Ketiga, tidak membentuk jaringan
pembelian sampai petani sehingga tidak menyiapkan infrastruktur untuk keperluan
itu.
Keempat, Bulog hanya beroperasi saat
ada surplus musiman dan hanya membeli di daerah surplus produksi. Kelima,
prinsip saling menjamin, pemerintah mengeluarkan anggaran untuk program
peningkatan produksi padi, hasilnya dijamin oleh Bulog untuk dibeli sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Untuk itu Bulog mendapat kemudahan
kredit yang dijamin oleh Menteri Keuangan, sedangkan Menteri Keuangan bersedia
menjamin kredit Bulog karena adanya jaminan anggaran yang digunakan untuk
cadangan beras pemerintah dan raskin.
Mengapa
keluar pakem?
Perubahan mendasar pada pemasaran
beras terjadi sejak 1990-an dan perubahan lebih besar lagi terjadi setelah
krisis moneter 1997/1998. Perubahan pertama terjadi pada 1990-an dengan mulai
berkembangnya perdagangan beras yang dibungkus dalam kemasan plastik 5 kg dan
10 kg disertai merek tertentu.
Muncul pula permintaan beras kristal
yang dipoles dengan mesin khusus (KB). Ternyata inovasi ini mendapat respons
baik dari konsumen yang didukung munculnya supermarket di kota- kota besar.
Dengan demikian, mulai terjadi perubahan perdagangan beras yang sebelumnya
dalam bentuk curah dengan kemasan 100 atau 50 kg menjadi kemasan kecil dan
bermerek.
Perubahan kedua yaitu berkembangnya
penggilingan keliling yang di Yogyakarta dinamakan mesin grandong. Penggilingan
keliling ini menggunakan mesin Engelberg untuk mengupas kulit dan menyosoh,
yang hasil berasnya mengandung butir patah yang tinggi.
Kelebihan penggilingan padi keliling
adalah menjemput bahan baku di depan pintu rumah petani. Karena itu, kini
terjadi perebutan bahan baku gabah yang ketat antara penggilingan padi
keliling, penggilingan kecil, dan penggilingan besar. Di Kabupaten Bantul saja
jumlah mesin grandong diperkirakan mencapai 700 buah lebih.
Selanjutnya, terjadi spesialisasi
pengolahan gabah/beras, penggilingan kecil dan penggilingan keliling
menghasilkan "beras asalan" dengan kadar air beras lebih dari 14
persen dan beras patah lebih dari 30 persen. Beras asalan ini kemudian diolah
oleh penggilingan besar menjadi beras kualitas medium dengan broken berkisar
15-20 persen atau menjadi kualitas premium dengan memoles yang lebih bening
lagi dan mengurangi beras patahnya yang selanjutnya dikemas dalam kemasan
kecil.
Perubahan ketiga, mulai 2008-2010
para pemodal besar ikut meramaikan perdagangan beras, mereka sangat gesit
menyerbu pasar gabah dan beras asalan untuk memenuhi langganan mereka berupa
beras kelas medium yang dicirikan dengan kemasan curah 50 kg dan beras kelas
premium yang dicirikan kemasan 5 kg dan 10 kg dengan merek tertentu serta beras
kelas super dengan aroma khas yang hanya dapat dihasilkan dari daerah tertentu
(ethnic rice).
Sebagai konsekuensi perubahan pasar
dan pemasaran beras tersebut, mulai 2011 Bulog sulit mendapatkan beras sesuai
persyaratan kualitas seperti yang di dalam instruksi presiden disebut beras
kelas medium. Hal ini sebenarnya akibat perebutan bahan baku berupa gabah dan
"beras asalan" sehingga membuat harga pembelian Bulog yang ditetapkan
oleh pemerintah selalu di bawah harga pasar.
Oleh karena tekanan pemerintah dan
publik bahwa Bulog kalah dengan swasta, mulai 2011 Bulog mengatasinya dengan
mengalah pada keadaan pasar dengan berebut barang di pasar sehingga akhirnya
terjadi keluhan-keluhan penerima raskin.
Keadaan yang sama juga terjadi pada
pemerintahan Jokowi, karena manajemen Perum Bulog dianggap lamban dalam
pembelian beras pada 2015. Dua direkturnya dicopot sekaligus, tetapi ini tidak
menyelesaikan masalah karena pembelian juga tidak mencapai target.
Model
swasembada
Sebenarnya, kekisruhan operasi Bulog
ini diakibatkan oleh kesalahan kita dalam melihat model swasembada beras yang
masih melihat keadaan kita sama dengan 30 tahun yang lalu. Padahal, keadaan
yang kita hadapi sudah berubah, paradigmanya sudah berubah dari komoditas
menjadi produk. Ciri pemasaran dalam bentuk produk itu antara lain orientasi
konsumen didasarkan pada market driven atau didorong oleh pasar. Padahal, cara
berpikir adalah bagaimana memproduksi sebanyak-banyaknya dengan tidak
memedulikan kemauan konsumen.
Karena itu, model swasembada ke
depan dalam era perdagangan bebas ASEAN disarankan berupa swasembada dalam
pengertian "surplus neraca perdagangan pangan". Komoditas dan produk
yang mempunyai daya saing didorong untuk diekspor, termasuk beras jenis
tertentu.
Kita punya produk beras hitam dan
beras merah untuk melayani permintaan khusus bagi mereka yang diet dan
penderita diabetes sehingga perlu dikembangkan untuk dalam negeri dan ekspor.
Beras aromatik dari Sulawesi Selatan yang disukai konsumen Timur Tengah pun
perlu didorong untuk bisa diekspor.
Neraca perdagangan pangan kita
sebenarnya sudah surplus sejak 1990-an karena didukung oleh ekspor hasil
perkebunan pangan dan perikanan. Untuk itu, perlu terus didorong guna menutup
defisit impor biji-bijian dan ternak/daging.
Tugas Perum Bulog adalah fokus untuk
memelihara cadangan pangan (cadangan beras pemerintah, ASEAN Food Security
Reserve dan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR), yaitu Jepang,
Tiongkok dan Korea Selatan), serta melayani pelanggan PSO/komersial serta
perdagangan internasional.
Dalam rangka sinergi, tugas Perum
Bulog diharapkan ditingkatkan menjadi perusahaan holding di bidang pangan yang
bersinergi dengan perusahaan yang bergerak di bidang produksi, industri
pengolahan, logistik (angkutan dan pergudangan, bongkar muat), perdagangan, dan
lain-lain.
SAPUAN GAFAR, MANTAN WAKABULOG
http://doa-bagirajatega.blogspot.co.id/2016/06/operasi-bulog-keluar-dari-pakem-sapuan.html
Langganan:
Postingan (Atom)