Bila tak ada ganjalan, status Perum Bulog sebagai lembaga penyangga
harga dan stok bahan pangan segera terwujud. Tim perumus yang melakukan
kajian terhadap revitalisasi peran dan fungsi perusahaan logistik pelat
merah ini sudah menyelesaikan tugas-tugas mereka.
Bayu Krisnamurthi, Ketua Tim Perumus Revitalisasi Bulog,
mengungkapkan, pihaknya sudah menjalankan perintah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk mengkaji peran dan fungsi Bulog sebagai badan
penyangga pangan strategis di luar beras. "Sudah ada kesimpulan akhir.
Drafnya sudah jadi," katanya ke KONTAN kemarin.
Sayang, Bayu yang juga Wakil Menteri Perdagangan masih menutup rapat
poin-poin penting dalam draf itu, yang bakal menjadi payung hukum Perum
Bulog sebagai stabilisator bahan pangan.
Bayu beralasan, tim baru melaporkan hasil kajian itu kepada Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, yang selanjutnya akan
menyampaikan ke presiden. Sesuai intruksi presiden, tugas tim perumus
berakhir 30 Agustus 2012 nanti. Sebelumnya, Presiden memerintahkan Bulog
menjadi penyangga lima bahan pangan utama, yaitu beras, gula, jagung,
kedelai, dan daging sapi.
Tapi anehnya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan justru mengatakan,
kajian atas revitalisasi Bulog masih berlangsung. "Masih digodok,"
ujarnya singkat. Sedang Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengaku
belum mengetahui perkembangan dari kerja Tim Perumus Revitalisasi Bulog.
Hingga saat ini, dirinya belum menerima laporan dari tim itu.
Untungkan petani
Menurut Rusman, yang terlibat langsung dalam tim
ini adalah Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Tapi
pada prinsipnya, substansi draf revitalisasi Bulog bakal menguntungkan
bagi petani. Cuma, ia mengingatkan, agar semangat revitalisasi Bulog
juga diimbangi dengan kemampuan BUMN ini.
Dengan tanggung jawab yang lebih besar, Bulog jelas membutuhkan
penambahan sumber daya manusia untuk memaksimalkan tugasnya. "Intinya,
kami berharap peraturan pemerintah itu nantinya bisa menguntungkan
petani," harap Rusman.
Namun, Achmad Suryana, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian, enggan memberikan penjelasan lebih jauh. Alasannya, saat ini
belum waktunya untuk memberikan penjelasan. "Saya belum bisa sampaikan,
mohon maaf," pintanya.
Sebelumnya, Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menyatakan,
perusahaannya telah melakukan pembenahan guna menyongsong tanggung jawab
baru yang lebih besar itu. Bulog siap mengemban otoritas yang lebih
luas jika ditunjuk pemerintah sebagai penyangga pangan.
Asal tahu saja, untuk mendukung peran baru Bulog ini harus ada payung
hukum yang menjadi landasannya. Sebab, kekuatan besar Bulog semasa
rezim Orde Baru itu dipangkas seiring permintaan Dana Moneter
Internasional (IMF) yang menjadi "dokter" Indonesia untuk menyembuhkan
negara kita dari serangan krisis moneter 1997.
Untuk memuluskan peran dan fungsi Bulog sebagai stabilisator pangan,
pemerintah harus merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan. Kabarnya yang berembus, lewat revisi ini, status Bulog akan
diubah menjadi Badan Otoritas Pangan untuk menangani harga dan stok
bahan pangan.
Sumber : Kontan.co.id
Selasa, 28 Agustus 2012
Senin, 06 Agustus 2012
Lepaskan Bulog Dari Pasungan IMF
Beradanya Perum Bulog dalam pasungan
IMF, membuat Bulog tak bisa berbuat banyak atas berbagai kisruh sejumlah
komoditas pangan selama ini. Berbagai pihak menilai, kisruh pangan bisa diatasi
salah satunya dengan melepaskan Bulog dari pasungan IMF dan mengembalikan
pengamanan sejumlah komoditi pangan yang pernah ditangani oleh lembaga yang
menjadi andalan ketahan pangan tersebut.
“Perum Bulog harus dilepaskan dari pasungan
IMF. Semestinya, kisruh sejumlah komoditi pangan belakangan ini sudah cukup
menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk mengembalikan peran Bulog,” jelas
Koordinator Nasional Protanikita, Bonang, Sabtu (5/8).
Menurut Bonang, terbatasnya peran
Bulog hanya pada komoditas beras saja, membuat sejumlah komoditas pangan
penting lainnya lepas dari kendali pemerintah. “Tidak ada cara lain, jika
pemerintah ingin mengamankan sejumlah komoditas pangan penting dinegeri ini,
maka kembalikan peran Bulog seperti sebelum dijajah oleh IMF,” tegasnya.
Dipihak lain, Wakil Ketua Umum Kadin
Indonesia Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik, Natsir Mansyur
mengatakan, kebijakan pemerintah saat ini memang sudah terlalu liberal dan
tidak memperdulikan petani dalam negeri. Akibatnya, masalah produksi dan
pasokan pangan dalam negeri cenderung tidak diperhatikan. Pemerintah bahkan
cenderung membuat kebijakan sendiri tanpa merangkul dan bekerja sama dengan
petani dan pengusaha lokal.
Liberalisasi disektor perdagangan
yang diusung pemerintah ini, dipandang berdampak negatif terhadap sektor
pertanian, dan membuat Indonesia terus dihantui dengan masalah pasokan dan
gejolak harga pangan.
"Pada dasarnya, pertanian dalam
negeri berpeluang untuk menghasilkan komoditas pangan yang banyak di impor.
Tapi, bukannya memperhatikan masalah peningkatan produksi pangan dari dalam
negeri sendiri, pemerintah justru membuka pintu seluas- luasnya untuk komoditas
pangan impor yang pasokan dan harganya dikendalikan oleh spekulan internasional.
Sementara produksi dalam negeri terus menurun," kata Natsir, di Jakarta,
kemarin.
Menurut dia, peran dan fungsi Bulog
untuk menjaga pasokan dan stabilisasi harga di pasar memang perlu dikembalikan.
Minimal untuk menjaga kestabilan harga dan ketersediaan sembilan bahan pokok
yang memang dibutuhkan rakyat. Namun, peran Bulog juga tidak akan berarti jika
liberalisasi perdagangan tidak dikendalikan, dan pasar dalam negeri bebas
dimasuki produk impor.
Senada disampaikan Ketua Dewan
Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudo Husodo. Ia
mengatakan, pemerintah seharusnya sudah mulai menugasi Bulog untuk melakukan
manajemen stok pangan. Tentunya tidak hanya beras, namun juga mulai merambah
pada jagung, gula, kedelai, gandum, dan lainnya.
“Peran dan fungsi Bulog harus
diperluas. Tidak hanya menangani beras seperti sekarang, tapi juga kedelai,
gula, jagung, dan gandum. Dengan begitu, petani terangsang untuk memperluas
produksinya, karena Bulog siap menyerapnya dengan harga yang ideal," ujar Siswono.
Menurut dia, tanpa adanya pengaturan
dalam produksi dan perdagangan komoditas pangan pokok, maka petani tidak akan
termotivasi untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Seharusnya, kecenderungan
harga berbagai komoditas pangan di dunia yang terus meningkat, seharusnya bisa
mendorong peningkatan produksi di dalam negeri. "Setiap kali ada masalah
pasokan dan gejolak harga, pemerintah mencari solusi yang gampang, yakni dengan
terus memperbanyak impor dan menghilangkan bea masuk. Jadinya masyarakat yang
terkena dampaknya," jelasnya.
Hentikan Liberalisasi Pangan
Pengamat ekonomi dari Universitas
Gadjah Mada, Revrisond Baswir, mengatakan, selama ini harga pangan rentan
terhadap gejolak dan aksi spekulasi. Ini merupakan risiko dari kebijakan
perdagangan bebas yang diusung pemerintah. Dan liberalisasi yang kebabalasan
ini harus ditanggung masyarakat. "Liberalisasi justru mendorong seringnya
terjadi kenaikan harga pangan pokok. Kita jadi tidak punya kedaulatan pangan di
dalam negeri sendiri. Sekarang Bulog dipreteli haknya. Jadi kenaikan harga itu
memang karena salahnya pemerintah, dan sudah menyusahkan masyarakat. Masalah
ini memang biasa bagi penganut neoliberalisme," ungkapnya.
Karenanya, Revrisond meminta
pemerintah membuang jauh- jauh pemikiran liberal, khususnya dalam menangani
pasokan dan harga bahan pangan yang jadi kebutuhan pokok masyarakat. Ia meminta
pemerintah tidak lagi membiarkan perdagangan bahan pangan pokok yang mengacu
pada mekanisme pasar. (Bin)*
Sumber
: BarakIndonesia.com
http://barakindonesia.com/berita-1136-lepaskan-bulog-dari-pasungan-imf.html
Langganan:
Postingan (Atom)