Dukungan terhadap Bulog sebagai penyangga pangan
nasional harus total, baik sisi kebijakan maupun anggaran. Karena itu,
pemerintah berniat mengembalikan Bulog sebagai lembaga stabilisasi pangan.
Kebijakan ini tidak lepas dari gejolak harga
pangan di dunia yang berdampak terhadap kondisi di dalam negeri. Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan sudah menegaskan akan merevitalisasi
fungsi Bulog. Badan ini tidak lagi hanya menangani komoditas beras saja, tapi
juga komoditi pangan strategis lainnya seperti jagung, kedelai dan gula.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa
mengatakan, pemerintah telah menyiapkan dana untuk peningkatan kapasitas Bulog
sebanyak Rp 1,4 triliun. ”Bahkan, untuk menjaga stabilitas harga beras, gula,
dan kedelai, peran Bulog akan ditingkatkan dengan menaikkan cadangan ketiga
komoditas tersebut sampai sekitar tujuh persen dari kebutuhan nasional,”
ujarnya.
Nah agar selaras dengan kebijakan itu, CBP
(Cadangan Beras Pemerintah) di Bulog yang kini baru 500.000 ton akan dinaikkan
menjadi 2 juta ton atau 5-6 persen kebutuhan beras nasional yang mencapai 37
juta ton. Untuk kedelai, cadangan Bulog harus 162 ribu ton dari total kebutuhan
2,7 juta ton. Sementara gula untuk konsumsi rumah tangga, Bulog harus memiliki
cadangan 156 ribu ton dari total kebutuhan 2,7 juta ton.
Menteri Pertanian Suswono dalam berbagai
kesempatan mengungkapkan mendukung peran Bulog sebagai lembaga penyangga
pangan, terutama beras dan kedelai. Untuk beras, selama ini pemerintah
sudah mempunyai CBP, sehingga jika terjadi gejolak harga, maka pemerintah bisa
melakukan operasi pasar. Sementara komoditi yang lain, terutama kedelai,
pemerintah tidak bisa melakukan intervensi pasar, karena tidak mempunyai cadangan.
”Kalau melihat situasi ke depan, dengan
volatilitas harga yang cukup tajam dan kemungkinan antisipasi berbagai macam
perubahan iklim, memang penting ada stok pangan yang bisa digunakan
sewaktu-waktu untuk menstabilkan harga melalui operasi pasar. Bulog
dimungkinkan untuk itu,’’ kata Suswono kepada wartawan.
Wakil Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia) Rachmat Pambudi mengatakan, agar Bulog bisa berperan sebagai
stabilisator, lembaga itu harus memiliki stok yang cukup untuk operasi pasar
jika terjadi gejolak harga. Bulog harus diberi kewenangan penuh untuk mengelola
persediaan pangan nasional.
”Jangan seperti sekarang ini, Bulog diberikan
tugas tersebut, tapi tidak didukung dana yang cukup. Bahkan, dananya harus
mencari sendiri. Yang lebih penting Bulog perlu dukungan kebijakan makro, di
bawah payung kebijakan pangan nasional,” katanya.
Siswono Yudho Husodo, Anggota Komisi IV DPR
mengatakan, langkah berani pemerintah yang menetapkan Bulog sebagai
stabilisator harga beras, kedelai, dan gula sangat bagus. Langkah
merevitalisasi Bulog tersebut patut diapresiasi. Namun untuk mengembalikan
fungsi Bulog menjadi stabilisator harga tidak perlu dibuat undang-undang (UU)
lagi. UU tentang Pangan dapat menjadi dasar membuat kebijakan.
”Pemerintah harus segera mengeluarkan payung
hukumnya. Harus ada Inpres atau Perpres yang mengatur secara jelas harga beli
dan harga jual, serta hubungan Bulog dan BUMN gula,” tegasnya.
Apalagi lembaga tersebut diharapkan mampu
menjadikan lembaga pangan plat merah ini sebagai penyangga stabilitas harga
pangan dalam rentang harga yang ditetapkan pemerintah. Karena itu, dia
menyarankan agar pemerintah menetapkan berapa batasan tingkat harga komoditas
pangan tertinggi dan terendah yang harus dijaga Bulog.
”Batas harga yang ditetapkan bisa saja berubah
sesuai kebijakan pemerintah. Tatapi, semangatnya harus tetap untuk mendorong
peningkatan produksi dalam negeri menuju kemandirian pangan,” katanya.
Harga beras kualitas medium saat ini yang harus
dijaga Bulog dalam kisaran Rp 6.800 per kg untuk batas bawah dan Rp 7.600 per
kg batas atas. Harga gula pada kisaran Rp 9.500–10.000 per kg, harga kedelai Rp
6.500–7.500 kg, harga jagung Rp 2.300-2.900 kg dan harga daging sapi yang harus
dijaga bulog pada kisaran Rp 23.000-28.000 kg.
Sumber : http://www.indopos.co.id