Pemerintah harus mulai mempertimbangkan pengaturan impor dengan swasta.
Direktur Utama (Dirut)
Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso menyatakan, tidak
salah jika hak monopoli diterapkan untuk mengamankan komoditas
strategis sebuah negara.
Apalagi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
mengisyaratkan memberikan hak bagi setiap negara, khususnya negara
sedang berkembang dan miskin, untuk memakai hak monopoli kepada BUMN
pangannya dalam melaksanakan monopoli perdagangan bahan pangan pokok,
demi alasan ketahanan pangan.
Hal itu diungkapan Sutarto Alimoeso
ketika berkunjung ke redaksi Sinar Harapan di Jakarta, Rabu (12/9)
sore. Ia didampingi sejumlah pejabat teras Bulog.
Mengutip salah satu klausul dalam
kesepakatan WTO terbaru di Doha Commitment Agenda 2008, dia
mengatakan, kebijakan perdagangan monopoli memberikan hak monopoli
pada perdagangan bahan pangan pokok untuk BUMN pangannya.
Sebelumnya, Dirjen Kerja Sama
Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Gusmardy
Bustami menjelaskan, Dirjen WTO Pascal Lamy dalam pertemuan WTO di
Doha kala itu menyebutkan isu penting yang disepakati anggota-anggota
organisasi ini mengenai ketahanan pangan sebagai kebijakan penting
bagi setiap pemerintah, dan WTO menghormatinya.
Pemerintah suatu negara memiliki hak
berdaulat untuk menciptakan kebijakan agar negerinya mencapai
ketahanan pangan dalam kewajiban internasional mereka.
Anggota WTO
dalam sidang Perjanjian tentang Pertanian/Agreement of Agriculture
(AoA) dan Negosiasi Doha Development Agenda (DDA) menyebutkan bahwa
ketentuan liberalisasi pasar yang disepakati lembaga ini boleh
dikecualikan bagi negara yang harus mempertimbangkan masalah
ketahanan pangannya.
Oleh karena itu, lanjut Sutarto,
kebijakan tata niaga perdagangan ekspor impor, dan pemberian hak
monopoli bagi BUMN pangan, diperkenankan WTO.
Pemerintahnya harus
intervensi pasar, dan Bulog juga harus monopoli. Pasalnya, ketahanan
pangan suatu negara menghendaki BUMN pangan harus memiliki cadangan
komoditas pangan dalam jumlah memadai.
Untuk itu, dalam hal komoditas kedelai,
kata dia, pemerintah harus mulai mempertimbangkan pengaturan impor
antara pemerintah dan swasta.
Dengan pertimbangan jumlah importir
kedelai yang sedikit, pemerintah semestinya membatasi impor kedelai
oleh swasta melalui sistem kuota, dan memberikan posisi tawar
ketersediaan kedelai di tangan Bulog dengan hak kuota impor 50
persen. Artinya, kuota impor kedelas setidaknya 50 persen Bulog dan
50 persen swasta.
”Tujuannya agar Bulog memiliki
cadangan kedelai yang cukup untuk mengantisipasi kondisi kelangkaan
maupun lonjakan harga. Di WTO monopoli untuk ketahanan pangan itu
tidak masalah. Untuk kedelai, jika Bulog hanya
mendapatkan kuota impor 10 persen pasti kalah.
Bulog harus menguasai
perdagangan kedelai impor, minimal 50 persen. Namun, kalau beras,
mengingat pedagang beras jumlahnya sangat banyak, Bulog menguasai
perdagangan beras 8 persen saja. Bulog itu sudah kuat,” tuturnya.
Kekhawatiran mengenai liberalisasi
perdagangan dapat mengurangi ketahanan pangan suatu negara karena
akan mengurangi tingkat lapangan kerja pertanian menyebabkan
negara-negara anggota WTO kala itu merekomendasikan negara-negara
berkembang boleh mengevaluasi dan menaikkan tarif pada produk kunci
untuk melindungi ketahanan pangan nasional dan lapangan kerja.
Perjanjian WTO, yang mendorong liberalisasi pasar, ternyata mengancam
ketahanan pangan masyarakat secara keseluruhan.
Terganjal Aturan
Pada kesempatan tersebut Dirut Bulog
Sutarto Alimoeso juga mengatakan rencana Perum Bulog untuk
merevitalisasi diri hingga kini masih terganjal aturan kelembagaan
yang membatasi ruang gerak mereka.
Meskipun secara status Bulog merupakan
perusahaan umum (perum) milikhttp://www.shnews.co negara yang bergerak di bidang logistik
pangan, aktivitasnya masih terikat pada Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perum Bulog yang membatasi ruang
lingkup logistiknya pada komoditas beras.
Pemerintah sendiri dalam rapat
koordinasi pangan di kantor Menko Perekonomian awal September lalu
telah memutuskan kembali menugasi Perum Bulog menjaga stabilisasi
harga tiga komoditas pangan, yakni beras, gula, dan kedelai. Namun,
khusus untuk komoditas gula dan kedelai, tugas Perum Bulog sebagai
penyangga, untuk tahap awal hanya diberikan waktu hingga enam bulan
ke depan.
Menurutnya, dengan aturan kelembagaan
yang diatur dalam PP Nomor 7 Tahun 2003 tersebut, aktivitas Perum
Bulog memang menjadi sangat terbatas. Terlebih lagi dalam rangka
penyediaan beras, selama ini Perum Bulog mengandalkan pendanaan dari
kredit komersial perbankan.
Diakuinya, dengan status perum yang
disandang saat ini, Bulog menjalankan dua aktivitas yang saling
bertolak belakang. "Kalau untuk aktivitas PSO kami boleh rugi
tetapi ditutup pemerintah, sementara di sisi lain, yakni aktivitas
komersial, kami dituntut harus untung," ucapnya.
Padahal, melihat potensi infrastruktur
dan SDM yang dimiliki Perum Bulog, Sutarto optimistis peran Bulog ke
depan bisa jauh lebih besar dibandingkan aktivitas yang mereka jalani
saat ini.
Dalam kesempatan
itu, diungkapkan pula bahwa pihaknya kini memang tengah mengusung
agenda revitalisasi Perum Bulog yang akan dituangkan dalam Rencana
Jangka Panjang Perusahaan (RJPP). Sebagai rintisan awal, secara
komersial Perum Bulog kini mulai mengembangkan sayap usaha mereka
melalui tiga unit usaha yang bergerak di bidang hulu (on-farm),
distribusi, dan hilir.
Pada sektor hulu,
Perum Bulog mengandalkan unit pengolahan beras dan gabah plus serta
berencana menyediakan alat-alat mesin pertanian, sehingga Bulog bisa
mendapat gabah dan beras langsung dari petani.
Sementara itu, untuk
mendukung aktivitas distribusi, Perum Bulog juga telah membentuk unit
jasa yang terdiri atas jasa pemberdayaan aset (seperti gudang,
kantor, tanah kosong, dan aset lainnya), jasa angkutan dan jasa
survei, perawatan kualitas, dan pemberantasan hama. Sumber : http://www.shnews.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar