Jumat, 14 September 2012

Dirut Bulog: Monopoli Komoditas Strategis Wajar

Pemerintah harus mulai mempertimbangkan pengaturan impor dengan swasta.

Direktur Utama (Dirut) Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso menyatakan, tidak salah jika hak monopoli diterapkan untuk mengamankan komoditas strategis sebuah negara.
Apalagi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengisyaratkan memberikan hak bagi setiap negara, khususnya negara sedang berkembang dan miskin, untuk memakai hak monopoli kepada BUMN pangannya dalam melaksanakan monopoli perdagangan bahan pangan pokok, demi alasan ketahanan pangan.
Hal itu diungkapan Sutarto Alimoeso ketika berkunjung ke redaksi Sinar Harapan di Jakarta, Rabu (12/9) sore. Ia didampingi sejumlah pejabat teras Bulog.
Mengutip salah satu klausul dalam kesepakatan WTO terbaru di Doha Commitment Agenda 2008, dia mengatakan, kebijakan perdagangan monopoli memberikan hak monopoli pada perdagangan bahan pangan pokok untuk BUMN pangannya.
Sebelumnya, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Gusmardy Bustami menjelaskan, Dirjen WTO Pascal Lamy dalam pertemuan WTO di Doha kala itu menyebutkan isu penting yang disepakati anggota-anggota organisasi ini mengenai ketahanan pangan sebagai kebijakan penting bagi setiap pemerintah, dan WTO menghormatinya.
Pemerintah suatu negara memiliki hak berdaulat untuk menciptakan kebijakan agar negerinya mencapai ketahanan pangan dalam kewajiban internasional mereka.
Anggota WTO dalam sidang Perjanjian tentang Pertanian/Agreement of Agriculture (AoA) dan Negosiasi Doha Development Agenda (DDA) menyebutkan bahwa ketentuan liberalisasi pasar yang disepakati lembaga ini boleh dikecualikan bagi negara yang harus mempertimbangkan masalah ketahanan pangannya.
Oleh karena itu, lanjut Sutarto, kebijakan tata niaga perdagangan ekspor impor, dan pemberian hak monopoli bagi BUMN pangan, diperkenankan WTO.
Pemerintahnya harus intervensi pasar, dan Bulog juga harus monopoli. Pasalnya, ketahanan pangan suatu negara menghendaki BUMN pangan harus memiliki cadangan komoditas pangan dalam jumlah memadai.
Untuk itu, dalam hal komoditas kedelai, kata dia, pemerintah harus mulai mempertimbangkan pengaturan impor antara pemerintah dan swasta.
Dengan pertimbangan jumlah importir kedelai yang sedikit, pemerintah semestinya membatasi impor kedelai oleh swasta melalui sistem kuota, dan memberikan posisi tawar ketersediaan kedelai di tangan Bulog dengan hak kuota impor 50 persen. Artinya, kuota impor kedelas setidaknya 50 persen Bulog dan 50 persen swasta.
”Tujuannya agar Bulog memiliki cadangan kedelai yang cukup untuk mengantisipasi kondisi kelangkaan maupun lonjakan harga. Di WTO monopoli untuk ketahanan pangan itu tidak masalah. Untuk kedelai, jika Bulog hanya mendapatkan kuota impor 10 persen pasti kalah.
Bulog harus menguasai perdagangan kedelai impor, minimal 50 persen. Namun, kalau beras, mengingat pedagang beras jumlahnya sangat banyak, Bulog menguasai perdagangan beras 8 persen saja. Bulog itu sudah kuat,” tuturnya.
Kekhawatiran mengenai liberalisasi perdagangan dapat mengurangi ketahanan pangan suatu negara karena akan mengurangi tingkat lapangan kerja pertanian menyebabkan negara-negara anggota WTO kala itu merekomendasikan negara-negara berkembang boleh mengevaluasi dan menaikkan tarif pada produk kunci untuk melindungi ketahanan pangan nasional dan lapangan kerja.
Perjanjian WTO, yang mendorong liberalisasi pasar, ternyata mengancam ketahanan pangan masyarakat secara keseluruhan.
Terganjal Aturan
Pada kesempatan tersebut Dirut Bulog Sutarto Alimoeso juga mengatakan rencana Perum Bulog untuk merevitalisasi diri hingga kini masih terganjal aturan kelembagaan yang membatasi ruang gerak mereka.
Meskipun secara status Bulog merupakan perusahaan umum (perum) milikhttp://www.shnews.co negara yang bergerak di bidang logistik pangan, aktivitasnya masih terikat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perum Bulog yang membatasi ruang lingkup logistiknya pada komoditas beras.
Pemerintah sendiri dalam rapat koordinasi pangan di kantor Menko Perekonomian awal September lalu telah memutuskan kembali menugasi Perum Bulog menjaga stabilisasi harga tiga komoditas pangan, yakni beras, gula, dan kedelai. Namun, khusus untuk komoditas gula dan kedelai, tugas Perum Bulog sebagai penyangga, untuk tahap awal hanya diberikan waktu hingga enam bulan ke depan.
Menurutnya, dengan aturan kelembagaan yang diatur dalam PP Nomor 7 Tahun 2003 tersebut, aktivitas Perum Bulog memang menjadi sangat terbatas. Terlebih lagi dalam rangka penyediaan beras, selama ini Perum Bulog mengandalkan pendanaan dari kredit komersial perbankan.
Diakuinya, dengan status perum yang disandang saat ini, Bulog menjalankan dua aktivitas yang saling bertolak belakang. "Kalau untuk aktivitas PSO kami boleh rugi tetapi ditutup pemerintah, sementara di sisi lain, yakni aktivitas komersial, kami dituntut harus untung," ucapnya.
Padahal, melihat potensi infrastruktur dan SDM yang dimiliki Perum Bulog, Sutarto optimistis peran Bulog ke depan bisa jauh lebih besar dibandingkan aktivitas yang mereka jalani saat ini.
Dalam kesempatan itu, diungkapkan pula bahwa pihaknya kini memang tengah mengusung agenda revitalisasi Perum Bulog yang akan dituangkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP). Sebagai rintisan awal, secara komersial Perum Bulog kini mulai mengembangkan sayap usaha mereka melalui tiga unit usaha yang bergerak di bidang hulu (on-farm), distribusi, dan hilir.
Pada sektor hulu, Perum Bulog mengandalkan unit pengolahan beras dan gabah plus serta berencana menyediakan alat-alat mesin pertanian, sehingga Bulog bisa mendapat gabah dan beras langsung dari petani.
Sementara itu, untuk mendukung aktivitas distribusi, Perum Bulog juga telah membentuk unit jasa yang terdiri atas jasa pemberdayaan aset (seperti gudang, kantor, tanah kosong, dan aset lainnya), jasa angkutan dan jasa survei, perawatan kualitas, dan pemberantasan hama. 

Sumber :  http://www.shnews.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar