Pemerintah harus mengembalikan fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog)
seperti semula guna menanggulangi kartel bahan pangan. Sebab menurunnya
daya beli masyarakat antara lain merupakan dampak terburuk dari
mekanisme kartel di pasar pangan strategis.
“Sistem dan kebijakan pemerintah dalam tata niaga yang berlaku saat
ini mendorong terciptanya kartel pangan,” kata Direktur Institute for
Development of Economics dan Finance (INDEF), Enny Sri Hartati dalam
Diskusi Publik Tinjauan Historis dan Prilaku Kartel Pangan Strategis,
yang diadakan atas kerjasama Pemuda Tani Indonesia, Bincang Bincang
Agribisnis (BBA), dan Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI),
kemarin.
Menurut dia, saat ini pasar memainkan perannya sendiri. Pasalnya
pasar tidak memiliki penengah antara produsen dengan konsumen dalam
kebijakan penentuan harga. Bargaining power antara produsen dengan
distributor juga tidak berbanding lurus. Dengan demikian, mekanisme
kartel sangat terbuka lebar terjadi di pasar pangan strategis yang
menciptakan keuntungan besar bagi para penyalur besar.
Akibatnya, perlahan tapi pasti, daya beli masyarakat semakin menurun
yang mengancam tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. “Kartel ini bukan
hanya tata niaga, akan tetapi juga masalah yang memiliki efek domino,”
katanya.
“Kita butuh yang netral. Kalau pemain yang jadi wasit yang terjadi adalah terbentuknya kartel,” katanya.
Untuk mencegahnya, kata Eny, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah
karena merupakan regulator. Seharusnya Bulog memiliki dua fungsi
strategis yakni penyangga stok kebutuhan dalam negeri dan stabilisasi
harga. “Kalau hanya memikirkan harga tanpa ada stok juga timpang,”
tegasnya.
Direktur Centre for Agricultural Policy Studies Tito Pranolo
mengatakan fungsi Bulog saat ini sudah berubah jauh. Sejak berubah
menjadi perusahaan umum aktivitasnya tidak sejalan dengan namanya
sehingga patut untuk dibubarkan.
“Harusnya Bulog itu merupakan badan negara yang menjadi eksekutor bukan business oriented,” paparnya.
http://www.poskotanews.com/2013/10/19/tanggulangi-kartel-peran-bulog-harus-dikembalikan/
Minggu, 20 Oktober 2013
Kamis, 17 Oktober 2013
Selasa, 01 Oktober 2013
Syariah Mengatasi Krisis Pangan
Indonesia Negeri subur pangannya banyak bergantung kepada
import. Krisis melonjaknya harga bahan pangan menguak fakta itu. Kenapa seperti itu? Bagaimana pertanian kita? Bisakah
syariah menyelesaikan permasalahan itu? Untuk mendiskusikannya, redaksi
mewawancarai Ir. Anwar Iman, Direktur Agricultural Policy Watch yang juga DPP
HTI. Berikut petikannya:
Terkait isu krisis
pangan, seberapa gawat kondisinya saat ini?
Sangat gawat, baik
dalam konteks Indonesia maupun Dunia. Untuk Indonesia, menurut sumber World
Development Indicator 2007, jumlah penduduk yang dinyatakan rawan pangan
mencapai 13.8 juta jiwa (6%). Data ini diperkuat dengan kasus kelaparan di
beberapa tempat, bahkan ada yang sampai meninggal akibat gizi buruk. Ada juga
masyarakat yang terpaksa makan nasi aking, dll. Tentu itu semua baru sebagian
kecil yang terekspos oleh media massa. Untuk Dunia, dalam laporan Unicef
disebutkan bahwa setiap menit ada 10 anak meninggal akibat kekurangan gizi.
Kapan suatu negara
dikatakan mengalami rawan pangan?
Kalau menurut
ukuran FAO, suatu negara dikatakan rawan pangan jika 30% lebih penduduknya
mengalami kekurangan gizi. Ukuran ini tentu sangat tidak manusiawi. Bayangkan
saja, kalau penduduk Indonesia 225 juta, maka baru dikatakan rawan pangan jika
dijumpai 67 juta penduduknya mengalami kekurangan gizi.
Kalau dalam
pandangan Islam bagaimana?
Dalam pandangan
Islam, meskipun hanya satu atau dua orang saja yang kelaparan, sudah bisa
dikatakan terjadi krisis pangan. Sebab, Islam memandang bahwa pangan merupakan
salah satu kebutuhan primer (pokok), di mana negara wajib menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan rakyatnya secara merata individu-perindividu. Jadi, negara
tidak boleh memandang pemenuhan kebutuhan pangan ini secara kolektif; kalau
jumlah produksi dan stok beras, misalnya, sudah sama atau melebihi kebutuhan
kolektif masyarakat, lalu dikatakan tidak ada masalah. Ini cara pandang
kapitalis namanya. Padahal ketika produksi dan stok beras cukup atau tersedia,
tidak otomatis setiap orang bisa mendapatkannya.
Apa yang
menyebabkan krisis pangan terjadi?
Ada 3 kemungkinan
penyebab krisis pangan. Pertama: distribusi pangan yang buruk. Ini
terjadi ketika produksi pangan di suatu negara sebenarnya cukup secara
kolektif, atau surplus. Namun, karena sistem distribusinya buruk, beberapa
orang tidak bisa mendapatkannya. Distribusi yang buruk ini terjadi ketika harga
dijadikan sebagai unsur tunggal pengendali distribusi. Artinya, orang dipaksa
mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli; tidak ada mekanisme lain kecuali
dengan cara membeli. Kalau dia tidak mampu membeli berarti dia tidak berhak
mendapatkan bahan pangan tersebut.
Kedua: produksi pangan yang minus. Artinya, jumlah produksi
pangan lebih kecil daripada jumlah kebutuhan untuk seluruh rakyat. Ini bisa
terjadi karena adanya musibah seperti kekeringan, banjir, serangan hama, dan
lain-lain, yang menyebabkan terjadinya kegagalan panen. Bisa juga terjadi
karena kondisi pertanian di suatu negara memang lemah sehingga tingkat produksi
pertaniannya rendah.
Ketiga: karena kombinasi dari dua kemungkinan di atas, yaitu
distribusinya buruk dan produksinya juga minus.
Untuk krisis pangan
di Indonesia lebih disebabkan oleh kemungkinan yang mana?
Untuk komoditi
beras, jika dilihat dari data-data produksi yang resmi dari BPS, sebenarnya
tidak ada masalah. Pada tahun 2007 produksi beras Indonesia mencapai 33 juta
ton. Jumlah ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat yang
mencapai sekitar 30 juta ton, dengan standar konsumsi beras 133
kg/kapita/tahun. Jika dalam kondisi surplus semacam ini ternyata masih dijumpai
kasus kelaparan, berarti penyebabnya adalah distribusi pangan yang buruk.
Bukankah
Pemerintah sudah menjalankan program raskin?
Masalahnya, raskin
itu gratis atau harus beli? Raskin itu kan tetap harus beli meskipun
dengan harga yang murah. Jadi, tetap saja tidak bisa menyelesaikan masalah.
Kalau rakyat itu tidak punya penghasilan, meskipun murah, tetap saja tidak
sanggup membeli. Apalagi jika pembelian raskin itu harus dalam bentuk paket 10
atau 15 kg langsung, tidak bisa diecer perkilo. Ini makin memberatkan rakyat.
Makanya wajar jika di beberapa tempat jatah raskin tidak habis terjual.
Kalau dalam Islam
bagaimana solusinya?
Islam mewajibkan
negara untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat, di antaranya adalah kebutuhan
pangan. Mekanismenya, negara wajib menyediakan lapangan perkerjaan dan
mendorong rakyat untuk bekerja. Dengan cara ini diharapkan rakyat mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, jika karena satu dan lain hal, ada di
antara rakyat yang tidak bisa bekerja, karena cacat, tua renta, dll, maka
keluarganyalah yang wajib menanggung kebutuhannya. Itu pun jika keluargannya
mampu. Jika tidak mampu maka negaralah yang wajib memberi makan kepada mereka
secara gratis.
Yang sering
menjadi pertanyaan adalah dari mana uangnya untuk itu?
Kekayaan alam
Indonesia ini luar biasa besarnya. Kalau itu dikelola dengan benar, yaitu
dengan menggunakan sistem syariah, maka pasti negara akan punya banyak dana
untuk membantu rakyat. Masalahnya, sekarang ini kekayaan alam tesebut dikelola
dengan cara-cara kapitalistik. Akibatnya, yang menikmati hasilnya hanya
segelintir pengusaha lokal ataupun asing. Selain itu, secara taktis, sebenarnya
Pemerintah Indonesia saat ini juga mampu untuk memberi makan rakyat yang
miskin. Bisa kita hitung, kalau rakyat miskin Indonesia diasumsikan sebanyak
126 juta, dengan standar Bank Dunia USD 2/hari/kapita, maka untuk menjamin
kebutuhan pangan mereka dibutuhkan beras sebanyak 17 ton/tahun, dengan standar
konsumsi beras 133 kg/kapita/tahun. Jika harga beras Rp 4500/kg maka dibutuhkan dana sekitar Rp. 75 triliun.
Dana sejumlah itu, jika Pemerintah mau bertanggung jawab terhadap rakyatnya,
bisa diambil dari pos pembayaran utang di APBN, misalnya, yang nilainya lebih
dari Rp 150 triliun. Jadi, aneh sekali jika Pemerintah justru mendahulukan
bayar utang termasuk bunga ribawinya daripada memberi makan rakyatnya yang
kelaparan.
Apakah Indonesia sudah berhasil mewujudkan swasembada?
Bergantung pada jenis komoditinya. Untuk beras, seperti
sudah disinggung sebelumnya, berdasarkan data resmi BPS, bisa dikatakan sudah
swasembada. Hanya perlu diketahui, swasembada tidak menjamin semua rakyat
Indonesia sudah tercukupi kebutuhan pangannya orang-perorang selama sistem
distribusinya masih buruk. Untuk komoditi yang lain, kondisinya masih jauh dari
swasembada.
Sektor komoditi apa saja yang Indonesia masih impor?
Masih banyak sekali. Kedelai, Indonesia impor sebesar 70%
dari kebutuhan nasional. Jagung 10%, Kacang Tanah 15%, Bawang Putih 90%, Gula
30%, Susu 70%, dan Daging Sapi 25%. Perlu saya tambahkan bahwa yang dimaksud swasembada
adalah jika produksi pertanian suatu negara sudah berhasil memenuhi 90%
kebutuhan dalam negerinya. Jadi, tidak harus mencapai 100%. Ini kriteria yang
baru. Kriteria ini tampaknya terkait dengan ketentuan WTO bahwa setiap negara
wajib membuka impor sebesar 10%. Ini salah satu bahaya pasar bebas.
Kalau swasembada dalam Islam bagaimana?
Swasembada dalam Islam adalah jika negara mampu memenuhi
kebutuhan dalam negeri dan memiliki stok atau cadangan yang cukup untuk
mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendesak. Sebab, Islam mewajibkan kaum
Muslim untuk bisa mandiri dan mencegah hal-hal yang bisa menciptakan
ketergantungan pada negara luar. Ekstremnya, andaikan negara luar mengembargo,
maka kaum Muslim harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebenarnya hal ini tidak sulit, karena sumberdaya alam
negeri kita sangat besar.
Belum lama ini
kita dikejutkan dengan kenaikan harga tahu dan tempe akibat krisis kedelai.
Mengapa hal ini terjadi?
Betul. Banyak
orang menyangka bahwa tahu dan tempe yang mereka konsumsi sehari-hari merupakan
makanan tradisional Indonesia yang teknologi dan bahan bakunya berasal dari
Indonesia. Ternyata sangkaan
itu keliru. Saat ini, tahu dan tempe sudah menjadi makanan “elit” produk impor.
Memang, tidak diimpor secara langsung, tapi bahan bakunya, yaitu kedelai,
sebagian besar diimpor dari luar negeri, khususnya dari Amerika. Kebutuhan
kedelai dalam negeri Indonesia mencapai 1,6 juta ton/tahun, sementara produksi
kedelainya hanya 620 ton/tahun. Jadi minusnya sangan besar. Ketika harga kedelai
di Amerika mengalami lonjakan, otomatis harga kedelai di Indonesia juga naik.
Kenaikan harga kedelai di Amerika sendiri disebabkan oleh menurunnya luas tanam
kedelai karena digunakan untuk tanaman biofuel.
Mengapa Indonesia
tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai sendiri?
Memang, ini
ironis. Indonesia punya potensi lahan yang sangat luas, juga iklim tropis yang
sangat mendukung, tapi faktanya kedelai saja masih harus impor. Ini terjadi karena Pemerintah tidak memberi support
secara memadai kepada petani kedelai. Akibatnya, petani kita tidak mampu
bersaing dengan petani Amerika, apalagi di era perdagangan bebas saat ini.
Bayangkan, dengan kenaikan harga pupuk, pestisida, dll, biaya produksi kedelai
di tingkat petani kita bisa mencapai Rp 4500/kg. Padahal harga kedelai impor
hanya sekitar Rp 3000/kg. Kondisi seperti ini jelas tidak menguntungkan petani,
karena konsumen kedelai pasti lebih senang membeli kedelai impor yang lebih
murah. Celakanya, kondisi ini tidak segera diatasi oleh Pemerintah. Bahkan
Pemerintah cenderung berpikir, untuk apa susah-susah menanam kedelai sendiri, toh
impor lebih murah. Inilah yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan.
Mengapa kedelai di
Amerika bisa lebih murah?
Begini. Petani
kedelai di negeri Paman Sam itu mendapatkan full-support dari
pemerintah. Para petani kedelai di sana tergabung dalam asosiasi kedelai (American
Soybean Association), yang memiliki kekuatan lobi politik kepada
pemerintah. Sebaliknya, petani kedelai kita tidak punya bergaining semacam
ini, di samping pemerintahnya juga tidak memiliki keperpihakan kepada mereka.
Jadi, di era pasar bebas saat ini, petani kita disuruh ‘terjun bebas”
berkompetisi sendiri dengan petani asing yang notabene banyak disupport
oleh pemerintahnya. Jadi, Indonesia ini lebih kapitalis daripada negara
kapitalis. Kalau negara-negara kapitalis seperti Amerika dan Eropa saja masih
menerapkan subsidi untuk pertani mereka, justru subsidi di Indonesia dicabut
satu-persatu. Di Eropa, misalnya, subsidi untuk petani saja bisa mencapai US$
53 triliun, melalui program subsidi yang disebut common agricultural budget.
Bagaimana strategi
swasembada pertanian dalam Islam?
Pertama: negara harus memberikan supor penuh dalam pembangunan
pertanian; misalnya dengan memberikan modal, lahan, sarana produksi pertanian,
dll kepada petani.
Kedua: dilakukan kebijakan ekstensifikasi; dibuka lahan-lahan
baru untuk pertanian. Lahan-lahan yang tidak produktif dan menganggur selama 3
tahun diambil oleh negara dan diberikan kepada mereka yang siap menggarap.
Lahan pertanian yang subur harus tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian,
tidak dikonversi untuk keperluan lain.
Ketiga: dilakukan intensifikasi dengan penemuan bibit unggul,
sistem budidaya, penyediaan pupuk, dan obat pembasmi hama yang efektif.
Keempat: dilakukan restrukturisasi pertanian. Misalnya,
petani-petani gurem yang tidak efisien dengan lahan hanya 0,2-0,3ha harus
ditingkatkan skala usahanya dengan lahan yang lebih luas.
Kelima: dilakukan penanganan yang baik pada sektor pemasaran
produk pertanian. Misalnya, rantai pemasaran yang merugikan petani harus
dihapus; disiapkan infrastruktur pendukung yang memadai seperti jalan, alat
transportasi, pasar, dll; juga dibangun industri-industri yang dapat menyerap
hasil pertanian.
Jika kita mampu mewujudkan swasembada dengan pengelolaan
sektor pertanian secara baik, maka “gonjang-ganjing” pangan dunia dengan
berbagai faktor penyebabnya niscaya tidak akan berpengaruh negatif. [Ir.
Anwar Iman]
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/05/31/syariah-mengatasi-krisis-pangan/
Kebijakan Khilafah dalam Mengatasi Kelangkaan Pangan
Negeri subur ternyata tidak selamanya makmur. Kebijakan pertanian dan perdagangan yang amburadul terbukti telah membuat Indonesia sebagai negara agraris ini terus menerus dihantui krisis kelangkaan pangan. Rakyat kembali jadi korban, terutama mereka para perajin dan pemilik industri kecil, sebagaimana terjadi dalam kasus tempe-tahu belakangan ini. Jika ini terus terjadi dalam jangka panjang, tentu akan memengaruhi pertumbuhan dan kualitas hidup rakyat.
Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Program swasembada hanyalah isapan jempol semata. Sementara permainan kartel benar-benar telah membuat harga terus melambung tinggi, meski harga internasional menurun.
Mewujudkan Swasembada
Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan oleh Khilafah sebagai berikut:
Pertama: kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atho (biro subsidi) dalam baitul mal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitul mal. Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga arus distribusi lancar.
Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Di antaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khaththab di Irak.
Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian. Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut dirampas oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR. Bukhari).
Kedua: Kebijakan di sektor industri pertanian. Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas. Dengan kebijakan seperti ini maka masyarakat atau para investor akan terpaksa ataupun atas kesadaran sendiri akan berinvestasi pada sektor riil baik industri, perdagangan ataupun pertanian. Karena itu sektor riil akan tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
Menjaga Kestabilan Harga
Khilafah akan menjaga kestabilan harga dengan dua cara: Pertama: menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariah yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga, dsb. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata: “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai dengan kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya. Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda: “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Adanya asosiasi importir, pedagang, dsb, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang.
Kedua: menjaga keseimbangan supply dan demand.
Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain. Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khatab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru Radhiyallahu ‘anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Mekah (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).
Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam Radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik” (Lihat: Akhbârul-Madînah, Karya Abu Zaid Umar Ibnu Syabbh, Juz 2, hal 745). Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. (Lihat Târîkhul Umam wal Muluk, Karya Imam ath-Thobariy, Juz 4, hal. 100).
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Perajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.
Demikianlah sekilas bagaimana syariah Islam mengatasi masalah pangan. Masih banyak hukum-hukum syariah lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Oleh: Abu Muhtadi
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/01/kebijakan-khilafah-dalam-mengatasi-kelangkaan-pangan/
Langganan:
Postingan (Atom)