Indonesia Negeri subur pangannya banyak bergantung kepada
import. Krisis melonjaknya harga bahan pangan menguak fakta itu. Kenapa seperti itu? Bagaimana pertanian kita? Bisakah
syariah menyelesaikan permasalahan itu? Untuk mendiskusikannya, redaksi
mewawancarai Ir. Anwar Iman, Direktur Agricultural Policy Watch yang juga DPP
HTI. Berikut petikannya:
Terkait isu krisis
pangan, seberapa gawat kondisinya saat ini?
Sangat gawat, baik
dalam konteks Indonesia maupun Dunia. Untuk Indonesia, menurut sumber World
Development Indicator 2007, jumlah penduduk yang dinyatakan rawan pangan
mencapai 13.8 juta jiwa (6%). Data ini diperkuat dengan kasus kelaparan di
beberapa tempat, bahkan ada yang sampai meninggal akibat gizi buruk. Ada juga
masyarakat yang terpaksa makan nasi aking, dll. Tentu itu semua baru sebagian
kecil yang terekspos oleh media massa. Untuk Dunia, dalam laporan Unicef
disebutkan bahwa setiap menit ada 10 anak meninggal akibat kekurangan gizi.
Kapan suatu negara
dikatakan mengalami rawan pangan?
Kalau menurut
ukuran FAO, suatu negara dikatakan rawan pangan jika 30% lebih penduduknya
mengalami kekurangan gizi. Ukuran ini tentu sangat tidak manusiawi. Bayangkan
saja, kalau penduduk Indonesia 225 juta, maka baru dikatakan rawan pangan jika
dijumpai 67 juta penduduknya mengalami kekurangan gizi.
Kalau dalam
pandangan Islam bagaimana?
Dalam pandangan
Islam, meskipun hanya satu atau dua orang saja yang kelaparan, sudah bisa
dikatakan terjadi krisis pangan. Sebab, Islam memandang bahwa pangan merupakan
salah satu kebutuhan primer (pokok), di mana negara wajib menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan rakyatnya secara merata individu-perindividu. Jadi, negara
tidak boleh memandang pemenuhan kebutuhan pangan ini secara kolektif; kalau
jumlah produksi dan stok beras, misalnya, sudah sama atau melebihi kebutuhan
kolektif masyarakat, lalu dikatakan tidak ada masalah. Ini cara pandang
kapitalis namanya. Padahal ketika produksi dan stok beras cukup atau tersedia,
tidak otomatis setiap orang bisa mendapatkannya.
Apa yang
menyebabkan krisis pangan terjadi?
Ada 3 kemungkinan
penyebab krisis pangan. Pertama: distribusi pangan yang buruk. Ini
terjadi ketika produksi pangan di suatu negara sebenarnya cukup secara
kolektif, atau surplus. Namun, karena sistem distribusinya buruk, beberapa
orang tidak bisa mendapatkannya. Distribusi yang buruk ini terjadi ketika harga
dijadikan sebagai unsur tunggal pengendali distribusi. Artinya, orang dipaksa
mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli; tidak ada mekanisme lain kecuali
dengan cara membeli. Kalau dia tidak mampu membeli berarti dia tidak berhak
mendapatkan bahan pangan tersebut.
Kedua: produksi pangan yang minus. Artinya, jumlah produksi
pangan lebih kecil daripada jumlah kebutuhan untuk seluruh rakyat. Ini bisa
terjadi karena adanya musibah seperti kekeringan, banjir, serangan hama, dan
lain-lain, yang menyebabkan terjadinya kegagalan panen. Bisa juga terjadi
karena kondisi pertanian di suatu negara memang lemah sehingga tingkat produksi
pertaniannya rendah.
Ketiga: karena kombinasi dari dua kemungkinan di atas, yaitu
distribusinya buruk dan produksinya juga minus.
Untuk krisis pangan
di Indonesia lebih disebabkan oleh kemungkinan yang mana?
Untuk komoditi
beras, jika dilihat dari data-data produksi yang resmi dari BPS, sebenarnya
tidak ada masalah. Pada tahun 2007 produksi beras Indonesia mencapai 33 juta
ton. Jumlah ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat yang
mencapai sekitar 30 juta ton, dengan standar konsumsi beras 133
kg/kapita/tahun. Jika dalam kondisi surplus semacam ini ternyata masih dijumpai
kasus kelaparan, berarti penyebabnya adalah distribusi pangan yang buruk.
Bukankah
Pemerintah sudah menjalankan program raskin?
Masalahnya, raskin
itu gratis atau harus beli? Raskin itu kan tetap harus beli meskipun
dengan harga yang murah. Jadi, tetap saja tidak bisa menyelesaikan masalah.
Kalau rakyat itu tidak punya penghasilan, meskipun murah, tetap saja tidak
sanggup membeli. Apalagi jika pembelian raskin itu harus dalam bentuk paket 10
atau 15 kg langsung, tidak bisa diecer perkilo. Ini makin memberatkan rakyat.
Makanya wajar jika di beberapa tempat jatah raskin tidak habis terjual.
Kalau dalam Islam
bagaimana solusinya?
Islam mewajibkan
negara untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat, di antaranya adalah kebutuhan
pangan. Mekanismenya, negara wajib menyediakan lapangan perkerjaan dan
mendorong rakyat untuk bekerja. Dengan cara ini diharapkan rakyat mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, jika karena satu dan lain hal, ada di
antara rakyat yang tidak bisa bekerja, karena cacat, tua renta, dll, maka
keluarganyalah yang wajib menanggung kebutuhannya. Itu pun jika keluargannya
mampu. Jika tidak mampu maka negaralah yang wajib memberi makan kepada mereka
secara gratis.
Yang sering
menjadi pertanyaan adalah dari mana uangnya untuk itu?
Kekayaan alam
Indonesia ini luar biasa besarnya. Kalau itu dikelola dengan benar, yaitu
dengan menggunakan sistem syariah, maka pasti negara akan punya banyak dana
untuk membantu rakyat. Masalahnya, sekarang ini kekayaan alam tesebut dikelola
dengan cara-cara kapitalistik. Akibatnya, yang menikmati hasilnya hanya
segelintir pengusaha lokal ataupun asing. Selain itu, secara taktis, sebenarnya
Pemerintah Indonesia saat ini juga mampu untuk memberi makan rakyat yang
miskin. Bisa kita hitung, kalau rakyat miskin Indonesia diasumsikan sebanyak
126 juta, dengan standar Bank Dunia USD 2/hari/kapita, maka untuk menjamin
kebutuhan pangan mereka dibutuhkan beras sebanyak 17 ton/tahun, dengan standar
konsumsi beras 133 kg/kapita/tahun. Jika harga beras Rp 4500/kg maka dibutuhkan dana sekitar Rp. 75 triliun.
Dana sejumlah itu, jika Pemerintah mau bertanggung jawab terhadap rakyatnya,
bisa diambil dari pos pembayaran utang di APBN, misalnya, yang nilainya lebih
dari Rp 150 triliun. Jadi, aneh sekali jika Pemerintah justru mendahulukan
bayar utang termasuk bunga ribawinya daripada memberi makan rakyatnya yang
kelaparan.
Apakah Indonesia sudah berhasil mewujudkan swasembada?
Bergantung pada jenis komoditinya. Untuk beras, seperti
sudah disinggung sebelumnya, berdasarkan data resmi BPS, bisa dikatakan sudah
swasembada. Hanya perlu diketahui, swasembada tidak menjamin semua rakyat
Indonesia sudah tercukupi kebutuhan pangannya orang-perorang selama sistem
distribusinya masih buruk. Untuk komoditi yang lain, kondisinya masih jauh dari
swasembada.
Sektor komoditi apa saja yang Indonesia masih impor?
Masih banyak sekali. Kedelai, Indonesia impor sebesar 70%
dari kebutuhan nasional. Jagung 10%, Kacang Tanah 15%, Bawang Putih 90%, Gula
30%, Susu 70%, dan Daging Sapi 25%. Perlu saya tambahkan bahwa yang dimaksud swasembada
adalah jika produksi pertanian suatu negara sudah berhasil memenuhi 90%
kebutuhan dalam negerinya. Jadi, tidak harus mencapai 100%. Ini kriteria yang
baru. Kriteria ini tampaknya terkait dengan ketentuan WTO bahwa setiap negara
wajib membuka impor sebesar 10%. Ini salah satu bahaya pasar bebas.
Kalau swasembada dalam Islam bagaimana?
Swasembada dalam Islam adalah jika negara mampu memenuhi
kebutuhan dalam negeri dan memiliki stok atau cadangan yang cukup untuk
mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendesak. Sebab, Islam mewajibkan kaum
Muslim untuk bisa mandiri dan mencegah hal-hal yang bisa menciptakan
ketergantungan pada negara luar. Ekstremnya, andaikan negara luar mengembargo,
maka kaum Muslim harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebenarnya hal ini tidak sulit, karena sumberdaya alam
negeri kita sangat besar.
Belum lama ini
kita dikejutkan dengan kenaikan harga tahu dan tempe akibat krisis kedelai.
Mengapa hal ini terjadi?
Betul. Banyak
orang menyangka bahwa tahu dan tempe yang mereka konsumsi sehari-hari merupakan
makanan tradisional Indonesia yang teknologi dan bahan bakunya berasal dari
Indonesia. Ternyata sangkaan
itu keliru. Saat ini, tahu dan tempe sudah menjadi makanan “elit” produk impor.
Memang, tidak diimpor secara langsung, tapi bahan bakunya, yaitu kedelai,
sebagian besar diimpor dari luar negeri, khususnya dari Amerika. Kebutuhan
kedelai dalam negeri Indonesia mencapai 1,6 juta ton/tahun, sementara produksi
kedelainya hanya 620 ton/tahun. Jadi minusnya sangan besar. Ketika harga kedelai
di Amerika mengalami lonjakan, otomatis harga kedelai di Indonesia juga naik.
Kenaikan harga kedelai di Amerika sendiri disebabkan oleh menurunnya luas tanam
kedelai karena digunakan untuk tanaman biofuel.
Mengapa Indonesia
tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai sendiri?
Memang, ini
ironis. Indonesia punya potensi lahan yang sangat luas, juga iklim tropis yang
sangat mendukung, tapi faktanya kedelai saja masih harus impor. Ini terjadi karena Pemerintah tidak memberi support
secara memadai kepada petani kedelai. Akibatnya, petani kita tidak mampu
bersaing dengan petani Amerika, apalagi di era perdagangan bebas saat ini.
Bayangkan, dengan kenaikan harga pupuk, pestisida, dll, biaya produksi kedelai
di tingkat petani kita bisa mencapai Rp 4500/kg. Padahal harga kedelai impor
hanya sekitar Rp 3000/kg. Kondisi seperti ini jelas tidak menguntungkan petani,
karena konsumen kedelai pasti lebih senang membeli kedelai impor yang lebih
murah. Celakanya, kondisi ini tidak segera diatasi oleh Pemerintah. Bahkan
Pemerintah cenderung berpikir, untuk apa susah-susah menanam kedelai sendiri, toh
impor lebih murah. Inilah yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan.
Mengapa kedelai di
Amerika bisa lebih murah?
Begini. Petani
kedelai di negeri Paman Sam itu mendapatkan full-support dari
pemerintah. Para petani kedelai di sana tergabung dalam asosiasi kedelai (American
Soybean Association), yang memiliki kekuatan lobi politik kepada
pemerintah. Sebaliknya, petani kedelai kita tidak punya bergaining semacam
ini, di samping pemerintahnya juga tidak memiliki keperpihakan kepada mereka.
Jadi, di era pasar bebas saat ini, petani kita disuruh ‘terjun bebas”
berkompetisi sendiri dengan petani asing yang notabene banyak disupport
oleh pemerintahnya. Jadi, Indonesia ini lebih kapitalis daripada negara
kapitalis. Kalau negara-negara kapitalis seperti Amerika dan Eropa saja masih
menerapkan subsidi untuk pertani mereka, justru subsidi di Indonesia dicabut
satu-persatu. Di Eropa, misalnya, subsidi untuk petani saja bisa mencapai US$
53 triliun, melalui program subsidi yang disebut common agricultural budget.
Bagaimana strategi
swasembada pertanian dalam Islam?
Pertama: negara harus memberikan supor penuh dalam pembangunan
pertanian; misalnya dengan memberikan modal, lahan, sarana produksi pertanian,
dll kepada petani.
Kedua: dilakukan kebijakan ekstensifikasi; dibuka lahan-lahan
baru untuk pertanian. Lahan-lahan yang tidak produktif dan menganggur selama 3
tahun diambil oleh negara dan diberikan kepada mereka yang siap menggarap.
Lahan pertanian yang subur harus tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian,
tidak dikonversi untuk keperluan lain.
Ketiga: dilakukan intensifikasi dengan penemuan bibit unggul,
sistem budidaya, penyediaan pupuk, dan obat pembasmi hama yang efektif.
Keempat: dilakukan restrukturisasi pertanian. Misalnya,
petani-petani gurem yang tidak efisien dengan lahan hanya 0,2-0,3ha harus
ditingkatkan skala usahanya dengan lahan yang lebih luas.
Kelima: dilakukan penanganan yang baik pada sektor pemasaran
produk pertanian. Misalnya, rantai pemasaran yang merugikan petani harus
dihapus; disiapkan infrastruktur pendukung yang memadai seperti jalan, alat
transportasi, pasar, dll; juga dibangun industri-industri yang dapat menyerap
hasil pertanian.
Jika kita mampu mewujudkan swasembada dengan pengelolaan
sektor pertanian secara baik, maka “gonjang-ganjing” pangan dunia dengan
berbagai faktor penyebabnya niscaya tidak akan berpengaruh negatif. [Ir.
Anwar Iman]
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/05/31/syariah-mengatasi-krisis-pangan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar