Sabtu, 03 Maret 2012

Menggugat Dana Kompensasi BBM


Kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar yang akan diberlakukan mulai 1 April ternyata harus dibayar mahal. Untuk menebus kebijakan itu, pemerintah harus menyisihkan dana Rp 30-40 triliun dari APBN. Dana kompensasi kenaikan harga BBM ini akan digunakan untuk membiayai program jaring pengaman sosial (JPS) di bidang pendidikan, pangan, kesehatan, dan transportasi.

Yang agak mencengangkan, dari Rp 30-40 triliun dana kompensasi, sekitar Rp 25 triliun bakal dibagikan secara cuma-cuma dalam bentuk tunai kepada masyarakat miskin. Lewat program yang disebut Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) ini, setiap keluarga miskin akan mendapat dana tunai Rp 150 ribu per bulan selama delapan bulan. Ada 18,5 juta kepala keluarga (KK) yang akan menerima dana gratis tersebut.

Kebijakan menebar uang tunai mengingatkan kita pada masa-masa kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2005 dan 2008. Pada 2005-2006, pemerintah membagikan Rp 16,8 triliun dana tunai —dulu disebut Bantuan Langsung Tunai (BLT)— kepada 14 juta KK selama 12 bulan. Masing- masing KK menerima Rp 100 ribu. Sedangkan pada 2008, BLT dibagikan kepada 15,9 juta KK senilai Rp 4,79 triliun selama tujuh bulan, masing-masing KK menerima Rp 100 ribu.

Dibandingkan pada 2005-2006 dan 2008, dana tunai yang dibagikan pemerintah kepada masyarakat miskin tahun ini jauh lebih “wah”, baik dari sisi nilai maupun jumlah penerimanya. Jika dana tunai Rp 25 triliun benar-benar dibagikan kepada 18,5 juta KK, itu merupakan dana terbesar sepanjang sejarah yang pernah dibagikan pemerintah kepada rakyat di republik ini. Begitu pun dari sisi jumlah penerimanya.

Dengan dana dan jumlah penerima sebanyak itu, kita menjadi bertanya-tanya, begitu hebatkah dampak buruk kenaikan harga BBM bersubsidi per 1 April nanti terhadap perekonomian nasional? Dan, begitu royalkah pemerintah hingga harus menggelontorkan dana sebesar itu untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin secara cuma-cuma?

Mungkin ada baiknya kita menengok dampak kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2005 dan 2008. Inflasi saat itu masing-masing mencapai 17,1% dan 11,06%. Tapi, pemerintah pada 2005 menaikkan harga premium sampai dua kali dengan total kenaikan 87%. Pada 2008, inflasi mencapai 11,06% setelah harga BBM naik 33,3%, namun krisis finansial global juga punya andil besar terhadap gonjang-ganjing perekonomian nasional saat itu.

Apakah besarnya dana tunai yang akan ditebar pemerintah mengindikasikan tekanan inflasi tahun ini akan lebih hebat? Jawabannya ternyata tidak. Berdasarkan hitung-hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 1.500 per liter hanya akan memberikan tambahan inflasi sebesar 1-2%, sehingga inflasi tahun ini akan mencapai kisaran 7%. Dengan kata lain, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini tak akan sedahsyat beberapa tahun silam. Lalu, mengapa pemerintah menyiapkan dana yang amat besar sebagai kompensasi?

Kita sepakat bahwa kompensasi harus diberikan agar masyarakat miskin tidak semakin miskin dan masyarakat hampir miskin tidak jatuh miskin setelah harga BBM bersubsidi naik. Tapi, kompensasi BBM dengan membagi-bagikan dana tunai gratis sulit dicerna akal sehat. Memberikan dana tunai secara cuma-cuma bukan saja tidak mendidik, tapi juga bukan langkah solutif. Dengan memberikan dana tunai tanpa program pemberdayaan, pemerintah sesungguhnya telah memberikan “candu kemiskinan” kepada masyarakat miskin dan hampir miskin. Moral mereka tidak terpicu untuk bangkit secara ekonomi maupun sosial. Mereka justru diajari tentang nikmatnya menjadi “pengemis”.

Kita mendukung kompensasi dalam bentuk lain yang lebih produktif dan jauh lebih bermanfaat, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan penyediaan lapangan kerja. Program semacam itulah yang dibutuhkan masyarakat miskin dan hampir miskin agar mereka keluar dari lubuk kemiskinan. Program seperti itu pula yang dapat menurunkan angka kemiskinan secara struktural di negeri ini.

Kita tentu tak mau berandai-andai. Kita juga tak mau menaruh syak wasangka. Tapi kita harus jujur bahwa pembagian dana tunai kompensasi BBM sangat rentan diselewengkan demi kepentingan politik sesaat. Pandangan  publik bahwa kompensasi BBM lebih didasari kalkulasi-kalkulasi politik ketimbang ekonomi, sulit dibantah. Apalagi hasil penghematan dari kenaikan harga BBM bersubsidi relatif kecil, hanya sekitar Rp 30 triliun.

Jika ternyata kalkulasi politik menjadi pertimbangan utama kenaikan harga BBM bersubsidi, kita tentu layak menggugat. Apalagi tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi pun, APBN sebetulnya aman karena pemerintah bisa menggunakan sisa anggaran lebih (SAL) yang masih sekitar Rp 96,6 triliun untuk menambal APBN yang bolong akibat kenaikan harga minyak.

Kita sepakat bahwa dana Rp 25 triliun bukanlah jumlah yang kecil, dan 18,65 juta KK juga bukan jumlah yang sedikit. Siapa pun bakal tergoda untuk memanfaatkannya. Bukankah Pemilu 2014 telah di depan mata, sehingga semua peserta pemilu sudah harus berdiri di garis start, bahkan —bila perlu— mencuri start?

Sumber : Investor Daily

Tidak ada komentar:

Posting Komentar