Pemerintah secara resmi kembali menambah tugas Bulog sebagai
stabilisator harga kedelai. Tambahan fungsi Bulog ini ditetapkan dalam
aturan berbentuk Peraturan Presiden.
"Hari ini segera mengirimkan
Perpres tentang tambahan tugas Bulog untuk melakukan fungsi stabilisasi
(harga) kedelai," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta
Rajasa dikantornya, Jakarta
Hatta menjelaskan, untuk
menstabilisasi harga kedelai, Bulog akan mempergunakan patokan harga
yang dikeluarkan Menteri Perdagangan. Penetapan patokan harga kedelai
dinilai menjadi salah satu cara untuk melindungi kepentingan petani.
Lebih
lanjut Hatta menjelaskan dengan ditetapkannya Bulog sebagai
stabilisator harga kedelai, maka pendapatan para pengrajin tahu dan
tempe akan terlindungi. Hal ini karena Bulog akan diberikan peran untuk
mengelola impor kedelai.
"Patokan harga kedelai yang berdasarkan
harga pasar untuk melindungi kepentingan petani. Itu Mendag yang akan
mengeluarkan aturan tersebut," katanya.
Dengan tambahan fungsi
Bulog, Dia berharap para petani akan semakin termotivasi untuk
meningkatkan produksinya. Namun Hatta tidak mengungkapkan tambahan
target produksi pangan, khususnya kedelai pasca Nulog ditetapkan sebagai
stabilisator kedelai.
Hatta hanya mengungkapkan, pemerintah
menjamin mekanisme yang dipergunakan Bulog dalam melakukan impor kedelai
tidak mengganggu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
pasalnya, pengaturan impor dan pendanaannya dilakukan Kementerian
Perdagangan.
"Dengan adanya itu, kita melindungi petani, tapi sekaligus menjaga agar pengrajin tahu tempe tidak terpukul harga," pungkasnya.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/98732-bulog-ditetapkan-stabilisator-harga-kedelai.html
Selasa, 26 Februari 2013
Selasa, 19 Februari 2013
Kasih sayang Itu Bernama Ibu
Seringkali dunia dibuat takjub oleh
kesuksesan para tokoh- tokoh besar karena kecerdasan, kekuasaan,
ataupun pengaruh mereka. Selain itu mereka juga dipuja karena kontribusi
dan kisah inspiratif yang begitu melegenda. Sebut saja Imam syafi'i.
Siapa yang dapat meragukan kemampuan beliau dalam penguasaan ilmu.
Diusia sembilan tahun saja, prestasi spektakuler sudah ditorehkannya.
Pada usia belia tersebut, beliau sudah mampu menghafal seluruh isi
Alquran.
Kisah inspiratif lainnya juga terjadi pada Thomas Alfa Edison. Dia adalah seorang anak tuna rungu, yang bahkan dibilang bodoh oleh guru disekolahnya sendiri. Dia akhirnya keluar sekolah, yang hanya dinikmatinya selama tiga bulan. Tapi cerita sedih itu berubah saat dia telah tumbuh dewasa. Thomas berhasil memegang rekor 1093 penemuan yang dipatenkan atas namanya. Dan diakhir cerita, jadilah dia salah satu superstar, ilmuwan hebat dunia yang sangat mendunia.
Dari sedikit cerita diatas, mungkin muncul pertanyaan dalam diri kita, siapakah yang menjadi motivator manusia- manusia hebat tersebut? Siapakah tokoh heroik yang telah sukses mengantarkan mereka menuju kesuksesan? Jawabnya tidak lain adalah para ibu mereka.
Ibu mereka tidak hanya sekedar melahirkan dan menyusui. Tapi lebih dari itu, profesi mereka sebagai seorang ibu yang bahkan tidak dinilai dengan uangpun, mereka jalankan dengan baik. Pengayoman, pendidikan, perhatian, dengan setulus- tulusnya, mereka berikan demi masa depan si anak. Karena itu tak berlebihan jika kita menyebut bahwa Ibu adalah kata lain dari kasih sayang.
Mungkin para ibu tersebut tidak memiliki kepandaian dalam hal ilmu seperti anak- anak mereka yang melegenda. Namun para ibu itu adalah satu- satunya yang memiliki ketulusan dan keikhlasan untuk mereka, anak- anaknya.
Kisah inspiratif lainnya juga terjadi pada Thomas Alfa Edison. Dia adalah seorang anak tuna rungu, yang bahkan dibilang bodoh oleh guru disekolahnya sendiri. Dia akhirnya keluar sekolah, yang hanya dinikmatinya selama tiga bulan. Tapi cerita sedih itu berubah saat dia telah tumbuh dewasa. Thomas berhasil memegang rekor 1093 penemuan yang dipatenkan atas namanya. Dan diakhir cerita, jadilah dia salah satu superstar, ilmuwan hebat dunia yang sangat mendunia.
Dari sedikit cerita diatas, mungkin muncul pertanyaan dalam diri kita, siapakah yang menjadi motivator manusia- manusia hebat tersebut? Siapakah tokoh heroik yang telah sukses mengantarkan mereka menuju kesuksesan? Jawabnya tidak lain adalah para ibu mereka.
Ibu mereka tidak hanya sekedar melahirkan dan menyusui. Tapi lebih dari itu, profesi mereka sebagai seorang ibu yang bahkan tidak dinilai dengan uangpun, mereka jalankan dengan baik. Pengayoman, pendidikan, perhatian, dengan setulus- tulusnya, mereka berikan demi masa depan si anak. Karena itu tak berlebihan jika kita menyebut bahwa Ibu adalah kata lain dari kasih sayang.
Mungkin para ibu tersebut tidak memiliki kepandaian dalam hal ilmu seperti anak- anak mereka yang melegenda. Namun para ibu itu adalah satu- satunya yang memiliki ketulusan dan keikhlasan untuk mereka, anak- anaknya.
Masihkah kita ingat kisah tentang Nabi
musa? Ibunya yang dengan ikhlas menjalankan perintah Allah untuk
menghanyutkan nabi musa, walau nabi musa saat itu masih bayi. Suatu hal
yang memang jika dinilai dengan nalar atau batin seorang ibu, pastilah
tidak akan tergapai. Namun begitulah keikhlasan itu yang ada dalam hati
para ibu tersebut, yang menyelamatkan anaknya. Hal yang sama juga
terjadi pada ibu Imam syafii. Beliau yang rela melepas anaknya untuk
merantau untuk mendapatkan ilmu. Walau dengan linangan air mata, sang
ibu rela dengan harapan dan doa, bahwa anak- anak mereka kelak akan
menjadi seorang yang sukses.
Maka jika kita telah menjadi orang yang
sukses hari ini, ingatlah bahwa ibu kita lah yang mengantarkan kita
untuk bisa menjadi seperti sekarang ini. Doa, kasih sayang, dan
perhatian terbaik yang selalu dipanjatkannya adalah "hutang" terbesar
yang tidak akan mampu kita bayar, bahkan dengan nyawa kita sekalipun.
Lalu, sudahkah hari ini kita menyapa beliau, dan mendoakan yang terbaik
pula untuk beliau?
Dan untuk kita para wanita, rugilah bagi
yang memilih untuk hanya sekedar menjadi wanita yang melahirkan dan
menyusui, namun menolak menjadi seorang ibu yang sebenarnya. Rugilah
para wanita yang justru lebih bangga dengan pujian manusia
disekelilingnya karena kecemerlangan karirnya di luar rumah saja, dan
melalaikan kebutuhan anak- anak dan rumahnya. Karena nanti saat kita
telah tiada, dunia tidak akan berhenti dan akan tetap melanjutkan
aktivitasnya. Kitapun hanya sejenak dikenang dalam sebatas kenangan.
Namun jika kita memilih untuk menjadi seorang ibu yang disayangi anak-
anak kita, selamanya mereka akan menyayangi kita. Mereka akan tetap
menengadahkan tangan dan memohonkan doa bagi kita untuk dimuliakan oleh
Allah di akherat sana. Dan kita akan tetap bersemayam dalam hati mereka
sebagai sosok wanita yang mulia. InsyaAllah
Kapitalisasi Agribisnis
“Indonesia adalan Negara agraris” hanya tinggal kenangan. Beberapa tahun ke belakang ini kita telah disadarkan bahwa kondisi pertanian kita masih
rapuh, dan sangat labil dalam persaingan di tingkat global. Dimana
kekuatan global yang menganut kepada ‘mahzab’ mekanisme pasar dalam
Sistem Kapitalisme, menjadikan Indonesia salah satu negara ‘pengimpor
beras’ terbesar di dunia. Mulai tahun 1995 indonesia masuk pada
perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) WTO. Implikasinya adalah
menghilangkan sedikit demi sedikit subsidi pemerintah terhadap petani
dan pengurangan subsidi ekspor. Selain itu, perjanjian internasional
yang disepakati pemerintah adalah TRIPs. Perjanjian ini mewajibkan
setiap Negara untuk memberikan paten terhadap penemuan dibidang
bioteknologi termasuk lingkup pangan dan pertanian. Celakanya,
perusahaan multinasional telah menguasai 97 persen paten di dunia
artinya petani kita yang ada di desa harus membeli bibit dari
korporasi-korporasi besar.
Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi
jelas terlihat pada Forum Ekonomi Dunia di Jakarta, Juni 2011 lalu,
Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau. Dengan formula
20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas rumah kaca
20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14 korporasi
multinasional seperti Nestle, Monsanto, Cargill, Unilever, dan Danone.
Dengan dalih ekonomi hijau, pencaplokan korporasi nasional oleh MNCs
akan kian masif. Agenda ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari
usaha melempangkan jalan korporatokrasi pangan yang telah berjalan.
Bukankah sejumlah MNCs seperti Danone (Prancis), Unilever (Inggris),
Nestle (Swiss), Coca Cola (AS),HJ Heinz (AS), Campbels (AS), Numico
(Belanda), dan Philip Morris (AS) sudah sejak lama mencaplok produk
pangan local. Kecap dan saus ABC misalnya, 65% sahamnya dimiliki Heinz,
seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua dimiliki
Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca Cola. Alih-alih mendongkrak
produksi pangan, menekan emisi GRK dan kemiskinan, mengadopsi pendekatan
ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya
alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.
Demikian halnya dengan RUU Pangan. RUU
ini merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan memiliki banyak
kelemahan, bahkan menyimpan potensi bahaya dan merugikan masyarakat
banyak. Berbagai kelemahan dan bahaya itu seperti yang bisa dilihat
dalam paparan berikut. RUU ini jelas sekali mengusung spirit neo
liberal. RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan. Hal itu
tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada
swasta untuk mengimpor pangan. Bahkan impor pangan menjadi salah satu
sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan.
Kran impor terbuka lebar sejak Indonesia
ikut menyepakati perjanjian Asia Free Trade Area (AFTA) tanggal 28
Januari 1992 bersama lima Negara asean lainnya. Implikasinya impor bahan
pangan ke Indonesia semakin menjadi-jadi. Impor bahan-bahan pangan
seperti garam, gula, ikan dan kentang selalu meningkat dari tahun ke
tahun. UU Holtikultura semakin memperparah impor produk-produk
holtikultura ke Indonesia. Selain itu, impor beras dari Vietnam dan
impor sapi dari Australia juga kerap kali masih tetap dilakukan oleh
pemerintah. Ironisnya, Indonesia merupakan Negara sebenarnya bisa
memproduksi sendiri bahan pangan tersebut akan tetapi sekali lagi
pemerintah selalu berpihak ke korporasi-korporasi besar yang menjanjikan
keuntungan pribadi ketimbang mensejahterahkan rakyatnya.
Senin, 11 Februari 2013
Drajad Wibowo: Ada Mafia Impor di Indonesia!
Ekonom Drajad Wibowo mengungkap, penandatanganan Letter of Intent
(LoI) antara pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 merupakan
tonggak sejarah yang berperan besar merusak sistem produksi pangan di
Indonesia.
Melalui LoI, kata Drajad, peranan Bulog sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan, utamanya beras, dikebiri habis. Kredit likuiditas untuk pangan juga dilarang. Akibatnya, Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok dan operasi pasar yang dulu efektif menstabilkan harga pangan, kecuali pada saat krisis Asia.
"Bahwa monopoli oleh Bulog menjadi sumber korupsi itu memang benar dan harus diberantas. Tapi memberantas korupsi bisa dilakukan tanpa harus melumpuhkan sistem stabilisasi pangan yg terbukti cukup efektif," ujar Drajad yang juga Wakil Ketua Umum DPP PAN ini dalam rilisnya kepada Tribunnews, Sabtu (9/2/2013).
LoI, katanya, membuka keran impor besar-besaran dengan jalan menurunkan bea masuk impor produk pertanian pangan dan non-pangan menjadi 0 dan 5 persen.
"Kebijakan pro impor sebagai lahan subur bagi mafia impor pangan. Dampak LoI yg paling parah adalah dari sisi orientasi kebijakan. Pada masa Presiden Soeharto, para pembuat kebijakan berorientasi pada swasembada serta pengamanan produksi dan harga bagi petani. Pasca LoI, orientasi kebijakan menjadi sangat pro impor pangan," paparnya.
Ditegaskan, penentangan terhadap sikap pro impor ini sudah banyak disuarakan oleh para ekonom dan lembaga penelitian yang anti neoliberalisme. Himpunan Alumni IPB juga sangat konsisten menyuarakan keberpihakan terhadap buah lokal.
"Bersama Indef, saya sejak 1999 terus menerus menyuarakan hal yg sama. Saya tidak anti asing, tidak anti impor. Yang saya tentang adalah kebijakan pro-impor yang sudha berlebihan,hingga pemerintahan saat inipun tidak mengalami perubahan berarti," keluh Drajad.
"Penangkapan pimpinan parpol terkait impor daging sapi (mantan Presiden PKS Lutfi Hasan) seolah-olah membuka mata rakyat Indonesia, bahwa mafia impor yang kami teriakkan itu benar adanya," tegasnya lagi.
Bahwa tidak sedikit oknum, baik dari parpol maupun non-parpol, yang mengeruk rente uang haram besar-besaran dari impor pangan. Bahwa impor pangan itu, sambung Drajad,bukan murni soal supply dan demand, tapi lebih kepada bagaimana bisa mengeruk uang banyak dengan mudah dan cepat.
Orang sering menyalahkan politisi dan parpol. Memang benar ada oknum politisi yang korupsi dari impor pangan. Namun, dengan atau tanpa politisi pun, Drajad mengakui,pengerukan uang haram dari impor pangan tetap akan terjadi.
Beberapa modusnya antara lain, estimasi kebutuhan komoditi pangan dilebih-lebihkan. Yang penting terdapat gap besar antara supply dan demand sehingga kesannya impor menjadi keharusan.
Yang lain, papar Drajad, membuat lonjakan harga komoditas pangan pada bulan-bulan tertentu. Sehingga, impor pangan terjustifikasi.
"Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan sehingga importir mendapat keuntungan besar dari pembebasan PPN, bea masuk dan PPh. Keuntungan besar ini yang kemudian dibagi-bagi kepada siapa saja yang membantu menjaga impor, baik politisi, birokrat atau siapa saja," ungkapnya.
Modus lain, memainkan berbagai mekanisme pengaturan seperti kuota impor. Padahal faktanya, impor setiap komoditas pangan itu hanya dikuasai oleh segelintir pemain. Mekanisme kuota ini memudahkan membagi-bagi uang haram dari impor.
"Sebagai alumni IPB, saya sangat menyayangkan bahwa meskipun Presiden SBY adalah alumni pasca sarjana IPB, namun kebijakan pro-impor ini tidak dikoreksi total. Saya berharap dalam sisa masa pemerintahan ini, Presiden SBY dan tim ekonominya, yang notabene dikomandani Ketum partai saya, mau mengembalikan orientasi kebijakan pangan menjadi pro-swasembada dan produksi dalam negeri seperti pada jaman Presiden Soeharto," kata Drajad Wibowo.
Diposkan oleh
Bulog Watch
di
00.51
Melalui LoI, kata Drajad, peranan Bulog sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan, utamanya beras, dikebiri habis. Kredit likuiditas untuk pangan juga dilarang. Akibatnya, Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok dan operasi pasar yang dulu efektif menstabilkan harga pangan, kecuali pada saat krisis Asia.
"Bahwa monopoli oleh Bulog menjadi sumber korupsi itu memang benar dan harus diberantas. Tapi memberantas korupsi bisa dilakukan tanpa harus melumpuhkan sistem stabilisasi pangan yg terbukti cukup efektif," ujar Drajad yang juga Wakil Ketua Umum DPP PAN ini dalam rilisnya kepada Tribunnews, Sabtu (9/2/2013).
LoI, katanya, membuka keran impor besar-besaran dengan jalan menurunkan bea masuk impor produk pertanian pangan dan non-pangan menjadi 0 dan 5 persen.
"Kebijakan pro impor sebagai lahan subur bagi mafia impor pangan. Dampak LoI yg paling parah adalah dari sisi orientasi kebijakan. Pada masa Presiden Soeharto, para pembuat kebijakan berorientasi pada swasembada serta pengamanan produksi dan harga bagi petani. Pasca LoI, orientasi kebijakan menjadi sangat pro impor pangan," paparnya.
Ditegaskan, penentangan terhadap sikap pro impor ini sudah banyak disuarakan oleh para ekonom dan lembaga penelitian yang anti neoliberalisme. Himpunan Alumni IPB juga sangat konsisten menyuarakan keberpihakan terhadap buah lokal.
"Bersama Indef, saya sejak 1999 terus menerus menyuarakan hal yg sama. Saya tidak anti asing, tidak anti impor. Yang saya tentang adalah kebijakan pro-impor yang sudha berlebihan,hingga pemerintahan saat inipun tidak mengalami perubahan berarti," keluh Drajad.
"Penangkapan pimpinan parpol terkait impor daging sapi (mantan Presiden PKS Lutfi Hasan) seolah-olah membuka mata rakyat Indonesia, bahwa mafia impor yang kami teriakkan itu benar adanya," tegasnya lagi.
Bahwa tidak sedikit oknum, baik dari parpol maupun non-parpol, yang mengeruk rente uang haram besar-besaran dari impor pangan. Bahwa impor pangan itu, sambung Drajad,bukan murni soal supply dan demand, tapi lebih kepada bagaimana bisa mengeruk uang banyak dengan mudah dan cepat.
Orang sering menyalahkan politisi dan parpol. Memang benar ada oknum politisi yang korupsi dari impor pangan. Namun, dengan atau tanpa politisi pun, Drajad mengakui,pengerukan uang haram dari impor pangan tetap akan terjadi.
Beberapa modusnya antara lain, estimasi kebutuhan komoditi pangan dilebih-lebihkan. Yang penting terdapat gap besar antara supply dan demand sehingga kesannya impor menjadi keharusan.
Yang lain, papar Drajad, membuat lonjakan harga komoditas pangan pada bulan-bulan tertentu. Sehingga, impor pangan terjustifikasi.
"Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan sehingga importir mendapat keuntungan besar dari pembebasan PPN, bea masuk dan PPh. Keuntungan besar ini yang kemudian dibagi-bagi kepada siapa saja yang membantu menjaga impor, baik politisi, birokrat atau siapa saja," ungkapnya.
Modus lain, memainkan berbagai mekanisme pengaturan seperti kuota impor. Padahal faktanya, impor setiap komoditas pangan itu hanya dikuasai oleh segelintir pemain. Mekanisme kuota ini memudahkan membagi-bagi uang haram dari impor.
"Sebagai alumni IPB, saya sangat menyayangkan bahwa meskipun Presiden SBY adalah alumni pasca sarjana IPB, namun kebijakan pro-impor ini tidak dikoreksi total. Saya berharap dalam sisa masa pemerintahan ini, Presiden SBY dan tim ekonominya, yang notabene dikomandani Ketum partai saya, mau mengembalikan orientasi kebijakan pangan menjadi pro-swasembada dan produksi dalam negeri seperti pada jaman Presiden Soeharto," kata Drajad Wibowo.
Penulis: Rachmat Hidayat | Editor: Willy Widianto
Sabtu, 09 Februari 2013
Bulog Senjata Melawan Kartel
Percayalah, kartel sudah lama menjadi
“panglima” di negeri ini. Praktik kartel mungkin sudah seusia NKRI. Para
pelaku kartel, kartelis, menjalankan siasat patgulipat, kongkalikong,
dan hanky-panky untuk memainkan harga beras, kedelai, gula, minyak goreng, daging, dan komoditas pangan lainnya di dalam negeri.
Kartelis telah menjerumuskan rakyat Indonesia pada kegiatan ekonomi yang distortif dan struktur pasar yang timpang, monopolistik, serta oligopolistik. Merekalah yang kerap membuat harga bahan kebutuhan pokok langka dan harganya bergejolak tanpa sabab-musabab yang jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh, hukum penawaran dan permintaan (supply and demand) tak berfungsi.
Para kartelis tak punya nurani. Mereka tak peduli jeritan rakyat. Mereka tak ambil pusing pada besarnya dana yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai operasi pasar (OP) bahan kebutuhan pokok atau stabilisasi moneter.
Bagi para kartelis, yang penting untung. Maka, tak perlu heran jika ada yang menyebutkan keuntungan kartelis dari bisnis komoditas pangan strategis mencapai belasan triliun rupiah per tahun. Tak aneh pula jika kemudian muncul kasus suap-menyuap dari kegiatan bisnis tercela itu.
Gonjang-ganjing kasus dugaan suap yang melibatkan importir daging sapi, PT Indoguna Utama, adalah serpihan puzzle dari kegiatan kartel pangan yang sudah menggurita dan berurat-berakar di negeri ini.
Tentu saja kartel bisa diberantas. Lewat payung hukum, kartelis bisa dijerat UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lewat aktivitas bisnis, kartel bisa dibuat tak berkutik jika negara memiliki lembaga pangan yang andal, kuat, profesional, dan independen.
Kita menyambut baik wacana mengembalikan fungsi Perum Bulog sebagai stabilisator harga komoditas pangan strategis selain beras, di antaranya gula, kedelai, minyak goreng, dan daging sapi. Sebelum tugas dan kewenangannya dipreteli Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998, Bulog terbukti efektif menjadi penyangga harga komoditas pangan strategis.
Wacana mengembalikan fungsi Bulog mengemuka setelah DPR, akhir tahun silam, mengesahkan UU Pangan yang baru sebagai revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU ini mengamanatkan pembentukan lembaga khusus - biasa disebut badan otoritas pangan (BOP) - di bawah presiden langsung guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.
Rasa-rasanya, sangat beralasan jika pemerintah menjadikan Perum Bulog sebagai BOP. Selain lebih simpel, perubahan status Bulog menjadi BOP akan menghemat biaya, tenaga, dan waktu. Penunjukan Bulog juga tidak menciptakan rantai birokrasi baru, mengingat BOP dapat mengusulkan penugasan khusus kepada BUMN pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pangan.
Yakinlah, para kartelis pangan bisa dilumpuhkan jika Bulog menjadi BOP dan kembali diberi mandat mengelola banyak komoditas strategis seperti dulu. Apalagi jika Bulog memperkuat jaringan di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi.
Jika itu bisa diwujudkan, bangsa ini bukan saja terbebas dari belenggu kartel, tapi juga bakal menikmati harga pangan yang stabil dan terjangkau. Berkat mekanisme pasar yang sehat, adil, dan bebas distorsi, petani di dalam negeri bisa sejahtera.
Kita tak bisa memungkiri bahwa Bulog di masa lalu punya banyak noda. Namun, kita juga tak bisa menafikan fakta bahwa Bulog terus berbenah dan memperbaiki diri. Buktinya, kinerja Bulog terus meningkat.
Kita sepakat bahwa untuk bertarung dengan para kartelis di dalam maupun luar negeri, Bulog harus menjadi lembaga yang tangguh. Kita perlu mendorong Bulog menjadi lembaga yang profesional dan independen, dengan mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).
Terlepas dari itu, kartelis tetap harus diberantas. Walau bagaimana pun, kartel merupakan perbuatan melawan hukum. Pelakunya bisa dijerat sanksi administratif berupa pembatalan perjanjian, ganti rugi, atau denda Rp 1 miliar hingga Rp 25 miliar, serta pidana denda Rp 25 miliar sampai Rp 100 miliar.
Kartelis bahkan bisa dijatuhi pidana kurungan pengganti denda maksimal enam bulan serta pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar, untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris minimal dua tahun dan maksimal lima tahun.
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara terang-benderang menggariskan bahwa antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Di sinilah pentingnya kita terus mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menegakkan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara konsisten, tegas, tanpa pandang bulu. Sebab, boleh jadi, semua lini bisnis di negeri ini sudah dijamah praktik kartel.
Sumber : http://www.beritasatu.com
Kartelis telah menjerumuskan rakyat Indonesia pada kegiatan ekonomi yang distortif dan struktur pasar yang timpang, monopolistik, serta oligopolistik. Merekalah yang kerap membuat harga bahan kebutuhan pokok langka dan harganya bergejolak tanpa sabab-musabab yang jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh, hukum penawaran dan permintaan (supply and demand) tak berfungsi.
Para kartelis tak punya nurani. Mereka tak peduli jeritan rakyat. Mereka tak ambil pusing pada besarnya dana yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai operasi pasar (OP) bahan kebutuhan pokok atau stabilisasi moneter.
Bagi para kartelis, yang penting untung. Maka, tak perlu heran jika ada yang menyebutkan keuntungan kartelis dari bisnis komoditas pangan strategis mencapai belasan triliun rupiah per tahun. Tak aneh pula jika kemudian muncul kasus suap-menyuap dari kegiatan bisnis tercela itu.
Gonjang-ganjing kasus dugaan suap yang melibatkan importir daging sapi, PT Indoguna Utama, adalah serpihan puzzle dari kegiatan kartel pangan yang sudah menggurita dan berurat-berakar di negeri ini.
Tentu saja kartel bisa diberantas. Lewat payung hukum, kartelis bisa dijerat UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lewat aktivitas bisnis, kartel bisa dibuat tak berkutik jika negara memiliki lembaga pangan yang andal, kuat, profesional, dan independen.
Kita menyambut baik wacana mengembalikan fungsi Perum Bulog sebagai stabilisator harga komoditas pangan strategis selain beras, di antaranya gula, kedelai, minyak goreng, dan daging sapi. Sebelum tugas dan kewenangannya dipreteli Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998, Bulog terbukti efektif menjadi penyangga harga komoditas pangan strategis.
Wacana mengembalikan fungsi Bulog mengemuka setelah DPR, akhir tahun silam, mengesahkan UU Pangan yang baru sebagai revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU ini mengamanatkan pembentukan lembaga khusus - biasa disebut badan otoritas pangan (BOP) - di bawah presiden langsung guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.
Rasa-rasanya, sangat beralasan jika pemerintah menjadikan Perum Bulog sebagai BOP. Selain lebih simpel, perubahan status Bulog menjadi BOP akan menghemat biaya, tenaga, dan waktu. Penunjukan Bulog juga tidak menciptakan rantai birokrasi baru, mengingat BOP dapat mengusulkan penugasan khusus kepada BUMN pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pangan.
Yakinlah, para kartelis pangan bisa dilumpuhkan jika Bulog menjadi BOP dan kembali diberi mandat mengelola banyak komoditas strategis seperti dulu. Apalagi jika Bulog memperkuat jaringan di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi.
Jika itu bisa diwujudkan, bangsa ini bukan saja terbebas dari belenggu kartel, tapi juga bakal menikmati harga pangan yang stabil dan terjangkau. Berkat mekanisme pasar yang sehat, adil, dan bebas distorsi, petani di dalam negeri bisa sejahtera.
Kita tak bisa memungkiri bahwa Bulog di masa lalu punya banyak noda. Namun, kita juga tak bisa menafikan fakta bahwa Bulog terus berbenah dan memperbaiki diri. Buktinya, kinerja Bulog terus meningkat.
Kita sepakat bahwa untuk bertarung dengan para kartelis di dalam maupun luar negeri, Bulog harus menjadi lembaga yang tangguh. Kita perlu mendorong Bulog menjadi lembaga yang profesional dan independen, dengan mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).
Terlepas dari itu, kartelis tetap harus diberantas. Walau bagaimana pun, kartel merupakan perbuatan melawan hukum. Pelakunya bisa dijerat sanksi administratif berupa pembatalan perjanjian, ganti rugi, atau denda Rp 1 miliar hingga Rp 25 miliar, serta pidana denda Rp 25 miliar sampai Rp 100 miliar.
Kartelis bahkan bisa dijatuhi pidana kurungan pengganti denda maksimal enam bulan serta pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar, untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris minimal dua tahun dan maksimal lima tahun.
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara terang-benderang menggariskan bahwa antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Di sinilah pentingnya kita terus mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menegakkan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara konsisten, tegas, tanpa pandang bulu. Sebab, boleh jadi, semua lini bisnis di negeri ini sudah dijamah praktik kartel.
Sumber : http://www.beritasatu.com
Selasa, 05 Februari 2013
Audisi Pembijakan Importasi
ANEKA pelajaran krisis 2012
disajikan jelas oleh garam, beras, gula, jagung, kedelai dan sapi.
Produktivitas yang hakikatnya menjanjikan dan terpetakan dalam
<I>road map<P> swasembda 2014 rumusan Kabinet Indonesia
Bersatu jilid-II (KIB-II), telah diciderai sendiri oleh KIB-II. Buktinya
adalah banyaknya kebijakan kontradiktif yang berakibat bunuh diri.
Swasembada dikebiri. Dan celakanya, dengan pola pikir nyaris sama, mulai
dari garam sampai sapi.
Faktanya? Madura kebanjiran garam impor, surplus beras tetapi impor, penghapusan cukai kedele impor, tebu rakyat kebanjiran gula mentah impor, jagung berbasis benih impor, dan membengkaknya lagi kuota sapi impor. Sangat jelas bahwa kemudahan importasi diputuskan KIB-II bukan sekadar berbasis penawaran-permintaan, tetapi berbasis pesanan komprador. Legitimasinya adalah data pasar yang mudah disulap.
Bunuh diri ini pantas disebut demoralisasi karena proses degaramisasi sampai desapinisasi telah terjadi akibat: (i) inkonsistensi kebijakan KIB-II, yaitu target pembangunan yang diciderai sendiri; (ii) pengingkaran pembangunan yang nyaris terjadi sama-sisi: keputusan KIB-II didikte segelintir nekolim dan komprador, sedikit orang pemilik modal dan antek penguasa rente importasi. Maraknya kisruh pangan pokok, diramaikan pula oleh krisis abadi importasi sejumlah produk horti hari-hari ini.
Bangsa agraris Indonesia sepertinya tidak pernah lepas dari krisis pangan. Blunder kebijakan, atau lebih tepat disebut pembijakan importasi, terjadi silih berganti bagai sebuah audisi menyanyi. Audisi Pembijakan Importasi sungguh sangat <I>nggegirisi<P> ketika ternyata dikapling-kapling sebagai sumber dana politisi dan birokrasi.
Importasi memang urusan tataniaga biasa akibat disparitas harga. Tetapi, dalam proses bernegara, importasi berpotensi <I>moral hazard<P>, kebejatan moral pembijakan terkait dengan konsesi dan lisensi guna berbagi rejeki. Rente ekonomi yang luar biasa tinggi, mengakibatkan makin strategisnya konsesi dan lisensi. Tidak berlebihan kalau urusan keduanya disiasati para importir dan komprador dengan kekuatan uang, politik dan kekuasaan untuk menjinakkan pengatur importasi.
Krisis telah terjadi melalui penjinakan dengan dukungan rekayasa pasar, mobilisasi pelaku ekonomi, menggerakkan pekerja dan pelaku usaha tingkat basis, gratifikasi birokrasi dan politisi, bahkan sampai rekayasa legislasi. Itulah modus pembenaran importasi. Kalau hari ini terungkap gratifikasi importasi daging sapi, sebenarnya barulah sebuah fakta mini. Besar kemungkinannya terjadi pula dalam importasi beras, garam, benih jagung, kedele, gula mentah, sapi dan horti.
Demoralisasi telah terjadi dalam beberapa tingkatan, antara lain: (i) kemunafikan: ketika program pembangunan justru dipasungnya sendiri; (ii) ketidakadilan: karena basis penggembosan pembangunan adalah syahwat rejeki importasi yang mematikan rakyat tani; dan (iii) krisis kesejahteraan: berupa dikebirinya kesejahteraan rakyat tani, padahal kesejahteraan inilah tugas utama pemerintah.
Tidak kalah pentingnya adalah krisis pola pikir yang jangka pendek dan sangat parsial. Persoalan tata-niaga pangan adalah urusan jangka panjang, berkenaan dengan kepentingan bangsa dan kedaulatan, serta berimplikasi multidimensi. Seharusnya importasi dipertimbangkan komprehensif, bukannya parsial dan reaktif, insidental dan berbasis finansial semata.
Sudah selayaknya pemikiran sistemik inilah landasan keputusan importasi. Ketika faktanya ada beda harga, maka tugas negara bukanlah sekedar memutuskan impor. KIB-II harus menjawab: <I>”mengapa harga berbeda?”<P>. Bukan justru ikut berburu syahwat pribadi dan kelompok politiknya. Disparitas harga sangat terpengaruh oleh: potensi produksi, besarnya subsidi dan proteksi, kebijakan tataniaga, kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan legal dan sebagainya.
Untuk tidak menjadi semakin politisnya gratifikasi daging sapi, auditing pembijakan importasi untuk semua komoditi harus lebih menyeluruh dilakukan KPK. Indikasi teoritis dan implementatifnya sudah super jelas. Hanya fakta legalnya yang sembunyi. Sungguh pantang bagi Bangsa Terhormat membiarkan urusan pangannya terkontaminisasi rente, syahwat, dan aneka gratifikasi.
(Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PBNU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1736/audisi-pembijakan-importasi.kr
Faktanya? Madura kebanjiran garam impor, surplus beras tetapi impor, penghapusan cukai kedele impor, tebu rakyat kebanjiran gula mentah impor, jagung berbasis benih impor, dan membengkaknya lagi kuota sapi impor. Sangat jelas bahwa kemudahan importasi diputuskan KIB-II bukan sekadar berbasis penawaran-permintaan, tetapi berbasis pesanan komprador. Legitimasinya adalah data pasar yang mudah disulap.
Bunuh diri ini pantas disebut demoralisasi karena proses degaramisasi sampai desapinisasi telah terjadi akibat: (i) inkonsistensi kebijakan KIB-II, yaitu target pembangunan yang diciderai sendiri; (ii) pengingkaran pembangunan yang nyaris terjadi sama-sisi: keputusan KIB-II didikte segelintir nekolim dan komprador, sedikit orang pemilik modal dan antek penguasa rente importasi. Maraknya kisruh pangan pokok, diramaikan pula oleh krisis abadi importasi sejumlah produk horti hari-hari ini.
Bangsa agraris Indonesia sepertinya tidak pernah lepas dari krisis pangan. Blunder kebijakan, atau lebih tepat disebut pembijakan importasi, terjadi silih berganti bagai sebuah audisi menyanyi. Audisi Pembijakan Importasi sungguh sangat <I>nggegirisi<P> ketika ternyata dikapling-kapling sebagai sumber dana politisi dan birokrasi.
Importasi memang urusan tataniaga biasa akibat disparitas harga. Tetapi, dalam proses bernegara, importasi berpotensi <I>moral hazard<P>, kebejatan moral pembijakan terkait dengan konsesi dan lisensi guna berbagi rejeki. Rente ekonomi yang luar biasa tinggi, mengakibatkan makin strategisnya konsesi dan lisensi. Tidak berlebihan kalau urusan keduanya disiasati para importir dan komprador dengan kekuatan uang, politik dan kekuasaan untuk menjinakkan pengatur importasi.
Krisis telah terjadi melalui penjinakan dengan dukungan rekayasa pasar, mobilisasi pelaku ekonomi, menggerakkan pekerja dan pelaku usaha tingkat basis, gratifikasi birokrasi dan politisi, bahkan sampai rekayasa legislasi. Itulah modus pembenaran importasi. Kalau hari ini terungkap gratifikasi importasi daging sapi, sebenarnya barulah sebuah fakta mini. Besar kemungkinannya terjadi pula dalam importasi beras, garam, benih jagung, kedele, gula mentah, sapi dan horti.
Demoralisasi telah terjadi dalam beberapa tingkatan, antara lain: (i) kemunafikan: ketika program pembangunan justru dipasungnya sendiri; (ii) ketidakadilan: karena basis penggembosan pembangunan adalah syahwat rejeki importasi yang mematikan rakyat tani; dan (iii) krisis kesejahteraan: berupa dikebirinya kesejahteraan rakyat tani, padahal kesejahteraan inilah tugas utama pemerintah.
Tidak kalah pentingnya adalah krisis pola pikir yang jangka pendek dan sangat parsial. Persoalan tata-niaga pangan adalah urusan jangka panjang, berkenaan dengan kepentingan bangsa dan kedaulatan, serta berimplikasi multidimensi. Seharusnya importasi dipertimbangkan komprehensif, bukannya parsial dan reaktif, insidental dan berbasis finansial semata.
Sudah selayaknya pemikiran sistemik inilah landasan keputusan importasi. Ketika faktanya ada beda harga, maka tugas negara bukanlah sekedar memutuskan impor. KIB-II harus menjawab: <I>”mengapa harga berbeda?”<P>. Bukan justru ikut berburu syahwat pribadi dan kelompok politiknya. Disparitas harga sangat terpengaruh oleh: potensi produksi, besarnya subsidi dan proteksi, kebijakan tataniaga, kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan legal dan sebagainya.
Untuk tidak menjadi semakin politisnya gratifikasi daging sapi, auditing pembijakan importasi untuk semua komoditi harus lebih menyeluruh dilakukan KPK. Indikasi teoritis dan implementatifnya sudah super jelas. Hanya fakta legalnya yang sembunyi. Sungguh pantang bagi Bangsa Terhormat membiarkan urusan pangannya terkontaminisasi rente, syahwat, dan aneka gratifikasi.
(Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PBNU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1736/audisi-pembijakan-importasi.kr
Langganan:
Postingan (Atom)