ANEKA pelajaran krisis 2012
disajikan jelas oleh garam, beras, gula, jagung, kedelai dan sapi.
Produktivitas yang hakikatnya menjanjikan dan terpetakan dalam
<I>road map<P> swasembda 2014 rumusan Kabinet Indonesia
Bersatu jilid-II (KIB-II), telah diciderai sendiri oleh KIB-II. Buktinya
adalah banyaknya kebijakan kontradiktif yang berakibat bunuh diri.
Swasembada dikebiri. Dan celakanya, dengan pola pikir nyaris sama, mulai
dari garam sampai sapi.
Faktanya? Madura kebanjiran garam impor,
surplus beras tetapi impor, penghapusan cukai kedele impor, tebu rakyat
kebanjiran gula mentah impor, jagung berbasis benih impor, dan
membengkaknya lagi kuota sapi impor. Sangat jelas bahwa kemudahan
importasi diputuskan KIB-II bukan sekadar berbasis penawaran-permintaan,
tetapi berbasis pesanan komprador. Legitimasinya adalah data pasar yang
mudah disulap.
Bunuh diri ini pantas disebut demoralisasi karena
proses degaramisasi sampai desapinisasi telah terjadi akibat: (i)
inkonsistensi kebijakan KIB-II, yaitu target pembangunan yang diciderai
sendiri; (ii) pengingkaran pembangunan yang nyaris terjadi sama-sisi:
keputusan KIB-II didikte segelintir nekolim dan komprador, sedikit orang
pemilik modal dan antek penguasa rente importasi. Maraknya kisruh
pangan pokok, diramaikan pula oleh krisis abadi importasi sejumlah
produk horti hari-hari ini.
Bangsa agraris Indonesia sepertinya
tidak pernah lepas dari krisis pangan. Blunder kebijakan, atau lebih
tepat disebut pembijakan importasi, terjadi silih berganti bagai sebuah
audisi menyanyi. Audisi Pembijakan Importasi sungguh sangat
<I>nggegirisi<P> ketika ternyata dikapling-kapling sebagai
sumber dana politisi dan birokrasi.
Importasi memang urusan
tataniaga biasa akibat disparitas harga. Tetapi, dalam proses bernegara,
importasi berpotensi <I>moral hazard<P>, kebejatan moral
pembijakan terkait dengan konsesi dan lisensi guna berbagi rejeki. Rente
ekonomi yang luar biasa tinggi, mengakibatkan makin strategisnya
konsesi dan lisensi. Tidak berlebihan kalau urusan keduanya disiasati
para importir dan komprador dengan kekuatan uang, politik dan kekuasaan
untuk menjinakkan pengatur importasi.
Krisis telah terjadi melalui
penjinakan dengan dukungan rekayasa pasar, mobilisasi pelaku ekonomi,
menggerakkan pekerja dan pelaku usaha tingkat basis, gratifikasi
birokrasi dan politisi, bahkan sampai rekayasa legislasi. Itulah modus
pembenaran importasi. Kalau hari ini terungkap gratifikasi importasi
daging sapi, sebenarnya barulah sebuah fakta mini. Besar kemungkinannya
terjadi pula dalam importasi beras, garam, benih jagung, kedele, gula
mentah, sapi dan horti.
Demoralisasi telah terjadi dalam beberapa
tingkatan, antara lain: (i) kemunafikan: ketika program pembangunan
justru dipasungnya sendiri; (ii) ketidakadilan: karena basis
penggembosan pembangunan adalah syahwat rejeki importasi yang mematikan
rakyat tani; dan (iii) krisis kesejahteraan: berupa dikebirinya
kesejahteraan rakyat tani, padahal kesejahteraan inilah tugas utama
pemerintah.
Tidak kalah pentingnya adalah krisis pola pikir yang
jangka pendek dan sangat parsial. Persoalan tata-niaga pangan adalah
urusan jangka panjang, berkenaan dengan kepentingan bangsa dan
kedaulatan, serta berimplikasi multidimensi. Seharusnya importasi
dipertimbangkan komprehensif, bukannya parsial dan reaktif, insidental
dan berbasis finansial semata.
Sudah selayaknya pemikiran sistemik
inilah landasan keputusan importasi. Ketika faktanya ada beda harga,
maka tugas negara bukanlah sekedar memutuskan impor. KIB-II harus
menjawab: <I>”mengapa harga berbeda?”<P>. Bukan justru ikut
berburu syahwat pribadi dan kelompok politiknya. Disparitas harga sangat
terpengaruh oleh: potensi produksi, besarnya subsidi dan proteksi,
kebijakan tataniaga, kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan legal dan
sebagainya.
Untuk tidak menjadi semakin politisnya gratifikasi
daging sapi, auditing pembijakan importasi untuk semua komoditi harus
lebih menyeluruh dilakukan KPK. Indikasi teoritis dan implementatifnya
sudah super jelas. Hanya fakta legalnya yang sembunyi. Sungguh pantang
bagi Bangsa Terhormat membiarkan urusan pangannya terkontaminisasi
rente, syahwat, dan aneka gratifikasi.
(Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PBNU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1736/audisi-pembijakan-importasi.kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar