“Indonesia adalan Negara agraris” hanya tinggal kenangan. Beberapa tahun ke belakang ini kita telah disadarkan bahwa kondisi pertanian kita masih
rapuh, dan sangat labil dalam persaingan di tingkat global. Dimana
kekuatan global yang menganut kepada ‘mahzab’ mekanisme pasar dalam
Sistem Kapitalisme, menjadikan Indonesia salah satu negara ‘pengimpor
beras’ terbesar di dunia. Mulai tahun 1995 indonesia masuk pada
perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) WTO. Implikasinya adalah
menghilangkan sedikit demi sedikit subsidi pemerintah terhadap petani
dan pengurangan subsidi ekspor. Selain itu, perjanjian internasional
yang disepakati pemerintah adalah TRIPs. Perjanjian ini mewajibkan
setiap Negara untuk memberikan paten terhadap penemuan dibidang
bioteknologi termasuk lingkup pangan dan pertanian. Celakanya,
perusahaan multinasional telah menguasai 97 persen paten di dunia
artinya petani kita yang ada di desa harus membeli bibit dari
korporasi-korporasi besar.
Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi
jelas terlihat pada Forum Ekonomi Dunia di Jakarta, Juni 2011 lalu,
Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau. Dengan formula
20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas rumah kaca
20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14 korporasi
multinasional seperti Nestle, Monsanto, Cargill, Unilever, dan Danone.
Dengan dalih ekonomi hijau, pencaplokan korporasi nasional oleh MNCs
akan kian masif. Agenda ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari
usaha melempangkan jalan korporatokrasi pangan yang telah berjalan.
Bukankah sejumlah MNCs seperti Danone (Prancis), Unilever (Inggris),
Nestle (Swiss), Coca Cola (AS),HJ Heinz (AS), Campbels (AS), Numico
(Belanda), dan Philip Morris (AS) sudah sejak lama mencaplok produk
pangan local. Kecap dan saus ABC misalnya, 65% sahamnya dimiliki Heinz,
seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua dimiliki
Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca Cola. Alih-alih mendongkrak
produksi pangan, menekan emisi GRK dan kemiskinan, mengadopsi pendekatan
ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya
alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.
Demikian halnya dengan RUU Pangan. RUU
ini merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan memiliki banyak
kelemahan, bahkan menyimpan potensi bahaya dan merugikan masyarakat
banyak. Berbagai kelemahan dan bahaya itu seperti yang bisa dilihat
dalam paparan berikut. RUU ini jelas sekali mengusung spirit neo
liberal. RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan. Hal itu
tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada
swasta untuk mengimpor pangan. Bahkan impor pangan menjadi salah satu
sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan.
Kran impor terbuka lebar sejak Indonesia
ikut menyepakati perjanjian Asia Free Trade Area (AFTA) tanggal 28
Januari 1992 bersama lima Negara asean lainnya. Implikasinya impor bahan
pangan ke Indonesia semakin menjadi-jadi. Impor bahan-bahan pangan
seperti garam, gula, ikan dan kentang selalu meningkat dari tahun ke
tahun. UU Holtikultura semakin memperparah impor produk-produk
holtikultura ke Indonesia. Selain itu, impor beras dari Vietnam dan
impor sapi dari Australia juga kerap kali masih tetap dilakukan oleh
pemerintah. Ironisnya, Indonesia merupakan Negara sebenarnya bisa
memproduksi sendiri bahan pangan tersebut akan tetapi sekali lagi
pemerintah selalu berpihak ke korporasi-korporasi besar yang menjanjikan
keuntungan pribadi ketimbang mensejahterahkan rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar