Percakapan
antara Djadjang dan Mamad
Oleh
Kwik Kian Gie
Pemerintah
berencana tidak membolehkan kendaraan berpelat hitam membeli bensin premium,
karena harga Rp. 4.500 per liter jauh di bawah harga pokok pengadaannya. Maka
pemerintah rugi besar yang memberatkan APBN.
Apakah
benar begitu ? Kita ikuti percakapan antara Djadjang dan Mamad. Djadjang (Dj)
seorang anak jalanan yang logikanya kuat dan banyak baca. Mamad (M) seorang
Doktor yang pandai menghafal.
Dj
: Mad, apa benar sih pemerintah mengeluarkan uang tunai yang lebih besar dari
harga jualnya untuk setiap liter bensin premium ?
M
: Benar, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak
mentah di pasar internasional, semakin besar uang tunai yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah untuk mengadakan
bensin.
Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip SBY yang berbunyi : “Jika harga minyak USD
150 per barrel,subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320
trilyun. Kalau USD 160, gila lagi. Kita akan
keluarkan
(subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM.”
Dj
: Jadi apa benar bahwa untuk mengadakan 1 liter bensin premium pemerintah
mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4.500 ? Kamu kan doktor Mad, tolong jelaskan
perhitungannya bagaimana ?
M
: Gampang sekali, dengarkan baik-baik. Untuk mempermudah perhitungan buat kamu
yang bukan orang sekolahan, kita anggap saja 1 USD = Rp. 10.000 dan harga
minyak mentah USD 80 per barrel. Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi
(lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya transportasirata-rata ke semua
pompa bensin = USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter. Jadi agar minyak mentah
dari perut bumi bisa dijual sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan
uang sebesar (USD 10 : 159) x Rp. 10.000 =
Rp.
628,93 – kita bulatkan menjadi Rp. 630 per liter. Harga minyak mentah USD 80
per barrel. Kalau dijadikan satu liter dalam rupiah, hitungannya adalah : (80 x
10.000) : 159 = Rp. 5.031,45. Kita bulatkan menjadi Rp. 5.000. Maka jumlah
seluruhnya kan Rp. 5.000 ditambah Rp. 630 = Rp. 5.630 ? Dijual Rp. 4.500.
Jadi
rugi sebesar Rp. 1.130 per liter (Rp. 5.630 – Rp. 4.500). Kerugian ini yang
harus ditutup oleh pemerintah dengan uang tunai, dan dinamakan subsidi.
Dj
: Hitung-hitunganmu aku ngerti, karena pernah diajari ketika di SD dan
diulang-ulang terus di SMP dan SMA. Tapi yang aku tak paham mengapa kau
menghargai minyak mentah yang milik kita sendiri dengan harga minyak yang
ditentukan oleh orang lain ?
M
: Lalu, harus dihargai dengan harga berapa ?
Dj
: Sekarang ini, minyak mentahnya kan sudah dihargai dengan harga jual dikurangi
dengan harga pokok tunai ? Hitungannya Rp. 4.500 – Rp. 630 = Rp. 3.870 per
liter ? Kenapa pemerintah dan kamu tidak terima ?
Kenapa
harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga yang Rp. 5.000 ?
M
: Kan tadi sudah dijelaskan bahwa harga minyak mentah di pasar dunia USD 80 per
barrel. Kalau dijadikan rupiah dengan kurs 1 USD = Rp. 10.000 jatuhnya kan Rp.
5.000 (setelah dibulatkan ke bawah).
Dj
: Kenapa kok harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga di pasar dunia
?
M
: Karena undang-undangnya mengatakan demikian. Baca UU no. 22 tahun 2001 pasal
28 ayat 2. Bunyinya :
“Harga
Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang
sehat dan wajar.” Nah, persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran
yang dicatat dan dipadukan dengan rapi di mana lagi kalau tidak di New York
Mercantile Exchange atau disingkat NYMEX ? Jadi harga yang ditentukan di
sanalah yang harus dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga
pokok.
Dj
: Paham Mad. Tapi itu akal-akalannya korporat asing yang ikut membuat
Undang-Undang no. 22 tahun 2001 tersebut. Mengapa bangsa Idonesia yang
mempunyai minyak di bawah perut buminya diharuskan membayar harga yang
ditentukan oleh NYMEX ? Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi menyatakannya
bertentangan dengan konstitusi kita. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang
berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas
Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang
sehat
dan wajar dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”
M
: Kan sudah disikapi dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) ?
Dj
: Memang, tapi PP-nya yang nomor 36 tahun 2004, pasal 27 ayat (1) masih
berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi untuk rumah
tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG
WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”. Maka sampai sekarang istilah “subsidi” masih
dipakai terus, karena yang diacu adalah harga yang ditentukan oleh NYMEX.
M
: Jadi kalau begitu kebijakan yang dinamakan “menghapus subsidi” itu
bertentangan dengan UUD kita ?
Dj
: Betul. Apalagi masih saja dikatakan bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang
dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi menyesatkan. Uang
tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah tidak ada, karena milik bangsa
Indonesia yang terdapat di bawah perut bumi wilayah Republik Indonesia.
Menurut
saya jiwa UU no. 22/2001 memaksa bangsa Indonesia terbiasa membayar bensin
dengan harga internasional. Kalau sudah begitu, perusahaan asing bisa buka
pompa bensin dan dapat untung dari
konsumen
bensin Indonesia. Maka kita sudah mulai melihat Shell, Petronas, Chevron.
M
: Kembali pada harga, kalau tidak ditentukan oleh NYMEX apakah mesti gratis, sehingga
yang harus diganti oleh konsumen hanya biaya-biaya tunainya saja yang Rp. 630
per liternya ?
Dj
: Tidak. Tidak pernah pemerintah memberlakukan itu dan penyusun pasal 33 UUD
kita juga tidak pernah berpikir begitu. Sebelum terbitnya UU nomor 22 tahun
2001 tentang Migas, pemerintah menentukan harga atas dasar kepatutan, daya beli
masyarakat dan nilai strategisnya. Sikap dan kebijakan seperti ini yang dianggap
sebagai perwujudan dari pasal 33 UUD 1945 yang antara lain berbunyi : ”Barang
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Dengan
harga Rp. 2.700 untuk premium,harga minyak mentahnya kan tidak dihargai nol,
tetapi Rp. 2.070 per liter (Rp. 2.700 – Rp. 630). Tapi pemerintah tidak terima.
Harus
disamakan dengan harga NYMEX yang ketika itu USD 60, atau sama dengan Rp.
600.000 per barrel-nya atau Rp. 3.774 (Rp. 600.000 : 159) per liternya. Maka
ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 menjadi Rp. 4.404 yang lantas
dibulatkan menjadi Rp. 4.500. Karena sekarang harga sudah naik lagi menjadi USD
80 per barrel pemerintah tidak terima lagi,karena maunya yang menentukan harga
adalah NYMEX, bukan bangsa sendiri. Dalam benaknya, pemerintah
maunya
dinaikkan sampai ekivalen dengan harga minyak mentah USD 80 per barrel,
sehingga harga bensin premium menjadi sekitar Rp. 5.660, yaitu: Harga minyak
mentah : USD 80 x 10.000 = Rp. 800.000 per barrel.
Per
liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah dengan biaya-biaya tunai
sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660 Karena tidak berani, konsumen dipaksa membeli
Pertamax yang komponen harga minyak mentahnya sudah sama dengan NYMEX.
M
: Kalau begitu pemerintah kan kelebihan uang tunai banyak sekali, dikurangi
dengan yang harus dipakai untuk mengimpor, karena konsumsi sudah lebih besar
dibandingkan dengan produksi.
Dj
: Memang, tapi rasanya toh masih kelebihan uang tunai yang tidak jelas ke mana
perginya. Kaulah Mad yang harus meneliti supaya diangkat menjadi Profesor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar