Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) terancam jadi macan ompong.Hingga kini, belum satu pun importir nakal
yang diseret ke pengadilan.
Anggota Komisi VI DPR Lili Asdjudiredja mengatakan, sejak tata niaga sembilan bahan pokok (sembako) tak lagi dikelola Bulog, kartel merajalela. Komoditas seperti gula atau kedelai dikuasai pengusaha nakal yang dia sebut preman. Karena itu, Lili mendesak KPPU fokus mengawasi kondisi persaingan usaha di sektor sembako.
“Saya kira KPPU lebih baik fokus pada sembako, karena bagaimanapun preman-preman ini mengincar sembako yang dulu tidak pernah ada. Karena dulu (diatur) oleh Bulog, tapi kan sekarang dilepaskan,” ujarnya.
Anggota Komisi VI DPR Iskandar Syaichu mengatakan hal yang sama.
Menurutnya, energi KPPU akan habis jika memaksakan diri menyelidiki banyak bidang usaha.
Sementara Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai negara sudah tidak mampu mengendalikan harga pangan. Kenaikan harga pangan yang biasanya terjadi pada hari besar tertentu seperti Idul Fitri, saat ini sudah terjadi sejak awal tahun.
Ketua SPI Henri Saragih mengatakan, negara sudah tidak lagi mengurusi pangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan praktik kartelisasi pada komoditas pangan Indonesia.
Dalam dua bulan tahun ini saja, preman bawang Cs ini diperkirakan telah meraup untung melebihi Rp 3,2 triliun. “Kebutuhan bawang merah kita sebulan itu 80 ribu ton, kalau dua bulan berarti 160 ribu ton. Mereka beli dari petani Rp 10 ribu dan dia ambil untung Rp 20 ribu per kg, hampir Rp 3,2 triliun dia untung 2 bulan. Itu baru bawang merah,” jelas Henri. Atau sekitar Rp 1,6 triliun per bulan.
Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah kembali mengambil peranan dalam pangan seperti mengembalikan peranan Bulog untuk membeli semua pangan dari petani di kala panen.
Henri mengakui, harga pangan luar negeri seperti di Bangladesh atau China memang lebih murah. Murahnya pangan itu karena pemerintahnya memberikan subsidi besar kepada petani. Jika Indonesia terus berpikir impor lebih murah dari hasil produksi lokal, maka petani akan mati dan niscaya Indonesia tetap di bawah kontrol negara lain.
“Di China atau Bangladesh lahan dan tanah dikuasai petani. Di kita mayoritas petani tidak punya lahan. Itu (murahnya komoditas impor) juga karena mereka mensubsidi besar untuk petaninya dan memberikan kemudahan pajak ekspor.
Seperti itu disuruh bersaing dengan kita yang tanpa subsidi,” cetusnya.
Menanggapi hal ini, Ketua KPPU Nawir Messi mengaku lebih fokus pada komoditas pangan utama. Khususnya yang sedang ramai dibicarakan seperti daging sapi impor dan bawang putih.
Dia mengatakan, penyidikan indikasi kartel itu akan segera masuk ke level pemanggilan tersangka. “Yang pertama akan masuk penyidikan adalah daging sapi, lalu bawang putih. Dalam konteks bawang putih, kami akan melakukan pemanggilan importir terkait. Kami terus melakukan penyidikan lapangan, saksi ahli lapangan dan lain-lain,” ungkapnya.
KPPU juga mengaku mulai memantau pasar sebagai wujud perhatian atas pergerakan harga sembako. Pengawasan untuk sementara dilakukan di enam kota, termasuk Jakarta.
“Kita lakukan survei mingguan di enam wilayah, ada 10 komoditas, kita pantau mingguan, itu jadi basis pemantauan pasokan reguler termasuk di pasar Induk Kramat Jati,” jelas Messi.
Anggota Komisi VI DPR Lili Asdjudiredja mengatakan, sejak tata niaga sembilan bahan pokok (sembako) tak lagi dikelola Bulog, kartel merajalela. Komoditas seperti gula atau kedelai dikuasai pengusaha nakal yang dia sebut preman. Karena itu, Lili mendesak KPPU fokus mengawasi kondisi persaingan usaha di sektor sembako.
“Saya kira KPPU lebih baik fokus pada sembako, karena bagaimanapun preman-preman ini mengincar sembako yang dulu tidak pernah ada. Karena dulu (diatur) oleh Bulog, tapi kan sekarang dilepaskan,” ujarnya.
Anggota Komisi VI DPR Iskandar Syaichu mengatakan hal yang sama.
Menurutnya, energi KPPU akan habis jika memaksakan diri menyelidiki banyak bidang usaha.
Sementara Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai negara sudah tidak mampu mengendalikan harga pangan. Kenaikan harga pangan yang biasanya terjadi pada hari besar tertentu seperti Idul Fitri, saat ini sudah terjadi sejak awal tahun.
Ketua SPI Henri Saragih mengatakan, negara sudah tidak lagi mengurusi pangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan praktik kartelisasi pada komoditas pangan Indonesia.
Dalam dua bulan tahun ini saja, preman bawang Cs ini diperkirakan telah meraup untung melebihi Rp 3,2 triliun. “Kebutuhan bawang merah kita sebulan itu 80 ribu ton, kalau dua bulan berarti 160 ribu ton. Mereka beli dari petani Rp 10 ribu dan dia ambil untung Rp 20 ribu per kg, hampir Rp 3,2 triliun dia untung 2 bulan. Itu baru bawang merah,” jelas Henri. Atau sekitar Rp 1,6 triliun per bulan.
Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah kembali mengambil peranan dalam pangan seperti mengembalikan peranan Bulog untuk membeli semua pangan dari petani di kala panen.
Henri mengakui, harga pangan luar negeri seperti di Bangladesh atau China memang lebih murah. Murahnya pangan itu karena pemerintahnya memberikan subsidi besar kepada petani. Jika Indonesia terus berpikir impor lebih murah dari hasil produksi lokal, maka petani akan mati dan niscaya Indonesia tetap di bawah kontrol negara lain.
“Di China atau Bangladesh lahan dan tanah dikuasai petani. Di kita mayoritas petani tidak punya lahan. Itu (murahnya komoditas impor) juga karena mereka mensubsidi besar untuk petaninya dan memberikan kemudahan pajak ekspor.
Seperti itu disuruh bersaing dengan kita yang tanpa subsidi,” cetusnya.
Menanggapi hal ini, Ketua KPPU Nawir Messi mengaku lebih fokus pada komoditas pangan utama. Khususnya yang sedang ramai dibicarakan seperti daging sapi impor dan bawang putih.
Dia mengatakan, penyidikan indikasi kartel itu akan segera masuk ke level pemanggilan tersangka. “Yang pertama akan masuk penyidikan adalah daging sapi, lalu bawang putih. Dalam konteks bawang putih, kami akan melakukan pemanggilan importir terkait. Kami terus melakukan penyidikan lapangan, saksi ahli lapangan dan lain-lain,” ungkapnya.
KPPU juga mengaku mulai memantau pasar sebagai wujud perhatian atas pergerakan harga sembako. Pengawasan untuk sementara dilakukan di enam kota, termasuk Jakarta.
“Kita lakukan survei mingguan di enam wilayah, ada 10 komoditas, kita pantau mingguan, itu jadi basis pemantauan pasokan reguler termasuk di pasar Induk Kramat Jati,” jelas Messi.
Sumber : Harian Rakyat Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar