Senin, 15 April 2013

Mengurai Kartel Pangan

Sinyalemen praktik kartel pangan di negeri ini semakin terkuak dari kenaikan harga tidak wajar komoditas pangan dan hortikultura. Harga komoditas impor di negara asal sangat murah, namun sampai konsumen domestik sangat tinggi. Ini mencederai etika bisnis dan menyengsarakan rakyat. Bagaimana upaya bersama menghentikan kartel pangan ini? Kartel merupakan tindakan yang melawan hukum.

Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Indikasi kartel pangan mengemuka sejak Komite Ekonomi Nasional (KEN) melaporkan pada Presiden RI. Pada saat hampir bersamaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diamdiam menyelidiki kasus tersebut.

Berikutnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan komoditas yang ditetapkan swasembada justru rawan dipermainkan dalam kartel, yakni daging sapi, daging ayam, jagung, kedelai, gula, dan beras. Nilainya diperkirakan 11,34 triliun rupiah atau 13 persen total impor pangan yang mencapai 90 triliun rupiah, jika diasumsikan keuntungan 1.000 rupiah per kg. Nilai 6 komoditas per tahun untuk daging sapi 340 miliar, ayam 1,4 triliun, gula 4,6 triliun, kedelai 1,6 triliun, jagung 2,2 triliun, dan beras 1,2 triliun rupiah.

Praktik kartel pangan diduga melibatkan 26 pengusaha, baik asing maupun lokal. Dugaan kartel daging ayam melibatkan 4 pengusaha, daging sapi (5), gula (9), kedelai (3), dan jagung (5). Sayang, hingga kini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku sulit untuk membuktikan dan mengatasi kartel pangan di Indonesia. Pengusaha yang melakukan praktik curang ini sangat lihai melepaskan diri dari jeratan hukum.

Jaringan dan sel-sel kartel pangan beroperasi secara rapi dan tertutup untuk mengaburkan pemeriksaan. Bahkan, pelaku tak segan bermain mata sejak saat penetapan kuota impor hingga ditemukan kecurangan. Karena itu, untuk menghentikan kartel pangan, butuh kemauan, dukungan institusi lain, dan partisipasi seluruh masyarakat. Beberapa langkah dapat ditempuh. Membenahi data pasokan dan konsumsi pangan nasional karena tidak valid berakibat pada kurang tepatnya kebijakan yang diambil pemerintah. Penetapan kuota impor, daging sapi, kedelai, dan bawang putih pun menjadi tidak akurat.

Akibatnya memicu importir nakal menahan stok, memainkan opini hingga harganya melambung untuk memburu rente. Karena itu, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) perlu secara periodik meng-update kebutuhan dan suplai komoditas pangan. Pemerintah perlu membenahi regulasi impor. Diduga sistem kuota impor tertutup menyebabkan kongkalikong antara pemberi dan penerima kuota impor.

Bahkan, berbelitnya pemberian kuota impor diduga melibatkan oknum partai politik yang kasusnya ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengganti Beberapa pihak mengusulkan mengganti sistem kuota dengan sistem tarif bea masuk impor. Sistem tarif bea masuk impor yang tinggi komoditas strategis diterapkan di Jepang untuk melindungi produksi dalam negeri.

Harga beras di Jepang, sekitar 60.000–70.000 rupiah per kg merupakan insentif besar bagi petani Jepang. Konsumen pun dididik bangga dengan produksi dalam negeri. Usulan ini perlu dikaji lebih lanjut, karena kondisi Indonesia berbeda dengan Jepang. Sistem tarif bea masuk sulit mengontrol pasokan produk impor ke dalam negeri. Karena itu, pilihan melakukan transparansi melalui mekanisme lelang dalam penentuan kuota impor, menyederhanakan, dan mempercepat proses perizinan impor akan mendorong terciptanya harga wajar.

Berikutnya, perlu diikuti dengan memperketat pengawasan terhadap proses impor karena sering kali aturan yang keras di atas kertas, tetapi tidak diikuti pengawasan yang ketat di lapangan. Kasus melambungnya harga bawang menunjukkan importir nakal memasukkan bawang putih meski belum mendapat izin. Sekitar 244 kontainer belum memunyai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RPIH) dari Kementan dan Surat Persetujuan Impor (SIP) dari Kemendag. Di sisi lain, sekitar 105 kontainer berdokumen lengkap, berminggu-minggu tidak dikeluarkan dari gudang di pelabuhan.

Hal ini memberi pelajaran bahwa gudang-gudang importir di pelabuhan pintu masuk impor dan di darat mutlak didata dan dipantau stoknya. Inspeksi mendadak perlu sering dilakukan. Selain itu, importir diberi kewajiban melaporkan kondisi gudangnya pada otoritas di Kementan atau Kemendag. Hal ini akan menghasilkan data riil untuk mendukung kebijakan yang tepat sehingga pasokan sesuai kebutuhan. KPPU sebagai salah satu institusi pengawas persaingan usaha perlu diperkuat. Selama ini, kewenangan hukum KPPU sangat terbatas.

Demikian juga jumlah sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur penunjangnya. Akibatnya, KPPU terkesan lamban dalam menindak kecurangan pengusaha. Lembaga ini secara preventif mengaji dan mengingatkan pengusaha terindikasi praktik kartel. Karena itu, wacana memperluas wewenang KPPU seperti KPK, agar boleh menyadap telepon, email, atau jalur komunikasi lain, termasuk memberi sanksi berat persaingan tidak sehat perlu dipertimbangkan. Hal ini membutuhkan dukungan pemerintah dan kalangan legislatif. Kita berharap kewenangan ini menangkal kecurangan usaha termasuk kartel yang menyengsarakan rakyat.

Aparat perlu memberi sanksi yang berat bagi spekulan dan importir nakal. Pemerintah dapat menjerat dengan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Seseorang yang dengan sengaja menimbun dan menyebabkan harga pangan tinggi dan merugikan masyarakat, dapat diberi sanksi administrasi, denda, dan pidana. Sanksi yang tegas ini penting untuk memberi efek jera. Kasus bawang putih perlu diatur tata niaganya, karena 90 sampai 95 persen bergantung impor.

Perusahaan yang melanggar prosedur impor layak dicabut izinnya. Nama-nama yang terlibat penimbunan perlu dimasukkan daftar hitam sehingga tidak boleh lagi berusaha sejenis di kemudian hari. Hal ini dapat mencontoh perlakuan penjahat perbankan. Harga komoditas di pasar internasional dan nasional perlu dibuat transparan. Perubahan harga di beberapa bursa komoditas dunia perlu diinformasikan Kemendag atau institusi lain. Pergerakan harga di pasar induk utama, seperti Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Johar Semarang, dan kotakota provinsi lain mesti mudah diakses pengusaha dan masyarakat luas.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini. Stasiun radio, televisi, dan berbagai web pemerintah dapat menginformasikan sesuai komoditas yang menjadi kewenangannya. Demikian juga pihak swasta. Data dapat diperoleh dari dinas pasar tiap daerah, terutama pasar induk, terminal agribisnis, dan subterminal agribisnis yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini mendorong produksi, distribusi, dan menekan distorsi harga komoditas. Usaha lain adalah memerankan Perum Badan Usaha Logistik (Bulog) sebagai buffer stock dan stabilisator harga komoditas strategis, seperti beras, gula, kedelai, dan minyak goreng, serta komoditas lain sesuai kebijakan pemerintah mendorong produksi dalam negeri.

Pengalaman masa lalu membuktikan Bulog efektif menjadi penyangga dan stabilisator harga komoditas strategis. Tentu tak dapat digeneralisasi setiap komoditas yang bermasalah produksi atau distribusinya diserahkan ke Bulog, termasuk kasus lonjakan harga bawang putih. Langkah tadi jika dilaksanakan konsisten akan mengurai lonjakan harga pangan. Satu hal yang jauh lebih penting adalah meningkatkan produksi komoditas strategis dalam negeri. Praktik kartel, penimbunan, dan berbagai kecurangan secara nyata akan tereduksi jika suplai komoditas dalam negeri mencukupi dan mudah diakses konsumen.

Ini membutuhkan usaha keras jangka pendek, menengah, dan panjang. Struktur pasar pangan yang sehat dan adil akan kondusif yang mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas pangan dalam negeri. Daya saingnya akan kuat sehingga menguntungkan produsen, konsumen, dan pelaku usaha.

Oleh: Sucipto
Penulis adalah dosen dan peneliti Teknologi Industri Pertanian Brawijaya,
kandidat doktor IPB.

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/116933

Tidak ada komentar:

Posting Komentar