Sinyalemen praktik kartel pangan di negeri ini semakin terkuak dari
kenaikan harga tidak wajar komoditas pangan dan hortikultura. Harga
komoditas impor di negara asal sangat murah, namun sampai konsumen
domestik sangat tinggi. Ini mencederai etika bisnis dan menyengsarakan
rakyat. Bagaimana upaya bersama menghentikan kartel pangan ini? Kartel
merupakan tindakan yang melawan hukum.
Berdasarkan Pasal 11
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, antarpelaku usaha dilarang membuat
perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau
pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Indikasi kartel pangan
mengemuka sejak Komite Ekonomi Nasional (KEN) melaporkan pada Presiden
RI. Pada saat hampir bersamaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
diamdiam menyelidiki kasus tersebut.
Berikutnya, Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia menyatakan komoditas yang ditetapkan
swasembada justru rawan dipermainkan dalam kartel, yakni daging sapi,
daging ayam, jagung, kedelai, gula, dan beras. Nilainya diperkirakan
11,34 triliun rupiah atau 13 persen total impor pangan yang mencapai 90
triliun rupiah, jika diasumsikan keuntungan 1.000 rupiah per kg. Nilai 6
komoditas per tahun untuk daging sapi 340 miliar, ayam 1,4 triliun,
gula 4,6 triliun, kedelai 1,6 triliun, jagung 2,2 triliun, dan beras 1,2
triliun rupiah.
Praktik kartel pangan diduga melibatkan 26
pengusaha, baik asing maupun lokal. Dugaan kartel daging ayam melibatkan
4 pengusaha, daging sapi (5), gula (9), kedelai (3), dan jagung (5).
Sayang, hingga kini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku sulit
untuk membuktikan dan mengatasi kartel pangan di Indonesia. Pengusaha
yang melakukan praktik curang ini sangat lihai melepaskan diri dari
jeratan hukum.
Jaringan dan sel-sel kartel pangan beroperasi
secara rapi dan tertutup untuk mengaburkan pemeriksaan. Bahkan, pelaku
tak segan bermain mata sejak saat penetapan kuota impor hingga ditemukan
kecurangan. Karena itu, untuk menghentikan kartel pangan, butuh
kemauan, dukungan institusi lain, dan partisipasi seluruh masyarakat.
Beberapa langkah dapat ditempuh. Membenahi data pasokan dan konsumsi
pangan nasional karena tidak valid berakibat pada kurang tepatnya
kebijakan yang diambil pemerintah. Penetapan kuota impor, daging sapi,
kedelai, dan bawang putih pun menjadi tidak akurat.
Akibatnya
memicu importir nakal menahan stok, memainkan opini hingga harganya
melambung untuk memburu rente. Karena itu, Kementerian Pertanian
(Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) perlu secara periodik
meng-update kebutuhan dan suplai komoditas pangan. Pemerintah perlu
membenahi regulasi impor. Diduga sistem kuota impor tertutup menyebabkan
kongkalikong antara pemberi dan penerima kuota impor.
Bahkan,
berbelitnya pemberian kuota impor diduga melibatkan oknum partai politik
yang kasusnya ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengganti
Beberapa pihak mengusulkan mengganti sistem kuota dengan sistem tarif
bea masuk impor. Sistem tarif bea masuk impor yang tinggi komoditas
strategis diterapkan di Jepang untuk melindungi produksi dalam negeri.
Harga
beras di Jepang, sekitar 60.000–70.000 rupiah per kg merupakan insentif
besar bagi petani Jepang. Konsumen pun dididik bangga dengan produksi
dalam negeri. Usulan ini perlu dikaji lebih lanjut, karena kondisi
Indonesia berbeda dengan Jepang. Sistem tarif bea masuk sulit mengontrol
pasokan produk impor ke dalam negeri. Karena itu, pilihan melakukan
transparansi melalui mekanisme lelang dalam penentuan kuota impor,
menyederhanakan, dan mempercepat proses perizinan impor akan mendorong
terciptanya harga wajar.
Berikutnya, perlu diikuti dengan
memperketat pengawasan terhadap proses impor karena sering kali aturan
yang keras di atas kertas, tetapi tidak diikuti pengawasan yang ketat di
lapangan. Kasus melambungnya harga bawang menunjukkan importir nakal
memasukkan bawang putih meski belum mendapat izin. Sekitar 244 kontainer
belum memunyai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RPIH) dari
Kementan dan Surat Persetujuan Impor (SIP) dari Kemendag. Di sisi lain,
sekitar 105 kontainer berdokumen lengkap, berminggu-minggu tidak
dikeluarkan dari gudang di pelabuhan.
Hal ini memberi pelajaran
bahwa gudang-gudang importir di pelabuhan pintu masuk impor dan di darat
mutlak didata dan dipantau stoknya. Inspeksi mendadak perlu sering
dilakukan. Selain itu, importir diberi kewajiban melaporkan kondisi
gudangnya pada otoritas di Kementan atau Kemendag. Hal ini akan
menghasilkan data riil untuk mendukung kebijakan yang tepat sehingga
pasokan sesuai kebutuhan. KPPU sebagai salah satu institusi pengawas
persaingan usaha perlu diperkuat. Selama ini, kewenangan hukum KPPU
sangat terbatas.
Demikian juga jumlah sumber daya manusia (SDM)
dan infrastruktur penunjangnya. Akibatnya, KPPU terkesan lamban dalam
menindak kecurangan pengusaha. Lembaga ini secara preventif mengaji dan
mengingatkan pengusaha terindikasi praktik kartel. Karena itu, wacana
memperluas wewenang KPPU seperti KPK, agar boleh menyadap telepon,
email, atau jalur komunikasi lain, termasuk memberi sanksi berat
persaingan tidak sehat perlu dipertimbangkan. Hal ini membutuhkan
dukungan pemerintah dan kalangan legislatif. Kita berharap kewenangan
ini menangkal kecurangan usaha termasuk kartel yang menyengsarakan
rakyat.
Aparat perlu memberi sanksi yang berat bagi spekulan dan
importir nakal. Pemerintah dapat menjerat dengan UU No 18 Tahun 2012
tentang Pangan. Seseorang yang dengan sengaja menimbun dan menyebabkan
harga pangan tinggi dan merugikan masyarakat, dapat diberi sanksi
administrasi, denda, dan pidana. Sanksi yang tegas ini penting untuk
memberi efek jera. Kasus bawang putih perlu diatur tata niaganya, karena
90 sampai 95 persen bergantung impor.
Perusahaan yang melanggar
prosedur impor layak dicabut izinnya. Nama-nama yang terlibat penimbunan
perlu dimasukkan daftar hitam sehingga tidak boleh lagi berusaha
sejenis di kemudian hari. Hal ini dapat mencontoh perlakuan penjahat
perbankan. Harga komoditas di pasar internasional dan nasional perlu
dibuat transparan. Perubahan harga di beberapa bursa komoditas dunia
perlu diinformasikan Kemendag atau institusi lain. Pergerakan harga di
pasar induk utama, seperti Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Johar
Semarang, dan kotakota provinsi lain mesti mudah diakses pengusaha dan
masyarakat luas.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini. Stasiun radio, televisi, dan
berbagai web pemerintah dapat menginformasikan sesuai komoditas yang
menjadi kewenangannya. Demikian juga pihak swasta. Data dapat diperoleh
dari dinas pasar tiap daerah, terutama pasar induk, terminal agribisnis,
dan subterminal agribisnis yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini
mendorong produksi, distribusi, dan menekan distorsi harga komoditas.
Usaha lain adalah memerankan Perum Badan Usaha Logistik (Bulog) sebagai
buffer stock dan stabilisator harga komoditas strategis, seperti beras,
gula, kedelai, dan minyak goreng, serta komoditas lain sesuai kebijakan
pemerintah mendorong produksi dalam negeri.
Pengalaman masa lalu
membuktikan Bulog efektif menjadi penyangga dan stabilisator harga
komoditas strategis. Tentu tak dapat digeneralisasi setiap komoditas
yang bermasalah produksi atau distribusinya diserahkan ke Bulog,
termasuk kasus lonjakan harga bawang putih. Langkah tadi jika
dilaksanakan konsisten akan mengurai lonjakan harga pangan. Satu hal
yang jauh lebih penting adalah meningkatkan produksi komoditas strategis
dalam negeri. Praktik kartel, penimbunan, dan berbagai kecurangan
secara nyata akan tereduksi jika suplai komoditas dalam negeri mencukupi
dan mudah diakses konsumen.
Ini membutuhkan usaha keras jangka
pendek, menengah, dan panjang. Struktur pasar pangan yang sehat dan adil
akan kondusif yang mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas pangan
dalam negeri. Daya saingnya akan kuat sehingga menguntungkan produsen,
konsumen, dan pelaku usaha.
Oleh: Sucipto
Penulis adalah dosen dan peneliti Teknologi Industri Pertanian Brawijaya,
kandidat doktor IPB.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/116933
Tidak ada komentar:
Posting Komentar