Mendengar istilah swasembada barangkali akan melemparkan ingatan ke
masa-masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Betapa tidak, hampir sepanjang
32 tahun masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menjadikan program
swasembada pangan, terutama beras, sebagai daya tawar utama dan
indikator keberhasilan tahapan rencana pembangunan lima tahun
(Repelita) yang menjadi garis acuan penerbitan dan pelaksanaan setiap
kebijakan ekonomi.
Terlepas dari pro-kontra gaya kepemimpinan sosok kelahiran 18 Juni 1921
ini, Indonesia pernah berbusung dada di hadapan dunia karena berhasil
menyandang predikat sebagai salah satu negara yang mampu mencukupi
kebutuhan pangan dalam negeri. Padahal sebelumnya, yakni sejak 1966
hingga 1970-an, Indonesia justru dikenal sebagai negara pengimpor beras
terbesar di dunia.
Dalam buku Kembali ke Jalan Lurus (Esai-Esai 1966-99), Emil
Salim menilai keberhasilan Soeharto dalam mendorong terwujudnya
swasembada pangan pada 1984 bukan terletak pada luasnya lahan pertanian
yang dimiliki Indonesia. Akan tetapi, pola dan strategi justru muncul
dari kebaikan komunikasi dan kerjasama antarpihak yang terkait dalam
menekankan pentingnya pembangunan sektor pertanian secara menyeluruh,
termasuk kesiapan para petani hingga di pelosok daerah.
“Hasil (swasembada) ini dicapai bukan dengan menggunakan ‘perkebunan
sawah’ yang besar, tetapi dihasilkan oleh jutaan petani dengan lahan
yang kecil,” tulis Emil.
Atas kuatnya kerjasama yang melibatkan banyak pihak tersebut, Orde baru
berhasil memproduksi 12,2 juta ton beras pada 1969, sementara puncaknya
pada 1984 pasokan komoditas pangan pokok tersebut terproduksi sebanyak
25,8 juta ton.
“Hasil kerja pertanian yang bermultidimensi mencakup peranan besar
petani di Indonesia dalam swasembada beras, mendorong ekspor,
mengentaskan kemiskinan, mendorong pertumbuhan industri, dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia,” lanjut Emil.
Selain peran kuat petani, keterlepasan Indonesia dari jeratan status
sebagai negara pengimpor beras masa itu juga dipengaruhi gagasan
pendirian lembaga yang berkewenangan menjaga stabilitas harga pangan
dalam negeri. Melalui Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967,
maka dibentuklah Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 10 Mei 1967 sebagai
Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden yang bertugas mengendalikan harga dan mengelola
persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, daging sapi dan
bahan pangan lainnya.
Bulog pada awal berdirinya juga diposisikan sebagai importir tunggal
yang bertugas membatasi impor pangan agar tidak dikendalikan mafia
kartel pangan.
“Sekali lagi saya tekankan, bahwa Badan ini bertugas membantu pemerintah
dalam pengadaan dan penyaluran bahan pokok dengan pengarahan secara
cepat dan tepat sesuai dengan dan kepada mereka yang membutuhkan,” ucap
Soeharto saat melantik Mayor Jenderal Achmad Tirtosoediro sebagai Kepala
Bulog pertama pada 17 Mei 1967.
Kestrategisan peran dan kewenangan Bulog pada urusan pangan ini pada
perkembangan selanjutnya justru menimbulkan kontroversi. Ia tidak lagi
hanya menjadi badan pengendalian pangan, akan tetapi menjelma sebagai
lingkaran usaha yang memonopoli impor dan cenderung membawa kerugian
bagi negara akibat berbagai praktik korupsi yang menjamur di dalam Badan
tersebut.
Strategi Bulog masa lampau
Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog)
Djarot Kusumayakti mencoba mengamati keberhasilan Bulog era Orde baru
dalam mewujudkan ketahanan pangan dan swasembada beras. Menurut dia,
salah satu faktor penting yang dapat mendukung peningkatan produksi
pertanian masa itu adalah komunikasi yang baik yang dilakukan oleh
antarpihak yang terlibat, serta penggunaan instrumen dan data yang
terintegrasi dalam melakukan kerja-kerja peningkatan produksi
pertanian.
“Kalau melihat kejayaan swasembada dulu, saya kira di sana terdapat satu
kesepakatan instrumen dan data yang dipakai. Semisal, berapa luas total
lahan pertanian kita? Berapa jumah sumberdaya manusia tani Indonesia?
Itu memakai satu sumber. Sehingga kita berangkat dari tolok ukur yang
sama,” kata Djarot kepada Metrotvnews.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (1/4/2016).
Hal itu, kata Djarot, berbeda dengan kondisi sekarang ini. Di mana masing-masing yang terlibat bisa memakai data yang cenderung berbeda.
“Ya itu, jumlah luas lahan pertanian kita sekarang saja masih ada perbedaan pendapat,” ujar Djarot.
Keunggulan lain program ketahanan pangan era Orde Baru, terutama terkait
Bulog, kata Djarot, ialah dikembangkanya institusi-institusi yang
mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok
petani dalam usaha agribisnis. Pada posisi ini, selain bertugas
menampung hasil pertanian, Bulog juga dilibatkan untuk berkomunikasi
dengan institusi penelitian seperti Balai Penelitian Tanaman Pangan
(BPTP) untuk menghasilkan inovasi pengembangan pertanian.
“Pada masa Presiden Soeharto, salah satu produk yang cukup terkenal
adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Juga berbagai bentuk
kerjasama antarlembaga terkait penyediaan sarana prasarana yang
mendukung pertanian,” kata Djarot.
Namun perlu juga diakui, kata Djarot, Bulog era Orde Baru juga membuka
peluang penyelewengan kewenangan dan tugas. Hal ini, menurut dia,
terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang mengiringi sepanjang
sejarah keberadaan Bulog di Indonesia.
“Soal Bulog zaman dulu sebenarnya saya tidak bisa berbicara banyak. Itu
bisa dilihat dari catatan-catatan sejarah. Bulog sebagai bagian dari
penguat kekuasaan Orde Baru juga menimbulkan banyak persoalan,” ujar
dia.
Keberhasilan mencapai swasembada era 1980-an juga dianggap Djarot
sebagai potensi yang disalahgunakan oleh pejabat terkait masa itu.
Puncaknya, di akhir kekuasaan Orde Baru pada 1997, Indonesia tampak
kewalahan dalam menghadapi ancaman elnino hanya dengan modal
bayang-bayang kejayaan swasembada pada satu dekade sebelumnya.
“Pada saat terjadi elnino waktu itu, pejabat menyatakan bahwa Indonesia
baru swasembada dan tidak akan terdampak elnino. Namun fakta mengatakan
lain, elnino memukul mundur jumlah produksi pertanian masa itu,” kata
Djarot.
Penyerapan hasil pertanian untuk ketahanan pangan
Tugas penyerapan gabah yang diemban Bulog dalam panen raya Maret-Juni
merupakan bagian penting dalam terwujudnya cita-cita ketahanan pangan
nasional. Meskipun begitu, menurut Djarot, Bulog harus melakukan
penyerapan sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang
ditunjukkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015.
“Dalam Inpres tersebut dicantumkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP)
Rp3.700 per kilo gram, Gabah Kering Giling (GKG) Rp4.600 per kilo gram,
dan beras Rp7.300. Sehingga jika harga di lapangan berada di atas HPP,
maka Bulog tidak bisa apa-apa,” ujar Djarot.
Bulog, yang dalam hal ini sebagai pelaksana penyerapan produksi
pertanian yang diembankan pemerintah tidak bisa memaksakan para petani
untuk menyerahkan gabah hasil panennya hanya kepada Bulog. Menurut
Djarot, Bulog sekarang tentu berbeda dengan saat Orde Baru yang juga
dilakukan melalui pendekatan yang berbeda.
“Kalau kita memaksakan bisa-bisa petani unjuk rasa,” kata Djarot sambil terkekeh.
Teknik penyerapan gabah ini juga tidak bisa disamakan dengan peraturan
yang diberlakukan di berbagai negara. Menurut Djarot, penyerapan gabah
petani yang dilakukan di Indonesia tentu tidak akan bisa dikerjakan
secara maksimal seperti di Tiongkok. Di mana masyarakat di sana, menurut
Djarot, menyerahkan hasil pertaniannya 100 % kepada pemerintah.
“Pokoknya tradisi kita berbeda dari tiap ruang dan waktu. Di Tiongkok
paham yang dianut juga berbeda. Paham yang dianut di sana mewajibkan
pemerintah menangani secara total segala hal yang dibutuhkan
masyarakat,” ujar Djarot.
Perubahan-perubahan peraturan yang mengiringi sepanjang sejarah
perjalanan Bulog juga dalam rangka menuju kebaikan dan kemajuan. Saat
ini, kata Djarot, Bulog masih berperan sebagai operator yang bertugas
menjaga stabilitas harga pangan, salah satunya melalui penyerapan gabah
dari petani.
“Hari ini juga kami menunggu hasil rapat, apakah kami hanya
berkewenangan pada komoditi beras, atau tiga komoditi lain seperti
jagung dan kedelai. Atau muncul juga wacana kewenangan terhadap 11
komoditi. Kami masih menunggu hasil rapat koordinasi di pemerintah,”
ujar dia.
http://telusur.metrotvnews.com/read/2016/04/04/508198/bulog-dan-swasembada-pangan-era-orba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar