Penetapan harga khusus kedelai oleh Kementerian Perdagangan dalam bentuk
harga jual pemerintah sebesar Rp 8.490 per kilogram (11/9) menunjukkan
bahwa negara kalah melawan kartel kedelai. Harga ini masih terlalu
tinggi dan sangat memberatkan perajin tahu tempe.
Sebelumnya menurut Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini
(Rabu, 11/9), kartel kedelai menangguk untung yang luar biasa. Hanya
dalam dua bulan, kartel penghisap ini untung lebih dari Rp 1 triliun.
Kedelai yang sekarang mereka jual itu dibeli dua bulan lalu dengan harga
lama, sekitar Rp 5.600 - Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan harga khusus
kedelai ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan sebesar Rp 8.490/kg.
Dengan menjual kedelai Rp 8.490/kg, dipotong biaya pengapalan dan
asuransi, kartel kedelai mengantongi untung minimal Rp 2.000 per
kilogram.
Dengan stok yang mereka miliki sebanyak 500.000 ton, kartel ini
menangguk untung minimum 1 triliun Rp. Ini hanya keuntungan minimum,
karena hanya 11.900 ton kedelai dijual dengan harga khusus Rp 8.490/kg.
Lebih dari 488.000 ton dijual dengan harga pasar yang lebih tinggi.
Berkebalikan dari kartel kedelai yang menangguk untung luar biasa besar,
pedagang tahu dan tempe bermodal kecil terancam bangkrut karena
mahalnya kedelai. Dari Bandung, Ketua Kopti Jabar, Asep Nurdin
mengatakan sebanyak 4000 perajin (40 persen) perajin tahu tempe masih
menghentikan aktivitasnya dan terancam bangkrut (Pikiran Rakyat,
28/8/2013). Dari Wonogiri, sekitar 300 perajin tahu dan tempe (10 persen
dari total perajin tahu tempe di Kabupaten Wonogiri) mulai gulung tikar
(Solopos.com, 3/9/2013). Begitu juga berita dari Palembang, Bekasi,
Banyumas, Kudus, Madura, Mataram, Kotawaringin, dan berbagai daerah lain
di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, tingginya harga kedelai memaksa pedagang menaikkan harga
sekaligus memperkecil ukuran. Mahalnya tahu tempe bisa mengancam gizi
masyarakat bawah yang selama ini mengandalkan tahu tempe untuk memenuhi
kecukupan gizinya karena telur dan daging tidak terjangkau. Efek
lanjutannya, bayi dan anak-anak yang tidak memperoleh asupan gizi yang
baik dapat terhambat pertumbuhan otaknya secara optimal. Hal ini dapat
menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa (lost generation).
Meroketnya harga kedelai disinyalir sebagai ulah kartel yang ingin
menangguk untung besar di tengah masalah harga kedelai dunia yang naik
dan terus melemahnya kurs Rupiah terhadap dollar. Ulah kartel ini sangat
merugikan para perajin tahu tempe. Patut diduga bahwa kartel ini memang
sengaja menimbun pasokan agar harga kedelai melonjak. "Selain
melemahnya nilai tukar rupiah, ada upaya spekulan atau importir yang
sengaja menahan barang dan mengeluarkan sedikit demi sedikit sehingga
harga kedelai melonjak," kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu/Tempe
Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin (2/9/2013).
Dengan data yang lebih kuantitatif, adanya kartel kedelai ini diungkap
Direktur INDEF Enny Sri Hartati. Dari data yang ada, terdapat tiga besar
perusahaan importir kedelai yang mendapatkan kuota impor kedelai besar,
yaitu PT FKS Multi Agro dengan kuota impor 210.600 ton (46,7 persen),
PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,3 persen), dan PT Budi Semesta
Satria 42.000 ton (9,3 persen). "Total pengajuannya mencapai 886.200
ton, sedangkan total kuota impor kedelai tiga perusahaan tersebut
mencapai 66,33 persen atau cenderung membentuk kartel," ujar Enny,
Selasa (10/9/2013).
Masalah tingginya harga kedelai sebenarnya tidak hanya terjadi sekarang,
tapi hampir setiap tahun terulang. Tahun 2008 perajin tahu tempe juga
mogok produksi karena mahalnya kedelai sehingga ongkos produksinya naik.
Mengapa kasus tingginya harga kedelai terulang setiap tahun? Di mana
peran pemerintah sebagai stabilisator harga dan pelindung masyarakat?
Mengapa komoditas penting ini diserahkan pada swasta yang menjelma
menjadi kartel yang mengeruk keuntungan setinggi-tingginya dengan
mengorbankan masyarakat banyak? Kita pantas menggugat Pemerintah,
terutama Presiden SBY dan Menteri Perdagangan yang gagal menjalankan
fungsi negara dalam kasus ini.
Tingginya harga kedelai akibat ulah kartel, menurut ekonom Didik J.
Rachbini, menunjukkan bahwa pemerintah kalah dari pelaku usaha. Hal ini
terlihat dari ketidakmampuan Kemendag memaksa importir mengatur stoknya
supaya harga tidak bergejolak. Menurut Didik, pemerintah seharusnya tahu
siapa yang menguasai stok, toh tidak ada lonjakan permintaan kedelai
yang berlebihan. Apalagi ada kabar bahwa pemerintah sampai melobi
importir supaya menjual kedelai dengan harga Rp 8.000 per kilogram.
Ketidakmampuan negara melindungi masyarakat miskin dari gejolak harga
kedelai menyiratkan ciri negara gagal. Menurut Muhammad Syarkawi Rauf
(Bisnis Indonesia, 12/9/2013), negara gagal karena institusi ekonominya
bersifat ekstraktif, hanya menguntungkan segelintir orang. Rauf mengutip
buku berjudul Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and
Poverty karya Daron Acemoglu (MIT) dan James A. Robinson (Harvard).
Kedua profesor tersebut berkesimpulan bahwa kemiskinan yang dialami oleh
negara miskin bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena
pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat dan mengutamakan
kepentingan publik.
Kasus carut marut harga kedelai ini menyiratkan bahwa Indonesia
berpotensi menjadi negara gagal. Hal ini karena negara tidak bisa
mengatasi dan “kalah” melawan praktik bisnis kartel yang mengeksploitasi
dan mengorbankan masyarakat miskin. Namun kekalahan ini tampaknya
terjadi bukan karena telah terjadi pertarungan yang sengit, tetapi
justru karena adanya konspirasi, KKN dan kepentingan oknum-oknum
penguasa yang memang berburu rente melalui praktik kartel ini.
Kasus gonjang-ganjing kedelai membuktikan bahwa kartel kedelai telah
membuat skenario bersama oknum penguasa untuk menangguk keuntungan
jumlah luar biasa besar dalam waktu singkat. Tak heran, menurut Rauf,
pengalaman internasional pun menunjukkan bahwa kartel termasuk kejahatan
ekonomi luar biasa yang dampak negatifnya jauh lebih buruk dibandingkan
dengan kejahatan korupsi.
Karena kartel ini termasuk kejahatan luar biasa, maka untuk
memberantasnya, kita pantas mendukung pendapat dan usulan Ketua Umum
Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini untuk menerapkan undang-undang
subversif bagi para pelakunya. Selain itu, guna menuntaskan masalah ini
Pemerintah perlu juga melibatkan Direktorat Ekonomi Khusus Mabes Polri
dan BIN di bawah kordinasi Menko Perekonomian.
Kita meminta gonjang-ganjing kedelai cepat diselesaikan. Karena kedelai
merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak,
harganya tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah harus
hadir menjalankan seluruh peran negara untuk melindungi kepentingan
rakyat, termasuk dalam menjamin pasokan, menstabilkan harga, memberi
subsidi, mengendalikan distribusi, mengamankan tata niaga dan sistem
informasi harga.
Karena kedelai termasuk unsur food/pangan yang merupakan salah satu dari tiga isu strategis global saat ini (food, energy dan water,
FEW), maka Pemerintah DPR harus menuntaskan permasalahannya secara
menyeluruh dan berkelanjutan. Peran Bulog harus direvitalisasi dan
dioptimalkan, lahan pertanian kedelai diperluas secara massif, harga
kedelai bagi petani distabilkan, koperasi untuk pertanian dan distribusi
dihidupkan, liberalisasi pertanian dan pangan diperbaiki. Dalam rangka
pengamanan pangan nasional, Pemerintah dan DPR harus segera membentuk
lembaga yang khusus menangani masalah pangan. Praktek kartel harus
dihilangkan dan pelakunya dihukum berat. Sedangkan pejabat negara yang
membiarkan terjadinya kartel kedelai harus dituntut bertanggungjawab.
(US)
Sumber: Satunegeri
Senin, 16 September 2013
Kamis, 12 September 2013
Reformasi Peran Bulog
Kerinduan untuk mengembalikan peran Badan Urusan Logistik (Bulog)
sebagai stabilisator harga pangan, merupakan harapan masyarakat Indonesia untuk
meredam gejolak harga pangan. Di mana harga pangan akhir-akhir ini semakin
berfluktuatif, sehingga meresahkan masyarakat baik sebagai konsumen ataupun
produsen pangan. Karena harus menanggung mahalnya beban ekonomi, disebabkan
ketidak stabilan harga pangan yang terjadi setiap saat.
Salah satu contoh pangan yang mengalami ketidakstabilan adalah
kedelai. Harga kedelai mencapai Rp 9.000 hingga Rp 10.000 per kilogram (kg).
Begitu juga turunan dari kedelai seperti tahu dan tempe. Harga keduanya meroket
dari yang semula Rp 1.000 per biji menjadi Rp 1.500 per biji. Kenaikan harga
yang terjadi pada tahu dan tempe, ternyata berbanding terbalik dengan
ukurannya. Karena para produsen tahu dan tempe mengurangi ukurannya, yang
dilakukan agar produksi tahu dan tempe tidak mengalami kerugian.
Kenaikan harga juga terjadi pada bahan pangan yang menggunakan
tepung terigu. Turunan dari tepung terigu seperti roti dan kue. Tentunya harga
roti dan kue akan mengalami kenaikan seperti yang terjadi pada kasus tahu dan
tempe. Jika pun produsen roti dan kue tak ingin menaikkan harga, tentu yang
terjadi adalah memperkecil ukurannya.
Itulah mengapa masyarakat merindukan reformasi peran Bulog sebagai
stabilisator harga pangan yang ada di Indonesia. Sebelum mereformasi, maka yang
harus direformasi adalah badan hukum dari Perum Bulog tersebut. Karena Perum
Bulog yang berbadan hukum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti sekarang ini,
seolah-olah cenderung mencari keuntungan dari nilai harga yang terjadi. Hal
tersebut merupakan tuntutan sebagai lembaga bisnis yang mencari keuntungan dari
setiap transaksi.
Sebab itu, adanya reformasi badan hukum yang semula BUMN akan
membuat Bulog semakin independen. Untuk menjaga independensi tersebut, tentu
lembaga ini harus berada di bawah Presiden. Sehingga Presiden dapat mengawasi
secara langsung dan memberikan arahan kepada Perum Bulog.
Evaluasi
Adanya kenaikan harga pangan yang terjadi setiap saat, merupakan
salah satu evaluasi yang bisa dijadikan dasar bahwa Bulog memang tidak memiliki
peran yang signifikan dalam mengatur pangan di Indonesia. Salah satu
penyebabnya adalah badan hukum BUMN yang ada pada Bulog. Sehingga mencari
keuntungan merupakan sebuah kepastian dari setiap kegiatan yang dilakukan.
Tentu untuk mendapatkan keuntungan, tak heran jika Bulog sering
lebih memilih bekerja sama dengan perusahaan besar ketimbang bekerja sama
dengan koperasi. Karena bekerja sama dengan koperasi dipandang kurang
menguntungkan, dan hanya akan membuang-buang waktu saja.
Selain itu, masyarakat pun sudah menilai negatif terhadap Bulog.
Karena disinyalir Bulog menjadi tempat kongkalikong mafia pangan di Indonesia.
Sehingga tak heran jika pangan yang ada di Indonesia gampang dipermainkan oleh
para spekulan.
Sebab itu, salah satu keuntungan reformasi di Bulog yang berada di
bawah kordinasi langsung presiden, berpotensi mencegah gejolak pangan yang
setiap hari berfluktuatif. Selain itu, dengan adanya peran stabilisasi yang
berada di bawah kordinasi langsung presiden, akan ada perlindungan bagi
konsumen sekaligus dapat melindungi kepentingan produsen pangan, yaitu para
petani. Sehingga bukan saja pedagang yang akan mengalami keuntungan ketika
harga pangan naik, petani pun akan merasakan kenaikan harga tersebut.
Memang hal ini sangat dilematis bagi Bulog. Karena adanya peran
ganda sebagai pemegang fungsi stabilisasi dan juga fungsi komersial inilah yang
membuat Perum Bulog menjadi mandul, ketika dihadapkan pada penentuan harga kala
pangan di pasaran menjadi berkurang. Longgarnya impor pangan yang dilakukan
pengusaha, ternyata malah membuat harga pangan semakin naik melonjak.
Sebab itu, harus ada political will dari pemerintah, dalam hal ini
adalah Presiden yang mengambil alih secara langsung Bulog. Hal tersebut
dilakukan untuk menyelamatkan pangan yang ada di Indonesia. Sehingga masyarakat
tidak akan menjadi tumbal kepentingan segelintir elit spekulan yang mencari
keuntungan.
Kemandirian Pangan
Ketika Bulog berada di bawah kordinasi Presiden, tentu hal
tersebut akan menjauhkan lembaga ini dari intervensi kepentingan elit. Sehingga
akan mempermudah fungsi utama Bulog, yaitu sebagai stabilisator harga pangan
dan juga penyelamatan pangan di Indonesia. Dalam pengertian, ketika harga
pangan melonjak naik disebabkan kurangnya pangan di pasar, maka Bulog yang
berada di bawah Presiden segera membuat kebijakan. Salah satu kebijakannya
adalah memberikan insentif kepada para petani untuk menggenjot produktifitas
pangannya, agar ketersediaan pangan di pasaran dapat segera ditenangkan.
Sehingga pasar tidak mengalami gejolak seperti sekarang ini.
Jika pun mengharuskan untuk mengimpor, maka impor yang
dilakukannya pun tidak terlalu besar. Akan tetapi sedikit saja dengan tujuan
untuk menenangkan harga yang terjadi di pasaran. Namun ini berbeda, impor yang
dilakukan malah berimplikasi pada terhadap harga pangan tersebut. Dalam arti
bahwa impor malah menjadikan harga pangan semakin melambung, yang pada akhirnya
importir yang diuntungkan.
Ketikan Bulog mengambil kebijakan memberikan insentif kepada
petani untuk menggenjot produktivitas pertanian, maka keuntungan yang diperoleh
antar lain, dapat menyelamatkan dan meningkatkan pangan dalam negeri. Petani
pun akan menuai kesejahraan dari kebijakan pemerintah. ***
Oleh Hamli Syaifullah
Penulis adalah peneliti di Islamic Banking FAI-UMJ.
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=334396
Rabu, 11 September 2013
Kartel Kuasai Impor Kedelai
- Picu Kenaikan Harga
Kenaikan harga kedelai tak semata-mata disebabkan kemelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi tersebut diduga juga akibat praktik kartel oleh beberapa importir.
Hal itu diungkapkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini dalam jumpa pers “Gejolak Harga Kedelai: Analisis Kartel dan Monopoli” di Jakarta, Selasa (10/9). Menurut dia, kartel kedelai tersebut membuat kesepakatan-kesepakatan untuk memainkan harga.
“Saya katakan ada indikasi kartel (kedelai). Penyebabnya, pemegang pasokan yang memiliki kekuatan sebagai price maker (penentu harga) membuat kesepakatan horisontal,” jelasnya.
Menurut Didik, pada Februari 2013 Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan, termasuk kedelai.
Presiden bahkan telah memerintahkan KEN dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki kemungkinan tersebut.
Namun di sisi lain, Kementerian Perdagangan justru memberikan izin impor kedelai kepada perusahaan-perusahaan yang terindikasi kartel dengan kuota sangat besar.
Berdasarkan data penelitian Indef, ada tiga importir yang mendapat kuota terbesar, yakni PT FKS Multi Agro sebesar 210.600 ton (46,71 persen dari total alokasi impor), PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,31 persen), dan PT Budi Semesta Satria 42.000 ton (9,31 persen). Mereka menguasai 299.100 ton atau 66,33 persen dari total kuota 450.900 ton.
“Kalau importir terbesar itu menutup gudang sepekan saja, maka harga sudah pasti naik, karena 70 persen kebutuhan kedelai kita tergantung impor. Jadi kalau sekarang kenaikan harga kedelai dibilang akibat depresiasi nilai tukar rupiah, itu tidak betul. Indikasinya karena kartel,” ujar Didik, tanpa spesifik menuding ketiga importir besar tersebut.
Dia menekankan bahwa Kementerian Perdagangan tidak pernah memberikan informasi transparan mengenai kuota impor kedelai. Akibatnya, kemungkinan terjadi praktik monopoli dan kartel sangat besar. Didik menilai, semestinya kenaikan harga kedelai tidak sebesar saat ini yang berkisar Rp 10 ribu per kilogram, bahkan di beberapa daerah mencapai Rp 11.000/kg. Apalagi, yang dijual adalah stok lama yang tidak kena imbas depresiasi rupiah.
Dalam jangka pendek, Didik menyarankan agar pemerintah memanggil para importir, lalu memerintahkan mereka membuka stok dan segera membanjiri pasar agar harga turun. Direktur Indef Enny Sri Hartati menambahkan, timnya menginvestigasi Surat Persetujuan Impor (SPI) kedelai dari pemerintah pada 28-30 Agustus 2013.
SPI menunjukkan importir terdaftar (IT) yang mendapat persetujuan dari pemerintah terdiri atas 14 perusahaan dengan kuota 450.900 ton. Adapun jumlah pengajuan dari importir 886.200 ton. Dari 14 perusahaan itu, tiga di antaranya mendapat kuota terbesar. “Ini cenderung membentuk kartel,” ungkapnya.
Enny menambahkan, terdapat indikasi ke- salahan desain kebijakan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/KEP/8/2013 yang dirilis pada 29 Agustus lalu tentang Ketentuan Impor Kedelai. Peraturan itu diduga menjadi penyebab harga kedelai bergejolak. Permen tersebut mewajibkan importir menjadi importir terdaftar (IT), sehingga mengakibatkan penerbitan SPI molor.
“Pengeluaran izin impor yang terlalu lama itu memberi ruang kepada spekulan di pasaran. Apalagi struktur pemegang kuota impor cenderung dikuasai kartel. Jika pemegang persetujuan impor terbesar menahan stok, maka besar kemungkinan terjadi kelangkaan dan akan berujung pada melejitnya harga kedelai, seperti pernah terjadi pada kasus bawang putih,” jelasnya.
Insentif Petani
Menurut dia, tren harga kedelai di pasar internasional sebenarnya relatif stabil, bahkan turun dari 577,40 dolar AS per ton pada Juli 2013 menjadi 523,63 dolar AS per ton pada Agustus 2013. Demikian juga pada Juni-Agustus 2012 rata-rata kenaikan harga di pasar internasional hanya 7%. Namun pada saat yang sama di Indonesia harga justru naik 30%.
Pada Juli tahun lalu, harga kedelai melonjak dari Rp 6.000 per kilogram menjadi Rp 8.500 per kilogram. Kali ini, pada September menyentuh Rp 10 ribu per kilogram. Enny menambahkan, pemicu kenaikan harga tahun lalu adalah menurunnya produksi kedelai di negara pengekspor, Amerika Serikat.
Penurunan produksi terjadi akibat perubahan iklim yang ekstrem di negara penghasil kedelai terbesar di dunia itu. Di sisi lain, gejolak depresiasi rupiah dari kisaran 9.700 menjadi 11.600 per dolar AS turut menjadi pemicu.
Tidak Ada Masalah
“Kenaikan harga itu pasti karena supply (pasokan) atau demand (permintaan). Dari sisi demand tidak ada masalah. Walaupun inflasi tinggi, membeli tempe hampir tak ada masalah. Berarti masalahnya di pasokan. Pemerintah tahu betul pemegang pasokan kedelai,” tandasnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah memberi peringatan kepada importir untuk melepas stok ke pasar agar harga turun. Dia juga memaparkan persoalan fundamental kedelai, yakni ketergantungan impor lebih dari 70% dan khusus dari AS 66%. “Peningkatan produksi dan swasembada kedelai sebatas wacana, tidak ada upaya konkret untuk meningkatkan produksi dalam negeri,” ujarnya.
Enny menilai pemerintah selalu berlindung pada persoalan keterbatasan lahan dan produktivitas kedelai lokal yang rendah. Padahal hal itu terjadi karena tidak ada insentif bagi petani lantaran rendahnya harga jual kedelai dibanding komoditas lain. Selain itu, banyak lembaga riset menghasilkan berbagai varietas kedelai unggulan, tapi tidak pernah dibudidayakan secara massal oleh petani.
“Pemerintah justru membuka keran impor saat petani panen raya. Akibatnya para pedagang/teng- kulak mengambil kesempatan untuk menekan harga di tingkat petani,” ungkapnya.
Menurutnya, petani tidak pernah mendapat keuntungan dari kenaikan harga pangan di Tanah Air. “Semestinya kenaikan harga pangan jadi berkah, bukan malapetaka seperti sekarang.”
Indef menilai kebijakan pemerintah tidak konsisten. Misalnya, kebijakan penghapusan bea masuk saat harga kedelai impor tinggi. Hal ini kontraproduktif dengan upaya peningkatan kedelai lokal. “Kebijakan hanya berorientasi jangka pendek dengan mengatasnamakan stabilisasi harga. Kebijakan ini hanya menguntungkan pemburu rente dan orientasi kebijakan cuma bersifat populis,” tambahnya.
Enny menyoroti kebijakan pangan yang diserahkan pada pasar. Hal ini bermula dari konsekuensi letter of intent dengan IMF yang menyebabkan Bulog melepas komoditas pangan kepada mekanisme pasar. “Mekanisme pasar memang tidak salah jika telah tercipta iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif,” ujarnya.
Indef menawarkan beberapa rekomendasi, antara lain memanfaatkan lahan suboptimal untuk mendorong produktivitas kedelai. Hal ini dibarengi dengan pemberian subsidi pupuk langsung kepada petani, pembudidayaan dan pemberian benih varietas unggul, serta optimalisasi tenaga penyuluh lapangan. Tak kalah penting, petani harus diberi insentif pembiayaan.
Selain itu, tambah Enny, Indef merekomendasikan pembangunan sarana logistik dan sarana perdagangan di pedesaan untuk menjamin keberlanjutan produksi dan rantai distribusi. Dia menekankan agar komoditas pangan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itu, perlu dibentuk badan yang berfungsi sebagai penyangga stok dan penjaga stabilisasi harga.
Hal yang juga penting, lanjutnya, adalah menciptakan sistem tata niaga yang sehat dan kompetitif dengan mereformasi berbagai kebijakan yang berpeluang menyuburkan terjadinya kartel, seperti sistem kuota. “KPPU harus memberi sanksi tegas kepada pelaku persaingan usaha yang tidak sehat,” tandasnya.
Manajemen Lemah
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, stok kedelai nasional saat ini 300 ribu ton. Jumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Namun, harga dipengaruhi oleh kemelemahan nilai tukar rupiah karena kedelai didapat dari importir.
“Solusi jangka pendek yang akan kami lakukan adalah memastikan para pengusaha importir bekerja sama dengan koperasi tahu-tempe untuk menyuplai kedelai kepada para perajin dengan harga khusus,” katanya.
Ia berjanji segera menuntaskan masalah itu dengan menjembatani importir dan perajin. Gita menekankan pentingnya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sebagai solusi jangka panjang. “Jangan sampai kita tergantung sama impor,” katanya.
Menanggapi usulan agar tata niaga kedelai di- kembalikan ke Perum Bulog, Gita mengatakan, perusahaan negara itu dilibatkan untuk menstabilisasi harga.“Kami telah memberikan izin impor 100 ribu ton kedelai untuk Bulog,” ujarnya.
Di lain pihak, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan, kartel terjadi akibat kelemahan penataan pangan nasional dari hulu hingga hilir. “Itu diakibatkan penataan manajemen pangan nasional yang lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangan,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansyur.
Menurut Natsir, data Kadin menyebutkan bahwa potensi kartel pada enam komoditas pangan strategis mencapai Rp 11,34 triliun per tahun. Keenam komoditas tersebut adalah daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras impor.
Karena itu, Kadin meminta pemerintah merombak tata niaga impor nasional yang disebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sehingga rentan spekulasi dan kartel. (bn,J10,viva-59)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/11/236478
Senin, 09 September 2013
Berjaya di Zaman Orba, Terpuruk di Era Perdagangan Bebas
Kisah Kedelai di Negeri Agraris
Tiga minggu terakhir, para perajin
tahu dan tempe menjerit. Mereka kebingungan karena bahan baku utama usaha
mereka, kedelai, harganya melejit. Kedelai tercatat sebagai komoditas yang
kerap mengalami fluktuasi harga.
PERTENGAHAN tahun lalu, harga
kedelai juga naik pada kisaran Rp 8.000 per kilogram. Angka itu naik signifikan
dibandingkan harga pada awal 2012 yang hanya Rp 5.300 per kilogram. Sementara
pada 2007 lalu gejolak harga kedelai hanya mencapai Rp 7.000 per kilogram.
Tapi kali ini, harga kedelai
mencapai level tertingginya pada kisaran Rp 9.000 per kilogram. Bahkan, di
beberapa daerah menyentuh Rp 10.000 per kilogram. Yang membuat harga
kedelai meroket karena dipicu nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS
yang melemah hingga tembus Rp 11.000. Akibatnya, kedelai yang hampir
sepenuhnya diimpor dari Amerika Serikat pun ikut terkena imbas.
Wakil Menteri Pertanian, Rusman
Heriawan menyatakan produksi kedelai di Tanah Air hanya cukup memenuhi
kebutuhan nasional 25-30%. ”Luas lahan kedelai sekitar 500 ribuan hektare,
produksinya kira-kira 800 ribu ton. Sementara kebutuhannya 2,4-2,5 juta ton,”
tuturnya kepada Suara Merdeka.
Dia pun mengisahkan kejayaan
kedelai di masa Orde Baru (Orba).
Sebelum 2000, kata Rusman, kedelai
adalah komoditas yang menarik bagi petani. Terbukti, luas lahan kala itu
mencapai sekitar 1,5 juta hektare dan total produksi mencapai 1,5 juta ton.
Namun, pada 1998 atas saran IMF, Indonesia membuka keran impor kedelai.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen
Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin saat ditemui di Gedung Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menceritakan, mulai 1998, kebijakan distribusi
tunggal kedelai diubah karena pemerintah menuruti saran IMF. Hal itu sebagai
bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis
ekonomi. Maka turut sertalah Indonesia membuka akses perdagangan bebas.
Sejak itulah Bulog, kata Aip, tidak
lagi menangani kedelai dan negara membebaskan siapa pun yang ingin mengimpor
bahan baku tahu tempe itu. Akibatnya meski pasokan tetap terjaga, namun harga
lebih fluktuatif, sehingga merugikan pengusaha.
”Kedelai diatur pemerintah sejak
1979-1998, hampir 20 tahun dikelola dan dimonopoli oleh Bulog. Selama 20 tahun
kehidupan petani dan perajin baik. Pada 1992-1993, kami sudah swasembada
kedelai. Itu zaman keemasan kami,” katanya.
Terus Turun
Dalam sensus pertanian yang
dilakukan setiap 10 tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan ada tren
pengurangan lahan tanam antara 2013 dibanding 2003 dan 1993. Kepala BPS
Suryamin menyatakan tidak tertutup kemungkinan ada kecenderungan petani beralih
dari tanam kedelai ke jenis tanaman lain.
BPS menyebutkan produksi kedelai
pada 2012 sebesar 853.500 ton biji kering. Angka ini turun 0,96% dibanding 2011
yang sebesar 851.286 ribu ton biji kering. Untuk 2013 berdasarkan angka ramalan
I, BPS memperkirakan produksi kedelai mencapai 847.160 ribu ton biji kering
atau naik 0,47% dibanding 2012.
”Dibandingkan dengan kebutuhan
memang masih jauh, sehingga masih harus impor. Kalau yang terjadi sekarang BPS
update angka dan diberikan ke pemerintah sebagai landasan perbaikan,” kata
Suryamin.
Adapun luas panen kedelai, pada 2011
sebesar 622.254 hektare dengan produktivitas 13,68 kilogram per hektar. Lalu
pada 2012, luas panen turun menjadi 567.624 hektare dengan produktivitas 14,85
kilogram per hektare. Untuk 2013, angka ramalan I, luas panen kedelai
diperkirakan sebesar 571.564 hektare dengan produktivitas 14,82 kilogram per
hektare.
Wamentan Rusman menambahkan setelah
2000, produksi kedelai di Tanah Air terus turun, stagnan, dan ada peningkatan
sedikit pada tahun ini. Menurutnya, penyebab turunnya produksi adalah harga
kedelai yang tidak menarik.
”Pada 2000-an, posisinya harga
kedelai 1,5 kali harga beras, masih menarik orang tanam kedelai. Jadi sekarang
orang lebih senang menanam beras daripada kedelai, lebih menguntungkan,”
ungkapnya.
Namun, Rusman membantah jika kedelai
impor bersaing dengan kedelai lokal. Menurutnya, kedelai impor sudah melalui
lompatan jauh dalam dunia pertanian, sedangkan kedelai lokal tidak. ”Kedelai di
AS atau Brasil sudah melalui genetic modified organism (GMO) atau transgenik.
Itu masih kontroversial, jadi nggak bisa kami lakukan juga,” kata mantan kepala
BPS ini.
Kedelai impor adalah kedelai GMO
yang sudah dimodifikasi atau disisipkan gen tertentu dengan tujuan untuk
memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, seperti meningkatkan resistensi
terhadap pestisida, hama, kekeringan. Produk transgenik ini kemudian menjadi
kontroversial karena dinilai memicu masalah kesehatan. Namun, hal ini belum
bisa dibuktikan secara menyeluruh.
Swasembada
Lantas bagaimana dengan target
swasembada kedelai di tahun depan ? Rusman mengatakan, kecil kemungkinan hal
itu tercapai. Pihaknya sebenarnya menargetkan produksi kedelai tahun ini bisa
mencapai 1,5 juta ton. Kenyataannya, kedelai yang dihasilkan hanya 800
ribu-an ton.
Dia menyatakan pemerintah terus
mendorong petani untuk menanam kedelai dengan perluasan lahan untuk tanaman
kedelai. Selain itu, pemerintah juga mendorong petani supaya beban
produksinya lebih murah melalui subsidi benih kedelai.
Sementara itu, Ketua Dewan Kedelai
Nasional Benny Kusbini sejak awal menilai swasembada kedelai tidak mungkin
terealisasi mengingat minimnya produksi. Dia meyakini produksi kedelai tahun
ini mengalami penurunan dari target semula sekitar 800 ribu ton menjadi hanya
600 ribu ton.
Kegagalan panen tersebut, kata dia,
selain karena musim yang tidak menentu juga karena faktor bibit kedelai yang
tidak bagus.”Ini harus dilakukan investigasi. Harusnya KPPU turun, intelijen
turun, kenapa ada permainan harga kedelai. Ada kartel? Apa ada permainan dalam
swasembada, sehingga clear,” katanya.
Dia meminta pemerintah dapat
memegang penuh kendali stok bahan pangan yang berhubungan dengan hajat hidup
orang banyak.
Benny berasumsi stok kedelai yang
dirilis Menteri Perdagangan sebesar 350 ribu ton seharusnya cukup sampai
November. Adapun pelemahan rupiah yang terjadi sejak pertengahan Agustus
dinilainya belum dirasakan dampaknya terhadap harga di dalam negeri.
”Dari harga kedelai Rp 7.000 jadi Rp
10 ribu kan lumayan ada selisih Rp 3.000. Stok kedelai kita ada 350 ribu ton di
importir kali saja Rp 3.000 sudah untung Rp 1 triliun, lumayan. Ini situasi
kacau,” ungkapnya.
Namun, Benny tidak menutup
kemungkinan Indonesia bisa lepas dari ketergantungan impor itu. Dia menyarankan
pemerintah menggunakan BUMN, seperti Perum Bulog, PT RNI, Pusri, dan PTPN sebagai
pengimpor agar tidak ada spekulan yang mengambil keuntungan.
Secara jangka panjang, pemerintah
bisa memperluas lahan tanam dan menyerahkan penanaman ke BUMN. Selain itu harus
ada pembangunan cluster lahan kedelai di daerah-daerah seperti Kalimantan
Timur, Sulawesi Utara, dan sebagainya. (Kartika Runiasari-71)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/09/236240
Senin, 02 September 2013
Impor Kedelai Bulog Tiba Bulan Depan
TEMPO.CO, Jakarta - Perum Bulog akhirnya mendapat izin impor 20 ribu ton
kedelai dari Kementerian Perdagangan. Direktur Perencanaan dan
Pengembangan Usaha Bulog Rito Angky Pratomo menyatakan telah menerima
surat pemberitahuannya pada Jumat, 30 Agustus 2013 lalu.
"Kami sudah melakukan koordinasi dan pemesanan. Pengiriman pertama dari Amerika Serikat akan tiba dalam 45-48 hari," ujar Angky dalam konferensi pers bersama Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) di Gedung Pusdiklat Bulog, Kuningan, Jakarta, Ahad, 1 September 2013.
Dengan harga kedelai internasional berada di kisaran US$ 500 per ton, maka untuk mengimpor sebanyak 20 ribu ton kedelai Bulog harus menyiapkan dana US$ 50 juta atau hampir setara Rp 110 miliar. "Kami siap dananya," kata Angky.
Angky juga menyatakan bahwa sesuai Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang penugasan Bulog untuk pengamanan harga dan distribusi kedelai, perusahaannya juga telah berusaha menyerap hasil panen petani lokal sesuai harga yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja, jumlah kedelai yang tersedia memang tak banyak. "Kami kemarin baru dapat dari Aceh 17 ton," ujarnya.
Tak hanya itu, Angky juga telah berkoordinasi dengan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) untuk membeli kedelai hasil impor dan pembelian lokalnya.
Ketua Gakoptindo Aip Syarifuddin pun menyatakan, ia siap menyerap seluruh kedelai Bulog. "Berara pun (kedelai) Bulog, kami siap," ujarnya.
Aip menyatakan, gabungan koperasi yang dipimpinnya beranggotakan 115 ribu perajin tahu tempe di seluruh Indonesia. Mereka membutuhkan 135 ribu ton kedelai tiap bulan. "Jadi, Bulog jangan takut tidak ada yang beli," katanya.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebelumnya juga telah menetapkan dua harga patokan untuk kedelai. Harga beli dari petani oleh Bulog ditetapkan sebesar Rp 7 ribu per kilogram sejak bulan Juli 2013 dan akan berlaku selama tiga bulan hingga September. Sementara harga jual pada perajin Agustus ditetapkan Rp 7.700 per kilogram dan akan diperbarui setiap bulan.
"Harga jual ke perajin untuk bulan September akan kita tetapkan besok," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina
PINGIT ARIA
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/01/090509194/Impor-Kedelai-Bulog-Tiba-Bulan-Depan
"Kami sudah melakukan koordinasi dan pemesanan. Pengiriman pertama dari Amerika Serikat akan tiba dalam 45-48 hari," ujar Angky dalam konferensi pers bersama Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) di Gedung Pusdiklat Bulog, Kuningan, Jakarta, Ahad, 1 September 2013.
Dengan harga kedelai internasional berada di kisaran US$ 500 per ton, maka untuk mengimpor sebanyak 20 ribu ton kedelai Bulog harus menyiapkan dana US$ 50 juta atau hampir setara Rp 110 miliar. "Kami siap dananya," kata Angky.
Angky juga menyatakan bahwa sesuai Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang penugasan Bulog untuk pengamanan harga dan distribusi kedelai, perusahaannya juga telah berusaha menyerap hasil panen petani lokal sesuai harga yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja, jumlah kedelai yang tersedia memang tak banyak. "Kami kemarin baru dapat dari Aceh 17 ton," ujarnya.
Tak hanya itu, Angky juga telah berkoordinasi dengan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) untuk membeli kedelai hasil impor dan pembelian lokalnya.
Ketua Gakoptindo Aip Syarifuddin pun menyatakan, ia siap menyerap seluruh kedelai Bulog. "Berara pun (kedelai) Bulog, kami siap," ujarnya.
Aip menyatakan, gabungan koperasi yang dipimpinnya beranggotakan 115 ribu perajin tahu tempe di seluruh Indonesia. Mereka membutuhkan 135 ribu ton kedelai tiap bulan. "Jadi, Bulog jangan takut tidak ada yang beli," katanya.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebelumnya juga telah menetapkan dua harga patokan untuk kedelai. Harga beli dari petani oleh Bulog ditetapkan sebesar Rp 7 ribu per kilogram sejak bulan Juli 2013 dan akan berlaku selama tiga bulan hingga September. Sementara harga jual pada perajin Agustus ditetapkan Rp 7.700 per kilogram dan akan diperbarui setiap bulan.
"Harga jual ke perajin untuk bulan September akan kita tetapkan besok," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina
PINGIT ARIA
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/01/090509194/Impor-Kedelai-Bulog-Tiba-Bulan-Depan
Langganan:
Postingan (Atom)