Rabu, 11 September 2013
Kartel Kuasai Impor Kedelai
- Picu Kenaikan Harga
Kenaikan harga kedelai tak semata-mata disebabkan kemelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi tersebut diduga juga akibat praktik kartel oleh beberapa importir.
Hal itu diungkapkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini dalam jumpa pers “Gejolak Harga Kedelai: Analisis Kartel dan Monopoli” di Jakarta, Selasa (10/9). Menurut dia, kartel kedelai tersebut membuat kesepakatan-kesepakatan untuk memainkan harga.
“Saya katakan ada indikasi kartel (kedelai). Penyebabnya, pemegang pasokan yang memiliki kekuatan sebagai price maker (penentu harga) membuat kesepakatan horisontal,” jelasnya.
Menurut Didik, pada Februari 2013 Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan, termasuk kedelai.
Presiden bahkan telah memerintahkan KEN dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki kemungkinan tersebut.
Namun di sisi lain, Kementerian Perdagangan justru memberikan izin impor kedelai kepada perusahaan-perusahaan yang terindikasi kartel dengan kuota sangat besar.
Berdasarkan data penelitian Indef, ada tiga importir yang mendapat kuota terbesar, yakni PT FKS Multi Agro sebesar 210.600 ton (46,71 persen dari total alokasi impor), PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,31 persen), dan PT Budi Semesta Satria 42.000 ton (9,31 persen). Mereka menguasai 299.100 ton atau 66,33 persen dari total kuota 450.900 ton.
“Kalau importir terbesar itu menutup gudang sepekan saja, maka harga sudah pasti naik, karena 70 persen kebutuhan kedelai kita tergantung impor. Jadi kalau sekarang kenaikan harga kedelai dibilang akibat depresiasi nilai tukar rupiah, itu tidak betul. Indikasinya karena kartel,” ujar Didik, tanpa spesifik menuding ketiga importir besar tersebut.
Dia menekankan bahwa Kementerian Perdagangan tidak pernah memberikan informasi transparan mengenai kuota impor kedelai. Akibatnya, kemungkinan terjadi praktik monopoli dan kartel sangat besar. Didik menilai, semestinya kenaikan harga kedelai tidak sebesar saat ini yang berkisar Rp 10 ribu per kilogram, bahkan di beberapa daerah mencapai Rp 11.000/kg. Apalagi, yang dijual adalah stok lama yang tidak kena imbas depresiasi rupiah.
Dalam jangka pendek, Didik menyarankan agar pemerintah memanggil para importir, lalu memerintahkan mereka membuka stok dan segera membanjiri pasar agar harga turun. Direktur Indef Enny Sri Hartati menambahkan, timnya menginvestigasi Surat Persetujuan Impor (SPI) kedelai dari pemerintah pada 28-30 Agustus 2013.
SPI menunjukkan importir terdaftar (IT) yang mendapat persetujuan dari pemerintah terdiri atas 14 perusahaan dengan kuota 450.900 ton. Adapun jumlah pengajuan dari importir 886.200 ton. Dari 14 perusahaan itu, tiga di antaranya mendapat kuota terbesar. “Ini cenderung membentuk kartel,” ungkapnya.
Enny menambahkan, terdapat indikasi ke- salahan desain kebijakan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/KEP/8/2013 yang dirilis pada 29 Agustus lalu tentang Ketentuan Impor Kedelai. Peraturan itu diduga menjadi penyebab harga kedelai bergejolak. Permen tersebut mewajibkan importir menjadi importir terdaftar (IT), sehingga mengakibatkan penerbitan SPI molor.
“Pengeluaran izin impor yang terlalu lama itu memberi ruang kepada spekulan di pasaran. Apalagi struktur pemegang kuota impor cenderung dikuasai kartel. Jika pemegang persetujuan impor terbesar menahan stok, maka besar kemungkinan terjadi kelangkaan dan akan berujung pada melejitnya harga kedelai, seperti pernah terjadi pada kasus bawang putih,” jelasnya.
Insentif Petani
Menurut dia, tren harga kedelai di pasar internasional sebenarnya relatif stabil, bahkan turun dari 577,40 dolar AS per ton pada Juli 2013 menjadi 523,63 dolar AS per ton pada Agustus 2013. Demikian juga pada Juni-Agustus 2012 rata-rata kenaikan harga di pasar internasional hanya 7%. Namun pada saat yang sama di Indonesia harga justru naik 30%.
Pada Juli tahun lalu, harga kedelai melonjak dari Rp 6.000 per kilogram menjadi Rp 8.500 per kilogram. Kali ini, pada September menyentuh Rp 10 ribu per kilogram. Enny menambahkan, pemicu kenaikan harga tahun lalu adalah menurunnya produksi kedelai di negara pengekspor, Amerika Serikat.
Penurunan produksi terjadi akibat perubahan iklim yang ekstrem di negara penghasil kedelai terbesar di dunia itu. Di sisi lain, gejolak depresiasi rupiah dari kisaran 9.700 menjadi 11.600 per dolar AS turut menjadi pemicu.
Tidak Ada Masalah
“Kenaikan harga itu pasti karena supply (pasokan) atau demand (permintaan). Dari sisi demand tidak ada masalah. Walaupun inflasi tinggi, membeli tempe hampir tak ada masalah. Berarti masalahnya di pasokan. Pemerintah tahu betul pemegang pasokan kedelai,” tandasnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah memberi peringatan kepada importir untuk melepas stok ke pasar agar harga turun. Dia juga memaparkan persoalan fundamental kedelai, yakni ketergantungan impor lebih dari 70% dan khusus dari AS 66%. “Peningkatan produksi dan swasembada kedelai sebatas wacana, tidak ada upaya konkret untuk meningkatkan produksi dalam negeri,” ujarnya.
Enny menilai pemerintah selalu berlindung pada persoalan keterbatasan lahan dan produktivitas kedelai lokal yang rendah. Padahal hal itu terjadi karena tidak ada insentif bagi petani lantaran rendahnya harga jual kedelai dibanding komoditas lain. Selain itu, banyak lembaga riset menghasilkan berbagai varietas kedelai unggulan, tapi tidak pernah dibudidayakan secara massal oleh petani.
“Pemerintah justru membuka keran impor saat petani panen raya. Akibatnya para pedagang/teng- kulak mengambil kesempatan untuk menekan harga di tingkat petani,” ungkapnya.
Menurutnya, petani tidak pernah mendapat keuntungan dari kenaikan harga pangan di Tanah Air. “Semestinya kenaikan harga pangan jadi berkah, bukan malapetaka seperti sekarang.”
Indef menilai kebijakan pemerintah tidak konsisten. Misalnya, kebijakan penghapusan bea masuk saat harga kedelai impor tinggi. Hal ini kontraproduktif dengan upaya peningkatan kedelai lokal. “Kebijakan hanya berorientasi jangka pendek dengan mengatasnamakan stabilisasi harga. Kebijakan ini hanya menguntungkan pemburu rente dan orientasi kebijakan cuma bersifat populis,” tambahnya.
Enny menyoroti kebijakan pangan yang diserahkan pada pasar. Hal ini bermula dari konsekuensi letter of intent dengan IMF yang menyebabkan Bulog melepas komoditas pangan kepada mekanisme pasar. “Mekanisme pasar memang tidak salah jika telah tercipta iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif,” ujarnya.
Indef menawarkan beberapa rekomendasi, antara lain memanfaatkan lahan suboptimal untuk mendorong produktivitas kedelai. Hal ini dibarengi dengan pemberian subsidi pupuk langsung kepada petani, pembudidayaan dan pemberian benih varietas unggul, serta optimalisasi tenaga penyuluh lapangan. Tak kalah penting, petani harus diberi insentif pembiayaan.
Selain itu, tambah Enny, Indef merekomendasikan pembangunan sarana logistik dan sarana perdagangan di pedesaan untuk menjamin keberlanjutan produksi dan rantai distribusi. Dia menekankan agar komoditas pangan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itu, perlu dibentuk badan yang berfungsi sebagai penyangga stok dan penjaga stabilisasi harga.
Hal yang juga penting, lanjutnya, adalah menciptakan sistem tata niaga yang sehat dan kompetitif dengan mereformasi berbagai kebijakan yang berpeluang menyuburkan terjadinya kartel, seperti sistem kuota. “KPPU harus memberi sanksi tegas kepada pelaku persaingan usaha yang tidak sehat,” tandasnya.
Manajemen Lemah
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, stok kedelai nasional saat ini 300 ribu ton. Jumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Namun, harga dipengaruhi oleh kemelemahan nilai tukar rupiah karena kedelai didapat dari importir.
“Solusi jangka pendek yang akan kami lakukan adalah memastikan para pengusaha importir bekerja sama dengan koperasi tahu-tempe untuk menyuplai kedelai kepada para perajin dengan harga khusus,” katanya.
Ia berjanji segera menuntaskan masalah itu dengan menjembatani importir dan perajin. Gita menekankan pentingnya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sebagai solusi jangka panjang. “Jangan sampai kita tergantung sama impor,” katanya.
Menanggapi usulan agar tata niaga kedelai di- kembalikan ke Perum Bulog, Gita mengatakan, perusahaan negara itu dilibatkan untuk menstabilisasi harga.“Kami telah memberikan izin impor 100 ribu ton kedelai untuk Bulog,” ujarnya.
Di lain pihak, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan, kartel terjadi akibat kelemahan penataan pangan nasional dari hulu hingga hilir. “Itu diakibatkan penataan manajemen pangan nasional yang lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangan,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansyur.
Menurut Natsir, data Kadin menyebutkan bahwa potensi kartel pada enam komoditas pangan strategis mencapai Rp 11,34 triliun per tahun. Keenam komoditas tersebut adalah daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras impor.
Karena itu, Kadin meminta pemerintah merombak tata niaga impor nasional yang disebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sehingga rentan spekulasi dan kartel. (bn,J10,viva-59)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/11/236478
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar