Senin, 09 September 2013

Berjaya di Zaman Orba, Terpuruk di Era Perdagangan Bebas



Kisah Kedelai di Negeri Agraris

Tiga minggu terakhir, para perajin tahu dan tempe menjerit. Mereka kebingungan karena bahan baku utama usaha mereka, kedelai, harganya melejit. Kedelai tercatat sebagai komoditas yang kerap mengalami fluktuasi harga.
PERTENGAHAN tahun lalu, harga kedelai juga naik pada kisaran Rp 8.000 per kilogram. Angka itu naik signifikan dibandingkan harga pada awal 2012 yang hanya Rp 5.300 per kilogram. Sementara pada 2007 lalu gejolak harga kedelai hanya mencapai Rp 7.000 per kilogram.
Tapi kali ini, harga kedelai mencapai level tertingginya pada kisaran Rp 9.000 per kilogram. Bahkan, di beberapa daerah menyentuh Rp 10.000 per kilogram.  Yang membuat harga kedelai meroket karena dipicu nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS yang melemah hingga tembus Rp 11.000. Aki­bat­nya, kedelai yang hampir sepenuhnya diimpor dari Amerika Serikat pun ikut terkena imbas.
Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan menyatakan produksi kedelai di Tanah Air hanya cukup memenuhi kebutuhan nasional 25-30%. ”Luas lahan kedelai sekitar 500 ribuan hektare, produksinya kira-kira 800 ribu ton. Sementara kebutuhannya 2,4-2,5 juta ton,” tu­turnya kepada Suara Merdeka.
Dia pun mengisahkan keja­yaan kedelai di masa Orde Baru (Orba).
Sebelum 2000, kata Rusman, kedelai adalah komoditas yang menarik bagi petani. Terbukti, luas lahan kala itu mencapai sekitar 1,5 juta hektare dan total produksi mencapai 1,5 juta ton. Namun, pada 1998 atas saran IMF, Indonesia membuka keran impor kedelai.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin saat ditemui di Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menceritakan, mulai 1998, kebijakan distribusi tunggal kedelai diubah karena pemerintah menuruti saran IMF. Hal itu sebagai bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Maka turut sertalah Indonesia membuka akses perdagangan bebas.
Sejak itulah Bulog, kata Aip, tidak lagi menangani kedelai dan negara membebaskan siapa pun yang ingin mengimpor bahan baku tahu tempe itu. Akibatnya meski pasokan tetap terjaga, namun harga lebih fluktuatif, sehingga merugikan pengusaha.
”Kedelai diatur pemerintah sejak 1979-1998, hampir 20 tahun dikelola dan dimonopoli oleh Bulog. Selama 20 tahun kehidupan petani dan perajin baik. Pada 1992-1993, kami sudah swasembada kedelai. Itu zaman ke­emas­an kami,” katanya.
Terus Turun
Dalam sensus pertanian yang dilakukan setiap 10 tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan ada tren pengurangan lahan tanam antara 2013 dibanding 2003 dan 1993.  Kepala BPS Suryamin menyatakan tidak tertutup kemungkinan ada kecenderungan petani beralih dari tanam kedelai ke jenis tanaman lain.
BPS menyebutkan produksi kedelai pada 2012 sebesar 853.500 ton biji kering. Angka ini turun 0,96% dibanding 2011 yang sebesar 851.286 ribu ton biji kering. Untuk 2013 berdasarkan angka ramalan I, BPS memperkirakan produksi kedelai mencapai 847.160 ribu ton biji kering atau naik 0,47% dibanding 2012.
”Dibandingkan dengan kebutuhan memang masih jauh, sehingga masih harus impor. Kalau yang terjadi sekarang BPS update angka dan diberikan ke pemerintah sebagai landasan perbaikan,” kata Suryamin.
Adapun luas panen kedelai, pada 2011 sebesar 622.254 hektare dengan produktivitas 13,68 ki­logram per hektar. Lalu pada 2012, luas panen turun menjadi 567.624 hektare dengan produktivitas 14,85 kilogram per hektare. Untuk 2013, angka ramalan I, luas panen kedelai diperkirakan sebesar 571.564 hektare dengan produktivitas 14,82 kilogram per hektare.
Wamentan Rusman menambahkan setelah 2000, produksi kedelai di Tanah Air terus turun, stagnan, dan ada peningkatan sedikit pada tahun ini. Menurut­nya, penyebab turunnya produksi adalah harga kedelai yang tidak menarik.
”Pada 2000-an, posisinya harga kedelai 1,5 kali harga beras, masih menarik orang tanam kedelai. Jadi sekarang orang lebih se­nang menanam beras daripada kedelai, lebih menguntungkan,” ungkapnya.
Namun, Rusman membantah jika kedelai impor bersaing dengan kedelai lokal. Menurut­nya, kedelai impor sudah melalui lompatan jauh dalam dunia pertanian, sedangkan kedelai lokal tidak. ”Kedelai di AS atau Brasil sudah melalui genetic modified organism (GMO) atau transgenik. Itu masih kontroversial, jadi nggak bisa kami lakukan juga,” kata mantan kepala BPS ini.
Kedelai impor adalah kedelai GMO yang sudah dimodifikasi atau disisipkan gen tertentu dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, seperti meningkatkan resistensi terhadap pestisida, hama, kekeringan. Pro­duk transgenik ini kemudian menjadi kontroversial karena dinilai memicu masalah kesehatan. Namun, hal ini belum bisa dibuktikan secara menyeluruh.
 Swasembada
Lantas bagaimana dengan target swasembada kedelai di tahun depan ? Rusman mengatakan, kecil kemungkinan hal itu tercapai. Pihaknya sebenarnya menargetkan produksi kedelai tahun ini bisa mencapai 1,5 juta ton. Ke­nyataannya, kedelai yang diha­silkan hanya 800 ribu-an ton.
Dia menyatakan pemerintah terus mendorong petani untuk menanam kedelai dengan perluasan lahan untuk tanaman kedelai.  Selain itu, pemerintah juga mendorong petani supaya beban produksinya lebih murah melalui subsidi benih kedelai.
Sementara itu, Ketua Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini sejak awal menilai swasembada kedelai tidak mungkin terealisasi mengingat minimnya produksi. Dia meyakini produksi kedelai tahun ini mengalami penurunan dari target semula sekitar 800 ribu ton menjadi hanya 600 ribu ton.
Kegagalan panen tersebut, kata dia, selain karena musim yang tidak menentu juga karena faktor bibit kedelai yang tidak bagus.”Ini harus dilakukan investigasi. Ha­rusnya KPPU turun, in­telijen turun, kenapa ada permainan harga kedelai. Ada kartel? Apa ada permainan dalam swa­sem­bada, se­hingga clear,” katanya.
Dia meminta pemerintah dapat memegang penuh kendali stok bahan pangan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
Benny berasumsi stok kedelai yang dirilis Menteri Perdagangan se­besar 350 ribu ton seharusnya cu­kup sampai November. Adapun pe­lemahan rupiah yang terjadi se­jak pertengahan Agustus dinilainya belum dirasakan dampak­nya terhadap harga di dalam negeri.
”Dari harga kedelai Rp 7.000 jadi Rp 10 ribu kan lumayan ada selisih Rp 3.000. Stok kedelai kita ada 350 ribu ton di importir kali saja Rp 3.000 sudah untung Rp 1 triliun, lumayan. Ini situasi kacau,” ungkapnya.
Namun, Benny tidak menutup kemungkinan Indonesia bisa lepas dari ketergantungan impor itu. Dia menyarankan pemerintah menggunakan BUMN, seperti Perum Bulog, PT RNI, Pusri, dan PTPN sebagai pengimpor agar tidak ada spekulan yang meng­ambil keuntungan.
Secara jangka panjang, pemerintah bisa memperluas lahan tanam dan menyerahkan penanaman ke BUMN. Selain itu harus ada pembangunan cluster lahan kedelai di daerah-daerah seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Uta­ra, dan sebagainya. (Kartika Ru­niasari-71)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/09/236240

Tidak ada komentar:

Posting Komentar