Kisah Kedelai di Negeri Agraris
Tiga minggu terakhir, para perajin
tahu dan tempe menjerit. Mereka kebingungan karena bahan baku utama usaha
mereka, kedelai, harganya melejit. Kedelai tercatat sebagai komoditas yang
kerap mengalami fluktuasi harga.
PERTENGAHAN tahun lalu, harga
kedelai juga naik pada kisaran Rp 8.000 per kilogram. Angka itu naik signifikan
dibandingkan harga pada awal 2012 yang hanya Rp 5.300 per kilogram. Sementara
pada 2007 lalu gejolak harga kedelai hanya mencapai Rp 7.000 per kilogram.
Tapi kali ini, harga kedelai
mencapai level tertingginya pada kisaran Rp 9.000 per kilogram. Bahkan, di
beberapa daerah menyentuh Rp 10.000 per kilogram. Yang membuat harga
kedelai meroket karena dipicu nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS
yang melemah hingga tembus Rp 11.000. Akibatnya, kedelai yang hampir
sepenuhnya diimpor dari Amerika Serikat pun ikut terkena imbas.
Wakil Menteri Pertanian, Rusman
Heriawan menyatakan produksi kedelai di Tanah Air hanya cukup memenuhi
kebutuhan nasional 25-30%. ”Luas lahan kedelai sekitar 500 ribuan hektare,
produksinya kira-kira 800 ribu ton. Sementara kebutuhannya 2,4-2,5 juta ton,”
tuturnya kepada Suara Merdeka.
Dia pun mengisahkan kejayaan
kedelai di masa Orde Baru (Orba).
Sebelum 2000, kata Rusman, kedelai
adalah komoditas yang menarik bagi petani. Terbukti, luas lahan kala itu
mencapai sekitar 1,5 juta hektare dan total produksi mencapai 1,5 juta ton.
Namun, pada 1998 atas saran IMF, Indonesia membuka keran impor kedelai.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen
Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin saat ditemui di Gedung Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menceritakan, mulai 1998, kebijakan distribusi
tunggal kedelai diubah karena pemerintah menuruti saran IMF. Hal itu sebagai
bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis
ekonomi. Maka turut sertalah Indonesia membuka akses perdagangan bebas.
Sejak itulah Bulog, kata Aip, tidak
lagi menangani kedelai dan negara membebaskan siapa pun yang ingin mengimpor
bahan baku tahu tempe itu. Akibatnya meski pasokan tetap terjaga, namun harga
lebih fluktuatif, sehingga merugikan pengusaha.
”Kedelai diatur pemerintah sejak
1979-1998, hampir 20 tahun dikelola dan dimonopoli oleh Bulog. Selama 20 tahun
kehidupan petani dan perajin baik. Pada 1992-1993, kami sudah swasembada
kedelai. Itu zaman keemasan kami,” katanya.
Terus Turun
Dalam sensus pertanian yang
dilakukan setiap 10 tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan ada tren
pengurangan lahan tanam antara 2013 dibanding 2003 dan 1993. Kepala BPS
Suryamin menyatakan tidak tertutup kemungkinan ada kecenderungan petani beralih
dari tanam kedelai ke jenis tanaman lain.
BPS menyebutkan produksi kedelai
pada 2012 sebesar 853.500 ton biji kering. Angka ini turun 0,96% dibanding 2011
yang sebesar 851.286 ribu ton biji kering. Untuk 2013 berdasarkan angka ramalan
I, BPS memperkirakan produksi kedelai mencapai 847.160 ribu ton biji kering
atau naik 0,47% dibanding 2012.
”Dibandingkan dengan kebutuhan
memang masih jauh, sehingga masih harus impor. Kalau yang terjadi sekarang BPS
update angka dan diberikan ke pemerintah sebagai landasan perbaikan,” kata
Suryamin.
Adapun luas panen kedelai, pada 2011
sebesar 622.254 hektare dengan produktivitas 13,68 kilogram per hektar. Lalu
pada 2012, luas panen turun menjadi 567.624 hektare dengan produktivitas 14,85
kilogram per hektare. Untuk 2013, angka ramalan I, luas panen kedelai
diperkirakan sebesar 571.564 hektare dengan produktivitas 14,82 kilogram per
hektare.
Wamentan Rusman menambahkan setelah
2000, produksi kedelai di Tanah Air terus turun, stagnan, dan ada peningkatan
sedikit pada tahun ini. Menurutnya, penyebab turunnya produksi adalah harga
kedelai yang tidak menarik.
”Pada 2000-an, posisinya harga
kedelai 1,5 kali harga beras, masih menarik orang tanam kedelai. Jadi sekarang
orang lebih senang menanam beras daripada kedelai, lebih menguntungkan,”
ungkapnya.
Namun, Rusman membantah jika kedelai
impor bersaing dengan kedelai lokal. Menurutnya, kedelai impor sudah melalui
lompatan jauh dalam dunia pertanian, sedangkan kedelai lokal tidak. ”Kedelai di
AS atau Brasil sudah melalui genetic modified organism (GMO) atau transgenik.
Itu masih kontroversial, jadi nggak bisa kami lakukan juga,” kata mantan kepala
BPS ini.
Kedelai impor adalah kedelai GMO
yang sudah dimodifikasi atau disisipkan gen tertentu dengan tujuan untuk
memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, seperti meningkatkan resistensi
terhadap pestisida, hama, kekeringan. Produk transgenik ini kemudian menjadi
kontroversial karena dinilai memicu masalah kesehatan. Namun, hal ini belum
bisa dibuktikan secara menyeluruh.
Swasembada
Lantas bagaimana dengan target
swasembada kedelai di tahun depan ? Rusman mengatakan, kecil kemungkinan hal
itu tercapai. Pihaknya sebenarnya menargetkan produksi kedelai tahun ini bisa
mencapai 1,5 juta ton. Kenyataannya, kedelai yang dihasilkan hanya 800
ribu-an ton.
Dia menyatakan pemerintah terus
mendorong petani untuk menanam kedelai dengan perluasan lahan untuk tanaman
kedelai. Selain itu, pemerintah juga mendorong petani supaya beban
produksinya lebih murah melalui subsidi benih kedelai.
Sementara itu, Ketua Dewan Kedelai
Nasional Benny Kusbini sejak awal menilai swasembada kedelai tidak mungkin
terealisasi mengingat minimnya produksi. Dia meyakini produksi kedelai tahun
ini mengalami penurunan dari target semula sekitar 800 ribu ton menjadi hanya
600 ribu ton.
Kegagalan panen tersebut, kata dia,
selain karena musim yang tidak menentu juga karena faktor bibit kedelai yang
tidak bagus.”Ini harus dilakukan investigasi. Harusnya KPPU turun, intelijen
turun, kenapa ada permainan harga kedelai. Ada kartel? Apa ada permainan dalam
swasembada, sehingga clear,” katanya.
Dia meminta pemerintah dapat
memegang penuh kendali stok bahan pangan yang berhubungan dengan hajat hidup
orang banyak.
Benny berasumsi stok kedelai yang
dirilis Menteri Perdagangan sebesar 350 ribu ton seharusnya cukup sampai
November. Adapun pelemahan rupiah yang terjadi sejak pertengahan Agustus
dinilainya belum dirasakan dampaknya terhadap harga di dalam negeri.
”Dari harga kedelai Rp 7.000 jadi Rp
10 ribu kan lumayan ada selisih Rp 3.000. Stok kedelai kita ada 350 ribu ton di
importir kali saja Rp 3.000 sudah untung Rp 1 triliun, lumayan. Ini situasi
kacau,” ungkapnya.
Namun, Benny tidak menutup
kemungkinan Indonesia bisa lepas dari ketergantungan impor itu. Dia menyarankan
pemerintah menggunakan BUMN, seperti Perum Bulog, PT RNI, Pusri, dan PTPN sebagai
pengimpor agar tidak ada spekulan yang mengambil keuntungan.
Secara jangka panjang, pemerintah
bisa memperluas lahan tanam dan menyerahkan penanaman ke BUMN. Selain itu harus
ada pembangunan cluster lahan kedelai di daerah-daerah seperti Kalimantan
Timur, Sulawesi Utara, dan sebagainya. (Kartika Runiasari-71)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/09/236240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar