Senin, 16 September 2013

Negara Kalah Melawan Kartel Kedelai?

Penetapan harga khusus kedelai oleh Kementerian Perdagangan dalam bentuk harga jual pemerintah sebesar Rp 8.490 per kilogram (11/9) menunjukkan bahwa negara kalah melawan kartel kedelai. Harga ini masih terlalu tinggi dan sangat memberatkan perajin tahu tempe.

Sebelumnya menurut Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini (Rabu, 11/9), kartel kedelai menangguk untung yang luar biasa. Hanya dalam dua bulan, kartel penghisap ini untung lebih dari Rp 1 triliun.

Kedelai yang sekarang mereka jual itu dibeli dua bulan lalu dengan harga lama, sekitar Rp 5.600 - Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan harga khusus kedelai ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan sebesar Rp 8.490/kg. Dengan menjual kedelai Rp 8.490/kg, dipotong biaya pengapalan dan asuransi, kartel kedelai mengantongi untung minimal Rp 2.000 per kilogram.

Dengan stok yang mereka miliki sebanyak 500.000 ton, kartel ini menangguk untung minimum 1 triliun Rp. Ini hanya keuntungan minimum, karena hanya 11.900 ton kedelai dijual dengan harga khusus Rp 8.490/kg. Lebih dari 488.000 ton dijual dengan harga pasar yang lebih tinggi.

Berkebalikan dari kartel kedelai yang menangguk untung luar biasa besar, pedagang tahu dan tempe bermodal kecil terancam bangkrut karena mahalnya kedelai. Dari Bandung, Ketua Kopti Jabar, Asep Nurdin mengatakan sebanyak 4000 perajin (40 persen) perajin tahu tempe masih menghentikan aktivitasnya dan terancam bangkrut (Pikiran Rakyat, 28/8/2013). Dari Wonogiri, sekitar 300 perajin tahu dan tempe (10 persen dari total perajin tahu tempe di Kabupaten Wonogiri) mulai gulung tikar (Solopos.com, 3/9/2013). Begitu juga berita dari Palembang, Bekasi, Banyumas, Kudus, Madura, Mataram, Kotawaringin, dan berbagai daerah lain di seluruh Indonesia.

Di sisi lain, tingginya harga kedelai memaksa pedagang menaikkan harga sekaligus memperkecil ukuran. Mahalnya tahu tempe bisa mengancam gizi masyarakat bawah yang selama ini mengandalkan tahu tempe untuk memenuhi kecukupan gizinya karena telur dan daging tidak terjangkau. Efek lanjutannya, bayi dan anak-anak yang tidak memperoleh asupan gizi yang baik dapat terhambat pertumbuhan otaknya secara optimal. Hal ini dapat menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa (lost generation).

Meroketnya harga kedelai disinyalir sebagai ulah kartel yang ingin menangguk untung besar di tengah masalah harga kedelai dunia yang naik dan terus melemahnya kurs Rupiah terhadap dollar. Ulah kartel ini sangat merugikan para perajin tahu tempe. Patut diduga bahwa kartel ini memang sengaja menimbun pasokan agar harga kedelai melonjak. "Selain melemahnya nilai tukar rupiah, ada upaya spekulan atau importir yang sengaja menahan barang dan mengeluarkan sedikit demi sedikit sehingga harga kedelai melonjak," kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu/Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin (2/9/2013).

Dengan data yang lebih kuantitatif, adanya kartel kedelai ini diungkap Direktur INDEF Enny Sri Hartati. Dari data yang ada, terdapat tiga besar perusahaan importir kedelai yang mendapatkan kuota impor kedelai besar, yaitu PT FKS Multi Agro dengan kuota impor 210.600 ton (46,7 persen), PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,3 persen), dan PT Budi Semesta Satria 42.000 ton (9,3 persen). "Total pengajuannya mencapai 886.200 ton, sedangkan total kuota impor kedelai tiga perusahaan tersebut mencapai 66,33 persen atau cenderung membentuk kartel," ujar Enny, Selasa (10/9/2013).

Masalah tingginya harga kedelai sebenarnya tidak hanya terjadi sekarang, tapi hampir setiap tahun terulang. Tahun 2008 perajin tahu tempe juga mogok produksi karena mahalnya kedelai sehingga ongkos produksinya naik. Mengapa kasus tingginya harga kedelai terulang setiap tahun? Di mana peran pemerintah sebagai stabilisator harga dan pelindung masyarakat? Mengapa komoditas penting ini diserahkan pada swasta yang menjelma menjadi kartel yang mengeruk keuntungan setinggi-tingginya dengan mengorbankan masyarakat banyak? Kita pantas menggugat Pemerintah, terutama Presiden SBY dan Menteri Perdagangan yang gagal menjalankan fungsi negara dalam kasus ini.

Tingginya harga kedelai akibat ulah kartel, menurut ekonom Didik J. Rachbini, menunjukkan bahwa pemerintah kalah dari pelaku usaha. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan Kemendag memaksa importir mengatur stoknya supaya harga tidak bergejolak. Menurut Didik, pemerintah seharusnya tahu siapa yang menguasai stok, toh tidak ada lonjakan permintaan kedelai yang berlebihan. Apalagi ada kabar bahwa pemerintah sampai melobi importir supaya menjual kedelai dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Ketidakmampuan negara melindungi masyarakat miskin dari gejolak harga kedelai menyiratkan ciri negara gagal. Menurut Muhammad Syarkawi Rauf (Bisnis Indonesia, 12/9/2013), negara gagal karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif, hanya menguntungkan segelintir orang. Rauf mengutip buku berjudul Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty karya Daron Acemoglu (MIT) dan James A. Robinson (Harvard). Kedua profesor tersebut berkesimpulan bahwa kemiskinan yang dialami oleh negara miskin bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat dan mengutamakan kepentingan publik.

Kasus carut marut harga kedelai ini menyiratkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara gagal. Hal ini karena negara tidak bisa mengatasi dan “kalah” melawan praktik bisnis kartel yang mengeksploitasi dan mengorbankan masyarakat miskin. Namun  kekalahan ini tampaknya terjadi bukan karena telah terjadi pertarungan yang sengit, tetapi justru karena adanya konspirasi, KKN dan kepentingan oknum-oknum penguasa yang memang berburu rente melalui praktik kartel ini.

Kasus gonjang-ganjing kedelai membuktikan bahwa kartel kedelai telah membuat skenario bersama oknum penguasa untuk menangguk keuntungan jumlah luar biasa besar dalam waktu singkat. Tak heran, menurut Rauf, pengalaman internasional pun menunjukkan bahwa kartel termasuk kejahatan ekonomi luar biasa yang dampak negatifnya jauh lebih buruk dibandingkan dengan kejahatan korupsi.

Karena kartel ini termasuk kejahatan luar biasa, maka untuk memberantasnya, kita pantas mendukung pendapat dan usulan Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini untuk menerapkan undang-undang subversif bagi para pelakunya. Selain itu, guna menuntaskan masalah ini Pemerintah perlu juga melibatkan Direktorat Ekonomi Khusus Mabes Polri dan BIN di bawah kordinasi Menko Perekonomian.

Kita meminta gonjang-ganjing kedelai cepat diselesaikan. Karena kedelai merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, harganya tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah harus hadir menjalankan seluruh peran negara untuk melindungi kepentingan rakyat, termasuk dalam menjamin pasokan, menstabilkan harga, memberi subsidi, mengendalikan distribusi, mengamankan tata niaga dan sistem informasi harga.

Karena kedelai termasuk unsur food/pangan yang merupakan salah satu dari tiga isu strategis global  saat ini (food, energy dan water, FEW), maka Pemerintah DPR harus menuntaskan permasalahannya secara menyeluruh dan berkelanjutan. Peran Bulog harus direvitalisasi dan dioptimalkan, lahan pertanian kedelai diperluas secara massif, harga kedelai bagi petani distabilkan, koperasi untuk pertanian dan distribusi dihidupkan, liberalisasi pertanian dan pangan diperbaiki. Dalam rangka pengamanan pangan nasional, Pemerintah dan DPR harus segera membentuk lembaga yang khusus menangani masalah pangan. Praktek kartel harus dihilangkan dan pelakunya dihukum berat. Sedangkan pejabat negara yang membiarkan terjadinya kartel kedelai harus dituntut bertanggungjawab.  (US)

Sumber: Satunegeri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar