Penetapan harga khusus kedelai oleh Kementerian Perdagangan dalam bentuk
harga jual pemerintah sebesar Rp 8.490 per kilogram (11/9) menunjukkan
bahwa negara kalah melawan kartel kedelai. Harga ini masih terlalu
tinggi dan sangat memberatkan perajin tahu tempe.
Sebelumnya menurut Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini
(Rabu, 11/9), kartel kedelai menangguk untung yang luar biasa. Hanya
dalam dua bulan, kartel penghisap ini untung lebih dari Rp 1 triliun.
Kedelai yang sekarang mereka jual itu dibeli dua bulan lalu dengan harga
lama, sekitar Rp 5.600 - Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan harga khusus
kedelai ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan sebesar Rp 8.490/kg.
Dengan menjual kedelai Rp 8.490/kg, dipotong biaya pengapalan dan
asuransi, kartel kedelai mengantongi untung minimal Rp 2.000 per
kilogram.
Dengan stok yang mereka miliki sebanyak 500.000 ton, kartel ini
menangguk untung minimum 1 triliun Rp. Ini hanya keuntungan minimum,
karena hanya 11.900 ton kedelai dijual dengan harga khusus Rp 8.490/kg.
Lebih dari 488.000 ton dijual dengan harga pasar yang lebih tinggi.
Berkebalikan dari kartel kedelai yang menangguk untung luar biasa besar,
pedagang tahu dan tempe bermodal kecil terancam bangkrut karena
mahalnya kedelai. Dari Bandung, Ketua Kopti Jabar, Asep Nurdin
mengatakan sebanyak 4000 perajin (40 persen) perajin tahu tempe masih
menghentikan aktivitasnya dan terancam bangkrut (Pikiran Rakyat,
28/8/2013). Dari Wonogiri, sekitar 300 perajin tahu dan tempe (10 persen
dari total perajin tahu tempe di Kabupaten Wonogiri) mulai gulung tikar
(Solopos.com, 3/9/2013). Begitu juga berita dari Palembang, Bekasi,
Banyumas, Kudus, Madura, Mataram, Kotawaringin, dan berbagai daerah lain
di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, tingginya harga kedelai memaksa pedagang menaikkan harga
sekaligus memperkecil ukuran. Mahalnya tahu tempe bisa mengancam gizi
masyarakat bawah yang selama ini mengandalkan tahu tempe untuk memenuhi
kecukupan gizinya karena telur dan daging tidak terjangkau. Efek
lanjutannya, bayi dan anak-anak yang tidak memperoleh asupan gizi yang
baik dapat terhambat pertumbuhan otaknya secara optimal. Hal ini dapat
menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa (lost generation).
Meroketnya harga kedelai disinyalir sebagai ulah kartel yang ingin
menangguk untung besar di tengah masalah harga kedelai dunia yang naik
dan terus melemahnya kurs Rupiah terhadap dollar. Ulah kartel ini sangat
merugikan para perajin tahu tempe. Patut diduga bahwa kartel ini memang
sengaja menimbun pasokan agar harga kedelai melonjak. "Selain
melemahnya nilai tukar rupiah, ada upaya spekulan atau importir yang
sengaja menahan barang dan mengeluarkan sedikit demi sedikit sehingga
harga kedelai melonjak," kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu/Tempe
Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin (2/9/2013).
Dengan data yang lebih kuantitatif, adanya kartel kedelai ini diungkap
Direktur INDEF Enny Sri Hartati. Dari data yang ada, terdapat tiga besar
perusahaan importir kedelai yang mendapatkan kuota impor kedelai besar,
yaitu PT FKS Multi Agro dengan kuota impor 210.600 ton (46,7 persen),
PT Gerbang Cahaya Utama 46.500 ton (10,3 persen), dan PT Budi Semesta
Satria 42.000 ton (9,3 persen). "Total pengajuannya mencapai 886.200
ton, sedangkan total kuota impor kedelai tiga perusahaan tersebut
mencapai 66,33 persen atau cenderung membentuk kartel," ujar Enny,
Selasa (10/9/2013).
Masalah tingginya harga kedelai sebenarnya tidak hanya terjadi sekarang,
tapi hampir setiap tahun terulang. Tahun 2008 perajin tahu tempe juga
mogok produksi karena mahalnya kedelai sehingga ongkos produksinya naik.
Mengapa kasus tingginya harga kedelai terulang setiap tahun? Di mana
peran pemerintah sebagai stabilisator harga dan pelindung masyarakat?
Mengapa komoditas penting ini diserahkan pada swasta yang menjelma
menjadi kartel yang mengeruk keuntungan setinggi-tingginya dengan
mengorbankan masyarakat banyak? Kita pantas menggugat Pemerintah,
terutama Presiden SBY dan Menteri Perdagangan yang gagal menjalankan
fungsi negara dalam kasus ini.
Tingginya harga kedelai akibat ulah kartel, menurut ekonom Didik J.
Rachbini, menunjukkan bahwa pemerintah kalah dari pelaku usaha. Hal ini
terlihat dari ketidakmampuan Kemendag memaksa importir mengatur stoknya
supaya harga tidak bergejolak. Menurut Didik, pemerintah seharusnya tahu
siapa yang menguasai stok, toh tidak ada lonjakan permintaan kedelai
yang berlebihan. Apalagi ada kabar bahwa pemerintah sampai melobi
importir supaya menjual kedelai dengan harga Rp 8.000 per kilogram.
Ketidakmampuan negara melindungi masyarakat miskin dari gejolak harga
kedelai menyiratkan ciri negara gagal. Menurut Muhammad Syarkawi Rauf
(Bisnis Indonesia, 12/9/2013), negara gagal karena institusi ekonominya
bersifat ekstraktif, hanya menguntungkan segelintir orang. Rauf mengutip
buku berjudul Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and
Poverty karya Daron Acemoglu (MIT) dan James A. Robinson (Harvard).
Kedua profesor tersebut berkesimpulan bahwa kemiskinan yang dialami oleh
negara miskin bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena
pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat dan mengutamakan
kepentingan publik.
Kasus carut marut harga kedelai ini menyiratkan bahwa Indonesia
berpotensi menjadi negara gagal. Hal ini karena negara tidak bisa
mengatasi dan “kalah” melawan praktik bisnis kartel yang mengeksploitasi
dan mengorbankan masyarakat miskin. Namun kekalahan ini tampaknya
terjadi bukan karena telah terjadi pertarungan yang sengit, tetapi
justru karena adanya konspirasi, KKN dan kepentingan oknum-oknum
penguasa yang memang berburu rente melalui praktik kartel ini.
Kasus gonjang-ganjing kedelai membuktikan bahwa kartel kedelai telah
membuat skenario bersama oknum penguasa untuk menangguk keuntungan
jumlah luar biasa besar dalam waktu singkat. Tak heran, menurut Rauf,
pengalaman internasional pun menunjukkan bahwa kartel termasuk kejahatan
ekonomi luar biasa yang dampak negatifnya jauh lebih buruk dibandingkan
dengan kejahatan korupsi.
Karena kartel ini termasuk kejahatan luar biasa, maka untuk
memberantasnya, kita pantas mendukung pendapat dan usulan Ketua Umum
Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini untuk menerapkan undang-undang
subversif bagi para pelakunya. Selain itu, guna menuntaskan masalah ini
Pemerintah perlu juga melibatkan Direktorat Ekonomi Khusus Mabes Polri
dan BIN di bawah kordinasi Menko Perekonomian.
Kita meminta gonjang-ganjing kedelai cepat diselesaikan. Karena kedelai
merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak,
harganya tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah harus
hadir menjalankan seluruh peran negara untuk melindungi kepentingan
rakyat, termasuk dalam menjamin pasokan, menstabilkan harga, memberi
subsidi, mengendalikan distribusi, mengamankan tata niaga dan sistem
informasi harga.
Karena kedelai termasuk unsur food/pangan yang merupakan salah satu dari tiga isu strategis global saat ini (food, energy dan water,
FEW), maka Pemerintah DPR harus menuntaskan permasalahannya secara
menyeluruh dan berkelanjutan. Peran Bulog harus direvitalisasi dan
dioptimalkan, lahan pertanian kedelai diperluas secara massif, harga
kedelai bagi petani distabilkan, koperasi untuk pertanian dan distribusi
dihidupkan, liberalisasi pertanian dan pangan diperbaiki. Dalam rangka
pengamanan pangan nasional, Pemerintah dan DPR harus segera membentuk
lembaga yang khusus menangani masalah pangan. Praktek kartel harus
dihilangkan dan pelakunya dihukum berat. Sedangkan pejabat negara yang
membiarkan terjadinya kartel kedelai harus dituntut bertanggungjawab.
(US)
Sumber: Satunegeri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar