Gabungan Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia (Gakoptindo) menuding
mafia impor kedelai memainkan harga sesuai keinginan mereka. Bahkan
mereka disinyalir mampu mengendalikan orang-orang di pemerintahan.
“Kalau banyak orang di pemerintahan yang menarik keuntungan dari
impor kedelai maka akan sulit kita berharap harganya akan turun
sehingga menguntungkan perajin tahu dan tempe,” kata Suheri Bendahara
Gapoktindo dalam Media Gathering Forum Wartawan Bulog, di Bogor,
kemarin.
Dia memberi contoh kuatnya peran importir ini dalam memainkan harga
kedelai adalah sulitnya menghilangkan Kepmen Perdagangan yang
membebaskan impor kedelai oleh swasta sehingga harganya menjadi tidak
terkendali. Padahal pada saat yang bersamaan terdapat Kepres yang
menugaskan BUMN untuk menangani impor ini.
“Kalau yang menangani impor adalah BUMN seperti Bulog, maka harga
kedelai lebih mudah dikendalikan sehingga tidak merugikan perajin tahu
dan tempe.”
Pada kurun waktu 1979-1998 saat koperasi bekerjasama dengan Bulog
untuk pengadaan kedelai bagi perajin tempe dan tahu suplai selalu
tersedia dengan harga terjangkau. Meskipun harga kedelai terjangkau
untuk para perajin tempe, namun tidak juga merugikan petani, begitu
pula dengan Bulog juga tidak rugi.
“Harga selama kurun itu harga kedelai tidak pernah turun, sehingga
petani untung, tapi perajin masih mampu menjangkau dan Bulog tidak
rugi,” ucapnya. Kondisi itu terjadi karena pemerintah mampu mengatur
atau mengendalikan harga, selain itu juga ada keterbukaan kebutuhan dan
ketersediaan kedelai di lapangan.
Sementara itu Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional (DKN) Benny A
Kusbini mengatakan, saat ini impor kedelai dilakukan oleh pengusaha
yang tidak mau terjadinya swasembada, dan mereka diuntungkan dengan
kondisi yang terjadi sekarang antara lain dengan bea impor nol persen.
Menurut dia seharusnya impor kedelai ditangani oleh Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), bukan malah diserahkan kepada swasta. BUMN yang
dapat diserahi untuk melakukan impor kedelai seperti Perum Bulog, PT
Berdikari ataupun PT RNI, atau bisa juga ke koperasi.
Sedangkan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir
menyatakan, pemerintah seharusnya mewajibkan importir untuk menyerap
kedelai dalam negeri terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Sisanya, kalau ada kekurangan, menurut dia, baru didatangkan dari impor, sehingga tidak memukul petani kedelai dalam negeri.
Dia juga menyatakan, pemerintah seharusnya mengembalikan peran Bulog
untuk melakukan stabilisasi harga dan melakukan impor sesuai kebutuhan
produksi dalam negeri jika tidak mencukupi.
Menurut dia, petani yang menanam kedelai dalam luasan kecil-kecil
tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan kebutuhan komoditas tersebut
kebanyakan ada di perkotaan. Oleh karena itu, tambahnya, diperlukan
peran Bulog yang bisa membeli dan menampung serta menjual ke pengrajin
tahu dan tempe.
“Pemerintah menugaskan Perum Bulog sebagai stabilisasi harga kedelai,
seharusnya hanya Bulog yang mendapat kuota impor kedelai, sedangkan
swasta lain harus dalam kendali Perum Bulog,” katanya.
Dengan tata niaga tersebut, menurut Winarno, maka harga kedelai bisa
dikendalikan sehingga petani, produsen dan konsumen tahu tempe akan
selalu mendapat harga yang stabil.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha Bulog Rito Angky
mengatakan, sejak ditugaskan untuk membantu mengendalikan harga kedelai
di tingkat petani pihaknya sampai saat ini telah membeli kedelai petani
sebanyak 460 ton. Diharapkan dengan terjaminnya pasar dengan harga yang
menarik petani akan lebih tertarik lagi untuk menanam kedelai.
http://www.poskotanews.com/2013/12/01/mafia-impor-kedelai-mainkan-harga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar