BADAN Pusat Statistik (BPS) kembali akan melakukan sensus pertanian yang
secara periodik dilakukan tiap 10 tahun. Sensus pertanian terakhir
telah di lakukan pada tahun 2003. Menurut Kepala BPS, Suryamin, Sensus
Pertanian 2013 kali ini lebih lengkap dibandingkan tahun 2003. Banyak
aspek yang dipotret BPS, termasuk aspek usaha. BPS tidak hanya
menghitung jumlah petani, usia, jenis kelamin, tetapi juga petani di
tiap-tiap subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, perikanan dan kehutanan. Lebih jauh, BPS juga menghitung
apakah komoditas itu diolah terlebih dahulu atau tidak. Berapa banyak
yang melalui proses pengolahan. Hal ini penting dilakukan untuk melihat
keterkaitan sektor budidaya pertanian dengan sektor industri, untuk
melihat nilai tambahnya. BPS menyediakan dana Rp 1,59 triliun un-
tuk
Program Sensus Pertanian 2013 yang dimulai 1-31 Mei 2013. Untuk
melakukan sensus tersebut BPS menerjunkan 500 lebih satuan kerja
(Satker) yang tersebar di seluruh Indonesia. Suryamin juga menyatakan
usai apel siaga petugas Sensus Pertanian 2013 di Jakarta 8 Maret 2013,
sensus meliputi 33 provinsi, 497 kabupaten, 6.793 kecamatan, 77.144 desa
/kelurahan dan 858.557 blok, menggunakan 60.911 tim dan 243.664 petugas
lapangan. Sensus pertanian meliputi aktivitas besar, yaitu kegiatan
pendataan lengkap mulai 1-31 Mei mengenai seluruh rumah tangga sektor
pertanian, yang memiliki usaha bidang pertanian yaitu tanaman pangan,
hortikultura (sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat),
perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, baik pada rumah tangga
maupun perusahaan atau lembaga masyarakat.
Harapan di Lapangan
Berdasarkan
informasi, para petugas sensus direkrut melalui masyarakat. Karena
sensus itu bertujuan mendapatkan data terkini di bidang pertanian yang
benar-benar nyata atau faktual, maka BPS tentu telah menyiapkan
petugas-petugas lapangan yang peduli pada bidang pertanian atau telah
mengetahui seluk-beluk pertanian atau memang memiliki disiplin ilmu
pertanian (lulusan SMK Pertanian atau Sarjana S1 Pertanian).
Dikhawatirkan
dalam perekrutan petugas lapangan sensus pertanian yang dilakukan BPS
itu hanya serampangan. Misalnya, merekrut orang-orang yang menganggur
atau setengah menganggur (disquised unemployment)
atau orang-orang
yang sudah memiliki pekerjaan tetap berdasarkan nepotisme atau sistem
famili yang semata-mata memberikan pekerjaan atau penghasilan, tetapi
sosok-sosoknya tidak profesional. Jika demikian, maka jangan diharapkan
hasil sensus pertanian itu faktual dan berbobot sehingga akan
menyulitkan atau bahkan dapat menggagalkan program-program pembangunan
pertanian di masa-masa mendatang. Mampukah BPS merekrut petugas sensus
yang berkualitas ? Khusus pada subsektor tanaman pangan,
perlu
diingat bahwa hasil Sensus Pertanian 2003 dapat dipastikan sangat
berbeda dengan kondisi tahun 2013. Aspek-aspek yang juga harus dicatat
sebagai data yang aktual pada Sensus Pertanian 2013 sebagai berikut:
1.
Proses fragmentasi lahan. Proses fragmentasi lahan pertanian merupakan
proses alamiah dan manusiawi, yaitu dipecah-pecahnya lahan milik petani
untuk diberikan kepada anak-anaknya secara malwaris. Hal ini
mengakibatkan lahan garapan milik petani akan semakin sempit, sehingga
jumlah petani gurem semakin meningkat pesat.
2. Kondisi petani gurem.
Petani ini merupakan petani subsistem, yaitu berusaha taninya hanya
bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, bukan petani
komersial (mencari keuntungan).
Hasil usaha taninya tidak mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya sehingga petani harus bekerja di luar usaha
taninya sebagai buruh apapun.
3. Generasi penerus petani dan krisis
petani. Berdasar pengamatan, saat ini tampak jelas bahwa anak-anak
petani tidak mau bekerja sebagai petani seperti orangtuanya dengan
alasan pekerjaannya berat dan hasil finansialnya kecil dan baru diterima
setelah 3 - 4 bulan. Mereka lebih senang bekerja di luar usaha tani,
yaitu di kota atau perkotaan yang dapat menghasilkan uang lebih banyak
dan rutin setiap hari atau setiap minggu. Dengan kondisi demikian maka
secara gradual akan mengakibatkan krisis petani, di mana lahan
pertanian-
nya yang sangat sempit itu dijual terutama kepada orang yang bukan petani atau pihak pengembang perumahan.
4.
Biaya produksi usaha tani. Agar dapat diperoleh data pendapatan petani
yang nyata, maka harus diperhitungkan biaya usaha tani secara implisit,
yaitu terutama tenaga kerja petaninya itu sendiri harus
dinilai upahnya.
*) Ki Ir Hatta Sunanto MS, Pengamat Pembangunan Pertanian Faktual,
Lektor Kepala pada Fakultas Pertanian Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa (UST) Yogyakarta.
http://epaper.krjogja.com/?edisi=2013-03-21&fid=10012
Rabu, 27 Maret 2013
Selasa, 19 Maret 2013
Ekonom Desak Peran Bulog Dikembalikan
Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
menyatakan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam melakukan
stabilisasi harga pangan perlu untuk dikembalikan. Sejumlah komoditas
dalam beberapa bulan terakhir telah mengalami kenaikan seperti kedelai,
daging sapi dan saat ini bawang putih.
Ekonom Indef, Ahmad Erani Yustika, mengatakan solusi dari kelangkaan masalah bahan pokok ini tentunya ialah mempercepat kemandirian pangan yang tentunya merupakan pemecahan jangka waktu menengah. Solusi yang dapat dilakukan dalam waktu dekat menurutnya ialah mengefektifkan kembali peran Bulog dalam menjaga stabilitas harga pangan. "Itu jangka pendek yang dapat dilakukan karena untuk mewujudkan swasembada pangan membutuhkan waktu yang tidak sebentar," ujarnya saat dihubungi, kemarin.
Pemerintah, lanjutnya, juga harus melakukan intervensi harga saat ini untuk menekan lonjakan harga. Penetapan harga patokan perlu dilakukan agar tidak merugikan masing-masing pihak baik petani maupun konsumen.
Erani menegaskan fenomena kenaikan harga sejumlah komoditas bahan pangan menunjukkan pemerintah kurang bisa menjalankan kewajibannya dengan baik. Kenaikan harga ini sering kali terjadi dan terus berulang karena tidak ada solusi komprehensif."Permasalahan pangan ini kerap terjadi semenjak tahun 1998 saat peran Bulog mulai dicabut," tuturnya.
Seperti diketahui, meroketnya harga bawang putih ternyata membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) geram. Pada kesempatan rapat kabinet terbatas, Presiden mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja jajaran menteri-menteri bidang ekonomi.
Peran Bulog telah dilucuti Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1998 lalu karena dianggap telah menjalankan peran monopoli. Wacana revitalisasi fungsi Bulog telah dilontarkan oleh Presiden SBY Agustus tahun lalu.
Harga Sensitif
Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo mengungkapkan beberapa waktu terakhir, harga komoditas produk pangan di pasar domestik sangat sensitif. Sebut saja, beras, minyak goreng, daging sapi, bawang putih dan merah serta kedelai mencatat kenaikan harga dengan lonjakan tinggi.
Sudaryatmo mengatakan stabilitasi harga merupakan hak konsumen. Menurutnya, pemerintah harus memahami hal tersebut."Kita soroti masalah pangan di Indonesia karena harusnya pemerintah dapat menjaga stabilitas harga pangan. Itu hak konsumen," ungkapnya
Dikatakan hal konsumen, sebab jika harga tidak stabil dapat menggangu daya beli masyarakat. Inipun menurutnya, juga berdampak buruk bagi petani.
"Petani, setiap ada gejolak harga pangan tidak selalu dalam posisi yang diuntungkan, dan tidak aneh apabilan banyak negara menjadikan stabilitas harga pangan sebagai barang publik yang harus dikawal negara," paparnya.
Ia membandingkan dengan Amerika Serikat, dimana pemerintah AS dapat menjamin harga hingga 5 tahun kedepan. Hal itu, tentunya dapat menjawab keresahan masyarakat dalam jangka panjang."Di Amerika itu bisa menjamin kestabilan harga sampai dengan 5 tahun kedepan," tegas Sudaryatmo.
Pemerintah, sambungnya dapat mengadopsi langkah-langkah seperti itu. Ia menilai pemerintah dapat memanfaatkan BUMN seperti Bulog untuk menstabilkan harga pangan."Jadi seperti beras, kedelai dan bahkan bawang bisa kondusif ditataran masyarakat," pungkasnya.
Pengamat pangan Prof Dr Mohammad Husein Sawit menuding kondisi seperti itu merupakan kesalahan dari pemerintah karena membuka akses pasar yang begitu liberal serta banyaknya perjanjian regional yang merugikan eksistensi komoditas pangan negeri sendiri.
“Krisis pangan yang terjadi di Indonesia memang murni dari kesalahan pemerintah. Kenapa tidak dari dulu memproteksi komoditas pangannya? Seharusnya, pemerintah bisa mensubsidi dan memproteksi untuk sektor pangan seperti negara-negara Uni Eropa”, ujar Husein.
Sayangnya, menurut Husein, pemerintah Indonesia tidak pernah sadar dengan perjanjian yang merugikan tersebut. “Seiring berjalannya waktu negara berkembang seperti Indonesia akan ketergantungan dengan bahan pangan dari luar negeri karena lebih disebabkan dengan liberalisasi pasar dan dengan sendirinya bahan pangan dari luar negeri akan masuk dengan bebas”, ujarnya.
Yang tak kalah penting, lanjut Husein, perjanjian WTO tahun 1995 tentang perjanjian pertanian. Ada salah satu pasal yang menerangkan bahwa Persetujuan bidang pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi domestik, dan subsidi ekspor.
http://www.neraca.co.id/harian/article/26295/Ekonom.Desak.Peran.Bulog.Dikembalikan#.UUhrazeU7-o
Ekonom Indef, Ahmad Erani Yustika, mengatakan solusi dari kelangkaan masalah bahan pokok ini tentunya ialah mempercepat kemandirian pangan yang tentunya merupakan pemecahan jangka waktu menengah. Solusi yang dapat dilakukan dalam waktu dekat menurutnya ialah mengefektifkan kembali peran Bulog dalam menjaga stabilitas harga pangan. "Itu jangka pendek yang dapat dilakukan karena untuk mewujudkan swasembada pangan membutuhkan waktu yang tidak sebentar," ujarnya saat dihubungi, kemarin.
Pemerintah, lanjutnya, juga harus melakukan intervensi harga saat ini untuk menekan lonjakan harga. Penetapan harga patokan perlu dilakukan agar tidak merugikan masing-masing pihak baik petani maupun konsumen.
Erani menegaskan fenomena kenaikan harga sejumlah komoditas bahan pangan menunjukkan pemerintah kurang bisa menjalankan kewajibannya dengan baik. Kenaikan harga ini sering kali terjadi dan terus berulang karena tidak ada solusi komprehensif."Permasalahan pangan ini kerap terjadi semenjak tahun 1998 saat peran Bulog mulai dicabut," tuturnya.
Seperti diketahui, meroketnya harga bawang putih ternyata membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) geram. Pada kesempatan rapat kabinet terbatas, Presiden mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja jajaran menteri-menteri bidang ekonomi.
Peran Bulog telah dilucuti Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1998 lalu karena dianggap telah menjalankan peran monopoli. Wacana revitalisasi fungsi Bulog telah dilontarkan oleh Presiden SBY Agustus tahun lalu.
Harga Sensitif
Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo mengungkapkan beberapa waktu terakhir, harga komoditas produk pangan di pasar domestik sangat sensitif. Sebut saja, beras, minyak goreng, daging sapi, bawang putih dan merah serta kedelai mencatat kenaikan harga dengan lonjakan tinggi.
Sudaryatmo mengatakan stabilitasi harga merupakan hak konsumen. Menurutnya, pemerintah harus memahami hal tersebut."Kita soroti masalah pangan di Indonesia karena harusnya pemerintah dapat menjaga stabilitas harga pangan. Itu hak konsumen," ungkapnya
Dikatakan hal konsumen, sebab jika harga tidak stabil dapat menggangu daya beli masyarakat. Inipun menurutnya, juga berdampak buruk bagi petani.
"Petani, setiap ada gejolak harga pangan tidak selalu dalam posisi yang diuntungkan, dan tidak aneh apabilan banyak negara menjadikan stabilitas harga pangan sebagai barang publik yang harus dikawal negara," paparnya.
Ia membandingkan dengan Amerika Serikat, dimana pemerintah AS dapat menjamin harga hingga 5 tahun kedepan. Hal itu, tentunya dapat menjawab keresahan masyarakat dalam jangka panjang."Di Amerika itu bisa menjamin kestabilan harga sampai dengan 5 tahun kedepan," tegas Sudaryatmo.
Pemerintah, sambungnya dapat mengadopsi langkah-langkah seperti itu. Ia menilai pemerintah dapat memanfaatkan BUMN seperti Bulog untuk menstabilkan harga pangan."Jadi seperti beras, kedelai dan bahkan bawang bisa kondusif ditataran masyarakat," pungkasnya.
Pengamat pangan Prof Dr Mohammad Husein Sawit menuding kondisi seperti itu merupakan kesalahan dari pemerintah karena membuka akses pasar yang begitu liberal serta banyaknya perjanjian regional yang merugikan eksistensi komoditas pangan negeri sendiri.
“Krisis pangan yang terjadi di Indonesia memang murni dari kesalahan pemerintah. Kenapa tidak dari dulu memproteksi komoditas pangannya? Seharusnya, pemerintah bisa mensubsidi dan memproteksi untuk sektor pangan seperti negara-negara Uni Eropa”, ujar Husein.
Sayangnya, menurut Husein, pemerintah Indonesia tidak pernah sadar dengan perjanjian yang merugikan tersebut. “Seiring berjalannya waktu negara berkembang seperti Indonesia akan ketergantungan dengan bahan pangan dari luar negeri karena lebih disebabkan dengan liberalisasi pasar dan dengan sendirinya bahan pangan dari luar negeri akan masuk dengan bebas”, ujarnya.
Yang tak kalah penting, lanjut Husein, perjanjian WTO tahun 1995 tentang perjanjian pertanian. Ada salah satu pasal yang menerangkan bahwa Persetujuan bidang pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi domestik, dan subsidi ekspor.
http://www.neraca.co.id/harian/article/26295/Ekonom.Desak.Peran.Bulog.Dikembalikan#.UUhrazeU7-o
KPPU Menilai Bulog Bisa Menstabilkan Harga Bawang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta Badan Urusan Logistik
(Bulog) dilibatkan dalam impor bawang putih dan bawang merah. Komisioner
KPPU Munrokhim Misanam menilai melibatkan Bulog menjamin kestabilan
harga bawang.
Saat ini harga bawang melambung tinggi hingga Rp 85 ribu per kilogram yang diduga akibat kartel importir swasta nakal. "Supaya spekulan dan penimbun gigit jari saat suplai bawang dari Bulog didistribusikan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 18 Maret 2013.
Munrokhim menilai pemerintah harus mengambil langkah memberikan penugasan kepada Bulog untuk mengimpor bawang. Penugasan tersebut berkonsekuensi menggunakan anggaran negara untuk mengimpor. Impor bawang oleh Bulog, lanjut dia, digunakan untuk tujuan khusus yaitu menstabilkan harga bawang melalui operasi pasar. "Harus terarah dan jangan sampai masuk ke tengkulak," katanya.
Menurut Munrokhim kartel bawang disebabkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan yang tidak tegas menerapkan kebijakan kuota yang dibuatnya sendiri. "Ada ego sektoral dalam penentuan kuota impor," katanya.
Munrokhim menambahkan penugasan kepada Bulog harus segera diambil. Pasalnya, harga bawang putih terlampau mahal. Bahkan di Malaysia dan Singapura yang sama-sama mengimpor harga bawang putih pada kisaran Rp 10-14 ribu per kilogram. "Ini memicu penyelundupan," ujarnya.
Adapun Bulog tentu saja sangat senang dengan usulan KPPU. Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan siap mengimpor jika penugasan itu benar-benar diberikan pemerintah. "Pemerintah punya kewenangan itu, tetapi kami membutuhkan payung hukum untuk penugasan tersebut," katanya saat dihubungi Tempo.
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/18/092467814/KPPU-Menilai-Bulog-Bisa-Menstabilkan-Harga-Bawang
Saat ini harga bawang melambung tinggi hingga Rp 85 ribu per kilogram yang diduga akibat kartel importir swasta nakal. "Supaya spekulan dan penimbun gigit jari saat suplai bawang dari Bulog didistribusikan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 18 Maret 2013.
Munrokhim menilai pemerintah harus mengambil langkah memberikan penugasan kepada Bulog untuk mengimpor bawang. Penugasan tersebut berkonsekuensi menggunakan anggaran negara untuk mengimpor. Impor bawang oleh Bulog, lanjut dia, digunakan untuk tujuan khusus yaitu menstabilkan harga bawang melalui operasi pasar. "Harus terarah dan jangan sampai masuk ke tengkulak," katanya.
Menurut Munrokhim kartel bawang disebabkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan yang tidak tegas menerapkan kebijakan kuota yang dibuatnya sendiri. "Ada ego sektoral dalam penentuan kuota impor," katanya.
Munrokhim menambahkan penugasan kepada Bulog harus segera diambil. Pasalnya, harga bawang putih terlampau mahal. Bahkan di Malaysia dan Singapura yang sama-sama mengimpor harga bawang putih pada kisaran Rp 10-14 ribu per kilogram. "Ini memicu penyelundupan," ujarnya.
Adapun Bulog tentu saja sangat senang dengan usulan KPPU. Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan siap mengimpor jika penugasan itu benar-benar diberikan pemerintah. "Pemerintah punya kewenangan itu, tetapi kami membutuhkan payung hukum untuk penugasan tersebut," katanya saat dihubungi Tempo.
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/18/092467814/KPPU-Menilai-Bulog-Bisa-Menstabilkan-Harga-Bawang
Berantas Kartel Bawang, Kadin Usul Bulog Dilibatkan Tata Niaga
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan Perum Bolog
tidak hanya mengurusi beras, namun dilibatkan dalam tata niaga bawang
menyusul krisis bawang yang tengah melanda masyarakat Indonesia.
Kadin menilai, meroketnya harga bawang hingga Rp 60.000 per kilogram (kg), bahkan di Mataram mencapai Rp 100.000 ditengarai akibat permainan 21 kartel bawang yang mengendalikan lebih dari 50 persen pangsa pasar.
Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto, melonjaknya harga bawang yang mencapai enam kali lipat dari harga normal adalah akibat permainan dari 21 perusahaan yang mengendalikan lebih dari 50 persen pangsa pasar industri bawang.
"Praktik 21 kartel bawang ini harus ditangani dengan cepat oleh pemerintah, agar masyarakat tidak dirugikan," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto dalam keterangan tertulisnya,
Pemerintah kata dia, harus segera melakukan perombakan tata niaga bawang demi kepentingan masyarakat banyak, agar 21 kartel bawang tersebut tidak semakin merajalela.
Langkah pertama yang diusulkan Kadin adalah Perum Bulog segera mengambil alih tata niaga bawang yang tentunya harus dibarengi juga dengan peningkatan pengawasan terhadap Perum Bulog.
Langkah kedua yang perlu dilakukan pemerintah adalah mempermudah kucuran kredit atau pinjaman kepada para petani bawang, agar para petani bawang tidak terjerat oleh tengkulak dan permainan 21 kartel bawang tersebut.
Langkah ketiga yang juga penting untuk dilakukan adalah segera mengeluarkan kebijakan impor bawang yang tertata dan disalurkan oleh Perum Bulog, sehingga dapat menetralisir harga di pasaran yang saat ini dikendalikan oleh 21 kartel bawang.
Melalui tiga langkah ini, lanjut Suryo, praktik para kartel yang mengendalikan pasar bawang dapat diredam, yaitu dengan menciptakan keseimbangan di pasar, baik dari segi produksi (melalui kemudahan kredit bagi petani bawang), distribusi (melalui pengambilalihan tata niaga bawang oleh Perum Bulog) hingga penyeimbangan peredaran bawang di pasaran (melalui kebijakan impor untuk membendung permainan 21 kartel bawang).
Menurut dia, kebijakan impor ini bukan berarti membuka pintu mendatangkan bawang seluas-luasnya sehingga dapat mematikan para petani bawang.
Kebijakan impor dilakukan bila diperlukan, seperti dalam situasi sekarang ini, yaitu ketika pasar bawang tengah dikendalikan oleh para kartel yang menahan peredaran bawang.
"Dengan adanya kebijakan impor yang tertata, tentunya upaya para kartel bawang menghilangkan bawang dari pasaran dapat dicegah dan harga tidak bergejolak,” papar Suryo
http://www.beritasatu.com/ekonomi/102604-berantas-kartel-bawang-kadin-usul-bulog-dilibatkan-tata-niaga.html
Kadin menilai, meroketnya harga bawang hingga Rp 60.000 per kilogram (kg), bahkan di Mataram mencapai Rp 100.000 ditengarai akibat permainan 21 kartel bawang yang mengendalikan lebih dari 50 persen pangsa pasar.
Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto, melonjaknya harga bawang yang mencapai enam kali lipat dari harga normal adalah akibat permainan dari 21 perusahaan yang mengendalikan lebih dari 50 persen pangsa pasar industri bawang.
"Praktik 21 kartel bawang ini harus ditangani dengan cepat oleh pemerintah, agar masyarakat tidak dirugikan," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto dalam keterangan tertulisnya,
Pemerintah kata dia, harus segera melakukan perombakan tata niaga bawang demi kepentingan masyarakat banyak, agar 21 kartel bawang tersebut tidak semakin merajalela.
Langkah pertama yang diusulkan Kadin adalah Perum Bulog segera mengambil alih tata niaga bawang yang tentunya harus dibarengi juga dengan peningkatan pengawasan terhadap Perum Bulog.
Langkah kedua yang perlu dilakukan pemerintah adalah mempermudah kucuran kredit atau pinjaman kepada para petani bawang, agar para petani bawang tidak terjerat oleh tengkulak dan permainan 21 kartel bawang tersebut.
Langkah ketiga yang juga penting untuk dilakukan adalah segera mengeluarkan kebijakan impor bawang yang tertata dan disalurkan oleh Perum Bulog, sehingga dapat menetralisir harga di pasaran yang saat ini dikendalikan oleh 21 kartel bawang.
Melalui tiga langkah ini, lanjut Suryo, praktik para kartel yang mengendalikan pasar bawang dapat diredam, yaitu dengan menciptakan keseimbangan di pasar, baik dari segi produksi (melalui kemudahan kredit bagi petani bawang), distribusi (melalui pengambilalihan tata niaga bawang oleh Perum Bulog) hingga penyeimbangan peredaran bawang di pasaran (melalui kebijakan impor untuk membendung permainan 21 kartel bawang).
Menurut dia, kebijakan impor ini bukan berarti membuka pintu mendatangkan bawang seluas-luasnya sehingga dapat mematikan para petani bawang.
Kebijakan impor dilakukan bila diperlukan, seperti dalam situasi sekarang ini, yaitu ketika pasar bawang tengah dikendalikan oleh para kartel yang menahan peredaran bawang.
"Dengan adanya kebijakan impor yang tertata, tentunya upaya para kartel bawang menghilangkan bawang dari pasaran dapat dicegah dan harga tidak bergejolak,” papar Suryo
http://www.beritasatu.com/ekonomi/102604-berantas-kartel-bawang-kadin-usul-bulog-dilibatkan-tata-niaga.html
Jumat, 15 Maret 2013
Merindukan Bulog Baru
Sebuah ironi kembali menerpa negeri ini. Untuk kesekian kalinya, harga
pangan kembali melambung tak terkendali. Kali ini, bawang putih yang
berulah, dengan harga eceran sudah menembus Rp 70 ribu per kilogram.
Padahal, di salah satu Negara asal impor bawang putih, yakni Tiongkok,
harganya cuma sepertujuhnya.
Sebelum bawang putih, pemerintah dibuat kelabakan oleh lonjakan harga daging sapi yang belum turun hingga kini. Harga daging di Indonesia dua kali lebih mahal ketimbang negara-negara maju, seperti Singapura, Australia, dan beberapa negara Eropa. Jauh sebelum itu, tahun lalu, harga kedelai juga melambung yang menimbulkan protes meluas perajin tahu-tempe.
Pemerintah selalu kecolongan setiap terjadi gonjang-ganjing harga komoditas pangan dan baru tergopoh-gopoh ketika masyarakat mulai menjerit. Pemerintah kewalahan dan tak berdaya menghadapi ulah para spekulan pangan maupun kelompok kartel pangan yang selalu ingin mengeruk untung sebesar mungkin.
Dalam kondisi seperti itu, masyarakat kembali merindukan Bulog, badan urusan logistik yang di masa lalu begitu ditakuti karena kemampuannya dalam mengontrol harga. Sebelum otoritasnya dikebiri oleh Dana Moneter Internasional (IMF) bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru, Bulog kampiun dalam perannya sebagai badan penyangga dan stabilisator harga untuk sembilan komoditas pangan.
Saat ini, Bulog hanya ditugasi sebagai penyangga untuk komoditas beras. Pertengahan tahun lalu, wacana untuk memperluas peran Bulog menghangat. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet sudah memutuskan agar peran Bulog diperluas pada empat komoditas lain, yakni gula, kedelai, jagung, dan daging. Akan ada payung hukum untuk mengimplementasikan peran Bulog baru tersebut.
Sayangnya, hingga saat ini upaya perluasan peran Bulog belum terwujud. Kemungkinan baru terealisasi tahun depan. Kelambanan ini sungguh disayangkan, karena gejolak harga pangan semakin membebani masyarakat, khususnya kelas bawah. Padahal, pihak Bulog sendiri cukup responsif dan menyatakan kesiapannya. Bulog kini memiliki lebih dari 1.700 gudang yang tersebar di seluruh Nusantara. Bulog juga memiliki infrastruktur dan jaringan distribusi untuk menjalani peran barunya sebagai badan penyangga. Bulog mulai memperbanyak gerai minimarket dan menggandeng sejumlah BUMN.
Dukungan terhadap perluasan peran Bulog juga datang dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga itu bahkan memberikan restu jika Bulog memonopoli lima komoditas pangan strategis, sepanjang bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas.
Memang, kalaupun Bulog diberi peran baru dan direvitalisasi, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Lembaga ini harus benar-benar serius menjalankan usaha secara transparan, akuntabel, dan menerapkan tata kelola yang baik (GCG). Manajemen Bulog harus profesional dan diseleksi melalui fit and proper test yang ketat. Legalitas dan garis komando terhadap Bulog harus jelas sehingga tidak seperti sekarang yang berada di bawah beberapa institusi. Hal seperti itu membuka celah terjadinya intervensi.
Pemerintah harus sungguh-sungguh mengatasi gejolak harga pangan dan segera mengeluarkan payung hukum bagi perluasan peran Bulog. Tidak masuk akal sebuah negeri dengan tanah yang luas dan subur, kaya sumber daya alam, namun harga pangan jauh lebih mahal dibanding negara lain. Harga pangan yang mahal memberikan dampak berantai luar biasa.
Bangsa ini akan makin kekurangan gizi, di saat konsumsi berbagai sumber pangan gizi per kapita masih tertinggal dari bangsa lain. Daya beli masyarakat makin tergerogoti, karena sebagian besar penghasilannya habis untuk konsumsi pangan. Hal itu jelas membuat masyarakat makin tidak mampu membeli rumah dan keperluan vital lain seperti biaya pendidikan dan kesehatan.
Tugas pemerintah tidak hanya hanya sekadar mewujudkan pangan murah dan harga stabil, tapi juga harus menggenjot produktivitas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Buat apa pangan murah jika mayoritas harus diimpor. Indonesia berada di ambang bahaya jika sektor pertanian terabaikan. Petani sekarang makin kehilangan gairah, demikian pula anak-anak petani tidak berminat menjadi petani karena sektor ini sama sekali tidak menjanjikan masa depan. Ini berbeda jauh dengan petani di luar negeri, terutama negara maju, yang umumnya makmur karena pemerintahnya memberikan proteksi dan subsidi.
Perluasan peran Bulog sangat mendesak dan publik harus memantau proses ini. Jangan sampai niat baik itu ditelikung oleh kelompok tertentu dan para pemburu rente yang hendak melanggengkan impor. Apalagi menjelang Pemilu 2014, importasi menjadi lading uang paling menggiurkan untuk memobilisasi dana.
http://www.investor.co.id/tajuk/merindukan-bulog-baru/56798
Sebelum bawang putih, pemerintah dibuat kelabakan oleh lonjakan harga daging sapi yang belum turun hingga kini. Harga daging di Indonesia dua kali lebih mahal ketimbang negara-negara maju, seperti Singapura, Australia, dan beberapa negara Eropa. Jauh sebelum itu, tahun lalu, harga kedelai juga melambung yang menimbulkan protes meluas perajin tahu-tempe.
Pemerintah selalu kecolongan setiap terjadi gonjang-ganjing harga komoditas pangan dan baru tergopoh-gopoh ketika masyarakat mulai menjerit. Pemerintah kewalahan dan tak berdaya menghadapi ulah para spekulan pangan maupun kelompok kartel pangan yang selalu ingin mengeruk untung sebesar mungkin.
Dalam kondisi seperti itu, masyarakat kembali merindukan Bulog, badan urusan logistik yang di masa lalu begitu ditakuti karena kemampuannya dalam mengontrol harga. Sebelum otoritasnya dikebiri oleh Dana Moneter Internasional (IMF) bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru, Bulog kampiun dalam perannya sebagai badan penyangga dan stabilisator harga untuk sembilan komoditas pangan.
Saat ini, Bulog hanya ditugasi sebagai penyangga untuk komoditas beras. Pertengahan tahun lalu, wacana untuk memperluas peran Bulog menghangat. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet sudah memutuskan agar peran Bulog diperluas pada empat komoditas lain, yakni gula, kedelai, jagung, dan daging. Akan ada payung hukum untuk mengimplementasikan peran Bulog baru tersebut.
Sayangnya, hingga saat ini upaya perluasan peran Bulog belum terwujud. Kemungkinan baru terealisasi tahun depan. Kelambanan ini sungguh disayangkan, karena gejolak harga pangan semakin membebani masyarakat, khususnya kelas bawah. Padahal, pihak Bulog sendiri cukup responsif dan menyatakan kesiapannya. Bulog kini memiliki lebih dari 1.700 gudang yang tersebar di seluruh Nusantara. Bulog juga memiliki infrastruktur dan jaringan distribusi untuk menjalani peran barunya sebagai badan penyangga. Bulog mulai memperbanyak gerai minimarket dan menggandeng sejumlah BUMN.
Dukungan terhadap perluasan peran Bulog juga datang dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga itu bahkan memberikan restu jika Bulog memonopoli lima komoditas pangan strategis, sepanjang bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas.
Memang, kalaupun Bulog diberi peran baru dan direvitalisasi, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Lembaga ini harus benar-benar serius menjalankan usaha secara transparan, akuntabel, dan menerapkan tata kelola yang baik (GCG). Manajemen Bulog harus profesional dan diseleksi melalui fit and proper test yang ketat. Legalitas dan garis komando terhadap Bulog harus jelas sehingga tidak seperti sekarang yang berada di bawah beberapa institusi. Hal seperti itu membuka celah terjadinya intervensi.
Pemerintah harus sungguh-sungguh mengatasi gejolak harga pangan dan segera mengeluarkan payung hukum bagi perluasan peran Bulog. Tidak masuk akal sebuah negeri dengan tanah yang luas dan subur, kaya sumber daya alam, namun harga pangan jauh lebih mahal dibanding negara lain. Harga pangan yang mahal memberikan dampak berantai luar biasa.
Bangsa ini akan makin kekurangan gizi, di saat konsumsi berbagai sumber pangan gizi per kapita masih tertinggal dari bangsa lain. Daya beli masyarakat makin tergerogoti, karena sebagian besar penghasilannya habis untuk konsumsi pangan. Hal itu jelas membuat masyarakat makin tidak mampu membeli rumah dan keperluan vital lain seperti biaya pendidikan dan kesehatan.
Tugas pemerintah tidak hanya hanya sekadar mewujudkan pangan murah dan harga stabil, tapi juga harus menggenjot produktivitas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Buat apa pangan murah jika mayoritas harus diimpor. Indonesia berada di ambang bahaya jika sektor pertanian terabaikan. Petani sekarang makin kehilangan gairah, demikian pula anak-anak petani tidak berminat menjadi petani karena sektor ini sama sekali tidak menjanjikan masa depan. Ini berbeda jauh dengan petani di luar negeri, terutama negara maju, yang umumnya makmur karena pemerintahnya memberikan proteksi dan subsidi.
Perluasan peran Bulog sangat mendesak dan publik harus memantau proses ini. Jangan sampai niat baik itu ditelikung oleh kelompok tertentu dan para pemburu rente yang hendak melanggengkan impor. Apalagi menjelang Pemilu 2014, importasi menjadi lading uang paling menggiurkan untuk memobilisasi dana.
http://www.investor.co.id/tajuk/merindukan-bulog-baru/56798
Kamis, 07 Maret 2013
Petani Enggan Jual Gabah sekalipun Harga Tinggi
Meski terjadi panen raya padi di wilayah Jawa Tengah
bagian selatan sejak awal pekan ini, harga gabah di tingkat petani yang
tinggi tetap tak terpengaruh. Bahkan, sebagian besar petani enggan
menjual hasil panen mereka ke Perum Bulog. Alasannya, harga gabah yang
ditawarkan perusahaan tersebut lebih rendah daripada harga pasaran.
Darsum (45), petani Desa Kedunguter, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jumat (1/3), mengatakan, harga gabah kering panen (GKP) di pasaran saat ini Rp 3.500-Rp 3.700 per kilogram (kg). Harga tersebut sebenarnya turun sedikit dibandingkan beberapa pekan lalu yang mencapai Rp 3.800 per kg.
”Sekarang banyak yang panen. Jadi, stok di pasaran mulai melimpah. Namun, harga tidak anjlok dan terbilang tinggi,” ujar petani yang memanen lahan seluas 2.000 meter persegi tersebut.
Harga gabah di tingkat petani itu masih jauh lebih tinggi daripada harga yang dipatok dalam harga pembelian pemerintah (HPP). Sesuai HPP, harga gabah kering giling hanya Rp 3.300 per kg. Padahal, di pasaran, harga gabah dalam kondisi giling mencapai Rp 4.200-Rp 4.500 per kg.
”Harga gabah giling saja cuma Rp 3.300. Di pasaran, gabah panen langsung dihargai Rp 3.500. Tak perlu digiling,” tutur Sitem (52), petani Desa Datar, Kecamatan Sumbang. Musim panen kali ini, dari lahan seluas 1.000 meter persegi miliknya, dihasilkan sekitar 6 kuintal GKP.
Sulit jemur gabah
Selain Banyumas, sejumlah areal persawahan di Kabupaten Cilacap juga memasuki musim panen raya. Menurut M Sodiq (39), petani Desa Brani, Kecamatan Sampang, Cilacap, para petani lebih senang menjual gabah yang baru dipanen kepada pedagang yang datang ke sawah saat panen. Sebab, harganya masih lebih tinggi dibandingkan HPP. ”Kalau ada yang jual gabah yang digiling, itu hanya gabah sisa hasil panen musim lalu,” ujarnya.
Sodiq mengungkapkan, kondisi cuaca yang tak menentu menyulitkan petani menjemur gabah. Ini membuat petani senang menjual gabah panen.
Kepala Humas Perum Bulog Subdivisi Regional IV Banyumas M Priyono mengatakan, pihaknya akan memulai penyerapan gabah petani pada Maret kendati sebelumnya direncanakan mulai akhir Februari. Hal ini karena harga gabah di pasaran masih cukup tinggi.
http://regional.kompas.com/read/2013/03/02/03111634/Petani.Enggan.Jual.Gabah.sekalipun.Harga.Tinggi
Darsum (45), petani Desa Kedunguter, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jumat (1/3), mengatakan, harga gabah kering panen (GKP) di pasaran saat ini Rp 3.500-Rp 3.700 per kilogram (kg). Harga tersebut sebenarnya turun sedikit dibandingkan beberapa pekan lalu yang mencapai Rp 3.800 per kg.
”Sekarang banyak yang panen. Jadi, stok di pasaran mulai melimpah. Namun, harga tidak anjlok dan terbilang tinggi,” ujar petani yang memanen lahan seluas 2.000 meter persegi tersebut.
Harga gabah di tingkat petani itu masih jauh lebih tinggi daripada harga yang dipatok dalam harga pembelian pemerintah (HPP). Sesuai HPP, harga gabah kering giling hanya Rp 3.300 per kg. Padahal, di pasaran, harga gabah dalam kondisi giling mencapai Rp 4.200-Rp 4.500 per kg.
”Harga gabah giling saja cuma Rp 3.300. Di pasaran, gabah panen langsung dihargai Rp 3.500. Tak perlu digiling,” tutur Sitem (52), petani Desa Datar, Kecamatan Sumbang. Musim panen kali ini, dari lahan seluas 1.000 meter persegi miliknya, dihasilkan sekitar 6 kuintal GKP.
Sulit jemur gabah
Selain Banyumas, sejumlah areal persawahan di Kabupaten Cilacap juga memasuki musim panen raya. Menurut M Sodiq (39), petani Desa Brani, Kecamatan Sampang, Cilacap, para petani lebih senang menjual gabah yang baru dipanen kepada pedagang yang datang ke sawah saat panen. Sebab, harganya masih lebih tinggi dibandingkan HPP. ”Kalau ada yang jual gabah yang digiling, itu hanya gabah sisa hasil panen musim lalu,” ujarnya.
Sodiq mengungkapkan, kondisi cuaca yang tak menentu menyulitkan petani menjemur gabah. Ini membuat petani senang menjual gabah panen.
Kepala Humas Perum Bulog Subdivisi Regional IV Banyumas M Priyono mengatakan, pihaknya akan memulai penyerapan gabah petani pada Maret kendati sebelumnya direncanakan mulai akhir Februari. Hal ini karena harga gabah di pasaran masih cukup tinggi.
http://regional.kompas.com/read/2013/03/02/03111634/Petani.Enggan.Jual.Gabah.sekalipun.Harga.Tinggi
Bulog menambah cadangan beras 600.000 ton
Perum Bulog akan menambah cadangan beras nasional (CBN) sebesar
600.000 ton untuk mengantisipasi kenaikan harga beras setelah panen raya
usai pada tahun ini. Untuk penambahan cadangan itu, Bulog akan
meningkatkan pembelian beras dari petani dalam negeri.
Sutarto Ali Moeso, Direktur Utama Perum Bulog mengatakan, sebenarnya saat ini stok Bulog dalam posisi aman, yaitu di atas 2 juta ton setara beras. Cadangan sebesar itu cukup untuk konsumsi 7,5 bulan ke depan. Selain memiliki cadangan beras yang cukup, Bulog juga terus melakukan pengadaan dalam negeri rata-rata 5.000 ton per hari.
Pengadaan dalam negeri akan meningkat memasuki panen rata hingga mencapai 30.000 ton per hari. "Kontrak pengadaan beras dalam negeri dari awal tahun hingga hari ini sudah 86.000 ton," kata Sutarto saat dihubungi KONTAN.
Untuk menggenjot pengadaan beras dalam negeri, menurut Sutarto, Bulog akan terjun langsung membeli gabah atau beras produksi petani. Selain itu Bulog juga tidak hanya akan membeli gabah atau beras dari mitra besar, namun juga perusahaan penggilingan skala kecil dan kelompok petani.
Bulog juga akan memberikan insentif kepada daerah-daerah minus, bukan sentra produksi padi. “Biaya yang semula untuk ongkos angkut beras dari daerah surplus dialihkan sebagai insentif pengadaan di daerah itu,” katanya. Bulog juga akan mengembangkan penanaman padi sendiri di sentra produksi.
Menurutnya harga beras saat ini cenderung stabil seperti pada Juni 2012 Rp 8.000 per kilogram. "Memang pernah naik sedikit pada bulan Desember lalu kemudian turun lagi dan stabil hingga hari ini," kata Sutarto.
Menurutnya, jika produksi padi pada musim tanam Oktober (2012)-Maret (2013) bagus, maka kenaikan harga beras akan ditentukan oleh hasil panen dari musim tanam April-September. Jika hasilnya tidak bagus, harga beras akan terdorong naik.
Sutarto bilang, panen beras saat ini mundur. "Biasanya panen raya pada Februari, sekarang Maret-April." katanya. Penyebabnya tahun lalu musim hujan mundur, dari semestinya Oktober ke akhir November.
Sutarto bilang Indonesia tidak perlu mengimpor beras tahun ini bila produksi padi 2013 sesuai target Kementerian Pertanian sebanyak 72 juta ton. Namun, selain peningkatan produksi, menurutnya ada faktor lain yang bisa menyebabkan harus dilakukan, yaitu kondisi harga dan stok beras.
Harga berpengaruh terhadap pengadaan beras dalam negeri Bulog. Stok beras yang dipegang pemerintah menjadi ukuran terutama bagi pedagang untuk melakukan spekulasi terhadap harga beras. “Jika stok beras pemerintah cukup besar, maka harga akan relatif stabil. Sebab, pedagang juga tidak akan berani bermain-main,” katanya.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, untuk mengamankan cadangan beras nasional, Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah negara seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, serta laos. "Dengan Kamboja kita sudah tanda tangan MoU-nya," katanya.
http://industri.kontan.co.id/news/bulog-menambah-cadangan-beras-600.000-ton
Sutarto Ali Moeso, Direktur Utama Perum Bulog mengatakan, sebenarnya saat ini stok Bulog dalam posisi aman, yaitu di atas 2 juta ton setara beras. Cadangan sebesar itu cukup untuk konsumsi 7,5 bulan ke depan. Selain memiliki cadangan beras yang cukup, Bulog juga terus melakukan pengadaan dalam negeri rata-rata 5.000 ton per hari.
Pengadaan dalam negeri akan meningkat memasuki panen rata hingga mencapai 30.000 ton per hari. "Kontrak pengadaan beras dalam negeri dari awal tahun hingga hari ini sudah 86.000 ton," kata Sutarto saat dihubungi KONTAN.
Untuk menggenjot pengadaan beras dalam negeri, menurut Sutarto, Bulog akan terjun langsung membeli gabah atau beras produksi petani. Selain itu Bulog juga tidak hanya akan membeli gabah atau beras dari mitra besar, namun juga perusahaan penggilingan skala kecil dan kelompok petani.
Bulog juga akan memberikan insentif kepada daerah-daerah minus, bukan sentra produksi padi. “Biaya yang semula untuk ongkos angkut beras dari daerah surplus dialihkan sebagai insentif pengadaan di daerah itu,” katanya. Bulog juga akan mengembangkan penanaman padi sendiri di sentra produksi.
Menurutnya harga beras saat ini cenderung stabil seperti pada Juni 2012 Rp 8.000 per kilogram. "Memang pernah naik sedikit pada bulan Desember lalu kemudian turun lagi dan stabil hingga hari ini," kata Sutarto.
Menurutnya, jika produksi padi pada musim tanam Oktober (2012)-Maret (2013) bagus, maka kenaikan harga beras akan ditentukan oleh hasil panen dari musim tanam April-September. Jika hasilnya tidak bagus, harga beras akan terdorong naik.
Sutarto bilang, panen beras saat ini mundur. "Biasanya panen raya pada Februari, sekarang Maret-April." katanya. Penyebabnya tahun lalu musim hujan mundur, dari semestinya Oktober ke akhir November.
Sutarto bilang Indonesia tidak perlu mengimpor beras tahun ini bila produksi padi 2013 sesuai target Kementerian Pertanian sebanyak 72 juta ton. Namun, selain peningkatan produksi, menurutnya ada faktor lain yang bisa menyebabkan harus dilakukan, yaitu kondisi harga dan stok beras.
Harga berpengaruh terhadap pengadaan beras dalam negeri Bulog. Stok beras yang dipegang pemerintah menjadi ukuran terutama bagi pedagang untuk melakukan spekulasi terhadap harga beras. “Jika stok beras pemerintah cukup besar, maka harga akan relatif stabil. Sebab, pedagang juga tidak akan berani bermain-main,” katanya.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, untuk mengamankan cadangan beras nasional, Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah negara seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, serta laos. "Dengan Kamboja kita sudah tanda tangan MoU-nya," katanya.
http://industri.kontan.co.id/news/bulog-menambah-cadangan-beras-600.000-ton
Langganan:
Postingan (Atom)