Rabu, 27 Maret 2013

Ungkap Gejala Krisis Petani

BADAN Pusat Statistik (BPS) kembali akan melakukan sensus pertanian yang secara periodik dilakukan tiap 10 tahun. Sensus pertanian terakhir telah di lakukan pada tahun 2003. Menurut Kepala BPS, Suryamin, Sensus Pertanian 2013 kali ini lebih lengkap dibandingkan tahun 2003. Banyak aspek yang dipotret BPS, termasuk aspek usaha. BPS tidak hanya menghitung jumlah petani, usia, jenis kelamin, tetapi juga petani di tiap-tiap subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Lebih jauh, BPS juga menghitung apakah komoditas itu diolah terlebih dahulu atau tidak. Berapa banyak yang melalui proses pengolahan. Hal ini penting dilakukan untuk melihat keterkaitan sektor budidaya pertanian dengan sektor industri, untuk melihat nilai tambahnya. BPS menyediakan dana Rp 1,59 triliun un-
tuk Program Sensus Pertanian 2013 yang dimulai 1-31 Mei 2013. Untuk melakukan sensus tersebut BPS menerjunkan 500 lebih satuan kerja (Satker) yang tersebar di seluruh Indonesia. Suryamin juga menyatakan usai apel siaga petugas Sensus Pertanian 2013 di Jakarta 8 Maret 2013, sensus meliputi 33 provinsi, 497 kabupaten, 6.793 kecamatan, 77.144 desa /kelurahan dan 858.557 blok, menggunakan 60.911 tim dan 243.664 petugas lapangan. Sensus pertanian meliputi aktivitas besar, yaitu kegiatan pendataan lengkap mulai 1-31 Mei mengenai seluruh rumah tangga sektor pertanian, yang memiliki usaha bidang pertanian yaitu tanaman pangan, hortikultura (sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat), perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, baik pada rumah tangga maupun perusahaan atau lembaga masyarakat.

Harapan di Lapangan

Berdasarkan informasi, para petugas sensus direkrut melalui masyarakat. Karena sensus itu bertujuan mendapatkan data terkini di bidang pertanian yang benar-benar nyata atau faktual, maka BPS tentu telah menyiapkan petugas-petugas lapangan yang peduli pada bidang pertanian atau telah mengetahui seluk-beluk pertanian atau memang memiliki disiplin ilmu pertanian (lulusan SMK Pertanian atau Sarjana S1 Pertanian).
Dikhawatirkan dalam perekrutan petugas lapangan sensus pertanian yang dilakukan BPS itu hanya  serampangan. Misalnya, merekrut orang-orang yang menganggur atau setengah menganggur (disquised unemployment)
atau orang-orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap berdasarkan nepotisme atau sistem famili yang semata-mata memberikan pekerjaan atau penghasilan, tetapi sosok-sosoknya tidak profesional. Jika demikian, maka jangan diharapkan hasil sensus pertanian itu faktual dan berbobot sehingga akan menyulitkan atau bahkan dapat menggagalkan program-program pembangunan pertanian di masa-masa mendatang. Mampukah BPS merekrut petugas sensus yang berkualitas ? Khusus pada subsektor tanaman pangan,
perlu diingat bahwa hasil Sensus Pertanian 2003 dapat dipastikan sangat berbeda dengan kondisi tahun 2013. Aspek-aspek yang juga harus dicatat sebagai data yang aktual pada Sensus Pertanian 2013 sebagai berikut:
1. Proses fragmentasi lahan. Proses fragmentasi lahan pertanian merupakan proses alamiah dan manusiawi, yaitu dipecah-pecahnya lahan milik petani untuk diberikan kepada anak-anaknya secara malwaris. Hal ini mengakibatkan lahan garapan milik petani akan semakin sempit, sehingga jumlah petani gurem semakin meningkat pesat.
2. Kondisi petani gurem. Petani ini merupakan petani subsistem, yaitu berusaha taninya hanya bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, bukan petani komersial (mencari keuntungan).
Hasil usaha taninya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehingga petani harus bekerja di luar usaha taninya sebagai buruh apapun.
3. Generasi penerus petani dan krisis petani. Berdasar pengamatan, saat ini tampak jelas bahwa anak-anak petani tidak mau bekerja sebagai petani seperti orangtuanya dengan alasan pekerjaannya berat dan hasil finansialnya kecil dan baru diterima setelah 3 - 4 bulan. Mereka lebih senang bekerja di luar usaha tani, yaitu di kota atau perkotaan yang dapat menghasilkan uang lebih banyak dan rutin setiap hari atau setiap minggu. Dengan kondisi demikian maka secara gradual akan mengakibatkan krisis petani, di mana lahan pertanian-
nya yang sangat sempit itu dijual terutama kepada orang yang bukan petani atau pihak pengembang perumahan.
4. Biaya produksi usaha tani. Agar dapat diperoleh data pendapatan petani yang nyata, maka harus diperhitungkan biaya usaha tani secara implisit, yaitu terutama tenaga kerja petaninya itu sendiri harus
dinilai upahnya.

 *) Ki Ir Hatta Sunanto MS, Pengamat Pembangunan Pertanian Faktual, Lektor Kepala pada Fakultas Pertanian Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta.

http://epaper.krjogja.com/?edisi=2013-03-21&fid=10012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar