BADAN Pusat Statistik (BPS) kembali akan melakukan sensus pertanian yang
secara periodik dilakukan tiap 10 tahun. Sensus pertanian terakhir
telah di lakukan pada tahun 2003. Menurut Kepala BPS, Suryamin, Sensus
Pertanian 2013 kali ini lebih lengkap dibandingkan tahun 2003. Banyak
aspek yang dipotret BPS, termasuk aspek usaha. BPS tidak hanya
menghitung jumlah petani, usia, jenis kelamin, tetapi juga petani di
tiap-tiap subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, perikanan dan kehutanan. Lebih jauh, BPS juga menghitung
apakah komoditas itu diolah terlebih dahulu atau tidak. Berapa banyak
yang melalui proses pengolahan. Hal ini penting dilakukan untuk melihat
keterkaitan sektor budidaya pertanian dengan sektor industri, untuk
melihat nilai tambahnya. BPS menyediakan dana Rp 1,59 triliun un-
tuk
Program Sensus Pertanian 2013 yang dimulai 1-31 Mei 2013. Untuk
melakukan sensus tersebut BPS menerjunkan 500 lebih satuan kerja
(Satker) yang tersebar di seluruh Indonesia. Suryamin juga menyatakan
usai apel siaga petugas Sensus Pertanian 2013 di Jakarta 8 Maret 2013,
sensus meliputi 33 provinsi, 497 kabupaten, 6.793 kecamatan, 77.144 desa
/kelurahan dan 858.557 blok, menggunakan 60.911 tim dan 243.664 petugas
lapangan. Sensus pertanian meliputi aktivitas besar, yaitu kegiatan
pendataan lengkap mulai 1-31 Mei mengenai seluruh rumah tangga sektor
pertanian, yang memiliki usaha bidang pertanian yaitu tanaman pangan,
hortikultura (sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat),
perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, baik pada rumah tangga
maupun perusahaan atau lembaga masyarakat.
Harapan di Lapangan
Berdasarkan
informasi, para petugas sensus direkrut melalui masyarakat. Karena
sensus itu bertujuan mendapatkan data terkini di bidang pertanian yang
benar-benar nyata atau faktual, maka BPS tentu telah menyiapkan
petugas-petugas lapangan yang peduli pada bidang pertanian atau telah
mengetahui seluk-beluk pertanian atau memang memiliki disiplin ilmu
pertanian (lulusan SMK Pertanian atau Sarjana S1 Pertanian).
Dikhawatirkan
dalam perekrutan petugas lapangan sensus pertanian yang dilakukan BPS
itu hanya serampangan. Misalnya, merekrut orang-orang yang menganggur
atau setengah menganggur (disquised unemployment)
atau orang-orang
yang sudah memiliki pekerjaan tetap berdasarkan nepotisme atau sistem
famili yang semata-mata memberikan pekerjaan atau penghasilan, tetapi
sosok-sosoknya tidak profesional. Jika demikian, maka jangan diharapkan
hasil sensus pertanian itu faktual dan berbobot sehingga akan
menyulitkan atau bahkan dapat menggagalkan program-program pembangunan
pertanian di masa-masa mendatang. Mampukah BPS merekrut petugas sensus
yang berkualitas ? Khusus pada subsektor tanaman pangan,
perlu
diingat bahwa hasil Sensus Pertanian 2003 dapat dipastikan sangat
berbeda dengan kondisi tahun 2013. Aspek-aspek yang juga harus dicatat
sebagai data yang aktual pada Sensus Pertanian 2013 sebagai berikut:
1.
Proses fragmentasi lahan. Proses fragmentasi lahan pertanian merupakan
proses alamiah dan manusiawi, yaitu dipecah-pecahnya lahan milik petani
untuk diberikan kepada anak-anaknya secara malwaris. Hal ini
mengakibatkan lahan garapan milik petani akan semakin sempit, sehingga
jumlah petani gurem semakin meningkat pesat.
2. Kondisi petani gurem.
Petani ini merupakan petani subsistem, yaitu berusaha taninya hanya
bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, bukan petani
komersial (mencari keuntungan).
Hasil usaha taninya tidak mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya sehingga petani harus bekerja di luar usaha
taninya sebagai buruh apapun.
3. Generasi penerus petani dan krisis
petani. Berdasar pengamatan, saat ini tampak jelas bahwa anak-anak
petani tidak mau bekerja sebagai petani seperti orangtuanya dengan
alasan pekerjaannya berat dan hasil finansialnya kecil dan baru diterima
setelah 3 - 4 bulan. Mereka lebih senang bekerja di luar usaha tani,
yaitu di kota atau perkotaan yang dapat menghasilkan uang lebih banyak
dan rutin setiap hari atau setiap minggu. Dengan kondisi demikian maka
secara gradual akan mengakibatkan krisis petani, di mana lahan
pertanian-
nya yang sangat sempit itu dijual terutama kepada orang yang bukan petani atau pihak pengembang perumahan.
4.
Biaya produksi usaha tani. Agar dapat diperoleh data pendapatan petani
yang nyata, maka harus diperhitungkan biaya usaha tani secara implisit,
yaitu terutama tenaga kerja petaninya itu sendiri harus
dinilai upahnya.
*) Ki Ir Hatta Sunanto MS, Pengamat Pembangunan Pertanian Faktual,
Lektor Kepala pada Fakultas Pertanian Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa (UST) Yogyakarta.
http://epaper.krjogja.com/?edisi=2013-03-21&fid=10012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar