Jumat, 15 Maret 2013

Merindukan Bulog Baru

Sebuah ironi kembali menerpa negeri ini. Untuk kesekian kalinya, harga pangan kembali melambung tak terkendali. Kali ini, bawang putih yang berulah, dengan harga eceran sudah menembus Rp 70 ribu per kilogram. Padahal, di salah satu Negara asal impor bawang putih, yakni Tiongkok, harganya cuma sepertujuhnya.

Sebelum bawang putih, pemerintah dibuat kelabakan oleh lonjakan harga daging sapi yang belum turun hingga kini. Harga daging di Indonesia dua kali lebih mahal ketimbang negara-negara maju, seperti Singapura, Australia, dan beberapa negara Eropa. Jauh sebelum itu, tahun lalu, harga kedelai juga melambung yang menimbulkan protes meluas perajin tahu-tempe.

Pemerintah selalu kecolongan setiap terjadi gonjang-ganjing harga komoditas pangan dan baru tergopoh-gopoh ketika masyarakat mulai menjerit. Pemerintah kewalahan dan tak berdaya menghadapi ulah para spekulan pangan maupun kelompok kartel pangan yang selalu ingin mengeruk untung sebesar mungkin.

Dalam kondisi seperti itu, masyarakat kembali merindukan Bulog, badan urusan logistik yang di masa lalu begitu ditakuti karena kemampuannya dalam mengontrol harga. Sebelum otoritasnya dikebiri oleh Dana Moneter Internasional (IMF) bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru, Bulog kampiun dalam perannya sebagai badan penyangga dan stabilisator harga untuk sembilan komoditas pangan.

Saat ini, Bulog hanya ditugasi sebagai penyangga untuk komoditas beras. Pertengahan tahun lalu, wacana untuk memperluas peran Bulog menghangat. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet sudah memutuskan agar peran Bulog diperluas pada empat komoditas lain, yakni gula, kedelai, jagung, dan daging. Akan ada payung hukum untuk mengimplementasikan peran Bulog baru tersebut.

Sayangnya, hingga saat ini upaya perluasan peran Bulog belum terwujud. Kemungkinan baru terealisasi tahun depan. Kelambanan ini sungguh disayangkan, karena gejolak harga pangan semakin membebani masyarakat, khususnya kelas bawah. Padahal, pihak Bulog sendiri cukup responsif dan menyatakan kesiapannya. Bulog kini memiliki lebih dari 1.700 gudang yang tersebar di seluruh Nusantara. Bulog juga memiliki infrastruktur dan jaringan distribusi untuk menjalani peran barunya sebagai badan penyangga. Bulog mulai memperbanyak gerai minimarket dan menggandeng sejumlah BUMN.

Dukungan terhadap perluasan peran Bulog juga datang dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga itu bahkan memberikan restu jika Bulog memonopoli lima komoditas pangan strategis, sepanjang bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas.

Memang, kalaupun Bulog diberi peran baru dan direvitalisasi, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Lembaga ini harus benar-benar serius menjalankan usaha secara transparan, akuntabel, dan menerapkan tata kelola yang baik (GCG). Manajemen Bulog harus profesional dan diseleksi melalui fit and proper test yang ketat. Legalitas dan garis komando terhadap Bulog harus jelas sehingga tidak seperti sekarang yang berada di bawah beberapa institusi. Hal seperti itu membuka celah terjadinya intervensi.

Pemerintah harus sungguh-sungguh mengatasi gejolak harga pangan dan segera mengeluarkan payung hukum bagi perluasan peran Bulog. Tidak masuk akal sebuah negeri dengan tanah yang luas dan subur, kaya sumber daya alam, namun harga pangan jauh lebih mahal dibanding negara lain. Harga pangan yang mahal memberikan dampak berantai luar biasa.

Bangsa ini akan makin kekurangan gizi, di saat konsumsi berbagai sumber pangan gizi per kapita masih tertinggal dari bangsa lain. Daya beli masyarakat makin tergerogoti, karena sebagian besar penghasilannya habis untuk konsumsi pangan. Hal itu jelas membuat masyarakat makin tidak mampu membeli rumah dan keperluan vital lain seperti biaya pendidikan dan kesehatan.

Tugas pemerintah tidak hanya hanya sekadar mewujudkan pangan murah dan harga stabil, tapi juga harus menggenjot produktivitas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Buat apa pangan murah jika mayoritas harus diimpor. Indonesia berada di ambang bahaya jika sektor pertanian terabaikan. Petani sekarang makin kehilangan gairah, demikian pula anak-anak petani tidak berminat menjadi petani karena sektor ini sama sekali tidak menjanjikan masa depan. Ini berbeda jauh dengan petani di luar negeri, terutama negara maju, yang umumnya makmur karena pemerintahnya memberikan proteksi dan subsidi.

Perluasan peran Bulog sangat mendesak dan publik harus memantau proses ini. Jangan sampai niat baik itu ditelikung oleh kelompok tertentu dan para pemburu rente yang hendak melanggengkan impor. Apalagi menjelang Pemilu 2014, importasi menjadi lading uang paling menggiurkan untuk memobilisasi dana.

http://www.investor.co.id/tajuk/merindukan-bulog-baru/56798

Tidak ada komentar:

Posting Komentar