Sebuah ironi kembali menerpa negeri ini. Untuk kesekian kalinya, harga
pangan kembali melambung tak terkendali. Kali ini, bawang putih yang
berulah, dengan harga eceran sudah menembus Rp 70 ribu per kilogram.
Padahal, di salah satu Negara asal impor bawang putih, yakni Tiongkok,
harganya cuma sepertujuhnya.
Sebelum bawang putih, pemerintah
dibuat kelabakan oleh lonjakan harga daging sapi yang belum turun hingga
kini. Harga daging di Indonesia dua kali lebih mahal ketimbang
negara-negara maju, seperti Singapura, Australia, dan beberapa negara
Eropa. Jauh sebelum itu, tahun lalu, harga kedelai juga melambung yang
menimbulkan protes meluas perajin tahu-tempe.
Pemerintah selalu
kecolongan setiap terjadi gonjang-ganjing harga komoditas pangan dan
baru tergopoh-gopoh ketika masyarakat mulai menjerit. Pemerintah
kewalahan dan tak berdaya menghadapi ulah para spekulan pangan maupun
kelompok kartel pangan yang selalu ingin mengeruk untung sebesar
mungkin.
Dalam kondisi seperti itu, masyarakat kembali merindukan
Bulog, badan urusan logistik yang di masa lalu begitu ditakuti karena
kemampuannya dalam mengontrol harga. Sebelum otoritasnya dikebiri oleh
Dana Moneter Internasional (IMF) bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru,
Bulog kampiun dalam perannya sebagai badan penyangga dan stabilisator
harga untuk sembilan komoditas pangan.
Saat ini, Bulog hanya
ditugasi sebagai penyangga untuk komoditas beras. Pertengahan tahun
lalu, wacana untuk memperluas peran Bulog menghangat. Bahkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet sudah memutuskan agar
peran Bulog diperluas pada empat komoditas lain, yakni gula, kedelai,
jagung, dan daging. Akan ada payung hukum untuk mengimplementasikan
peran Bulog baru tersebut.
Sayangnya, hingga saat ini upaya
perluasan peran Bulog belum terwujud. Kemungkinan baru terealisasi tahun
depan. Kelambanan ini sungguh disayangkan, karena gejolak harga pangan
semakin membebani masyarakat, khususnya kelas bawah. Padahal, pihak
Bulog sendiri cukup responsif dan menyatakan kesiapannya. Bulog kini
memiliki lebih dari 1.700 gudang yang tersebar di seluruh Nusantara.
Bulog juga memiliki infrastruktur dan jaringan distribusi untuk
menjalani peran barunya sebagai badan penyangga. Bulog mulai
memperbanyak gerai minimarket dan menggandeng sejumlah BUMN.
Dukungan
terhadap perluasan peran Bulog juga datang dari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga itu bahkan memberikan restu jika Bulog
memonopoli lima komoditas pangan strategis, sepanjang bertujuan untuk
melindungi kepentingan masyarakat luas.
Memang, kalaupun Bulog
diberi peran baru dan direvitalisasi, ada sejumlah prasyarat yang harus
dipenuhi. Lembaga ini harus benar-benar serius menjalankan usaha secara
transparan, akuntabel, dan menerapkan tata kelola yang baik (GCG).
Manajemen Bulog harus profesional dan diseleksi melalui fit and proper
test yang ketat. Legalitas dan garis komando terhadap Bulog harus jelas
sehingga tidak seperti sekarang yang berada di bawah beberapa institusi.
Hal seperti itu membuka celah terjadinya intervensi.
Pemerintah
harus sungguh-sungguh mengatasi gejolak harga pangan dan segera
mengeluarkan payung hukum bagi perluasan peran Bulog. Tidak masuk akal
sebuah negeri dengan tanah yang luas dan subur, kaya sumber daya alam,
namun harga pangan jauh lebih mahal dibanding negara lain. Harga pangan
yang mahal memberikan dampak berantai luar biasa.
Bangsa ini
akan makin kekurangan gizi, di saat konsumsi berbagai sumber pangan gizi
per kapita masih tertinggal dari bangsa lain. Daya beli masyarakat
makin tergerogoti, karena sebagian besar penghasilannya habis untuk
konsumsi pangan. Hal itu jelas membuat masyarakat makin tidak mampu
membeli rumah dan keperluan vital lain seperti biaya pendidikan dan
kesehatan.
Tugas pemerintah tidak hanya hanya sekadar mewujudkan
pangan murah dan harga stabil, tapi juga harus menggenjot produktivitas
pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Buat apa pangan murah
jika mayoritas harus diimpor. Indonesia berada di ambang bahaya jika
sektor pertanian terabaikan. Petani sekarang makin kehilangan gairah,
demikian pula anak-anak petani tidak berminat menjadi petani karena
sektor ini sama sekali tidak menjanjikan masa depan. Ini berbeda jauh
dengan petani di luar negeri, terutama negara maju, yang umumnya makmur
karena pemerintahnya memberikan proteksi dan subsidi.
Perluasan
peran Bulog sangat mendesak dan publik harus memantau proses ini. Jangan
sampai niat baik itu ditelikung oleh kelompok tertentu dan para pemburu
rente yang hendak melanggengkan impor. Apalagi menjelang Pemilu 2014,
importasi menjadi lading uang paling menggiurkan untuk memobilisasi
dana.
http://www.investor.co.id/tajuk/merindukan-bulog-baru/56798
Tidak ada komentar:
Posting Komentar