Rabu, 18 Januari 2012
Ada Rencana Tersembunyi Atas Pembatasan Subsidi BBM
Setelah dalih-dalih pemerintah atas pembatasan subsidi BBM berkebalikan dengan cita-cita mensejahterakan rakyat, lantas gerangan apa tujuan dari pembatasan BBM bersubsidi? Pengamat perminyakan Dr. Kurtubi menyebutkan ada hidden agenda dari kebijakan tersebut. Mengapa demikian? Menurut Kurtubi, pembatasan BBM bersubsidi (premium) akan menguntungkan SPBU milik asing.
Pembatasan BBM bersubsisi (premium) terutama pada pengguna kendaraan roda empat membuat mereka harus membeli BBM jenis pertamax yang non subsidi. Sementara di lapangan, pertamax tidak saja tersedia di SPBU Pertamina, namun juga di SPBU asing. Mengapa dikatakan menguntungkan SPBU asing? Sebab, selama ini SPBU asing cukup bersedih akibat masih disubsidinya BBM oleh pemerintah, sehingga mereka kalah bersaing dengan SPBU Pertamina. Lalu ketika pemerintah berencana membatasai subsisi BBM (premium), yang membuat pengendara bermotor membeli BBM non subsidi (pertamax), menjadi kabar bahagialah bagi pihak SPBU asing.
Di samping itu, pembatasan BBM bersubsidi yang ditandai dengan penyesuaian harga pasar juga semakin menebalkan kebijakan liberal pemerintah, dalam hal ini sektor migas. Pengurangan subsidi dan penyesuaian (penyerahan) harga BBM atas harga pasar merupakan bukti shahih betapa pemerintah sekarang berjalan di atas kebijakan liberal. Pembatasan BBM bersubsidi pun tidak lain adalah kenaikan harga BBM, karena penyesuaian harga pasar identik dengan kenaikan harga.
Liberalisasi Migas=Penjajahan Kapitalis Global
Liberalisasi migas merupakan bagian dari sistem ekonomi kapitalisme yaitu sebuah ideologi yang meniscayakan siapapun dapat memiliki apapun disertai minimnya campur tangan negara. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, setiap hal yang menguntungkan dapat dikuasai oleh pihak swasta. Tidak terkecuali sumber daya alam yang menyangkut kebutuhan orang banyak, seperti sumber energi dalam bentuk minyak bumi dan gas.
Liberalisasi migas ini dapat dilacak pada UU No.22/2001 tentang migas yang mengatur sektor hulu dan hilir. Melalui kebijakan itulah pemerintah melegalkan perusahaan-perusahaan multinasional ikut masuk dalam sektor hulu (eksplorasi) dan hilir migas (eceran). Data Walhi menyebutkan bahwa produksi migas nasional 90% dikuasai asing. Di sektor hulu pun terdapat perusahaan-perusahaan besar seperti Exxon Mobile, Shell, Total, Chevron dll. Di sektor hilir ada Shell, Total dan Petronas yang telah mendapat izin untuk membuka SPBU di seluruh Indonesia. Shell telah memiliki 45 SPBU dari rencana pembangunan 500 SPBU selama 2007-2012. Selain Shell, Petronas juga telah membangun 18 SPBU di Indonesia. Adapun Total menargetkan tahun ini dapat membangun 7 SPBU dari 8 SPBU yang sudah dimiliki (Kontan, 7/2/2011).
Melalui kebijakan liberal ini Indonesia menjadi tidak berdaulat atas sumber energi yang ada di wilayahnya sendiri. Sebabnya Indonesia saat ini berada dalam posisi subordinat dari kepentingan kapitalisme global. Cengkraman kapitalisme global juga telah membuat negara abai dalam mengedepankan ketahanan nasional dan memilih untuk mengedepankan kepentingan asing. Padahal sektor migas memiliki peran yang strategis bagi sebuah negara. Sektor migas dapat membuat sebuah negara menjadi maju dengan industrinya. Di sini lah diperlukan kebijakan politik industri migas yang tidak dimiliki oleh negara kita. Padahal AS sendiri saja sebagai biang kapitalis tidak memperkenankan BUMN Cina CNOOC terhadap Unocal yang tidak lain hanyalah perusahaan swasta saja. Seorang politisi AS Byron Dorgan mengatakan, Unocal berada di AS dan telah menghasilkan 1,75 miliar barel minyak. Sangat bodoh bila perusahaan ini menjadi milik asing. (Republika, 18/7/2005).
Solusi
Pengurangan subsidi oleh pemerintah dan penyesuaian harga pada mekanisme pasar terjadi karena negara menggunakan presfektif kapitalisme dalam pengelolaannya. Pembatasan BBM bersubsidi yang ditandai dengan pengkondisian rakyat untuk membeli BBM non subsidi menimbulkan efek domino pada naiknya harga-harga barang kebutuhan rakyat. Dampak tersebut mengakibatkan penurunan daya beli rakyat dan mengarah pada meningkatnya angka kemiskinan serta problem lainnya seperti kriminalitas, pengangguran, putus sekolah dan sebagainya. Selain itu kebijakan liberalisasi migas ini hanya untuk semakin membuka jalan selebar-lebarnya bagi kepentingan asing
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa sumber daya energi dalam bentuk minyak bumi dan gas mengandung hajat hidup orang banyak. Sifatnya yang demikian membuatnya begitu vital dalam kehidupan baik di dalam negeri dan luar negeri. Berdasarkan hal itu maka dalam Islam, sumber daya energi minyak bumi dan gas- baik sektor hulu dan hilir dipandang sebagai barang kepemilikan umum. Dengan demikian tidak diperkenankan penguasaannya diberikan kepada individu atau kelompok tertentu.
Dalam sebuah hadist diriwayatkan:
Sesungguhnya kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput dan api (energi) (HR.Abu Dawud)
Syariah Islam menetapkan bahwa segala barang yang menyangkut kebutuhan publik akan dikelola oleh negara dengan dasar sebesar-besarnya untuk kebutuhan rakyat. Dengan mendayagunakan potensi yang ada, maka sistem seperti ini akan dapat mengentaskan problem engeri yang ada. Pengelolaan sektor energi dengan syariah ini tidak saja penting tetapi kewajiban. Muttaqin mengatakan meski cadangan minyak nasional tidak sebesar cadangan minyak negeri-negeri Islam lainnya di Timur Tengah, maka Pemerintah lebih mudah mengontrol industri migas untuk kepentingan nasional. Investasi migas memang mahal. Namun, Pemerintah jangan terjebak oleh pemahaman ekonomi kapitalis bahwa negara Dunia Ketiga miskin modal. Pemahaman ini hanya menggiring negara lemah seperti Indonesia untuk berutang ataupun mengundang investor asing dalam membangun industri migas, (Aspek Strategis Industri Migas Perspektif Syariah Islam, 2011).
Pengelolaan sektor energi sesuai syariah dan juga segala aspek kehidupan lainnya hanya dapat diterapkan oleh negara yang juga berlandaskan akidah Islam yakni Khilafah. Negara yang demikianlah yang meyakini ketentuan-ketentuan syariah dalam mengatur dan mengelola kehidupan bernegara. Dengan Khilafah Islam yang menerapkan syariah secara kaffah, negeri ini akan dapat keluar dari segenap permasalahan yang tengah membelitnya. Wallahualam bi shawab.
Sumber : Jurnal Ekonomi Ideologis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar