Tuntutan paling santer disuarakan berbagai kalangan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pangan (RUU Pangan) yang tengah berlangsung adalah dibentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog) baru, yaitu Bulog yang kembali ke semangat awal (khittah) dibentuknya lembaga ini.
Semangat awal dibentuknya Bulog adalah untuk menyediakan pangan bagi masyarakat pada harga yang terjangkau diseluruh daerah serta mengendalikan harga pangan di tingkat produsen dan konsumen.
Tuntutan itu mengemuka karena draft RUU Pangan yang dimaksudkan sebagai revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tersebut dinilai sarat dengan kepentingan liberalisasi. Pemberian kewenangan luas pada pihak swasta dan pemerintah daerah dalam pengelolaan cadangan pangan seperti tertuang dalam RUU tersebut dinilai sangat pro-pasar dan sangat membahayakan ketahanan pangan bangsa.
Rekam jejak (track record) para wakil rakyat dalam membahas sebuah RUU yang kurang menggembirakan, mengharuskan semua komponen bangsa ikut mengawal pembahasan RUU yang sangat menentukan hidup mati bangsa ini. Begitu strategisnya masalah pangan, sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadinya praktik jual beli pasal dan kongkalikong pada saat pembahasan.
Pengembalian Bulog ke semangat awal menjadi sangat penting bagi perbaikan manajemen pangan negeri ini. Status perusahaan umum (Perum) seperti disandang Bulog saat ini telah membuat peran Bulog tak ubahnya mesin ekonomi liberal lainnya. Jika terdapat peluang keuntungan, mesin ekonomi ini akan bergerak, namun jika tidak menjanjikan keuntungan secara ekonomi, lembaga ini akan “duduk manis”.
Sekilas kiprah Bulog
Menurut sejarahnya, Bulog merupakan penjelmaan dari Voeding Middelen Fonds (VMF) yang dibentuk oleh Pemerintahan Belanda pada 25 April 1939. Pada perjalanan waktu, lembaga pangan ini banyak mengalami perubahan nama maupun fungsi. Kebijakan Stabilisasi Harga Beras yang berorientasi pada operasi bufferstock dimulai tahun 1970.
Tugas itu makin bertambah dan menjangkau berbagai komoditas, seperti gula pasir, terigu, daging, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, telur dan daging ayam pada Hari Raya, Natal/Tahun Baru.
Orientasi bufferstock yang diperankan Bulog ini ditunjang dengan pembangunan gudang-gudang yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 1978 menegaskan tugas Bulog, yaitu membantu persediaan dalam rangka menjaga kestabilan harga bagi kepentingan petani maupun konsumen sesuai kebijakan umum Pemerintah.
Keppres itu disempurnakan dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1995 yang memberi tugas Bulog untuk mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya.
Atas resep Dana Moneter Internasional (IMF), tugas pokok Bulog kemudian dikebiri. Melalui Keppres Nomor 45 Tahun 1997 tanggal 1 Nopember 1997, Bulog hanya diberi tugas mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras dan gula. Pengebirian Bulog tidak berhenti di situ. Tidak lama kemudian terbitlah Letter of Intens (LOI) antara Pemerintah Indonesia dan IMF yang membatasi tugas Bulog hanya mengurusi beras saja.
Genderang liberalisasi beras mulai ditabuh sejak ditandatanganinya Keppres Nomor 19 Tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998. Sejak saat itu tugas dan fungsi Bulog mengalami beberapa kali perubahan.
Di antaranya melalui Keppres Nomor 103 Tahun 2001 yang mengatur tugas dan fungsi Bulog untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedudukan Bulog saat itu sebagai lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Dua tahun kemudian, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2003, status LPND Bulog diubah menjadi perusahaan umum (Perum). Sejak saat itu berbagai permasalahan pangan di negeri ini selalu bergulir seolah tidak pernah berujung. Semua itu berawal dari bergesernya pendulum madzab stabilisasi yang diperankan pemerintah kepada madzab ekonomi pasar.
Katup pengaman
Melalui amandemen Undang-Undang Pangan ini diharapkan lembaga otoritas pangan diserahkan kembali kepada Bulog yang telah kembali ke khittah. Selain telah banyak mengecap asam dan garam dalam pengelolaan pangan di republik ini, lembaga ini juga memiliki sarana dan prasarana yang sangat memadai tersebar di seluruh pelosok negeri.
Lembaga ini telah berpengalaman selama lebih dari 30 tahun dalam manajemen logistik bangsa. Ke depan “Bulog baru” diharapkan menjadi lembaga yang lebih profesional menjalankan manajemen pangan modern. Lembaga ini diberi tugas untuk mengemban dua misi besar, yaitu melindungi petani dari keterpurukan harga jual hasil panen dan melindungi para konsumen dari melambungnya harga pangan yang tidak terkendali.
Mengingat dalam sebutir beras tidak hanya terkandung dimensi ekonomi, tetapi juga terkandung dimensi sosial, keadilan, hak azasi manusia, spiritual, bahkan dimensi politik, maka “Bulog baru” harus dapat berperan sebagai katup pengaman kebijakan pangan.
Lembaga ini harus mengawal lima prinsip dalam manajemen pangan modern. Pertama, mengamankan harga dasar (floor price) yang memberikan insentif harga jual kepada petani sehingga mereka tetap bergairah dalam melakukan usaha tani.
Kedua, mengamankan harga maksimum (ceiling price) yang bertujuan melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tak terkendali. Ketiga, menjaga selisih harga yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum untuk lebih merangsang perdagangan oleh swasta.
Keempat, mengupayakan relasi harga antar daerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar. Kelima, mengelola stok penyangga (buffer stock) yang memadai untuk kebutuhan stabilisasi harga pada saat-saat dibutuhkan. (Toto Subandriyo : Penulis adalah Alumni IPB dan Magister Manajemen UNSOED, Bergiat Di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar