Draft Rancangan Undang-undang (RUU) Pangan yang kini sedang dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna menggantikan UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan semakin menyadarkan kita semua bahwasanya proses liberalisasi terjadi kian masif, khususnya di sektor pangan . Beberapa pasal dalam RUU tersebut memperlihatkan kentalnya nuansa liberalisasi pangan, yang sebenarnya telah dirintis sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
Liberalisasi berkedok Desentralisasi
Nuansa liberalisasi dalam RUU ini tampak pada bagian mengenai Cadangan Pangan yang membuka lebar-lebar peran pihak swasta dalam distribusi cadangan pangan yang bersifat pokok. Dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah diberi kewenangan untuk menugaskan badan usaha tertentu yang bergerak disektor pangan untuk menyimpan dan mendistribusikan cadangan pangan. Kata ‘badan usaha’ dalam RUU ini tidak definitif, apakah badan usaha milik negara atau swasta. Sementara realitanya kini distribusi pangan tidak lagi dimonopoli oleh lembaga milik negara seperti Bulog (Badan Urusan Logistik) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang merupakan lembaga dibawah Kementrian Pertanian. Bukan rahasia lagi bila tahapan distribusi pangan secara gradual telah dikuasai segelintir orang (tengkulak) dan korporasi swasta yang memotong jalur distribusi antara petani (produsen) dan masyarakat (konsumen akhir).
Adanya aturan yang ambigu semacam itu akan lebih memberi peluang seluas-luasnya bagi swasta, baik tengkulak maupun perusahaan pangan skala global, untuk ‘bermain’ di jalur distribusi pangan. Dampaknya, permainan harga yang menguntungkan swasta namun merugikan petani dan rakyat konsumen akan tetap terjadi sebagaimana telah berlangsung selama ini. Harga pangan pun ditentukan oleh para pemain dijalur distribusi tersebut, ketika disaat bersamaan terjadi kompetisi diantara sesama mereka sesuai dengan hukum pasar. Negara, dalam hal ini pemerintah, akan semakin sulit mengendalikan harga pangan yang fluktuatif karena diserahkan pada mekanisme pasar.
Selain itu, RUU Pangan ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Otoritas Pangan (BOP) sebagai lembaga negara hasil dari peleburan Bulog dan BKP. Ketentuan mengenai lembaga ini ada dalam pasal 113 dan 114. Fungsi dari BOP ini ialah sebagai regulator sekaligus operator dalam penyediaan pangan.
Namun, lembaga BOP ini harus disesuaikan dengan sistem desentralisasi seiring dengan semangat otonomi daerah. Jadi nantinya akan dibentuk juga BOP di tingkat daerah yang akan bersinergi dengan pemerintah daerah setempat dan memiliki kewenangan yang sama dengan BOP pusat, termasuk kewenangan untuk ekspor/impor bahan pangan.
Ketentuan ini memperlihatkan secara vulgar penghilangan hambatan yang signifikan bagi liberalisasi produk pertanian atau pangan. Kesemuanya berada dalam naungan “semangat otonomi.” Semangat yang cenderung ‘keblinger’, mengingat dalam negara yang menggunakan sistem federalisme pun pada umumnya otoritas ekonomi/perdagangan diserahkan pada pemerintah pusat (federal).
Peluang impor ini makin diperbesar lagi dengan ketentuan yang ada dalam pasal 15, yang menyatakan bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan dan impor. Dalam pasal ini, impor dilegitimasi sebagai salah satu sumber ketersediaan pangan, meskipun diberi embel-embel “harus mengutamakan produksi dan cadangan dalam negeri”. Suatu hal yang sangat memalukan, sebab negeri ini sekarang pun telah menjadi importir berbagai produk pangan seperti beras, kedelai, susu bahkan garam.
Masalah lain dalam RUU ini adalah dikorbankannnya kepentingan petani demi mencegah melonjaknya inflasi. Dalam pasal 48 ayat 2, dinyatakan bila harga gabah/beras di tingkat petani, yang biasa diistilahkan dengan nilai tukar petani, dapat ditekan demi menjaga stabilitas harga beras. Bila harga beras stabil, maka inflasi pun kecil kemungkinannnya untuk terjadi.
Pasal ini memutar balikkan fakta, bahwa kenyataannya, melonjaknya harga beras lebih disebabkan permainan harga ditahapan distribusi oleh tengkulak maupun kapitalis pangan dan tidak ada hubungannya dengan nilai tukar petani. Maka, kenaikan harga beras yang selama ini terjadi tidak mengakibatkan naiknya keuntungan petani selaku produsen. Sesat pikir semacam ini juga tidak akan menguntungkan rakyat konsumen.
Bulog yang Dikebiri
Liberalisasi pangan dalam hal distribusi dan harganya sesungguhnya telah terjadi seiring dengan pengebirian fungsi Bulog. Bila ditinjau latar belakang historis kemunculan lembaga Bulog diawal pemerintahan Orde Baru (1967), Bulog berfungsi mengamankan penyediaan pangan (beras) nasional. Fungsi ini digunakan juga oleh rezim Orde Baru untuk mendapat legitimasi dari rakyat melalui stabilisasi harga dan pasokan beras. Seperti yang kita ketahui, gejolak inflasi di masa-masa akhir pemerintahan Soekarno berdampak pada kesulitan rakyat banyak untuk mengakses bahan pangan. Hal inilah yang dijadikan ‘amunisi’ politik bagi rezim Orde Baru untuk melakukan negative campaign terhadap rezim lama sekaligus meraih dukungan rakyat melalui propaganda bahwa pemerintahan Orde Baru akan ‘memperbaiki’ salah urus ekonomi di era Orde Lama.
Sepanjang era pemerintahan Orde Baru (1967-1997) fungsi Bulog terus diperluas dari mulai stabilisasi harga pangan, koordinasi pembangunan pangan hingga penyediaan dan pengelolaan bahan-bahan pangan. Bahan pangan yang dikelola Bulog tidak lagi sebatas beras, tetapi juga gula, gandum, kedelai, terigu dan sebagainya. Harus diakui, pola semacam ini terbukti sukses menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan selama era Orde Baru.
Namun, celakanya Bulog kemudian menjadi ‘sapi perah’ kroni-kroni politik Soeharto dan Golkar. Hal ini terjadi seiring bermetamorfosanya rezim Soeharto dari semula rezim kapitalis-komprador menjadi rezim kapitalis kroni. Dinasti politik dan ekonomi Soeharto merambah semua sektor bisnis sekaligus menggerogoti keuangan lembaga-lembaga negara, termasuk Bulog.
Meluasnya kapitalisme kroni inilah yang membuat marah kapital multinasional karena merasakan adanya ancaman dari kiprah dinasti Soeharto yang mulai dominan dalam perekonomian Indonesia. Akhirnya, ketika krisis ekonomi menerpa Asia tahun 1997 IMF datang untuk “membantu” perekonomian Indonesia dengan resep Letter of Intent (LOI). Sejatinya, IMF merupakan representasi dari kepentingan modal internasional yang akan mematahkan dominasi kapitalisme birokrasi dan kroni yang menjamur di era Soeharto.
Salah satu sasaran IMF adalah fungsi Bulog yang ketika itu telah diperluas. Melalui LOI, IMF memaksa Soeharto untuk mengurangi fungsi Bulog hanya sebatas mengurus komoditas beras saja. Tuntutan IMF itupun dipatuhi Soeharto dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 19 tahun 1998, yang membatasi tugas pokok Bulog hanya untuk menangani komoditas beras. Sementara komoditas pangan lain yang sudah ditangani Bulog selama era Orde Baru dilepaskan ke mekanisme pasar, termasuk penentuan harganya. Tujuan IMF menuntut hal tersebut dari pemerintahan Soeharto adalah untuk membuka peluang kapital asing bermain lebih ‘lincah’ dalam perdagangan dan penentuan harga pangan di Indonesia. Inilah awal dari pengebirian fungsi Bulog sekaligus juga awal dari liberalisasi harga pangan.
Pada era reformasi, pengebirian fungsi Bulog sebagai stabilisator pasokan dan harga pangan disamarkan dengan perubahan status badan usaha. Seturut kehendak IMF, pemerintah Indonesia mulai menjadikan Bulog sebagai lembaga yang bergerak dibidang usaha jasa logistik dan berorientasi profit melalui Keppres No. 29 tahun 2000. Status Bulog sebagai badan usaha yang profit oriented pun semakin final dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI no. 7 tahun 2003 tentang perubahan status Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum). Sejak saat itulah peran Bulog dalam distribusi dan pengadaan pangan (termasuk beras) serta menjaga stabilitas harga semakin diminimalisir karena dianggap tidak profitable.
Dan kini, fungsi Bulog semakin direduksi melalui RUU Pangan, bahkan Bulog sendiri dilebur ke dalam sebuah lembaga baru, BOP. Sebaliknya, peranan swasta dalam penyediaan pangan semakin dilegitimasi dalam RUU Pangan yang mulanya akan disahkan akhir tahun 2011 kemarin, namun ternyata diundur.
Pangan merupakan hasil bumi yang sangat terkait dengan hajat hidup orang banyak dan harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Oleh sebab itu, RUU Pangan yang membuka lebar peluang swasta untuk berkiprah dalam sektor pangan sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan harus ditolak. Peran negara mutlak dibutuhkan dalam menjaga ketersediaan pangan dan kestabilan harga melalui lembaga yang dibentuk khusus untuk menangani sektor tersebut secara tersentral.
Melalui peran sentral lembaga tersebut pula, alur distribusi harus dipotong sesingkat mungkin demi terwujudnya harga yang menguntungkan dua pihak sekaligus : petani produsen dan rakyat konsumen. Lebih jauh dari itu, kedaulatan pangan tak lagi menjadi slogan kosong belaka.
HISKI DARMAYANA (kader GMNI Cabang Sumedang dan alumni FISIP UNPAD)Sumber : Berdikari online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar