Minggu, 15 Februari 2015

Raskin, e-Money, dan Inflasi

GUNA memastikan bantuan tepat sasaran, Kabinet Kerja mengubah mekanisme pelbagai bantuan sosial dari bentuk barang (natura) ke uang. Bantuan barang diganti kartu e-money. Salah satu bantuan sosial yang akan diubah adalah Raskin (beras untuk keluarga miskin).

Jika biasanya dibagikan dalam bentuk beras, nantinya warga miskin akan menebus beras menggunakan kartu e-money itu. Jika tidak ada aral melintang, perubahan akan mulai dilakukan pada April tahun ini. Benarkah langkah perubahan ini?

Selama ini Raskin hanya dipandang sebagai instrumen kebijakan sosial. Padahal, lebih dari itu, Raskin adalah instrumen kebijakan ekonomi. Cakupannya membentang dari hulu hingga hilir. Di hulu, Raskin bisa dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli dari produksi petani kecil yang rentan oleh fluktuasi harga saat panen raya. Pembelian hasil produksi petani oleh Bulog lewat harga yang ditetapkan pemerintah merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mereka mendapatkan insentif. Ditilik dari sisi ini, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dengan pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan.

Apabila bantuan beras diganti dengan uang, tidak ada lagi kewajiban Bulog membeli gabah/beras petani untuk memenuhi pagu Raskin. Akibatnya, tak ada lagi instrumen stabilisasi harga gabah/petani. Harga rentan fluktuasi. Di hilir, tujuan Raskin adalah transfer energi untuk meningkatkan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Selama sebulan mereka mendapat 15 kg beras per keluarga dengan menebus Rp1.600/kg.

Dengan bantuan itu, diasumsikan 40-60 persen total kebutuhan beras bulanan keluarga miskin dan rawan pangan bisa dipenuhi. Lewat subsidi ini kelompok miskin bisa mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Rawan pangan dan sejenisnya tidak terjadi. Mereka tidak mengurangi biaya pendidikan dan kesehatan untuk dialihkan ke keranjang pangan karena ada Raskin.

Ketika tidak ada Raskin, hilang mekanisme penyerapan gabah/beras domestik terbesar oleh Bulog. Ketika tidak ada Raskin, tidak ada pula instrumen stabilisasi harga beras. Harga beras rentan fluktuasi. Ujung-ujungnya, inflasi sulit dikendalikan. Selama ini, keberadaan Raskin terbukti mampu meredam inflasi. Setidaknya, Raskin mencapai 20 persen dari jumlah beras yang beredar di pasar. Ketika Raskin tidak ada, beras itu diburu warga di pasar. Tekanan itu, disadari atau tidak, turut andil dalam mengerek harga beras.

Contoh nyata bisa dilihat pada November dan Desember 2014. Pada dua bulan itu tidak ada pembagian Raskin. Warga yang bisa menerima Raskin menjadi penerima subsidi BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Apa yang terjadi? Harga eceran beras naik sekitar Rp2.000/kg dalam dua bulan. Ini besar sekali bagi orang miskin. Ketika keluarga miskin tidak menerima beras, dan hanya menerima uang BLSM, mereka mencari beras ke pasar. Proses inilah yang secara perlahan tapi pasti ikut menambah tekanan kenaikan harga eceran beras. Ujung-ujungnya angka inflasi melonjak tinggi.

Pada November dan Desember 2014 inflasi masing-masing mencapai 1,5 persen dan 2,46 persen. Dari rata-rata inflasi bulanan, November dan Desember menyumbang terbesar. Inilah yang membuat angka inflasi tahun lalu meledak mencapai 8,36 persen. Menurut BPS, Desember 2014 kelompok bahan makanan menyumbang inflasi 0,64 persen. Lima komoditas dominan penyumbang inflasi: beras 0,17 persen, cabai merah 0,16 persen, cabai rawit 0,09 persen, ikan segar 0,06 persen, dan telur ayam ras 0,04 persen.

Pada November 2014, kelompok bahan makanan menyumbang inflasi 0,45 persen. Tiga komoditas penyumbang inflasi terbesar: cabai merah 0,26 persen, cabai rawit 0,09 persen, dan beras 0,06 persen. Beras tetap penyumbang besar inflasi. Memang benar pelaksanaan Raskin sampai di tahun 15 masih banyak kelemahan. KPK bahkan meminta pemerintah mendesain ulang program Raskin. Dari kajian KPK ada enam temuan tidak tepat: tidak tepat sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga dan administrasi. KPK mencium indikasi ada indikasi jaringan kartel penyaluran Raskin. Raskin yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke pengepul. Ironisnya, beras yang berada di tangan pengepul itu dijual lagi ke rumah tangga sasaran.

Survei penyaluran Raskin oleh BPS (2013) menemukan Raskin dinikmati yang seharusnya untuk 15,5 juta rumah tangga justru dinikmati 31,23 juta rumah tangga. Separuh penerima itu tidak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1 (termiskin) yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga hanya 9,41 juta rumah tangga (75 persen) yang menerima jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92 persen dari seharusnya (15 kg).

Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan Raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25 persen dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5). Seharusnya, pelaksanaan dan efektivitas program Raskin yang diperbaiki. Bukan program Raskin diganti. Kalau program Raskin diganti, program stabilisasi harga gabah dan beras dikorbankan. Tidak ada lagi perlindungan bagi produsen dari kejatuhan harga gabah/beras, dan tidak ada pula perlindungan bagi konsumen dari kenaikan harga beras yang tinggi. Bagai pedang bermata dua, perubahan Raskin menjadi e-money hampir bisa dipastikan akan bersifat disinsentif bagi petani padi, dan tidak ada lagi perisai bagi warga miskin untuk bisa mengakses beras (pangan) dengan harga terjangkau.

Dampaknya amat panjang: produksi padi merosot, impor beras meledak, kelaparan meruyak, dan inflasi melonjak tinggi. Apakah Kabinet Kerja sudah menyiapkan perisai berbagai dampak itu?


http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/02/14/358124/raskin-e-money-dan-inflasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar