GUNA memastikan bantuan tepat sasaran, Kabinet Kerja mengubah mekanisme
pelbagai bantuan sosial dari bentuk barang (natura) ke uang. Bantuan
barang diganti kartu e-money. Salah satu bantuan sosial yang akan diubah adalah Raskin (beras untuk keluarga miskin).
Jika biasanya dibagikan dalam bentuk beras, nantinya warga miskin akan menebus beras menggunakan kartu e-money itu. Jika tidak ada aral melintang, perubahan akan mulai dilakukan pada April tahun ini. Benarkah langkah perubahan ini?
Selama ini Raskin hanya dipandang sebagai instrumen kebijakan sosial.
Padahal, lebih dari itu, Raskin adalah instrumen kebijakan ekonomi.
Cakupannya membentang dari hulu hingga hilir. Di hulu, Raskin bisa
dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli
dari produksi petani kecil yang rentan oleh fluktuasi harga saat panen
raya. Pembelian hasil produksi petani oleh Bulog lewat harga yang
ditetapkan pemerintah merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil
agar mereka mendapatkan insentif. Ditilik dari sisi ini, ada kaitan kuat
antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dengan
pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok miskin dan
rawan pangan.
Apabila bantuan beras diganti dengan uang, tidak ada lagi kewajiban
Bulog membeli gabah/beras petani untuk memenuhi pagu Raskin. Akibatnya,
tak ada lagi instrumen stabilisasi harga gabah/petani. Harga rentan
fluktuasi. Di hilir, tujuan Raskin adalah transfer energi untuk
meningkatkan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas
SDM. Selama sebulan mereka mendapat 15 kg beras per keluarga dengan
menebus Rp1.600/kg.
Dengan bantuan itu, diasumsikan 40-60 persen total kebutuhan beras
bulanan keluarga miskin dan rawan pangan bisa dipenuhi. Lewat subsidi
ini kelompok miskin bisa mempertahankan tingkat konsumsi energi dan
protein. Rawan pangan dan sejenisnya tidak terjadi. Mereka tidak
mengurangi biaya pendidikan dan kesehatan untuk dialihkan ke keranjang
pangan karena ada Raskin.
Ketika tidak ada Raskin, hilang mekanisme penyerapan gabah/beras
domestik terbesar oleh Bulog. Ketika tidak ada Raskin, tidak ada pula
instrumen stabilisasi harga beras. Harga beras rentan fluktuasi.
Ujung-ujungnya, inflasi sulit dikendalikan. Selama ini, keberadaan
Raskin terbukti mampu meredam inflasi. Setidaknya, Raskin mencapai 20
persen dari jumlah beras yang beredar di pasar. Ketika Raskin tidak ada,
beras itu diburu warga di pasar. Tekanan itu, disadari atau tidak,
turut andil dalam mengerek harga beras.
Contoh nyata bisa dilihat pada November dan Desember 2014. Pada dua
bulan itu tidak ada pembagian Raskin. Warga yang bisa menerima Raskin
menjadi penerima subsidi BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Apa
yang terjadi? Harga eceran beras naik sekitar Rp2.000/kg dalam dua
bulan. Ini besar sekali bagi orang miskin. Ketika keluarga miskin tidak
menerima beras, dan hanya menerima uang BLSM, mereka mencari beras ke
pasar. Proses inilah yang secara perlahan tapi pasti ikut menambah
tekanan kenaikan harga eceran beras. Ujung-ujungnya angka inflasi
melonjak tinggi.
Pada November dan Desember 2014 inflasi masing-masing mencapai 1,5
persen dan 2,46 persen. Dari rata-rata inflasi bulanan, November dan
Desember menyumbang terbesar. Inilah yang membuat angka inflasi tahun
lalu meledak mencapai 8,36 persen. Menurut BPS, Desember 2014 kelompok
bahan makanan menyumbang inflasi 0,64 persen. Lima komoditas dominan
penyumbang inflasi: beras 0,17 persen, cabai merah 0,16 persen, cabai
rawit 0,09 persen, ikan segar 0,06 persen, dan telur ayam ras 0,04
persen.
Pada November 2014, kelompok bahan makanan menyumbang inflasi 0,45
persen. Tiga komoditas penyumbang inflasi terbesar: cabai merah 0,26
persen, cabai rawit 0,09 persen, dan beras 0,06 persen. Beras tetap
penyumbang besar inflasi. Memang benar pelaksanaan Raskin sampai di
tahun 15 masih banyak kelemahan. KPK bahkan meminta pemerintah mendesain
ulang program Raskin. Dari kajian KPK ada enam temuan tidak tepat:
tidak tepat sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga dan administrasi. KPK
mencium indikasi ada indikasi jaringan kartel penyaluran Raskin. Raskin
yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke pengepul.
Ironisnya, beras yang berada di tangan pengepul itu dijual lagi ke
rumah tangga sasaran.
Survei penyaluran Raskin oleh BPS (2013) menemukan Raskin dinikmati yang
seharusnya untuk 15,5 juta rumah tangga justru dinikmati 31,23 juta
rumah tangga. Separuh penerima itu tidak berhak. Dari lima lapisan
masyarakat versi BPS, lapisan 1 (termiskin) yang berjumlah 12,5 juta
rumah tangga hanya 9,41 juta rumah tangga (75 persen) yang menerima
jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92 persen dari seharusnya
(15 kg).
Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan
Raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25 persen dari rumah tangga
lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta
rumah tangga (13,63% dari lapisan 5). Seharusnya, pelaksanaan dan
efektivitas program Raskin yang diperbaiki. Bukan program Raskin
diganti. Kalau program Raskin diganti, program stabilisasi harga gabah
dan beras dikorbankan. Tidak ada lagi perlindungan bagi produsen dari
kejatuhan harga gabah/beras, dan tidak ada pula perlindungan bagi
konsumen dari kenaikan harga beras yang tinggi. Bagai pedang bermata
dua, perubahan Raskin menjadi e-money hampir bisa dipastikan akan
bersifat disinsentif bagi petani padi, dan tidak ada lagi perisai bagi
warga miskin untuk bisa mengakses beras (pangan) dengan harga
terjangkau.
Dampaknya amat panjang: produksi padi merosot, impor beras meledak,
kelaparan meruyak, dan inflasi melonjak tinggi. Apakah Kabinet Kerja
sudah menyiapkan perisai berbagai dampak itu?
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/02/14/358124/raskin-e-money-dan-inflasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar