PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) berpotensi menjadi sumber ketidakpastian hukum, kalau sejumlah ketetapan pengadilan tidak dilaksanakan pemerintahannya sebagaimana mestinya. Dalam penyelesaian sengketa internal Partai Golkar, Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara sangat jelas.
Kalau keputusan pengadilan yang sangat jelas itu tidak juga dilaksanakan, pemerintahan Presiden Jokowi gagal memahami posisi hukum keputusan dua pengadilan itu. Kalau perilaku tidak fair ini berkelanjutan, Presiden Jokowi dan kabinetnya akan menjadi sumber ketidakpastian hukum.
Sangat berbahaya jika perilaku tidak taat hukum itu diteladani masyarakat kebanyakan. Negara ini akan kacau balau, karena semua instrumen hukum yang mengatur keamanan dan ketertiban umum akan dilanggar seenaknya oleh siapa saja. Akan berlaku pepatah ‘Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari’. Kalau pemerintah boleh tidak taat hukum, mengapa masyarakat harus dipaksa-paksa taat hukum.
Seperti diketahui, baru-baru ini, PTUN Jakarta telah membatalkan surat keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) tentang pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar pimpinan Agung Laksono, hasil musyawarah nasional (Munas) di Ancol, Jakarta. Putusan PTUN itu kemudian telah diperkuat oleh putusan PN Jakarta Utara yang menolak DPP Partai Golkar versi Munas Ancol. PN Jakarta Utara menolak eksepsi Agung Laksono dan Menkumham tentang kompetensi absolut dan relatif dan menyatakan berwenang mengadili gugatan yang diajukan Aburizal Bakrie (ARB).
Selain itu, dalam putusannya, PN Jakarta Utara juga mempertegas keabsahan DPP Golkar hasil Munas Riau, serta memerintahkan kepada tergugat Agung Laksono untuk menghentikan segala kegiatan dan mengambil kebijakan serta keputusan yang mengatasnamakan DPP Golkar. Semua kebijakan, keputusan dan surat-surat yang pernah diterbitkan oleh DPP Golkar versi Munas Ancol berada dalam status quo.
Demi kepastian hukum, tafsir atas kejelasan keputusan dari dua pengadilan itu jangan dipelintir. Putusan provisi atau sela Pengadilan itu mengikat semua orang atau ‘egra omnes’. Tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara. Dari aspek kekuatan mengikatnya, tidak ada beda antara putusan sela, provisi atau putusan akhir. Putusan hakim setara dengan undang-undang.
Karena alasan itu, pemerintah dan KPU (Komisi Pemilihan Umum) pun terikat dengan putusan provisi PN Jakarta Utara itu. Kalau KPU dan pemerintah bersikeras menunggu putusan inkrah, berarti tafsir atas keputusan PN Jakarta Utara itu telah dipelintir untuk kepentingan politik sempit dan jangka pendek. Kalau presiden mengamini hal ini, itulah bibit dari ketidakpastian hukum di negara ini. Tentu menyedihkan karena bibit ketidakpastian hukum itu justru ditanam oleh Presiden selaku kepala pemerintahan.
Bukan kali ini saja presiden merusak kepastian hukum. Ketika menyikapi kasus penangkapan dan penahanan penyidik KPK Novel Baswedan serta kasus pembekuan organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memperlihatkan beda sikap.
Dalam kasus Novel Baswedan, Presiden minta agar Novel tidak harus ditahan. Sedangkan Wapres justru membuat pernyataan bernuansa bisa memaklumi langkah Polri. Dalam kasus Novel Baswedan, kepastian hukum terjaga berkat kesepakatan Polri dan KPK untuk melanjutkan persoalannya hingga ke pengadilan.
Beda penyikapan antara Presiden dan Wapres terulang dalam kasus PSSI. Tak lama setelah Wapres mendesak Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) mencabut pembekuan PSSI, Presiden justru mendukung keputusan Menpora untuk tetap membekukan organisasi PSSI.
Akhirnya, dalam kasus Partai Golkar, bisa terlihat bahwa politik penegakan hukum Presiden Jokowi sangat membingungkan. Presiden harus menjadi contoh dan teladan tentang kepatuhan pada hukum.
http://www.suarakarya.id/2015/06/03/jokowi-berpotensi-menjadi-sumber-ketidakpastian-hukum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar