Minggu, 29 Juni 2014

Pengakuan Jujur Seorang Pendukung Jokowi

DARI PRO JOKOWI MENJADI ANTI JOKOWI
Oleh : Robert Strong
Sama seperti ratusan juta rakyat Indonesia, sebelum Tempo mengangkat isu Jokowi, Esemka dan predikat Jokowi sebagai “walikota terbaik sedunia” saya tidak mengenal Jokowi. Siapa itu Jokowi? Mengapa ada tokoh sehebat itu tapi saya tidak pernah mendengar sebelumnya? Masa saya se”kuper” itu? Kendati demikian melihat kemunculan Esemka bertepatan momentumnya dengan pemilihan gubernur DKI, maka saya sudah menduga bahwa kedatangan Jokowi ke Jakarta dengan mengendarai Esemka (katanya) adalah sebagai usaha Jokowi untuk melakukan pencitraan terselubung dan kampanye secara diam-diam.

Walaupun sudah mengetahui Jokowi sedang menunggangi Esemka untuk tujuan politiknya waktu itu saya tidak terlalu peduli karena sejak orde baru tumbang saya sudah menjadi golput dan apolitis. Tetapi ada satu hal yang waktu itu mengganjal, yaitu komentar Jokowi ketika Esemka gagal lolos uji coba pertama kali yaitu: “Seharusnya loloskan saja, ini kan demi industri mobil nasional”. Saya berpikir ini orang asal bunyi atau memang bodoh? masa meloloskan mobil yang jelas-jelas tidak lolos uji coba, yang ada harusnya produsen Esemka meningkatkan kualitas mobilnya sesuai standar yang ditetapkan bukan standar yang diturunkan mengikuti Esemka.

Sesuai dugaan akhirnya Jokowi dan Ahok bertarung di pilkada DKI, dan saya kembali golput pada putaran pertama karena menilai semua calon tidak ada yang benar. Baru setelah Foke menjalankan kampanye rasis dan SARA karena kalah pada putaran pertama itulah akhirnya saya mendukung Jokowi-Ahok dan untuk sementara menyingkirkan sikap apolitis saya dan ikut berkampanye untuk “Jakarta Baru”. Sejarah mencatat akhirnya Foke-Nara tersingkir dan Jokowi-Ahok terpilih menjadi pasangan gubernur-wakil gubernur baru DKI Jakarta.

Di hari pelantikan mereka saya berharap kali ini tidak salah memilih pemimpin, dan beberapa bulan pertama memang mereka menunjukan bahwa mungkin saja pasangan tersebut dapat menanggung harapan warga Jakarta dengan baik.

Sayangnya, harapan tersebut mulai hilang ketika saya melihat bagaimana Jokowi menangani banjir 2012-2013, yaitu dengan memanfaatkan momentum banjir yang membawa penderitaan rakyat itu sebagai alat pencitraan dengan memfokuskan diri di bendungan Latuharhary yang jebol dan bahkan dengan tidak malu menyebut dirinya sebagai “superman banjir”, sementara itu seluruh Jakarta Utara tenggelam, dan warganya kelaparan, dingin serta terjebak banjir tanpa pertolongan. Pertolongan baru diberikan ketika Jokowi sudah selesai pencitraan di Latuharhary beberapa hari setelah hujan. Kejam! Membiarkan warganya terjebak banjir hanya demi sedikit pencitraan, sungguh keji orang ini saya berpikir demikian.

Seberapa besarpun simpati saya pada Jokowi yang masih tersisa sejak Jokowi menelantarkan jutaan warga Jakarta Utara, habis terkikis ketika setelah banjir Jokowi kembali memanfaatkan momentum banjir untuk pencitraan dengan membawa tronton keliling Jakarta membagi-bagi alat tulis dan sembako sendiri. Memang tidak ada pegawai pemprov yang bisa keliling Jakarta untuk melakukan hal tersebut? Sekarang kita tahu alasannya, Jokowi harus melakukannya sendiri sebagai persiapan pencapresan dirinya tahun 2014, sehingga dia harus memaksimalkan waktu sebagai gubernur untuk menggenjot citra diri. Sungguh licik!

Tahun 2013 benar-benar membuka mata saya tentang Jokowi, tentang kesalahan besar saya mempercayai hiruk pikuk mengenai Jokowi tanpa memeriksa latar belakang dirinya. Ternyata tidak ada satu halpun yang digembar-gemborkan media massa tentang Jokowi yang benar atau akurat. Jokowi sungguh pemimpin berkinerja paling buruk sepanjang 30 tahun lebih saya hidup di Jakarta. Mau dimulai darimana menulis tentang hal ini?

KJS ternyata dikeluarkan asal sekedar cepat dan lagi-lagi proyek pencitraan Jokowi yang menimbulkan kesengsaraan rakyat yang luar biasa, ibu mertua saya sendiri nyaris menjadi korban KJSnya Jokowi yang merusak sistem puskesmas dan rumah sakit. Untung kementerian kesehatan turun tangan memberi sistem kepada KJS sehingga dapat menghilangkan korban jiwa yang mulai muncul karena KJS Jokowi.

Bolos-bolosnya Jokowi untuk jadi juru kampanye PDIP demi tebar pesona di daerah-daerah, nonton konser, memamerkan taman waduk pluit yang tidak ada hubungan dengan revitalisasi waduk pluit dapat diduga adalah bagian persiapan menuju deklarasi pencapresan dirinya. Pencitraan tentu bukan dosa, yang menjadi masalah ketika rakyat Pademangan tenggelam karena Jokowi ingkar janji akan merevitalisasi Kali Mati, Jokowi ternyata asik-asikan nonton konser ke Malaysia. Waktu itu saya berpikir, apa hati nurani orang ini masih bekerja? Sungguh keji sekali.

Menjelang berakhirnya 2013 santer berita bahwa penyerapan anggaran DKI sangat rendah, hanya 30% yang membuktikan Pemprov DKI di bawah Jokowi sama sekali tidak bekerja. Hal ini membuat saya ingat kembali bahwa APBD memang dibuat Jokowi-Ahok dengan asal jadi, asal hitung kancing dan asal cepat, karena Jokowi mengaku dia “pusing dan sakit kepala membaca neraca keuangan DKI”. Saya berpikir, ini orang kerjanya ngeluh mulu, kalau tidak suka bekerja sebagai gubernur, resign saja boss..

Semua kejadian tahun 2013 baik yang telah saya tulis di atas maupun belum ternyata hanya puncak gunung es dari kebobrokan Jokowi sebagai pemimpin maupun individu. Yang paling menyakitkan adalah akhir 2013 dan awal 2014 saya melihat Jakarta di bawah Jokowi dan bergumam “kok Jakartaku jadi begini?”.

Ironisnya, ini adalah ungkapan dalam salah satu jingle Jokowi ketika dia kampanye cagub DKI. Macet tambah parah, hujan lima tahun menjadi banjir setiap hujan, monorel ternyata kembali mangkrak karena groundbreaking tanpa izin, di sana sini tambah kumuh, jalanan rusak dan bolong di sana sini, wah, Jakartaku kok jadi begini? Apa yang terjadi?

Walaupun jelas-jelas Jakarta tambah kumuh dan miskin di bawah dirinya, tapi saya sudah menduga sejak Jokowi ikut jadi juru kampanye pilkada Rieke Dyah Pitaloka bahwa Jokowi berambisi menjadi presiden dan mau memanfaatkan kesempatan pencitraan di Jawa Barat dan yang lain seperti ketika Jokowi ke Sumatera menunggangi pembukaan Bank DKI untuk pencitraan dirinya. Tetapi tentu saja indikasi paling jelas bahwa Jokowi akan nyapres adalah pertemuannya dengan Ahok yang ditemani oleh Megawati dan cukongnya, Prajogo Pangestu pada Desember 2013 yang membicarakan penarikan Ahok ke PDIP dan penundukan diri Ahok kepada PDIP bila Jokowi menjadi presiden.

Melihat ambisi besar Jokowi ini saya berpikir, ini manusia berkarakter rumongso iso nanging iso rumongso, merasa bisa tapi tidak bisa merasa atau maksud hati memeluk gunung tapi apa daya tangan tidak sampai.

Mengurus Solo dan Jakarta saja masih kelimpungan malah bermimpi jadi presiden, tidakkah dia memiliki urat malu? Apalagi sampai bolos kerja demi pencapresan dan menemani Megawati ke Blitar. Sudah jelas bolos dan sudah jelas ke Makam Soekarno demi pencapresan dan diagendakan, Jokowi masih sempat-sempatnya berbohong dan mengatakan kebetulan ketemu Megawati di Blitar, sungguh orang yang tidak bisa dipercaya dan dipegang kata-katanya.

Jadi pertanyaan pada diri saya adalah, apakah saya mau dipimpin orang yang tinggal gelanggang colong playu alias meninggalkan tanggung jawab; tidak bisa dipercaya; merasa bisa tapi tidak bisa merasa; suka berbohong; ambisius dengan mengorbankan rakyat? Saya tidak mau dan menolak dipimpin orang seperti itu. Bagaimana dengan anda?

http://yudisamara.com/2014/06/29/pengakuan-jujur-seorang-pendukung-jokowi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar