Kubu Jokowi-Jusuf Kalla tengah
mabuk. Mabuknya orang yang merasa menang, jauh lebih berbahaya ketimbang
mabuknya orang yang menenggak alkohol. Untuk mabuk jenis orang yang kedua, dia
hanya teriak-teriak dan ngomnyang atau bicara ngelantur alias
ngawur, tidak keruan juntrungannya. Kalau pun bertindak lebih lanjut,
paling-paling dia membuat onar di kampung yang dengan segera bisa diatasi
warga. Puncak mabuknya orang karena alkohol, ya terkapar tidak sadarkan diri.
Bahasa Betawinya ngejoprak.
Sebaliknya, mabuknya orang yang
merasa menang (sekali lagi; merasa, jadi belum benar-benar menang), jauh lebih
berbahaya. Orang atau kelompok ini bisa mengerahkan massa untuk membangun
opini.
Dari sini mereka berusaha
mempengaruhi sekaligus ‘mendoktrin’ massanya, bahwa kelompoknya memang
‘benar-benar sudah menang’. Kalau sudah begini, maka kelompok akar rumput tidak
akan bisa menerima manakala kenyataan justru berbicara lain. Maka, slogan
‘menang atau perang’ pun bertalu-talu dikumandangkan.
Deklarasi kemenangan yang dilakukan
kubu Jokowi-JK adalah bentuk mabuknya orang yang merasa menang. Seperti
disebutkan tadi, ini jauh lebih berbahaya ketimbang orang mabuk karena alkohol.
Kejanggalan Quick Count
Sayangnya, klaim kemenangan kubu
Jokowi-JK justru disampaikan langsung oleh Megawati sendiri di kediamannya,
jalan Kebagusan, Jaksel. Ironisnya, deklarasi itu hanya didasarkan pada hasil quick
count atau hitung cepat lembaga survei milik Saiful Mujani, yaitu Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC).
Memang agak mengherankan dan sangat
disayangkan, untuk ukuran ketua umum sebuah partai sebesar PDIP, Mega bisa
senaif itu. Hanya berselang kurang lebih satu jam, dia mendeklarasikan
kemenangan Capres-Cawapresnya. Padahal, suara yang terkumpul baru beberapa
belas persen saja.
Apalagi, hasil quick count SMRC
yang ditayangkan Metro TV –yang kemudian diikuti sejumlah stasiun tv partisan
lainnya-- juga penuh dengan kejanggalan. Pasalnya, tiba-tiba terjadi perubahan
pada hasil quick count versi SMRC secara frontal. Sebelum berubah, SMRC
mencatat perolehan pasangan Prabowo-Hatta adalah 52,7%. Sedangkan Jokowi-JK
47%. Namun setelah jeda iklan dan dan diseling musik yang berlangsung sekitar
14 menit, sontak angkanya berubah menjadi 47,3% Prabowo-Hatta dan 52%
Jokowi-JK. Ada apa?
Pergeseran ini terjadi pada saat
jumlah suara masuk baru bergerak dari 13,78% sd 17,6%. Artinya, selama break
siaran 14 menit itu, jumlah suara masuk hanya naik 4%. Tapi anehnya, angka
perolehan suara Jokowi-JK naik 5%. How come?
Keanehan ini masih belum seberapa.
Yang luar biasa lagi, lonjakan perolehan suara pasangan Jokowi-JK versi quick
count Saiful Mujani tadi langsung diikuti lembaga survei lainnya dari kubu
yang sama. Mereka yang juga melakukan penghitungan cepat di kubu Jokowi-JK itu
di antaranya CSIS-Cyrus, LSI, Litbang Kompas, Pollmark Indonesia, dan RRI.
Akibatnya memang dahsyat. Hasil quick count itu terkesan sangat logis,
riil, dan nyaris berhasil menggiring opini publik.
Sangat Gegabah
Pada titik inilah, klaim sepihak
kubu Jokowi-JK bisa dianggap naif. Bukan hanya itu, apa yang mereka lakukan
sejatinya sangat berbahaya. Terlebih lagi, klaim seperti itu, tidak
tanggung-tanggung, langsung disampaikan oleh sang Ketua Umum. Ini seperti bermain
api.
Tidak bisa tidak, klaim ini bisa
disebut sebagai penggiringan opini publik. Di tingkat akar rumput, pembentukan
opini publik yang dilakukan oleh tokoh sekaliber Megawati pasti sangat efektif.
Akibatnya, di benak para pendukungnya langsung tertancap keyakinan, bahwa
jagoannya sudah pasti menang.
Bisa dibayangkan, bila ternyata
pengumuman resmi Komisi Pemilhan Umum (KPU) nanti justru menyatakan sebaliknya.
Apakah para pendukung pasangan ini bisa menerima? Apakah mereka tidak akan
mengamuk? Buat mereka, apa yang sudah disampaikan para petinggi partai dan tim
sukses (Timses) adalah kebenaran yang harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Pembentukan opini sekaligus
indoktrinasi sebagai pemenang ini ternyata dilakukan secara sistematis. Paling
tidak, ini bisa ditelusuri dari slogan “Hanya Kecurangan yang Bisa
Mengalahkan Jokowi-JK.” Pernyataan amat gegabah ini pertama kali
dilontarkan oleh Hayono Isman. Pernyataan mantan politisi Golkar yang meloncat
ke Partai Demokrat dan akhirnya berlabuh di kubu Jokowi-JK ini bisa disaksikan
di youtube. Ini link-nya:http://www.youtube.com/watch?v=NgklJkRVaK4.
Pernyataan senada juga datang dari
Presidium Seknas Jokowi, Muhammad Yamin. Ini bukan fitnah. Beritanya bisa
dilihat di Tribunnew.Com lewat http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/02/seknas-hanya-kecurangan-yang-mengalahkan-jokowi-jk.
Selain itu, juga ada statement
dari Budi Arie Setisadi, ketua Projo. Beritanya ada di http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/06/26/projo-anggap-hanya-kecurangan-yang-mengalahkan-jokowi-jk.
Mereka tidak main-main dengan
rencana sistematisnya. Untuk mematangkan indoktrinasi, para pendukung pasangan
ini juga digiring berkumpul dan berpesta di Bunderan Hotel Indonesia (HI) dan
Tugu Proklamasi. Kesimpulan apa yang bisa kita petik dari rentetan peristiwa
ini? Hanya kebetulan?
Bayangkan, betapa dahsyatnya
kombinasi pengumuman Mega dan kalimat “Hanya Kecurangan yang Bisa
Mengalahkan Jokowi-JK” bagi kaum grass root. Ini adalah bara api
yang menunggu siraman bensin. Dan, bensin itu adalah pengumuman resmi KPU yang
ternyata justru sebaliknya.
Pertanyaannya, apakah semua ini
terjadi mengalir begitu saja? Maaf, sangat naif kalau Anda berpendapat bahwa
semua ini kebetulan saja. Teramat naif kalau rangkaian kejadian ini
terfragmentasi, terpisah-pisah, tidak ada hubungan dan kaitan antara satu dan
lainnya.
Tidak bisa tidak, pengumuman sepihak
Megawati diramu dengan motto yang seram tadi adalah provokasi.
Begitu KPU
secara resmi mengumumkan yang sebaliknya, chaos nyaris pasti bakal
terjadi. Kalau ini benar-benar terjadi, siapa yang harus bertanggung jawab?
Apakah para petinggi partai itu bisa mengelak? Atau, dengan enteng mereka akan
mengatakan, “Jangan salahkan mereka kalau marah. Salahkan pihak yang membuat
kecurangan!”
Cara PKI
Kalau kita mundur ke beberapa puluh
tahun silam, maka cara-cara seperti ini juga sudah pernah dilakukan Partai
Komunis Indonesia (PKI). PKI, waktu itu, sengaja membuat chaos secara
sistematis. Caranya, PKI menuduh lawan politiknya melakukan kecurangan.
Saya tidak tahu persis, apakah kubu
Jokowi-JK meniru-niru gaya PKI atau tidak. Namun setelah dilakukan penelusuran,
jargon Revolusi Mental yang ditulis Jokowi di sebuah harian nasional itu,
ternyata ada di buku Karl Marx, pencetus faham komunisme.
Mengapa kita tidak mau sedikit
bersabar menunggu hasil hitung manual KPU? Bukankah ini merupakan hasil
maksimal yang paling bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik secara
kelembagaan maupun secara hukum. UU memberi kepercayaan pada KPU sebagai
satu-satunya lembaga yang punya otoritas melakukan penghitungan atas hasil
pemungutan suara Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Tinggal kini kita tunggu
perkembangan berikutnya. Harus diakui, ada ketegangan. Seperti ada kekhawatiran
yang menyusup ke tulang sumsum. Amat ngeri membayangkan bila ternyata KPU
secara resmi mengumumkan hasil yang berbeda. Dalam kaitan ini, tidak terlalu
berlebihan bila dikatakan, kombinasi antara jargon “Hanya Kecurangan yang
Bisa Mengalahkan Jokowi-JK” dan deklarasi sepihak yang terlalu dini itu
sebagai kudeta lewat opini.
Pada titik ini, ada dua pertanyaan
yang harus diajukan. Pertama, beranikah KPU kelak mengumumkan jika faktanya
memang pasangan Jokowi-JK kalah? Kedua, apa yang akan dilakukan aparat keamanan
jika Indonesia (ya Allah, jangan sampai terjadi) benar-benar rusuh karena klaim
sepihak dan motto yang sangat provokatif itu?
Demikian SIARAN PERS 'Klaim
kemenangan sepihak dan terlalu dini Kudeta (Melalui) Opini?' dari Edy Mulyadi,
Direktur Program Centre for Economic and Democracy (CEDeS) kepada tim
Redaksi Voa Islam.com. [ahmed/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar