Ingat, Quick Count Punya 3 Error, Jadi Hasilnya Mungkin dan ‘Boleh’ Berbeda
Tiga hari berlalu, Rupa-rupanya diskusi dan perdebatan mengenai hasil
quick count belum juga selesai. Lebih parah lagi antar lembaga quick
count terserbut saling menuduh bahwa lembaga quick count sebelah sana
tidak memenuhi kaidah statistik, sementara kelompok yang satunya menuduh
bahwa lembaga quick count sebelah sini telah memihak salah satu
pasangan. Sungguh terlalu!
Saya sebagai orang yang memiliki latar belakang statistik dan
mengajar metodologi riset perlu untuk sekali lagi meluruskan pandangan
yang kurang tepat tersebut. Masyarakat jangan sampai mempersepsikan
bahwa statistik adalah ilmu pasti dan hasilnya harus satu angka. Ingat
statistik berbeda dengan matematik.
Matematik hasilnya adalah sebuah
kepastian. Sementara statistik berbicara error. Jadi hasilnya mungkin
dan ‘boleh’ saja berbeda. Ini prinsip dasar yang perlu dipahami. Ingat,
Statistik berbeda dengan matematik!
Mengingat Quick Count ini menggunakan metode statistik. Maka
setidaknya quick count tidak terlepas dari 3 masalah error yaitu margin
error, random error dan sistematic error. Berikut pembahasannya:
Pertama, Margin of Error
Margin of error adalah error yang paling populer di berbagai lembaga
quick count. Margin error adalah tingkat kesalahan sampel atas populasi
yang ditentukan oleh peneliti sebelum melakukan penelitian. Karena
margin error ini adalah tingkat kesalahan sampel atas populasi maka
margin of error akan mengkoreksi besaran sampel. Jika kita membuka text
book statistika maka akan ada sebuah rumus perhitungan sampel dimana
untuk mendapatkan sampel tertentu maka peneliti harus menentukan
terlebih dahulu berapa margin of error-nya. Margin of error semakin
kecil maka jumlah sampel akan semakin besar. Dengan semakin besar sampel
diharapkan (tetapi tidak menjamin) hasilnya akan mendekati kenyataan
(populasi).
Beberapa lembaga survei pada pilpres 9 Juli kemarin menentukan margin
of error rentang 0.5% sampai dengan 2%. Saya coba hitung, dengan asumsi
populasi TPS sebanyak 479 ribuan, maka sampel TPS yang akan terambil
adalah 36 ribuan sampel TPS untuk margin of error 0.5%, sekitar 9 ribuan
sampel TPS untuk margin error 1%, dan 2 ribuan sampel TPS untuk margin
of error 2%.
Apakah ketika margin of error-nya lebih rendah maka satu quick count
akan lebih akurat hasilnya dibandingkan yang lain? Jawabannya adalah
belum tentu. Margin error yang lebih kecil hanya akan berimplikasi
terhadap sampel yang lebih besar, jika tidak mengontrol kedua error yang
lainnya. Kalau pun yang diadu adalah margin of error, maka yang pasti
pemenangnya adalah hasil KPU mengingat margin of error-nya 0,0000 (nol)
persen.
Kedua, Random Error
Error kedua, Random error, adalah peluang kesalahan yang mungkin
terjadi akibat proses randomisasi sampel TPS. Ingat, bahwa quick count
adalah proses penyimpulan hasil pemilu berdasarkan sebagian sampel TPS,
bukan keseluruhan TPS.
Kita semua perlu tahu bahwa metode pengambilan sampel TPS pada quick
count adalah secara proporsional sampel TPS terhadap populasi TPS
wilayah yang diturunkan mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan
sampai kelurahan. Setiap lembaga survei harusnya sama dalam menentukan
proporsi sampel TPS terhadap populasi TPS pada masing-masing wilayah.
Nah apa yang berbeda? Yang berbeda adalah TPS mana dalam satu wilayah
yang dijadikan sampel. Lembaga survei A kemungkinan berbeda dengan
lembaga survei B dalam menentukan TPS mana yang dijadikan sampel. Perlu
kita tahu, quick count menggunakan teknik sampling multistage sampling.
Katakanlah stage terakhir yang digunakan adalah kecamatan, pertanyaannya
adalah siapa yang menjamin bahwa TPS-TPS yang dijadikan sampel dalam
satu kecamatan telah representatif terhadap basis pendukung kedua
pasangan? Jika tidak artinya ada TPS dengan dengan jumlah basis
pendukung nomor satu atau nomor dua yang lebih banyak tidak terambil.
Jika stage terakhir adalah desa/kelurahan, artinya harus ada sampel TPS
perwakilan dari 78.609 desa/kelurahan yang ada di seluruh Indonesia.
Padahal jumlah keseluruhan sampel TPS di quick count ini saja hanya 36
ribuan TPS, itupun jika menggunakan margin of error 0,5%. Artinya masih
banyak desa/kelurahan yang tidak terwakili sebagai sampel. Bisa jadi
desa-desa tersebut adalah basi pendukung salah satu kadidat, bukan?
Apalagi di tengah dinamika basis pendukung pilpres 2014 yang sangat
berbeda dibandingkan pilpres sebelumnya. Sangat sulit mengukur tingkat
representasi hasil quick count.
Ketiga, Systematic Error
Masih ada satu error lagi, dan error ini tidak bisa dikendalikan
secara statistik yaitu sistematic error. Sistematic error disebabkan
oleh unsur-unsur subjektivitas. Pengambilan sampel TPS yang tendensius
merupakan salah satu penyebab systematic error. Oleh karena itu, salah
satu kritik kepada lembaga-lembaga survei, harusnya ada satu kode etik
yang mengatur bahwa penyelenggara quick count adalah bukan bagian dari
tim sukses atau tidak pernah menyatakan memihak kepada salah satu
pasangan. Ketidaknetralan penyelenggara quick count dapat menjadi
penyebab systematic error.
Oleh karena quick count ini memungkinkan dan membolehkan hasil yang
berbeda, maka marilah kita memandang hasil quick count ini dengan
proporsional dan tidak lebay. Jika ada salah satu direktur eksekutif
penyelenggara quick count yang menyatakan bahwa jika hasil KPU berbeda
dengan hasil quick count maka KPU lah yang salah, saya kira sudah salah
kaprah. Ingat quick count adalah sebagian sampel TPS bukan populasi TPS.
Ingat bahwa kaidah yang digunakan adalah ilmu statistik bukan
matematik. Memungkinankan banyak error di sana.
Jika mau menilai kecurangan KPU buktikan saja di mana kecurangannya,
berapa jumlah suara yang dicurangi, bukan dengan hasil quick count!
Marilah kita kawal bersama-sama proses real count KPU, Bukan ramai debat di quick count!
Penulis:
Ayat Hidayat
Pengajar Metodologi Riset di Salah Satu Perguruan Tinggi di Jakarta
Dimuat di Kompasiana, 12 Juli 2014
http://yudisamara.org/2014/07/12/quick-count-binatang-apakah-itu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar