Senin, 07 Juli 2014
Proletar Vs Borjuis Jadi Komoditi Politik Jokowi – Jk
Proletar Lawan Borjuis
Ini Trik Timses Jokowi-JK
Dalam kamus komunis, selalu ada dua jenis masyarakat yang dipertentangkan. Satu masyarakat disebut ‘borjuis’ yang pada masa Orde Lama diisitilahkan oleh PKI sebagai kelompok masyarakat kaya, makmur dan penindas. Sedangkan jenis masyarakat kedua adalah kelompok ‘proletar’, jenis masyarakat melarat, sederhana dan tertindas. Siapa penindas proletar? Itulah borjuis. Kira-kira begitu cara PKI atau pengikut ideologi komunisme saat ini beraksi di lapangan. Dan kini, cara-cara itu pun digunakan oleh tim sukses (timses) Jokowi-JK. Mereka boleh saja berkilah atau menyanggah, bahkan balik menuding pihak lain telah menyebarkan kampanye hitam. Namun, masyarakat yang kian cerdas tentu tak akan lupa cara-cara PKI yang sangat mirip dengan cara-cara tim sukses Jokowi-JK. Wajar jika ada elemen-elemen masyarakat bercuriga pada cara-cara tim sukses Jokowi-JK ini. Tidak perlu mereka jadi marah-marah. Mari lihat saja fakta-faktanya.
Pertama, pemakaian kalimat ‘pemimpin lahir dari rakyat’. Kalimat ini banyak terpampang di spanduk-spanduk dukungan pasangan Jokowi-JK di pinggir-pinggir jalan. Pesan yang hendak disampaikan oleh spanduk-spanduk itu cuma Jokowi-JK yang dari rakyat. Yang lain bukan dari rakyat. Maka, rakyat dihasut membenci calon pemimpin lain. Rakyat kebanyakan didorong untuk merobek spanduk-spanduk lain. Rakyat awam dilecut agar merusak alat peraga calon lain. Timses Jokowi-JK yang bergentayangan mulai menghasut warga, memanas-manasi warga agar benci dan dengki pada calon lain. Ini sudah mirip perilaku Njoto (PKI) di masa Orde Lama. Njoto menghasut warga di berbagai daerah di Jawa Timur, termasuk di Kediri, sehingga terjadi benturan antar rakyat.
Kedua, pemakaian kalimat ‘pelayan rakyat’. Kalimat ini juga terpampang di spanduk-spanduk Jokowi-JK di tepi-tepi jalan. Isi kalimat itu sebenarnya hanya kebohongan publik. Jika benar Jokowi melayani rakyat, lalu kenapa ia meninggalkan rakyat Solo dan Jakarta di tengah jalan. Ini bukti nyata, cara-cara komunis untuk meraih jabatan presiden. Kalau memang benar Jokowi itu pelayan rakyat, lalu kenapa banjir masih melanda Jakarta setelah setahun ia memimpin? Apa yang dikerjakannya selama dia memimpin Jakarta selain hanya pencitraan blusukan? Tidak ada hasil kerja nyata kecuali menggunakan kalimat bohong ‘pelayan rakyat’. Kebohongan publik merupakan indikasi kuat watak PKI atau setidaknya mengidap komunisme.
Ketiga, kalimat ancaman ‘hanya kecurangan yang mengalahkan Jokowi’. Kalimat ini menunjukkan Jokowi dan timsesnya belum siap tampil berkompetisi dalam pencapresan. Selalu menyebarkan kecurigaan, prasangka dan praduga bertujuan menghasut warga serta mengganggu kerja penyelenggara pemilu.
Kader-kader PKI di masa Orde Lama selalu menghembuskan isu kecurangan ini. Mereka sudah terlebih dulu menuding Pemilu curang sebelum pemilu itu sendiri digelar. Tak pelak kalimat hasutan ini merupakan bagian dari trik ‘revolusi mental’ ala Jokowi yang sempat digembar-gemborkan beberapa waktu lalu. Mereka khawatir, jika tak menghasut maka mereka akan tersingkir dari panggung politik.
Keempat, revolusi mental gaya Jokowi merupakan revousi mental komunis. Timses Jokowi-JK boleh saja menepis hal ini, tapi fakta memperlihatkan tingkah-laku para pendukung Jokowi persis kader-kader PKI. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, ada Ribka Tjiptaning (Mbak Ning) yang selama ini dikenal berkat kalimatnya ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’. Mbak Ning ini merupakan hasil awal revolusi mental, sebelum Jokowi mendeklarasikan revolusi mental. Kelak, revolusi mental Jokowi menghasut warga masyarakat agar mengamuk pada warga lain, demi mencapai tujuan sama rasa sama rata. Persis PKI.
Kelima, tim sukses Jokowi-JK juga berisi orang-orang yang selama ini pengajur komunisme dengan alasan bersimpati pada keluarga PKI. Jokowi boleh saja menolak fakta ini, namun ia tak bisa menyembunyikan jatidiri anggota-anggota timsesnya. Apalagi, mereka ini begitu gigih menghasut rakyat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka ingin membenturkan rakyat yang berhasil dihasut kepada kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Bisa ke kalangan muslim bisa pula ke kelompok lain.
Keenam, pada 14-16 Agustus 2009, Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos, menulis sosok Soemarsono, tokoh penting Peristiwa Madiun 1948 yang kemudian lari dan hidup di pengasingan. Dalam tulisannya, Dahlan secara tersirat menyanjung Soemarsono sebagai saksi sejarah penting. Meskipun sebenarnya, kiprah Soemarsono biasa-biasa saja. Ia muncul kembali tatkala rekan seangkatannya sudah banyak yang tiada, tentu sulit untuk mengkonfirmasi apapun yang diungkapkan atau ditulisnya. Namun, sanjungan Dahlan pada Soemarsono itu jelas memantik reaksi mereka yang tahu betul cara PKI bersiasat. Wajar jika kemudian ormas-ormas mendemo Dahlan dan mempertanyakan motif Dahlan menulis Soemarsono itu. Sepertinya, tulisan Dahlan itu merupakan penanda bagi kaum PKI agar mulai berani untuk tampil di publik. Dampaknya, mereka tak perlu lagi sungkan-sungkan menghasut warga. Kini, Dahlan bersekutu dalam timses Jokowi. (TIM SAPUJAGAT)
http://yudisamara.org/2014/07/05/proletar-vs-borjuis-jadi-komoditi-politik-jokowi-jk/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar