ANALISIS - Oleh Prof Dwi Andreas Santosa
TATA kelola pangan pada 2015 sungguh mencemaskan. Selama
Februari-Maret 2015 harga beras melambung tinggi tanpa terkendali. Di
beberapa kota, peningkatan harga bahkan 30-40 persen.
Pada April harga turun karena panen raya, kemudian mulai Mei harga
meningkat dan tidak pernah turun lagi. Harga beras rata-rata nasional
pada September 2015 hanya 0,9 persen lebih rendah dibanding puncak harga
pada Maret 2015. Kenaikan terus terjadi dan mulai 7 Oktober melebihi
harga rata-rata Maret.
Fenomena ini berlawanan dengan klaim Kementerian Pertanian bahwa
terjadi lonjakan produksi beras yang luar biasa tahun ini sebesar 6,64
persen atau setara dengan tiga juta ton. Harga beras medium rata-rata
nasional per 8 Oktober 2015 mencapai Rp 10.430 per kg (Kemendag,
9/10/2015) dengan kecenderungan terus menguat.
Harga tersebut melampaui ambang keekonomian atau harga 2014 sebesar
Rp 8.500-Rp 9.000 dan jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) Rp
7.300 per kg. Selain padi, produksi jagung dan kedelai juga meningkat
signifikan, yaitu 8,72 persen dan 4,59 persen.
Dari sisi akademis dan data produksi pertanian selama belasan tahun
terakhir, produksi ketiga komoditas tersebut tidak mungkin meningkat
bersama, karena menggunakan lahan yang sama. Pada 2014, ketika produksi
padi turun 0,63 persen, produksi jagung dan kedelai masing-masing
meningkat 2,68 persen dan 22,44 persen dibanding 2013 (BPS, 2015).
Berdasarkan data-data yang diyakini oleh pemerintah tersebut, Menteri
Pertanian berkali-kali menyatakan bahwa Indonesia akan menyetop impor
beras pada 2015, menghentikan kekurangan impor jagung, dan mulai
mengekspor bahan pangan ke luar negeri.
Tidak hanya untuk pangan pokok, kuota impor daging sapi juga
diturunkan tajam dengan asumsi seolah-olah populasi sapi lokal sudah
memadai untuk menutupi kebutuhan dalam negeri. Klaim lain yang sering
disampaikan adalah keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan produksi
pangan telah berdampak terhadap penurunan impor pangan di hampir semua
komoditas.
Fakta dan data berbicara lain. Dari hasil kajian Asosiasi Bank Benih
dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), terjadi penurunan produksi padi
yang merata pada musim gadu akibat kekeringan berkepanjangan.
Penurunan
produksi di beberapa daerah mencapai 30-40 persen.
Tidak hanya padi, produksi jagung dan kedelai juga terancam oleh
kekeringan akibat El Nino. Klaim terkait dengan penurunan impor pangan
juga tidak sesuai dengan data.
Impor berbagai komoditas pangan pada Januari-Juli 2015 sebagai
berikut: beras 222 ribu ton (96,4 juta dolar AS) atau meningkat 41
persen dibanding periode yang sama tahun 2014, jagung 2.104 ribu ton
(492,3 juta dolar AS) atau meningkat 26,8 persen, kedelai 1.369 ribu ton
(651 juta dolar AS) meningkat 1,9 persen, dan gandum 4.278 ribu ton
(1.308,9 juta dolar AS) atau menurun 3,2 persen.
Tanda-Tanda
Kemudian pakan ternak 3.055 ribu ton (1.598,9 juta dolar AS), gula
1.986 ribu ton (839,1 juta dolar AS), sayuran 441,0 ribu ton (312,8 juta
dolar AS), buah 20,6 ribu ton (28,8 juta dolar AS), dan ternak hidup
113.742 ribu ton (314.019 dolar AS). (BPS, September 2015, Kementan,
2014, 2015).
Tanda-tanda terjadi kelangkaan stok dan krisis pangan sudah dimulai
ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan mengimpor 1,5 juta ton
beras pada 23 September 2015. Pada masa sebelumnya, ketika pemerintah
menyatakan akan impor beras, harga biasanya langsung turun lebih dari 10
persen.
Para pedagang segera menyikapi pengumuman pemerintah dengan melepas
stok untuk menghindari kerugian. Tetapi kali ini harga beras medium
setelah pengumuman (26/9/2015) hanya turun sedikit, Rp 154 per kg atau
1,5 persen.
Hal ini menyiratkan bahwa stok sudah mulai langka di pedagang,
sehingga tidak ada beras tambahan yang bisa dilepas ke pasar. Pada 27
September 2015, Presiden Joko Widodo menyatakan, belum ada opsi impor
beras. Akibat pernyataan tersebut dua hari kemudian harga meningkat
lebih besar dibanding penurunan, yaitu Rp 196 per kg.
Tanda lain adalah efek distribusi rastra (beras sejahtera) ke-13 dan
operasi pasar oleh Bulog yang dimulai sejak September. Dampak kenaikan
harga pangan pada awal 2015 sangat jelas terhadap peningkatan kemiskinan
petani. Total 570.000 petani jatuh miskin hanya dalam tempo enam bulan,
yaitu pada periode September 2014 hingga Maret 2015 (BPS, September
2015).
Saat ini yang terpenting adalah membenahi data produksi dengan segera
dan bebas kepentingan. Pemerintah perlu mengakui bahwa tahun ini upaya
peningkatan produksi belum berhasil, walaupun bertentangan dengan
kenaikan anggaran pertanian yang lebih dari 100 persen.
Keputusan impor perlu transparan untuk menghindari kecurigaan publik
karena ”diam-diam” pemerintah sudah melakukan kontrak pembelian beras
dari Vietnam sebesar hampir 1 juta ton (Reuters, 7/10/2015).
Semoga pemerintah bisa dengan bijak, tegas dan cerdas mengatasi
situasi ini, sebab bila tidak risiko yang ditanggung terlalu besar
karena situasi sudah mengarah ke krisis pangan, bahkan bencana pangan,
mulai saat ini hingga Maret tahun depan. (59)
— Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia/AB2TI
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/awas-krisis-pangan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar