Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
Dalam
beberapa minggu terakhir, sejumlah media menyodorkan pertanyaan seragam
kepada saya: Perlukah Indonesia impor beras? Pertanyaan ini muncul
bukan saja didasari atas kekhawatiran stok atau cadangan beras tidak
aman pada akhir tahun karena dampak El Nino.
Lebih dari itu, ada kondisi logis yang membuat media--sebagai wakil
dari khalayak umum-- mempertanyakan perlu-tidaknya impor beras; sikap
berbeda dua pucuk pimpinan Republik, Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla. JK membuka peluang impor beras tahun ini.
Besarnya, sekitar 1,5 juta ton. Sebaliknya, Jokowi menegaskan, Indonesia
tidak gegabah memutuskan impor beras. Dampak El Nino terhadap produksi
beras masih dihitung. Jokowi bahkan memastikan stok pangan aman.
Bagaimana
menjelaskan dua sikap yang bertolak belakang itu? Sikap Wapres JK mesti
dimaknai sebagai sikap objektif atas realitas penyerapan gabah/beras
oleh Bulog sekaligus cerminan kondisi mutakhir cadangan beras
pemerintah. Menurut Direktur Pengadaan Perum Bulog Wahyu, stok beras
Bulog saat ini 1,8 juta ton, terdiri atas beras sejahtera (du lu raskin)
1,1 juta ton dan 0,7 juta ton beras premium. Menurut Wahyu, stok itu
cukup hingga enam bulan mendatang (Kompas, 29/9). Stok itu tidak aman.
Karena itu, setiap saat rentan digoyang oleh aksi spekulasi.
Sebaliknya,
sikap Presiden Jokowi harus dibaca dalam konteks keberpihakan terhadap
petani dalam negeri. Sebagai pucuk pimpinan negeri ini, tentu Presiden
harus berpihak kepada petani domestik. Sikap sebaliknya hanya akan
berbuah kecaman. Nawacita yang menjadi fondasi filosofis program
pembangun an Jokowi-JK akan mudah menuai cibiran. Sikap tidak gegabah
membuka impor, dalam konteks politik, harus dimaknai sebagai bentuk
"menjaga perasaan" publik pemilih Jokowi-JK agar tidak merasa diteli -
kung dan dikhianati. Kendati, sikap itu tidak menjejak kukuh pada
kondisi riil.
Realitas objektif menunjukkan, cadangan beras
pemerintah yang dikelola Bulog saat ini jauh dari aman. Berkaca dari
pengalaman sebelumnya, dalam setahun, Bulog memerlukan beras sekitar
tiga juta ton untuk memenuhi pagu beras sejahtera (rasta), operasi pasar
dan bantuan bencana. Karena tahun ini ada rasta 13 dan 14, berarti
perlu tambahan 0,464 ton beras.
Agar kondisinya aman, di akhir
tahun, cadangan Bulog minimal harus dua juta ton. Cadangan ini akan
di-carry over ke stok pada awal tahun berikutnya. Jadi, dalam setahun
stok awal ditambah pengadaan Bulog paling tidak harus mencapai 5,464
juta ton beras. Sampai akhir Agustus lalu, penyerapan beras oleh Bulog
mencapai 2,1 juta ton. Karena, stok awal Januari 2015 lalu 1,4 juta ton,
artinya hingga akhir tahun Bulog harus menambah pengadaan (dari manapun
sumbernya) sebesar 1,964 juta ton.
Apakah penambahan pengadaan
beras sebesar itu bisa dilakukan hingga akhir tahun nanti? Menurut
Wahyu, Bulog kesulitan menyerap gabah/beras petani domestik lewat skema
public service obligation(PSO), seperti diatur dalam Inpres Perberasan
No 15/2015.
Harga gabah/beras petani saat ini selalu di atas
harga pembelian pemerintah (HPP), seperti diatur dalam Inpres
Perberasan. Harga gabah kering panen di Inpres Rp 3.700 per kg,
sementara di pasar mencapai Rp 4.200 ? Rp 4.700 per kg. Di Inpres yang
sama, harga beras medium di gudang Bulog ditetapkan Rp 7.300 per kg,
sementara harga di pasar Rp 9.000 ? Rp 9.500 per kg. Bulog, kata Wahyu,
masih mungkin menambah serapan beras melalui jalur komersial.
Namun,
hingga akhir tahun tambahannya maksimal hanya 50 ribu ton beras.
Karena, September ini merupakan akhir panen gadu. Oktober mulai musim
paceklik.
Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya jalan keluar
yang tersedia adalah menambah pengadaan beras dari sumber luar negeri
alias impor. Masalahnya, impor akan selalu memantik kontroversi. Impor
juga selalu menimbulkan resistensi. Apalagi, Kementerian
Pertanian--dengan mengacu pada Angka Ramalan I BPS--yakin, produksi padi
tahun ini mencapai lebih 75,55 juta ton gabah kering panen atau naik
6,6 persen dari produksi tahun lalu.
Produksi sebesar itu bukan
hanya cukup memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia juga akan surplus
beras. Angka surplusnya juga besar. Jika benar surplus, mengapa impor
beras? Jika benar surplus, di manakah surplus beras itu saat ini?
Tidak
mudah menjawab pertanyaan ini karena ujung-ujungnya mempertanyakan
kesahihan data beras. Kalaupun data pro duksi beras benar adanya, antara
produksi beras dan penyerapan oleh Bulog merupakan dua hal berbeda.
Produksi beras yang baik tidak selalu linier atau diikuti penyerapan
beras yang baik pula oleh Bulog. Demikian pula sebaliknya.
Di
luar produksi, ada variabel lain yang menentukan besar kecilnya
penyerapan beras oleh Bulog, yaitu situasi pasar. Jika harga gabah/beras
di pasar di atas HPP, Bulog akan kesulitan mendapatkan gabah/beras.
Situasi ini sudah berlangsung beberapa tahun. Masalahnya, pemerintah
belum menyedia kan jalan keluar dari situasi sulit ini.
Jalan
keluar, sepenuhnya diserahkan ke Bulog. Salah satunya membeli lewat
skema komersial. Padahal, skema ini bukan hanya tidak menyediakan jalan
keluar, direksi Bulog juga bisa terkena getahnya. Pembelian lewat jalur
komersial potensial membuat Bulog merugi. Jika merugi, direksi Bulog
akan dinilai tidak perform. Setiap saat, direksi bisa diganti karena
dianggap tidak becus.
Salah satu jalan yang tersedia agar bisa
keluar dari situasi sulit ini adalah memastikan Bulog hanya mengurus
penugasan PSO. Direksi sepenuhnya dibebaskan dari keharusan menyetorkan
keuntungan kepada negara yang didapat dari kegiatan komersial. Posisi
seperti itu akan membuat direksi bekerja sepenuh hati mengurus penugasan
PSO.
Mereka tidak akan memikul beban ganda yang saling
menegasikan seperti saat ini, harus untung dan penugasan PSO berjalan
baik. Hampir bisa dipastikan, dengan membebaskan direksi dari keharusan
untung dan bisa menyetorkan keuntungan pada negara penyerapan beras oleh
Bulog akan membaik. Impor benar-benar menjadi jalan terakhir, seperti
diatur dalam UU Pangan No 18/2012. Agar tidak terjadi moral hazard,
pemerintah harus memastikan Bulog dalam pengawasan ketat. Pemerintah
bisa mengganti direksi bila mereka korupsi dan tidak mampu melakukan
tugas PSO dengan baik.
Kembali ke pertanyaan awal: Perlukah impor
beras saat ini? Jika memang pemerin tah tidak menyediakan instrumen
tambahan yang memungkinkan, Bulog bisa menambah pengadaan beras dari
dalam negeri, satu-satunya solusi adalah impor.
Kepastian sikap
peme rintah ini penting untuk mengirimkan sinyal yang jelas ke pasar;
pemerintah memastikan cadangan beras aman. Cadangan ini setiap saat bisa
digerakkan bila terjadi kegagalan pasar dalam bentuk harga yang
melejit.
Keputusan ini penting untuk memberikan sinyal yang jelas
kepada pedagang agar mereka tidak main-main mempermainkan harga beras
di pasar dengan cara melakukan spekulasi. Beda lagi bila pemerintah
sendiri bingung bersikap dan bahkan tidak satu suara. Ini akan menjadi
makanan empuk para spekulan mempermainkan pasar.
Jika itu
terjadi, harga dan inflasi akan melejit tinggi. Ujung-ujungnya, warga
miskin terganggu akses daya belinya. Bukan tidak mungkin, angka
kemiskinan yang sudah naik akan kembali naik jika sinyal pemerintah tak
kunjung pasti.
http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/82389-pro-kontra-impor-beras.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar