Analisis==> HPP Gabah Jongkok Oleh : M Maksum Maqfuedz |
DUA tahun lalu, tepatnya 29 Desember 2009, Inpres 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan yang mengatur Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ditandatangani dan berlaku efektif 1 Januari 2010. Inpres ini memperbaiki HPP dengan rerata kenaikan 10% dibanding Inpres yang digantikan, yaitu Inpres 8/2008 yang diundangkan Desember 2008. Yang tidak pernah diduga selepas dua tahun terbitnya Inpres 7/2009, dinamika pangan dan perekonomian global sungguh bergejolak. Gejolak perekonomian terjadi akibat krisis ekonomi beberapa negara Eropa yang berinteraksi dengan krisis politik Timur Tengah dan Afrika Utara. Politik pangan global juga mengalami perubahan nyata karena konflik peruntukan produk pertanian bagi pangan, pakan dan energi. Yang terakhir ini terasa semakin ketat ketika perubahan iklim global tidak mudah dijinakkan. Eskalasi harga pangan tentu merupakan satu dari implikasi serius dinamika tersebut. Tidak mengherankan kalau persoalan * Bersambung hal 7 kol 5 harga diangkat oleh FAO dan seluruh penjuru dunia sebagai persoalan bersama dalam peringatan Hari Pangan Sedunia dua bulan lalu dengan gerakan bersama menuju stabilisasi harga. Menarik sekali tema stabilisasi ini. Sayangnya pengertian yang intinya memperkecil selisih antara harga murah dan harga mahal hanya secara parsial dijabarkan menjadi waton murah. Akibatnya, Inpres 7/2009 yang mengamanatkan HPP murah itupun urung disesuaikan meski kedaluwarsa, dan hanya diganjal Inpres 8/2011 tentang kebijakan pengamanan cadangan beras yang dikelola pemerintah dalam menghadapi kondisi iklim ekstrem, diterbitkan 15 April 2011, dan memberi keleluasaan harga beli. Tetapi, ternyata tidak efektif sebagai basis pengadaan cadangan beras Bulog. Akhirnya, petani dipaksa ikhlas melihat Republik ini keblinger impor beras. Keblinger karena hakikat masalahnya adalah HPP gabah dan beras yang teramat jongkok, sama sekali tidak rasional dan semakin rendah dibandingkan harga pasar. Ini masalahnya dan harus diperbaiki dengan adil dan seksama dengan mempertimbangkan banyak hal. Pertama, fakta lapangan membuktikan bahwa HPP sudah kelewat rendah dibandingkan harga pasar pada saat panen raya sekalipun. Karena itu, kenaikan HPP mutlak adanya. Kedua, secepat-cepatnya kerja Pemerintah, HPP baru yang efektif berlaku 2012 apapun skenario perhitungannya harus memperhatikan kemerosotan nilai uang yang dua tahun terakhir lebih dari 12%. Inilah angka indikatif dan proxi eskalasi beaya produksi. Ketiga, Inpres 7/2009 memiliki cacat akademik yang tidak bisa ditolerir. Cacat ini menuntut Inpres dicabut demi rasionalitas akademik. Cacat tersebut terdapat pada proporsionalitas HPP yang berimplikasi bahwa rendemen perberasan adalah 65%. Ini tidak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium. Keempat, perlu disadari HPP baru adalah antisipasi masa depan yang jelas sekali inflationary. Karenanya HPP baru harus prospektif untuk masa depan. Bukan hanya kompensasi masa lalu dengan dua tahun inflasi. Kelima, kecuali nalar prospektif, HPP yang baru harus memiliki nalar stimulatif karena beras akan semakin strategis sesuai dengan target Republik ini yang ingin berkemandirian dan berkedaulatan pangan. Berdasarkan beberapa catatan tersebut, bisa diusulkan bahwa persentase kenaikan HPP harus berbeda antara gabah dan beras, serta mengandung makna stimulatif. Untuk HPP Gabah Kering Panen (GKP): Persentase kenaikan disarankan sekurangnya 17.5% dari angka yang diamanatkan Inpres 7/2009 sebesar Rp 2.640 dan Rp 2.685 per kilogram menjadi Rp 3.100 dan Rp 3.155 pada tingkat lapangan dan gudang. Dengan rerata kenaikan 17.5%, HPP untuk Gabah Kering Giling (GKG), diusulkan berubah dari Rp 3.300 dan Rp 3.345 menjadi Rp 3.880 dan Rp 3.930 per kilogram. Sementara itu, karena adanya tuntutan kelayakan proporsionalitas teknis dalam perberasan, diusulkan bahwa kenaikan HPP beras sekurang-kurangnya sebesar 20%. Akibatnya, HPP beras sudah waktunya dinaikkan dari angka lama menurut Inpres 7/2009 sebesar Rp 5.060, berubah menjadi Rp 6.075 per kilogram. Angka HPP baru ini niscaya akan menyelamatkan pendapatan petani sekaligus mengamankan upaya pengadaan cadangan dalam negeri. HPP ini juga lebih menjamin watak keterjangkauan oleh daya beli masyarakat karena kemudahan cadangan dan kapasitas pengendalian harga melalui operasi pasar. (Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PBNU) |
Sabtu, 24 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar