Selasa, 13 Desember 2011

RUU Pangan Prorakyat
Oleh Toto Subandriyo | Senin, 12 Desember 2011 | 9:52
Wakil Presiden Boediono didampingi Ibu Herawati Boediono menaburkan bibit bayam unggulan di salah satu lokasi kegiatan Hari Pangan Sedunia ke-31 yang dipusatkan di Badan Pusat Informasi Jagung, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Kamis (20/10). Foto: Investor Daily/ ANTARA/Syamsul Huda M.Suhari/ss/mes/11 Wakil Presiden Boediono didampingi Ibu Herawati Boediono menaburkan bibit bayam unggulan di salah satu lokasi kegiatan Hari Pangan Sedunia ke-31 yang dipusatkan di Badan Pusat Informasi Jagung, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Kamis (20/10). Foto: Investor Daily/ ANTARA/Syamsul Huda M.Suhari/ss/mes/11


Pangan merupakan masalah yang sangat strategis. Jika Rancangan Undang-Undang Pangan yang tengah berlangsung di DPR tidak dikawal dengan ketat pembahasannya, fenomena “jual beli” pasal sangat mungkin terjadi.

Tajuk Investor Daily (6/12), berjudul “Selamatkan RUU Pangan” secara cerdas menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan yang kini tengah dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Semua komponen bangsa memang harus mengawal pembahasan RUU yang sangat menentukan hidup-mati bangsa ini agar diperoleh produk undang-undang yang prorakyak dan lebih bermakna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terbatasnya waktu pembahasan yang selama ini dikeluhkan tidak boleh dijadikan sebagai justifikasi untuk mengabaikan pembahasan pasal-pasal krusial. Rekam jejak dari para wakil rakyat dalam membahas draf sebuah undang-undang yang kurang menggembirakan, menjadi alasan utama mengapa semua komponen bangsa perlu mencermati permasalahan ini.

Kembali ke “Khitah”
Jika kita cermati pasal demi pasal dari draf RUU Pangan, kita akan segera merasakan betapa rancangan peraturan ini sarat dengan aroma liberalisasi. Hal itu antara lain terlihat dari rancangan pasal yang memberikan ruang sangat luas terhadap swasta untuk pengadaan cadangan pangan. Padahal, jika kita berbicara tentang pangan, itu artinya kita   sedang berbicara tentang hajat hidup orang banyak.

Jika pasal-pasal itu tidak diluruskan, dikhawatirkan akan terjadi liberalisasi pangan yang sangat masif di negeri ini. Sektor pangan di Republik ini akan dikuasai oleh segelintir kapitalis bermodal kuat. Kondisi seperti ini jelas akan membahayakan ketahanan pangan bangsa.

Bagaimanapun bagi Bangsa Indonesia dalam sebutir beras tidak hanya menyangkut dimensi ekonomi, tetapi menyangkut banyak dimensi, antara lain dimensi keadilan, hak asasi manusia, nasionalisme, spiritual, bahkan dimensi sosial dan politik. Beras akan selalu menjadi urusan bangsa ini dari generasi ke generasi.

Menurut perkiraan para pakar sosialekonomi, pola pangan penduduk Indonesia pada tahun 2025 nanti tidak akan banyak bergeser dari beras. Hal ini mengingat beras merupakan sumber karbohidrat paling murah, mudah diproduksi karena sangat cocok dengan kondisi agroekologi Indonesia, serta sangat sesuai dengan selera penduduk di Republik ini.

Kenyataan seperti itu membawa konsekuensi yang sangat berat bagi upaya produksi dan penyediaan pangan penduduk di masa depan. Saat ini dengan jumlah penduduk sekitar 239 juta orang saja, pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan kebutuhan beras masyarakat, apalagi kalau jumlah penduduk makin berlipat.

Pasal lain yang juga perlu dikritisi adalah pasal tentang pemberian wewenang kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pangan secara luas. Jika pemerintah daerah diberi kebebasan dalam mengelola pangan, termasuk mengelola stok, akan menimbulkan banyak masalah. Komoditas pangan, utamanya beras, hanya akan dijadikan komoditas perdagangan semata. Akan terjadi jurang pemisah yang lebar antara daerah yang surplus dan yang minus.

Harus ada pembagian kewenangan pengelolaan pangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara jelas. Pemerintah pusat harus tetap memegang tanggung jawab penuh pengelolaan pangan, mulai dari perencanaan produksi, distribusi, konsumsi, hingga penentuan harga. Sedangkan pemerintah daerah bertindak sebagai pelaksana kebijakan dan melakukan pengembangan sesuai dengan kondisi spesifik daerah masing-masing.

Kewenangan penuh dapat diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan komoditas lokal yang potensial dan hanya tumbuh di daerah tersebut. Pemerintah daerah harus fokus pada hal-hal teknis untuk implementasi kebijakan dari pusat. Konsekuensinya, pemerintah pusat harus menyediakan anggaran yang memadai bagi daerah.

Pasal krusial lainnya menyangkut tentang kelembagaan otoritas pangan, di mana peran Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam RUU ini akan dikebiri. Alangkah baiknya jika otoritas pangan ini dikembalikan lagi pada Bulog sesuai semangat awal (khitah) berdirinya lembaga ini. Selain telah memiliki pengalaman dalam mengelola pangan, lembaga ini juga memiliki sarana dan prasarana yang sangat memadai dan tersebar di seluruh Tanah Air.

Semangat awal dibentuknya Bulog adalah dalam rangka melindungi petani dengan mengangkat harga jual gabah/beras mereka. Di sisi lain Bulog juga mengemban tugas sebagai lembaga buffer yang melindungi konsumen beras, seperti para buruh dan kaum marginal perkotaan.

Status Bulog yang sebelumnya merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003. Status sebagai Perum telah membuat peran Bulog tak ubahnya mesin ekonomi liberal lainnya. Jika terdapat peluang keuntungan ia akan bergerak, tetapi jika tidak menjanjikan keuntungan secara ekonomi, ia akan “duduk manis”.

Fungsi Lindungi Petani
Saat ini, fungsi Bulog harus dikembalikan untuk mengemban dua misi besar yang prorakyat, yaitu melindungi petani di satu sisi, dan di sisi yang lain melindungi konsumen pangan dari melambungnya harga pangan. Peran seperti ini hanya dapat dilakukan jika Bulog dikembalikan lagi dalam bentuk LPND dan ditugaskan mengawal lima prinsip kebijakan pangan.

Pertama, mengawal harga dasar yang memberikan insentif harga jual komoditas pangan sehingga petani tetap bergairah dalam usaha tani. Oleh karena itu, mazhab stabilisasi yang telah bergeser pada mazhab ekonomi pasar, harus dikembalikan lagi pada lembaga ini sebagai stabilisator harga pangan.

Kedua, mengawal harga maksimum (ceiling price) yang bertujuan melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tak terkendali. Ketiga, menciptakan selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum untuk lebih merangsang perdagangan oleh swasta.

Keempat, mengupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar. Kelima, mengelola stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai oleh pemerintah untuk kebutuhan stabilisasi harga pada saatsaat tertentu, misalnya pada musim paceklik dan pada saat Lebaran.

Penulis adalah Peminat Masalah Sosial-Ekonomi, Alumni IPB dan MM Unsoed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar