Selasa, 13 Desember 2011

Seputar RUU Pangan

Selamatkan RUU Pangan
Selasa, 6 Desember 2011 | 9:31
Presiden Yudhoyono mengeluarkan sembilan jurus untuk meredam gejolak harga bahan pangan di berbagai daerah. Sembilan jurus itu di antaranya intervensi pasar, kebijakan fiscal untuk pangan, memastikan pasokan pangan memenuhi permintaan dalam negeri, serta mendorong gerakan ketahanan pangan lokal dan keluarga. Foto: RUMGAPRES Presiden Yudhoyono mengeluarkan sembilan jurus untuk meredam gejolak harga bahan pangan di berbagai daerah. Sembilan jurus itu di antaranya intervensi pasar, kebijakan fiscal untuk pangan, memastikan pasokan pangan memenuhi permintaan dalam negeri, serta mendorong gerakan ketahanan pangan lokal dan keluarga. Foto: RUMGAPRES



Di negeri ini, harga pangan tak pernah bersahabat. Tidak bagi konsumen (masyarakat umum), tidak pula bagi produsen (petani). Bahkan, pemerintah sekalipun selalu dibuat kalang kabut oleh harga pangan, terutama beras. Lihat saja setiap musim Lebaran, pemerintah lintang-pukang meredam gejolak harga beras.

Demi menstabilkan harga beras, dana miliaran rupiah habis digelontorkan pemerintah setiap tahun untuk operasi pasar (OP). Demi meredam gejolak harga beras, pemerintah terpaksa “menghamburkan” devisa miliaran dolar AS untuk mengimpor komoditas tersebut, agar penduduk setengah miskin tidak jatuh miskin, agar penduduk miskin tidak semakin miskin. Itu karena peranan komoditas makanan, terutama beras, terhadap garis kemiskinan sangat besar, sekitar 73,5%.

Ironisnya, kenaikan harga pangan tak menjadikan petani kita sejahtera. Mereka tetap ditindih beban berat kemiskinan. Faktanya, kantong-kantong kemiskinan masih terkonsentrasi di perdesaan yang notabene merupakan basis pertanian. Dari 30,02 juta penduduk miskin di negeri ini per Maret 2011, sebanyak 18,97 juta orang di antaranya tinggal di perdesaan.

Kita tak perlu berpikir panjang untuk mengatakan bahwa yang menikmati kenaikan harga pangan, khususnya beras, selama ini bukan petani, melainkan para tengkulak, para pedagang besar, para pemburu rente bermodal kuat dan punya akses pasar. Kita pun tak perlu berdebat untuk mengatakan bahwa tata niaga, sistem, dan kondisi perdagangan di negeri ini kurang berpihak kepada petani. Bahwa petani kita, selain menjadi produsen, juga berposisi sebagai konsumen sehingga harus membeli beras dengan harga mahal, itu soal lain.

Bahwa kegiatan pertanian kita tidak efisien dan luas lahan pertanian kita semakin terbatas sehingga tidak mencapai skala keekonomian, itu juga perkara lain. Realitas tersebut tidak akan menggugurkan anggapan bahwa petani kita tak pernah menikmati lonjakan harga pangan karena pasar telah mendistorsi mereka.

Maka kita terhenyak manakala dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pangan yang sedang digodok pemerintah dan DPR muncul klausul-klausul yang berpotensi menjadikan petani kita semakin termarginalkan. Salah satu klausul menyebutkan bahwa pemerintah daerah (pemda) berwenang mengelola cadangan pangan sendiri, tidak hanya terkait produksi dan konsumsi, tapi juga distribusi dan ekspor-impor. Bahkan, pemda memiliki kewenangan menunjuk sendiri badan usaha untuk mengimpor beras.

Memang terlalu prematur untuk menjatuhkan vonis bahwa RUU Pangan yang diajukan atas hak inisiatif DPR itu merupakan istilah lain dari liberalisasi pangan. Juga terlalu dini untuk menuduh DPR dan pemerintah semakin tidak berpihak kepada petani di dalam negeri. Tapi, cukup beralasan pula bagi kita untuk menyatakan secara tegas dan terbuka bahwa kita harus mewaspadai upaya apa pun yang dapat menjerumuskan negeri ini dalam krisis pangan dan jurang kemiskinan.

Desentralisasi pangan bukan cuma soal siapa yang punya modal kuat dan siapa yang modalnya lemah, atau siapa yang punya akses luas dan siapa yang aksesnya terbatas. Bukan pula semata soal upaya menghadapi roda globalisasi yang sedang kencang menggelinding, di mana kita akan tergilas di bawahnya jika tidak mempersiapkan diri dari sekarang. Esensi desentralisasi pangan justru ada pada pertanyaan; apakah ketahanan pangan kita bakal semakin kuat jika desentralisasi diberlakukan? Apakah kita mampu berswasembada pangan jika RUU Pangan diterapkan?

Mungkin sebaiknya kita rajin membuka rekam jejak daerah. Otonomi daerah (otda) yang sudah berjalan 10 tahun nyatanya tak menjadikan daerah mampu mengelola sendiri ekonominya dan menyejahterakan masyarakatnya. Gizi buruk, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, tumpang-tindih regulasi, dan APBD yang tidak manageable, adalah sederet contoh bahwa pemda hingga detik ini masih sulit menerapkan good governance.

Tak berlebihan pula jika kita mencermati risiko disintegrasi jika masing-masing pemda diberi kewenangan mengelola cadangan pangan. Daerah-daerah bisa saling bertikai demi memperebutkan sumber air. Bahkan, daerah-daerah lumbung pangan bisa menuntut pemekaran. Dan, bukankah penunjukan badan usaha (swasta) untuk mengimpor beras oleh daerah juga rentan menimbulkan moral hazard?

Adalah kewajiban kita untuk mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak gegabah dengan desentralisasi pangan. Selama ini, kita sudah dibuat prihatian oleh kinerja Perum Bulog yang tidak optimal menjalankan fungsinya sebagai stabilisator harga pangan. Bulog tak pernah ada di hati petani saat harga beras jatuh. Begitu pun saat harga beras membubung tinggi. Jangan sampai, RUU Pangan yang seharusnya dibuat untuk menyejahterakan petani dan memperkokoh ketahanan pangan nasional, justru melahirkan predator bagi petani, meningkatkan angka kemiskinan, dan menjadikan bangsa ini makin tergantung pada bahan pangan yang diproduksi bangsa lain. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar