Wacana pemerintahan Jokowi-JK untuk
mengkonversi program beras untuk rakyat miskin (raskin) menjadi e-money,
mendapat kritik dam kecaman publik. Penghapusan program ini, bisa berimbas pada
kelangkaan beras di pasar dan inflasi cukup tinggi.
“Jika raskin hilang, bisa
diperkirakan penyediaan beras di masyarakat berkurang sepuluh persen. Beras itu
termasuk komoditas yang mendekati in-elastis, maka hilangnya raskin sangat
berpengaruh pada harga beras umum,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan
Jasa, Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo di Jakarta, Jumat
(5/12/2014).
Menurut dia, dari hasil penelitian
BPS, diketahui karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak,
terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan
gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Apalagi konsumsi
raskin sejak 2003 lalu, mencapai 10 persen dari total konsumsi beras nasional.
Dengan komposisi tersebut, imbuh
Sasmito, maka bisa dipastikan penghapusan raskin akan mendongkrak inflasi,
sehingga menyebabkan kejutan bagi perekonomian masyarakat. “Ini perlu menjadi
perhatian. Kami khawatir uang sebagai pengganti raskin, malah dapat membuat
rakyat miskin tak bisa membeli beras karena harganya meningkat akibat inflasi,”
tuturnya.
Sementara itu, ekonom UI Sulastri
Surono menilai, rencana penghapusan raskin hanya akan menguntungkan kalangan
perbankan dan belum tentu bisa mengentaskan sekitar 90 juta jiwa penduduk
miskin. Padahal, sudah sangat jelas bahwa selama ini, mereka terbantu kebutuhan
pangannya oleh program raskin.
Pemerintah Jokowi-JK, tegas dia,
sepertinya ingin meniru program food stamp (kupon makanan) yang diberikan
secara cuma-cuma di Amerika Serikat (AS). Warga AS diberi kartu dan bisa
membeli susu, kacang, telur dan bahan makanan lain dengan disubsidi pemerintah.
Tetapi kalau di AS itu, infrastukturnya telah siap tersedia.
Kualitas Raskin
Ia pun meminta pemerintah mengkaji
ulang rencana penggantian raskin dengan e-money. Alasannya, raskin cukup
efektif dalam menjaga kebutuhan pangan masyarakat. “Hanya perlu dibenahi
kualitas raskin dan pola distribusinya saja,” ujar Sulastri.
Sedangkan Dekan Fakultas Ekologi
Manusia IPB Arif Satria mengungkapkan, program raskin yang berjalan sejak tahun
2003 itu, merupakan jaringan pengaman sosial (JPS) yang mutli fungsi. Jika
raskin dihapus, maka bukan hanya ancaman inflasi yang akan melanda Indonesia,
tetapi juga kehancuran bagi para petani lokal.
Dirinya pun menyarankan, agar
program raskin tetap dipertahankan. Kebijakan ini sebagai mekanisme
perlindungan petani dan masyarakat miskin dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) pada 2015 nanti.
“Saya sangat mengkhawatirkan bahwa
penghapusan raskin bakal meningkatkan permintaan beras di pasar. Dengan begitu,
secara otomatis akan memicu kenaikan harga beras. Bahkan, juga akan
berakibat pada kelangkaan beras di pasaran. Makin terpuruk saja rakyat miskin,”
tandasnya.
http://porosberita.com/2014/12/05/akademisi-tolak-penghapusan-program-raskin/#sthash.AFAinAy0.dpbs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar