Rencana pemerintah menghapus program beras untuk rakyat miskin (Raskin)
dikhawatirkan berimbas pada kelangkaan beras di pasar dan menimbulkan
inflasi yang cukup tinggi.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik
(BPS) Sasmito Hadi Wibowo di Jakarta, Minggu (7/12) mengatakan, jika
Raskin hilang, bisa diperkirakan penyediaan beras di masyarakat
berkurang sepuluh persen.
"Karena beras termasuk komoditas yang mendekati in-elastis, maka
hilangnya Raskin sangat berpengaruh pada harga beras umum," ujarnya.
Sasmito mengungkapkan, konsumsi Raskin sejak tahun 2003 lalu mencapai sepuluh persen dari total konsumsi beras nasional.
Dengan komposisi tersebut, tambahnya, maka bisa dipastikan
penghapusan Raskin akan mendongkrak inflasi, sehingga menyebabkan
kejutan bagi perekonomian masyarakat.
Sementara itu, pakar Ekonomi UI, Prof. Sulastri Surono menilai,
rencana penghapusan Raskin hanya akan menguntungkan kalangan perbankan
dan belum tentu bisa mengentaskan sekitar 90 juta jiwa penduduk miskin
yang selama ini terbantu kebutuhan pangannya oleh raskin.
Anggaran subsidi pangan sebesar Rp 20 triliun, tambahnya, bisa
dikelola perbankan, ada perputaran uang di sana, dan jelas perbankan
sangat diuntungkan.
"Tapi bisa nggak e-money ini mengentaskan rakyat miskin?
Saya ragu. Tetapi dengan program Raskin selama ini, sudah jelas bisa
menjamin kebutuhan pangan masyarakat terjamin," katanya.
Ia juga mengungkapkan berbagai kendala penerapan e-money yang
tidak hanya merepotkan pemerintah pusat maupun daerah, tetapi juga bisa
meresahkan masyarakat.
"Kalau pun e-money ini hanya dikhususkan untuk membeli beras, tempat membelinya di mana? Apa di desa-desa terpencil bisa nyampe?
Di India toko pemerintah sampai ke desa pelosok juga ada. Di Indonesia,
dengan daerah kepulauan bakal banyak kendala," katanya.
Menurut dia, pemerintah sepertinya ingin meniru program food stamp
(kupon makanan) yang diberikan secara cuma-cuma di Amerika, yang mana
warga diberi kartu dan bisa membeli susu, kacang, telur dan bahan
makanan lain dengan disubsidi pemerintah.
Tetapi, tambahnya, di Amerika, infrastrukturnya telah siap tersedia.
Dikatakannya, kalau food stamp memberi subsidi pangan
bagi warganya. Kalau Raskin kan memberi subsidi buat warga miskin,
sekaligus menjaga stabilitas harga pangan dan membantu penjualan beras
petani juga yang dilakukan oleh Bulog.
"Kalau Raskin diganti e-money, selain kendala infrastruktur, juga
akan menghilangkan fungsi Bulog dan stabilitas harga pangan," katanya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah mengkaji ulang rencana
penggantian raskin dengan e-money, karena menurut Guru Besar Raskin
cukup efektif dalam menjaga kebutuhan pangan masyarakat.
"Hanya perlu dibenahi kualitas Raskin dan pola distribusinya saja," ujarnya.
Ancaman kehancuran petani lokal
Sementara itu
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Arif Satria
mengungkapkan, program Raskin yang berjalan sejak 2003 merupakan
jaringan pengaman sosial (JPS) yang multi fungsi.
Menurut dia, Raskin tidak hanya efektif dalam mengendalikan
inflasi, tetapi juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pangan bagi
rakyat miskin, sekaligus menjamin ketersediaan pasar bagi petani lokal.
Jika Raskin dihapus, lanjutnya, maka bukan hanya ancaman inflasi
yang akan melanda Indonesia, tetapi juga kehancuran bagi para petani
lokal, terlebih saat menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
"Kalau dengan e-money, berarti masyarakat miskin bebas membeli beras apa pun di pasar," katanya.
Selama ini, tambahnya, ada stabilisator harga beras yang
dilakukan Bulog sehingga kalau raskin dihapus, maka petani harus mampu
bersaing dengan produk luar akibat MEA.
"Sementara besar kemungkinan harga beras dimainkan di pasaran.
Misalnya saat beras langka, harga bisa meningkat drastis. Ini bisa
memicu inflasi, katanya.
Ia menyarankan agar Raskin tetap dipertahankan sebagai mekanisme
perlindungan petani dan masyarakat miskin dalam menghadapi MEA 2015.
http://harnas.co/2014/12/08/raskin-dihapus-inflasi-melonjak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar