“Rencana kebijakan pemerintah soal subsidi BBM yang muncul di media terlihat sangat belum siap. Belum dikaji secara matang,” jelas Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, Selasa (30/12).
Yang memprihatinkan lagi, ia mengungkap belum dikaji secara komprehensif, pemerintah sudah mengambil arah kebijakan secara gegabah.
Mengeluarkan Premium dari jenis BBM Tertentu dan melepaskan ke mekanisme pasar seperti Pertamax dan Pertamax Plus.
Sedangkan Solar dan minyak tanah masih masih disubsidi, namun kemungkinan akan dilakukan dengan subsidi tetap. Tidak lebih dari Rp1.000/liter.
Memberlakukan subsidi tetap di tengah harga minyak turun seperti beberapa bulan ini, menurutnya, memang menguntungkan masyarakat,
Namun ketika harga minyak kembali melambung ke posisi diatas 90 dolar AS/barel. Ditambah melemahnya rupiah, ia yakin masyarakat harus membayar harga BBM jauh lebih tinggi dibanding yang berlaku sekarang.
Apalagi jika BBM subsidi ditetapkan pemerintah dengan BBM RON 92, ia menegaskan akan lebih memberatkan masyarakat. “Siapa yang berani menjamin bahwa harga minyak dunia tidak akan naik?” katanya balik bertanya.Selain itu, ia menandaskan menghapus subsidi untuk BBM Premium RON 88 ke RON 92 sama juga melanggar UU Migas. Karena sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemerintah harus tetap bertanggungjawab atas harga BBM untuk golongan masyarakat tertentu.
Keputusan MK tersebut merupakan keputusan final yang menghapus pasal tentang harga BBM sesuai dengan mekanisme pasar.
Dengan kata lain, jika yang disubsidi hanya BBM jenis Solar dan untuk angkutan umum saja, pemerintah harus merevisi UU Migas terlebih dahulu.
BISA DIIMPEACH
“Kalau tidak dilakukan revisi, maka pemerintah dianggap melanggar UU. Resikonya bisa di impeach DPR. Ini berbahaya bagi pemerintah,” terangnya.
Apalagi dalam penyusunan dan penetapan subsidi BBM pada APBN 2015 tidak ditetapkan dengan pola subsidi tetap. Artinya, ketika pemerintah membuat kebijakan adanya subsidi tetap atas harga BBM bisa memancing reaksi keras dari DPR.
Sofyano juga menilai memberlakukan subsidi tetap bisa dimaknai publik, sebagai ‘Jebakan Batman’. Menguntungkan pemerintah selamanya, tapi berpotensi memberatkan masyarakat dan juga berpotensi membingungkan masyarakat.
Selama ini pemerintah terkesan terjebak pada besaran subsidi.
Padahal sejatinya, ia mengemukakan besaran subsidi sangat bergantung pada volume atau kuota BBM subsidi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun tanpa bisa dicegah oleh pemerintah.
Memang mengacu pada UU Nomor 22 tahun 2001 atau UU Migas, pemerintah bisa membuat keputusan dengan menetapkan golongan masyarakat tertentu yang berhak atas harga BBM subsidi.
Kenyataannya, ia menambahkan pemerintah sejak masa reformasi hanya mampu berteriak saja bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran.
Seharusnya, pemerintah tidak menutup mata terhadap pengguna BBM subsidi yang nyatanya dinikmati bebas oleh siapapun yang memiliki kendaraaan bermotor jenis dan kelas apapun juga. “Sikap Ini jelas melanggar UU Migas khususnya Pasal 28,” pungkas Sofyano.
http://poskotanews.com/2014/12/30/pemerintah-terkesan-memaksakan-diri-ubah-kebijakan-bbm-subsidi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar